Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di


dunia, Sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun terkait dengan
kelebihan berat badan dan obesitas. Secara keseluruhan lebih dari 10% dari
populasi orang dewasa di dunia menderita obesitas, dan hampir 300 juta adalah
wanita (WHO,2013). Di Indonesia obesitas merupakan masalah yang cukup
banyak dan meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riskesdas (2013), pada laki-
laki dewasa terjadi peningkatan dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 19,7 % pada
tahun 2013. Sedangkan pada wanita dewasa terjadi kenaikan yang sangat ekstrim
mencapai 18,1 %, yaitu dari 14,8% pada tahun 2007 menjadi 32,9 % pada tahun
2013 (Riskesdas,2013).
Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan
akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga
dapat mengganggu kesehatan. Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral,
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan
sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi
insulin/hiperinsulinemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis,
hiperfibrinogenemia dan hipertensi (Sugondo, 2014).
Salah satu komplikasi dari obesitas adalah Diabetes Mellitus (DM). Sel
lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin sehingga glukosa tidak bisa masuk kedalam sel dan
akan menyebabkan akumulasi kadar glukosa di dalam darah melebihi batas
normal/hiperglikemi.(Perkeni, 2015)
Penyandang DM mempunyai resiko penyakit jantung dan pembuluh darah,
dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan tanpa DM. Penyandang DM juga
mempunyai risiko hipertensi dan dyslipidemia yang lebih tinggi dibandingkan

1
orang normal. Dengan adanya peningkatan risiko yang lebih tinggi terhadap
morbiditas dan mortilitas tersebut, maka perlu berbagai upaya yang lebih agresif
pada kelompok risiko diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Sesungguhnya, kelainan pembuluh darah yang terjadi pada pasien DM terjadi
sebelum DM terdiagnosis kondisi yang mengawali cascade disfungsi vascular
adalah terjadinya resistensi insulin pada kondisi yang disebut pradiabetes.(
sudoyo,2014)
Penanda prediabetes yaitu kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl dan
atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial 140-199 mg/dl. Dalam jangka waktu
3-5 tahun, 25% prediabetes dapat berkembang menjadi DM tipe 2, 50% tetap
dalam kondisi prediabetes, dan 25% kembali pada kondisi glukosa darah normal.
(Singh et al., 2012). Melalukan skrining pada pasien yang mengalami obesitas
dan pasien yang berusia diatas 45 tahun sangat baik untuk mengetahui ada
tidaknya pradiabetes pada pasien sehingga dapat ditangani sedini mungkin dan
mencegah berlanjutnya menjadi diabetes tipe 2 dan komplikasi lainnya. (sudoyo,
2014)
Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengkonsumsi makanan yang
halal dan thayyibah, tidak makan berlebihan, menjalankan puasa Ramadhan
maupun puasa sunnah lainnya dan berolahraga, mulai dari olahraga yang ringan
seperti jogging dan aerobik ataupun olahraga yang cukup berat seperti berenang,
memanah dan berkuda. Olahraga minimal satu kali dalam seminggu dapat
menyeimbangkan gerak otot, mengurangi lemak yang akan mengakibatkan indeks
massa tubuh berlebihan dan obesitas yang akan memicu munculnya penyakit
diabetes melitus (Sofyan, 2012).

1.2 Perumusan Masalah


Angka kejadian obesitas dan diabetes mellitus merupakan masalah
kesehatan yang banyak terjadi dan terus meningkat setiap tahunnya di Indonesia,
dengan banyaknya masalah tersebut peneliti ingin mengetahui angka kejadian
antara kedua masalah tersebut. Maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut
“Kadar glukosa rata-rata pada seseorang yang mengalami obesitas”

2
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Berapakah angka kejadian prediabetes pada karyawan obesitas di Rumah Sakit
Sumber Waras?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang angka kejadian prediabetes pada
karyawan obesitas di Rumah Sakit Sumber Waras?

1.4 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui angka kejadian prediabetes pada karyawan obesitas di Rumah
Sakit Sumber Waras.
2. Mengetahui dan menjelaskan pandangan Islam tentang angka kejadian
prediabetes terhadap obesitas.

