PENDAHULUAN
1
orang normal. Dengan adanya peningkatan risiko yang lebih tinggi terhadap
morbiditas dan mortilitas tersebut, maka perlu berbagai upaya yang lebih agresif
pada kelompok risiko diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Sesungguhnya, kelainan pembuluh darah yang terjadi pada pasien DM terjadi
sebelum DM terdiagnosis kondisi yang mengawali cascade disfungsi vascular
adalah terjadinya resistensi insulin pada kondisi yang disebut pradiabetes.(
sudoyo,2014)
Penanda prediabetes yaitu kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl dan
atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial 140-199 mg/dl. Dalam jangka waktu
3-5 tahun, 25% prediabetes dapat berkembang menjadi DM tipe 2, 50% tetap
dalam kondisi prediabetes, dan 25% kembali pada kondisi glukosa darah normal.
(Singh et al., 2012). Melalukan skrining pada pasien yang mengalami obesitas
dan pasien yang berusia diatas 45 tahun sangat baik untuk mengetahui ada
tidaknya pradiabetes pada pasien sehingga dapat ditangani sedini mungkin dan
mencegah berlanjutnya menjadi diabetes tipe 2 dan komplikasi lainnya. (sudoyo,
2014)
Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengkonsumsi makanan yang
halal dan thayyibah, tidak makan berlebihan, menjalankan puasa Ramadhan
maupun puasa sunnah lainnya dan berolahraga, mulai dari olahraga yang ringan
seperti jogging dan aerobik ataupun olahraga yang cukup berat seperti berenang,
memanah dan berkuda. Olahraga minimal satu kali dalam seminggu dapat
menyeimbangkan gerak otot, mengurangi lemak yang akan mengakibatkan indeks
massa tubuh berlebihan dan obesitas yang akan memicu munculnya penyakit
diabetes melitus (Sofyan, 2012).
2
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Berapakah angka kejadian prediabetes pada karyawan obesitas di Rumah Sakit
Sumber Waras?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang angka kejadian prediabetes pada
karyawan obesitas di Rumah Sakit Sumber Waras?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang
berdampak buruk terhadap kesehatan (WHO, 2015). Obesitas merupakan
suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan
lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi
bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila
seseorang bertambah berat badannya, maka ukuran sel lemak akan
bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak. Obesitas
merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik
spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan
penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu
keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di
jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Keadaan obesitas
ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi
insulin yang terdiri dari resistensi insulin/hiperinsulinemia, hiperuresemia,
gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi (Sugondo,
2014).
Obesitas timbul sebagai akibat masukan energi yang melebihi
pengeluaran energi. Bila energi dalam jumlah besar (dalam bentuk
makanan) yang masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan,
maka berat badan akan bertambah dan sebagian besar kelebihan energi
tersebut akan di simpan sebagai lemak. Oleh karena itu, kelebihan
adipositas (obesitas) disebabkan masukan energi yang melebihi
pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak 9,3 kalori
yang masuk ke tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan disimpan. Lemak
4
disimpan terutama di aposit pada jaringan subkutan dan pada rongga
intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan tubuh lainnya seringkali
menimbun cukup lemak pada orang obesitas. Perkembangan obesitas pada
orang dewasa juga terjadi akibat penambahan jumlah adiposit dan
peningkatan ukurannya. Seseorang dengan obesitas yang ekstrem dapat
memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap adiposit
memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus (Guyton, 2014)
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak
kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk
menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut
disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2014).
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi obesitas populasi dewasa di seluruh dunia pada tahun
2005 mencapai 400 juta jiwa (WHO, 2011). Prevalensi penduduk laki-laki
dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prrevalensi
obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun
2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%) (Riskesdas, 2013).
Prevalensi nasional obesitas tipe pear shaped (usia >15 tahun) di
Indonesia sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan
prevalensi obesitas tipe apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari
prevalensi pada tahun 2007 (18,8%). Kelompok dengan karakteristik
obesitas tipe apple shaped tertinggi di Indonesia berada dalam rentang
umur 40-54 tahun sebanyak 27,4% (Riskesdas,2013)
2.1.3 Etiologi
Obesitas disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan energi antara
kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang dikeluarkan (WHO, 2014).
Penyebab obesitas sangatlah kompleks. Meskipun gen berperan penting
dalam memprogram kuat mekanisme fisiologis yang mengatur asupan
5
makanan dan metabolisme energi, gaya hidup serta faktor lingkungan
dapat berperan dominan pada banyak orang dengan obesitas. (Guyton,
2014)
2.1.3.1 Genetik
Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan
kelainan satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan
pengeluaran energi serta penyimpanan lemak. Penyebab
monogenik (gen tunggal) dari obesitas adalah mutasi MCR-4,
yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang
ditemukan sejauh ini, defisiensi leptin kongenital, yang
diakibatkan mutasi gen, yang sangat jarang dijumpai dan mutasi
reseptor leptin, yang juga jarang ditemui. Semua bentuk
penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil
persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen
sepertinya berinterakasi dengan faktor lingkungan untuk
mempengaruhi jumlah dan distribusi lemak (Guyton,2014)
2.1.3.2 Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat
meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh,
sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan
pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Sekitar 25
sampai 30 persen energi yang digunakan setiap hari oleh rata-rata
orang ditunjukan untuk aktivitas otot, dan pada seorang pekerja
kasar, sebanyak 60 sampai 70 persen digunakan untuk aktivitas
ini. Pada orang obese, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan
meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan,
yang berakibat penurunan berat badan yang bermakna. Karena
aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi
dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik sering kali menjadi cara
yang efektif untuk mengurangi simpenan lemak. (Guyton, 2014)
6
2.1.3.3 Perilaku makan
Faktor lain penyebab obesitas adalah perilaku makan yang
tidak baik. Perilaku makan yang tidak baik disebabkan oleh
beberapa sebab, diantaranya adalah karena lingkungan dan
psikologis. Hal ini terbukti dengan meningkatnya prevalensi
obesitas di negara maju. Sebab lain yang menyebabkan perilaku
makan tidak baik adalah psikologis, dimana perilaku makan
agaknya dijadikan sebagai sarana penyaluran stress. Perilaku
makan yang tidak baik pada masa kanak-kanak sehingga terjadi
kelebihan nutrisi juga memiliki kontribusi dalam obesitas, hal ini
didasarkan karena kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang
baru terutama meningkat pada tahun-tahun pertama kehidupan,
dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula
jumlah sel lemak. Oleh karena itu, obesitas pada kanak-kanak
cenderung mengakibatkan obesitas pada dewasanya nanti
(Guyton, 2014).
2.1.3.4 Neurogenik
Telah dibuktikan bahwa lesi di nukleus ventromedial
hipotalamus dapat menyebabkan seekor binatang makan secara
berlebihan dan menjadi obesitas. Orang dengan tumor hipofisis
yang menginvasi hipotalamus seringkali mengalami obesitas yang
progresif. Hal ini memperlihatkan bahwa, obesitas pada manusia
juga dapat timbul akibat kerusakan pada hipotalamus. Dua bagian
hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu
hipotalamus lateral (HL) yang menggerakkan nafsu makan (awal
atau pusat makan) dan hipotalamus ventromedial (HVM) yang
bertugas menintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat
kenyang). Dan hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL
rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau minum,
dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi
7
infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM, maka
seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan. Dibuktikan bahwa
lesi pada hipotalamus bagian ventromedial dapat menyebabkan
seekor binatang makan secara berlebihan dan obesitas, serta terjadi
perubahan yang nyata pada neurotransmiter di hipotalamus berupa
peningkatan oreksigenik seperti NPY dan penurunan pembentukan
zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH pada hewan obesitas
yang dibatasi makannya (Guyton, 2014) .
2.1.3.5 Faktor obat-obatan
Obat-obatan merupakan sumber penyebab signifikan dari
terjadinya overweight dan obesitas. Obat-obat tersebut diantaranya
adalah golongan steroid, antidiabetik, antihistamin, antihipertensi,
protease inhibitor (Shils, 2006). Penggunaan obat antidiabetes
(insulin, sulfonylurea, thiazolidinepines), glukokortikoid, agen
psikotropik, mood stabilizers (lithium), antidepresan (tricyclics,
monoamine oxidase inibitors, paroxetine, mirtazapine) dapat
menimbulkan penambahan berat badan. Selain itu, Insulin-
secreting tumors juga dapat menimbulkan keinginan makan
berlebihan sehingga menimbulkan obesitas (Fauci, et al., 2009).