1.5 Manfaat Penelitian


a. Untuk Petugas Kesehatan
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran para petugas kesehatan khususnya dokter untuk lebih mengedukasi
pasien tentang komplikasi dari obesitas
b. Untuk Peneliti
Diharapkan dengan penelitian ini menambah pengetahuan tentang angka
kejadian antara indeks masa tubuh (IMT) dengan kadar glukosa darah.
c. Untuk pasien
Diharapkan pasien dengan penelitian ini akan lebih menerapkan pola hidup
sehat dan menghindari obesitas agar tidak terjadinya masalah kesehatan yang
disebabkan obesitas.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang
berdampak buruk terhadap kesehatan (WHO, 2015). Obesitas merupakan
suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan
lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi
bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila
seseorang bertambah berat badannya, maka ukuran sel lemak akan
bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak. Obesitas
merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik
spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan
penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu
keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di
jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Keadaan obesitas
ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi
insulin yang terdiri dari resistensi insulin/hiperinsulinemia, hiperuresemia,
gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi (Sugondo,
2014).
Obesitas timbul sebagai akibat masukan energi yang melebihi
pengeluaran energi. Bila energi dalam jumlah besar (dalam bentuk
makanan) yang masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan,
maka berat badan akan bertambah dan sebagian besar kelebihan energi
tersebut akan di simpan sebagai lemak. Oleh karena itu, kelebihan
adipositas (obesitas) disebabkan masukan energi yang melebihi
pengeluaran energi. Untuk setiap kelebihan energi sebanyak 9,3 kalori
yang masuk ke tubuh, kira-kira 1 gram lemak akan disimpan. Lemak

4
disimpan terutama di aposit pada jaringan subkutan dan pada rongga
intraperitoneal, walaupun hati dan jaringan tubuh lainnya seringkali
menimbun cukup lemak pada orang obesitas. Perkembangan obesitas pada
orang dewasa juga terjadi akibat penambahan jumlah adiposit dan
peningkatan ukurannya. Seseorang dengan obesitas yang ekstrem dapat
memiliki adiposit sebanyak empat kali normal, dan setiap adiposit
memiliki lipid dua kali lebih banyak dari orang yang kurus (Guyton, 2014)
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak
kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk
menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut
disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2014).

2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi obesitas populasi dewasa di seluruh dunia pada tahun
2005 mencapai 400 juta jiwa (WHO, 2011). Prevalensi penduduk laki-laki
dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prrevalensi
obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun
2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%) (Riskesdas, 2013).
Prevalensi nasional obesitas tipe pear shaped (usia >15 tahun) di
Indonesia sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan
prevalensi obesitas tipe apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari
prevalensi pada tahun 2007 (18,8%). Kelompok dengan karakteristik
obesitas tipe apple shaped tertinggi di Indonesia berada dalam rentang
umur 40-54 tahun sebanyak 27,4% (Riskesdas,2013)

2.1.3 Etiologi
Obesitas disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan energi antara
kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang dikeluarkan (WHO, 2014).
Penyebab obesitas sangatlah kompleks. Meskipun gen berperan penting
dalam memprogram kuat mekanisme fisiologis yang mengatur asupan

5
makanan dan metabolisme energi, gaya hidup serta faktor lingkungan
dapat berperan dominan pada banyak orang dengan obesitas. (Guyton,
2014)
2.1.3.1 Genetik
Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan
kelainan satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan
pengeluaran energi serta penyimpanan lemak. Penyebab
monogenik (gen tunggal) dari obesitas adalah mutasi MCR-4,
yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang
ditemukan sejauh ini, defisiensi leptin kongenital, yang
diakibatkan mutasi gen, yang sangat jarang dijumpai dan mutasi
reseptor leptin, yang juga jarang ditemui. Semua bentuk
penyebab monogenik tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil
persentase dari seluruh kasus obesitas. Banyak variasi gen
sepertinya berinterakasi dengan faktor lingkungan untuk
mempengaruhi jumlah dan distribusi lemak (Guyton,2014)
2.1.3.2 Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat
meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh,
sedangkan aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan
pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Sekitar 25
sampai 30 persen energi yang digunakan setiap hari oleh rata-rata
orang ditunjukan untuk aktivitas otot, dan pada seorang pekerja
kasar, sebanyak 60 sampai 70 persen digunakan untuk aktivitas
ini. Pada orang obese, peningkatan aktivitas fisik biasanya akan
meningkatkan pengeluaran energi melebihi asupan makanan,
yang berakibat penurunan berat badan yang bermakna. Karena
aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi
dari tubuh, peningkatan aktivitas fisik sering kali menjadi cara
yang efektif untuk mengurangi simpenan lemak. (Guyton, 2014)