2.1.4 Patofisiologi
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran
kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen,
2008). Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu
makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural
dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,
nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan energi
diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu
pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan
8
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat
di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan
adiposa, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat
pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal
pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang
diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam
peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived
hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan
energi (Sherwood, 2012).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center
di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY)
sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila
kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa
berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus
yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar
penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).
9
Gambar 3. Patofisiologi Penyimpanan dan Keseimbangan Energi
(Sumber: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. Edisi VIII, 2009).
2.1.5 Diagnosis
Obesitas di ukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) seseorang.
IMT merupakan indeks sederhana dari tinggi dan berat badan yang biasa
digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas
pada orang dewasa. IMT dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Seseorang
dikategorikan kegemukan jika IMT >25 kg/m2 dan obesitas jika IMT>30
kg/m2 (WHO, 2015).
Indeks massa tubuh banyak digunakan di rumah sakit untuk
mengukur status gizi pasien karena IMT dapat memperkirakan ukuran
lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi, tetapi lebih akurat daripada
pengukuran berat badan saja. Di samping itu,pengukuran IMT lebih
banyak dilakukan saat ini karena orang yang kelebihan beratbadan atau
yang gemuk lebih berisiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit
jantung, stroke, hipertensi, osteoarthritis, dan beberapa bentuk penyakit
kanker (Hartono, 2006)
10
Berdasarkan PERKENI (2015), maka pembagian IMT dapat dibagi
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Definisi kategori indeks massa tubuh (IMT)
IMT (kg/m2)
Berat badan kurang (underweight) <18,5
Berat normal 18,5-22,9
Berat berlebih (overweight ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes derajat I 25,0-29,9
Obes derajat II >30
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, 2015.
11
2.1.6.3 Aktifitas Fisik
Peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen penting
dari program penurunan berat badan, walaupun aktifitas fisik tidak
menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka
waktu enam bulan. Untuk penderita obesitas, terapi harus dimulai
secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara
bertahap. Penderita obesitas dapat memulai aktifitas fisik dengan
berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu
dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan
jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya
selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu (Sugondo,
2014).
2.1.6.4 Terapi perilaku
Untuk mencapai penurunan berat badan dan
mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi
hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktifitas fisik.
Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap
kebiasaan makan dan aktifitas fisik, manajemen stress, stimulus
control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive
restructuring dan dukungan sosial (Sugondo, 2014).
2.1.6.5 Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting
dalam program manajemen berat badan. Sirbutramine dan orlistat
merupakan obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui
untuk penggunaan jangka panjang. Sirbutramine ditambah diet
rendah kalori dan aktifitas fisik efektif menurunkan berat badan
dan mempertahankannya. Orlistat menghambat absorpsi lemak
sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan
penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial
(Sugondo, 2014).
12
2.1.6.6 Pembedahan
Tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk
mengatasi obesitas. Pembedahan dilakukan hanya kepada penderita
obesitas dengan IMT ≥40 atau ≥35 kg/m2 dengan kondisi
komorbid. Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik/ banding
vertical gastric) atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu
intervensi penurunan berat badan dengan resiko operasi yang
rendah (Sugondo, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di
Indonesia pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat
dibandingkan tahun 2007. Proporsi diabetes melitus di Indonesia
sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT) sebesar 29,9% dan
glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%. Proporsi
penduduk di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama
dengan penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus meningkat
dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).
13
lahir dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram).
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan
perilaku hidup kurang sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas
abdominal/sentral, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia,
diet tidak sehat/tidak seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) atau Gula Darah Puasa Terganggu (GDP terganggu), dan
merokok. (Infodatin)
14
Tabel 2.2.KriteriaDiagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Atau
15
Tabel 2.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes.