6
2.1.3.3 Perilaku makan
Faktor lain penyebab obesitas adalah perilaku makan yang
tidak baik. Perilaku makan yang tidak baik disebabkan oleh
beberapa sebab, diantaranya adalah karena lingkungan dan
psikologis. Hal ini terbukti dengan meningkatnya prevalensi
obesitas di negara maju. Sebab lain yang menyebabkan perilaku
makan tidak baik adalah psikologis, dimana perilaku makan
agaknya dijadikan sebagai sarana penyaluran stress. Perilaku
makan yang tidak baik pada masa kanak-kanak sehingga terjadi
kelebihan nutrisi juga memiliki kontribusi dalam obesitas, hal ini
didasarkan karena kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang
baru terutama meningkat pada tahun-tahun pertama kehidupan,
dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula
jumlah sel lemak. Oleh karena itu, obesitas pada kanak-kanak
cenderung mengakibatkan obesitas pada dewasanya nanti
(Guyton, 2014).
2.1.3.4 Neurogenik
Telah dibuktikan bahwa lesi di nukleus ventromedial
hipotalamus dapat menyebabkan seekor binatang makan secara
berlebihan dan menjadi obesitas. Orang dengan tumor hipofisis
yang menginvasi hipotalamus seringkali mengalami obesitas yang
progresif. Hal ini memperlihatkan bahwa, obesitas pada manusia
juga dapat timbul akibat kerusakan pada hipotalamus. Dua bagian
hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu
hipotalamus lateral (HL) yang menggerakkan nafsu makan (awal
atau pusat makan) dan hipotalamus ventromedial (HVM) yang
bertugas menintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat
kenyang). Dan hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL
rusak/hancur maka individu menolak untuk makan atau minum,
dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan minum (diberi

7
infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM, maka
seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan. Dibuktikan bahwa
lesi pada hipotalamus bagian ventromedial dapat menyebabkan
seekor binatang makan secara berlebihan dan obesitas, serta terjadi
perubahan yang nyata pada neurotransmiter di hipotalamus berupa
peningkatan oreksigenik seperti NPY dan penurunan pembentukan
zat anoreksigenik seperti leptin dan α-MSH pada hewan obesitas
yang dibatasi makannya (Guyton, 2014) .
2.1.3.5 Faktor obat-obatan
Obat-obatan merupakan sumber penyebab signifikan dari
terjadinya overweight dan obesitas. Obat-obat tersebut diantaranya
adalah golongan steroid, antidiabetik, antihistamin, antihipertensi,
protease inhibitor (Shils, 2006). Penggunaan obat antidiabetes
(insulin, sulfonylurea, thiazolidinepines), glukokortikoid, agen
psikotropik, mood stabilizers (lithium), antidepresan (tricyclics,
monoamine oxidase inibitors, paroxetine, mirtazapine) dapat
menimbulkan penambahan berat badan. Selain itu, Insulin-
secreting tumors juga dapat menimbulkan keinginan makan
berlebihan sehingga menimbulkan obesitas (Fauci, et al., 2009).

2.1.4 Patofisiologi
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran
kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen,
2008). Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu
makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural
dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,
nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan energi
diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu
pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran
energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan

8
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat
di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan
adiposa, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat
pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal
pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang
diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam
peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived
hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan
energi (Sherwood, 2012).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center
di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY)
sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila
kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa
berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus
yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar
penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin
tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).

9
Gambar 3. Patofisiologi Penyimpanan dan Keseimbangan Energi
(Sumber: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. Edisi VIII, 2009).

2.1.5 Diagnosis
Obesitas di ukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) seseorang.
IMT merupakan indeks sederhana dari tinggi dan berat badan yang biasa
digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas
pada orang dewasa. IMT dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Seseorang
dikategorikan kegemukan jika IMT >25 kg/m2 dan obesitas jika IMT>30
kg/m2 (WHO, 2015).
Indeks massa tubuh banyak digunakan di rumah sakit untuk
mengukur status gizi pasien karena IMT dapat memperkirakan ukuran
lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi, tetapi lebih akurat daripada
pengukuran berat badan saja. Di samping itu,pengukuran IMT lebih
banyak dilakukan saat ini karena orang yang kelebihan beratbadan atau
yang gemuk lebih berisiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit
jantung, stroke, hipertensi, osteoarthritis, dan beberapa bentuk penyakit
kanker (Hartono, 2006)

Berat badan (kg)


IMT = Tinggi badan (m2 )

10
Berdasarkan PERKENI (2015), maka pembagian IMT dapat dibagi
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Definisi kategori indeks massa tubuh (IMT)
IMT (kg/m2)
Berat badan kurang (underweight) <18,5
Berat normal 18,5-22,9
Berat berlebih (overweight ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes derajat I 25,0-29,9
Obes derajat II >30
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, 2015.

2.1.6 Penatalaksanaan Obesitas


2.1.6.1 Merubah gaya hidup
Diawali dengan merubah kebiasaan makan. Mengendalikan
kebiasaan ngemil dan makan bukan karena lapar tetapi karena
ingin menikmati makanan dan meningkatkan aktifitas fisik pada
kegiatan sehari-hari. Meluangkan waktu berolahraga secara
teratur sehingga pengeluaran kalori akan meningkat dan jaringan
lemak akan dioksidasi (Sugondo, 2014).
2.1.6.2 Terapi Diet
Mengatur asupan makanan agar tidak mengkonsumsi
makanan dengan jumlah kalori yang berlebih, dapat dilakukan
dengan diet yang terprogram secara benar. Diet rendah kalori dapat
dilakukan dengan mengurangi nasi dan makanan berlemak, serta
mengkonsumsi makanan yang cukup memberikan rasa kenyang
tetapi tidak menggemukkan karena jumlah kalori sedikit, misalnya
dengan menu yang mengandung serat tinggi seperti sayur dan buah
yang tidak terlalu manis (Sugondo, 2014).

11
2.1.6.3 Aktifitas Fisik
Peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen penting
dari program penurunan berat badan, walaupun aktifitas fisik tidak
menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka
waktu enam bulan. Untuk penderita obesitas, terapi harus dimulai
secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara
bertahap. Penderita obesitas dapat memulai aktifitas fisik dengan
berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu
dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan
jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya
selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu (Sugondo,
2014).
2.1.6.4 Terapi perilaku
Untuk mencapai penurunan berat badan dan
mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi
hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktifitas fisik.
Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap
kebiasaan makan dan aktifitas fisik, manajemen stress, stimulus
control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive
restructuring dan dukungan sosial (Sugondo, 2014).
2.1.6.5 Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting
dalam program manajemen berat badan. Sirbutramine dan orlistat
merupakan obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui
untuk penggunaan jangka panjang. Sirbutramine ditambah diet
rendah kalori dan aktifitas fisik efektif menurunkan berat badan
dan mempertahankannya. Orlistat menghambat absorpsi lemak
sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan
penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial
(Sugondo, 2014).

12
2.1.6.6 Pembedahan
Tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk
mengatasi obesitas. Pembedahan dilakukan hanya kepada penderita
obesitas dengan IMT ≥40 atau ≥35 kg/m2 dengan kondisi
komorbid. Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik/ banding
vertical gastric) atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu
intervensi penurunan berat badan dengan resiko operasi yang
rendah (Sugondo, 2014).

2.2 Diabetes Melitus


2.2.1 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. (Perkeni 2015)

2.2.2 Epidemiologi
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di
Indonesia pada tahun 2013 meningkat hampir dua kali lipat
dibandingkan tahun 2007. Proporsi diabetes melitus di Indonesia
sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT) sebesar 29,9% dan
glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%. Proporsi
penduduk di pedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama
dengan penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus meningkat
dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).

2.2.3 Faktor risiko


Faktor resiko diabetes mellitus bisa dikelompokkan menjadi faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, umur,
jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat

13
lahir dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram).
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan
perilaku hidup kurang sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas
abdominal/sentral, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia,
diet tidak sehat/tidak seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) atau Gula Darah Puasa Terganggu (GDP terganggu), dan
merokok. (Infodatin)

2.2.4 Penegakan diagnosis


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

14
Tabel 2.2.KriteriaDiagnosis DM

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam. (B)
Atau

Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

Atau

Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang


terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau


kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang
meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil
pemeriksaanglukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

15
Tabel 2.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes.
HbA1 HbA1c(%) Glukosa darah Glukosa plasma
c (%) puasa (mg/dL) 2 jam setelah
Gluko TTGO (mg/dL)
sa Diabetes >6,5 >126 mg/dL >200 mg/dL
darah Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
uasa Normal <5,7 <100 <140
(mg/d
Glukosa plasma 2 ja
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan
karbohidrat yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti
kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah
beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak
tersediafasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan
untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya

16
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa
darah kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini

Tabel 2.4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan Belum DM
DM pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dl) vena
Darah <90 90-199 ≥200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-125 ≥126
puasa (mg/dl) vena
Darah <90 90-99 ≥100
kapiler
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, 2015

2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes, yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.