HbA1 HbA1c(%) Glukosa darah Glukosa plasma
c (%) puasa (mg/dL) 2 jam setelah
Gluko TTGO (mg/dL)
sa Diabetes >6,5 >126 mg/dL >200 mg/dL
darah Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
uasa Normal <5,7 <100 <140
(mg/d
Glukosa plasma 2 ja
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan
karbohidrat yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti
kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah
beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak
tersediafasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan
untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
16
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa
darah kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini
Tabel 2.4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dl) vena
Darah <90 90-199 ≥200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-125 ≥126
puasa (mg/dl) vena
Darah <90 90-99 ≥100
kapiler
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, 2015
2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes, yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
17
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
Gejala yang dialami oleh pasien.
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap
glukosa darah.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
Riwayat penyakit dan pengobatan.
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar
tiroid, paru dan jantung
Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada
pasien yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki
kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada
pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai
sasaran terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap
penderita yang baru terdiagnosism DMT2 melalui pemeriksaan:
Profil lipid dan kreatinin serum.
Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
Elektrokardiogram.
18
Foto sinar-X dada
Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara
komprehensif oleh dokter spesialis mata atau optometris.
Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk
mengenali faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi:
inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilamen 10
g, dan Ankle Brachial Index (ABI).
19
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral
dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue):
Sulfonilurea dan Glinid:
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD):
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari
Peroxisome Proliferator ActivatedmReceptor Gamma
(PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada
20
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase
Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi
glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR
≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi golongan penghambat SGLT-2
merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1) Insulin
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
21
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1
merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM.
Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi
baik secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam
bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai,
sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada
pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi
obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa
22
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan. (Perkeni, 2015)
23
2.4 Kerangka teori
Reseptor
insulin
Resistensi insulin
24
2.5 Kerangka konsep
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kolerasi antara obesitas
dengan prediabetes dengan mengambil darah vena untuk mengetahui kadar
glukosa darah puasa dan sewaktu.
Pemeriksaan IMT
Non Obesitas
obesitas
TTGO
GDP GD 2jam pp
GDPT TGT
Prediabetes
2.6 Hipotesis
Obesitas dapat menyebabkan terganggunya absorbsi glukosa ke dalam
sel sehingga terjadi peningkatan glukosa berlebih di dalam darah yang disebut
dengan diabetes. Pemeriksaan diabetes dapat dilakukan dengan mengambil
darah vena atau perifer kemudian dilakukan penilaian kadar glukosa darah.
25
2.7 Definisi Operasional
Tabel 2.5. Definisi Oprasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1. Obesitas suatu penyakit Berat badan (kg) Berat badan kurang Ordinal
multifaktorial, yang dibagi tinggi
(underweight) : <18,5
terjadi akibat badan kuadrat
akumulasi jaringan (cm)2 Berat normal : 18,5-
lemak berlebihan,
22,9
sehingga dapat
mengganggu Berat berlebih
kesehatan
(overweight) : ≥23,0
Dengan risiko : 23,0-
24,9
Obes derajat I : 25,0-
29,9
Obes derajat II : >30
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3 Populasi
Pelaksanaan suatu penelitian selalu berhadapan dengan objek yang diteliti.
Keseluruhan objek yang diteliti disebut populasi penelitian (Notoatmodjo,
2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan obesitas yang menjalani
pemeriksaan kadar gula darah, berat badan, dan tinggi badan di Rumah Sakit
Sumber Waras.
3.4 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel penelitian ini
adalah karyawan obesitas di Rumah Sakit Sumber Waras.
a) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah anggota populasi dewasa dengan
Indeks Massa Tubuh melebihi 25,0
27
b) Kriteria Eksklusi
28
3) Kemudian peneliti akan mengelola dan menganalisis data.
4) Setelah seluruh data terkumpul, data akan diolah dengan menggunakan
software SPP Statistics Desktop.
Penyerahan laporan
Ujian hasil penelitian Melakukan revisi penelitian dan
manuskrip publikasi
29
3.12 Jadwal Penelitian
2015 2016
Kegiatan Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Penyusunan
Proposal
Ujian
Proposal
Revisi
Proposal
Pengumpulan
Data
Pengolahan
dan Analisis
Data
Penyusunan
Laporan
Skripsi
Ujian Skripsi
Revisi Skripsi
30
31