17
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
 Gejala yang dialami oleh pasien.
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap
glukosa darah.
 Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
 Riwayat penyakit dan pengobatan.
 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tinggi dan berat badan.
 Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar
tiroid, paru dan jantung
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c. Evaluasi Laboratorium
 HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada
pasien yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki
kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada
pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai
sasaran terapi.
 Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap
penderita yang baru terdiagnosism DMT2 melalui pemeriksaan:
 Profil lipid dan kreatinin serum.
 Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
 Elektrokardiogram.

18
 Foto sinar-X dada
 Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara
komprehensif oleh dokter spesialis mata atau optometris.
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk
mengenali faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi:
inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilamen 10
g, dan Ankle Brachial Index (ABI).

Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan.
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan
bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara
teratur (3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan
total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.

19
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral
dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue):
Sulfonilurea dan Glinid:
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu
sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD):
1. Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DMT2.
2. Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari
Peroxisome Proliferator ActivatedmReceptor Gamma
(PPAR-γ), suatu reseptor inti termasuk di sel otot,
lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada

20
pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada
gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase
Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi
glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR
≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi golongan penghambat SGLT-2
merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1) Insulin
2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

21
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1
merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM.
Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi
baik secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam
bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai,
sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada
pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan. Kombinasi
obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa

22
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan. (Perkeni, 2015)

2.3 Hubungan obesitas dengan diabetes melitus


Diabetes melitus tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi
insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi
oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek
metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai resistensi
insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan
merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi.
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metablisme glukosa
biasanya terjadi secara bertahap. Yang dimulai dengan peningkatan berat
badan dan obesitas. Akan tetapi, mekanisme yang menghubungkan obesitas
dengan resistensi insulin masih belum pasti. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jumlah reseptor insulin di otot rangka, hati, dan jaringan
adiposa pada orang obese lebih sedikit daripada jumlah reseptor pada orang
yang kurus. Namun kebanyakan resistensi insulin agaknya disebabkan
kelainan jalur sinyal yang menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan
berbagai efek selular. Gangguan sinyal insulin agaknya disebabkan efek
toksik dan akumulasi lipid di jaringan seperti otot rangka dan hati akibat
kelebihan berat badan. (Guyton,2014)

23
2.4 Kerangka teori

Obesitas Kelainan jalur Respon sel


sinyal insulin terhadap insulin

Reseptor
insulin
Resistensi insulin

Glukosa dalam darah tidak Kadar glukosa darah


masuk ke dalam sel

24
2.5 Kerangka konsep
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kolerasi antara obesitas
dengan prediabetes dengan mengambil darah vena untuk mengetahui kadar
glukosa darah puasa dan sewaktu.

Pemeriksaan IMT

Non Obesitas
obesitas

TTGO

GDP GD 2jam pp

GDPT TGT

100-125 (mg/dL) 140-199 (mg/dL)

Prediabetes

2.6 Hipotesis
Obesitas dapat menyebabkan terganggunya absorbsi glukosa ke dalam
sel sehingga terjadi peningkatan glukosa berlebih di dalam darah yang disebut
dengan diabetes. Pemeriksaan diabetes dapat dilakukan dengan mengambil
darah vena atau perifer kemudian dilakukan penilaian kadar glukosa darah.

25
2.7 Definisi Operasional
Tabel 2.5. Definisi Oprasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1. Obesitas suatu penyakit Berat badan (kg) Berat badan kurang Ordinal
multifaktorial, yang dibagi tinggi
(underweight) : <18,5
terjadi akibat badan kuadrat
akumulasi jaringan (cm)2 Berat normal : 18,5-
lemak berlebihan,
22,9
sehingga dapat
mengganggu Berat berlebih
kesehatan
(overweight) : ≥23,0
Dengan risiko : 23,0-
24,9
Obes derajat I : 25,0-
29,9
Obes derajat II : >30

2. Diabetes Suatu kumpulan gejala Memeriksa gula Diabetes :


melitus yang timbul pada darah pasien yang
- Glukosa darah puasa
seseorang yang masuk kedalam
disebabkan oleh kategori obesitas (mg/dL) : >126 mg/dL
karena adanya
- Glukosa plasma 2 jam
peningkatan kadar
glukosa darah akibat setelah TTGO (mg/dL) :
penurunan sekresi
>200 mg/dL
insulin yang progresif
Prediabetes :
- Glukosa darah puasa
(mg/dL) : 100-125
- Glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO (mg/dL) :
140-199
Normal :
- Glukosa darah puasa
(mg/dL) : <1
- Glukosa plasma 2
jam setelah TTGO
(mg/dL) : <140

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini berdasarkan cara pengumpulan data dan merupakan
penelitian observasional dengan melakukan pengamatan atas perilaku objek dan
bersifat partisipatif dan non partisipatif. Berdasarkan skala pengukuran variabel,
penelitian ini termasuk penelitian dekskriptif kategorik.

3.2 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan
mengolah data primer.

3.3 Populasi
Pelaksanaan suatu penelitian selalu berhadapan dengan objek yang diteliti.
Keseluruhan objek yang diteliti disebut populasi penelitian (Notoatmodjo,
2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan obesitas yang menjalani
pemeriksaan kadar gula darah, berat badan, dan tinggi badan di Rumah Sakit
Sumber Waras.

3.4 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel penelitian ini
adalah karyawan obesitas di Rumah Sakit Sumber Waras.
a) Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah anggota populasi dewasa dengan
Indeks Massa Tubuh melebihi 25,0

27
b) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak 
 dapat

diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).


Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah anggota populasi yang tidak
bersedia melakukan pemeriksaan darah

3.5 Cara Penetapan Sampel


Penetapan sampel pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel
menggunakan non probability sampling dengan teknik accidental sampling.
Pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling dilakukan
dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di
suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. Pemilihan sampel dengan
pertimbangan kemudahan peneliti dalam memilih sampel. Sampel diambil sesuai
dengan keinginan peneliti tanpa sistematika tertentu.

3.6 Penetapan Besar Sampel


Penghitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini
menggunakan total sampling yaitu dengan memasukkan seluruh data primer dari
Rumah Sakit Sumber Waras

3.7 Jenis Data


Jenis data yang digunakan merupakan data kuantitatif dengan pengambilan
data dengan menggunakan data primer

3.8 Cara Pengambilan dan Pengukuran Data


1) Sebelum melakukan penelitian peneliti melakuakan permohonan izin kepada
pihak Rumah sakit
2) Selanjutnya dilakukan pengumpulan data hasil pemeriksaan karyawan dengan
obesitas yang melakukan pemeriksaan gula darah serta berat badan dan tinggi
badan, dilakukan perhitungan Indeks Massa Tubuh.

28
3) Kemudian peneliti akan mengelola dan menganalisis data.
4) Setelah seluruh data terkumpul, data akan diolah dengan menggunakan
software SPP Statistics Desktop.

3.9 Instrumen Pengumpulan Data


Data Laboratorium yang terdiri dari gula darah puasa dan gula darah 2jam
pp. Data antropometri yang terdiri dari berat badan dan tinggi badan.

3.10 Analisis Data


Analisis data dengan menghitung jumlah karyawan yang terdiagnosis
Prediabetes pada pasien obesitas menggunakan microsoft excel atau spss.

3.11 Alur Penelitian

Menentukan topik Menentukan judul Pelaksanaan


penelitian penelitian bimbingan proposal

Pengolahan dan Melakukan


Ujian proposal
analisis data pengumpulan data

Penyerahan laporan
Ujian hasil penelitian Melakukan revisi penelitian dan
manuskrip publikasi

Gambar 3.1. Alur Penelitian

29
3.12 Jadwal Penelitian

Tabel 3.1. Jadwal Penelitian

2015 2016
Kegiatan Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Penyusunan

Proposal

Ujian

Proposal

Revisi

Proposal

Pengumpulan

Data

Pengolahan

dan Analisis

Data

Penyusunan

Laporan

Skripsi

Ujian Skripsi

Revisi Skripsi

30
31

Anda mungkin juga menyukai