Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

DISFONIA

Disusun oleh :
Nadia Dwi Putri
1102014185

Pembimbing :
dr.Yosita Rachman,Sp.THT-KL
dr,Yohanes Yan Runtung,Sp.THT –KL
dr.Chippy Ahwil, Sp.THT-KL
dr.Esyandi,Sp.THT-KL
dr,Farissa Rizky,Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN DEPARTEMEN ILMU THT
RS.BHAYANGKARA TINGKAT I R.SAID SUKANTO
MEI-JUNI 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa saya peulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya lah penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Disfonia”. Penulisan referat ini dimaksudkan untuk memenuhi
tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian THT di RS Bhayangkara TK
I R. Said Soekanto.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada para pembimbing
yang telah memberikan arahan serta bimbingan dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
penulisan referat ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga
referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Juni 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................1


Daftar Isi .................................................................................................................2
Daftar Gambar ........................................................................................................3
Daftar Tabel ............................................................................................................3
Bab I. Pendahuluan .................................................................................................4
Bab II. Pembahasan ................................................................................................5
II.1. Definisi ............................................................................................................5
II.2. Anatomi Laring ...............................................................................................5
II.3. Fisiologi Laring ...............................................................................................9
II.4 Etiologi dan Patofisiologi Disfonia.................................................................12
II.5. Diagnosis Disfonia ........................................................................................14
II.6. Diagnosis Banding Disfonia ..........................................................................18
II.7 Tatalaksana Disfonia ......................................................................................20
Bab III. Kesimpulan ..............................................................................................24
Daftar Pustaka……………………………………………….........……………...25

2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ..........................................................................................................9
Gambar 2 ..........................................................................................................9
Gambar 3 ........................................................................................................16
Gambar 4 ........................................................................................................17

DAFTAR TABEL
Tabel 1 .............................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

Disfonia bukanlah suatu penyakit melainkan gejala kelainan pada laring yang
dapat disebabkan oleh perubahan patologis dari proses infeksi dan inflamasi,
kondisi neuromuskuler dan kejiwaan, gangguan sistemik, dan neoplasma.
Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara terdengar
kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari baisanya, suara lemah
(hipofonia), hilang suara (Afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara
terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau
ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesa mendetail untuk mengetahui kualitas
vokal pasien yang terganggu, onset, dan progresifitas penyakit. Riwayat pekerjaan
sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi yang
berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat penyakit
sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk diselidiki.
Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk menilai
gangguan baik secara struktural dan fungsional..
Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan diagnosis
yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara yang
benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan diutamakan
pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara. Intervensi
bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi suara
untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Gangguan suara atau suara serak (disfonia) didefinisikan sebagai gangguan yang
ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan atau usaha vokal
yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas hidup yang berhubungan
dengan penggunaan suara. Disfonia bukanlah suatu penyakit melainkan gejala
kelainan pada laring yang dapat disebabkan oleh perubahan patologis dari proses
infeksi dan inflamasi, kondisi neuromuskuler dan kejiwaan, gangguan sistemik,
dan neoplasma. 1,3
Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau yaitu suara terdengar
kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari baisanya, suara lemah
(hipofonia), hilang suara (Afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara
terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau
ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.4

II.2. Anatomi Laring


Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas, dengan bentuk
menyerupai limas segitiga terpancung , dengan bagian atas lebih besar daripada
bagian bawah.Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya
ialah batas kaudal kartilago krikoid. 1
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U , yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah , mandibula dan tengkorak oleh
tendo dan otot otot.Sewaktu menelan , kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan
laring tertarik ke atas,sedangkan bila laring diam , maka otot otot ini bekerja
untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.Tulang rawan yang
menyusun laring adalah kartilago epiglotis,kartilago tiroid,kartilago krikoid ,
kartilago aritenoid , kartilago kornikulata,kartilago kuneiformis dan kartilago
tritisea.1

5
Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum
krikotiroid .Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran.Terdapat dua buah
kartilago aritenoid yang terletak dengan permukaan belakang laring, dan
membentuk sendi dengan kartilago krikoid , diebut artikulasi krikoaritenoid.
Sepasang kartilago kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di daerah
apeks,sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan
ariepiglotik dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.
Pada laring terdapat dua buah sendi yaitu artikulasi krkotiroid dan artikulasi
krikoarotenoid.1
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid
(anterior,lateral dan posterior) , ligamentum krikotiroid medial,ligamentum
krikotiroid posterior,ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid medial,
ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,ligamentum vokale yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum
tiroepiglotika.1Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik
dan otot-otot intrinsik.Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan,sedangkan otot otot intrinsik menyebabkan gerak bagian bagian
laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara.
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hioid (suprahioid) dan
ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid) . Otot otot ekstrinsik yang
suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m. stilohioid, dan m.milohioid.Otot
yang infrahioid ialah m.sternohioid,m.omohioid,dan m.tirohioid. Otot-otot
ekstrinsik laring pada suprahioid berfungsi untuk menarik laring kearah
bawah,sedangkan otot yang terletak pada infrahioid berfungsi untuk menarik
laring ke atas.1
Otot-otot intrinsik laring ialah m,krikoaritenoid lateral , m.tiroepiglotika ,
m.vokalis, m.tiroaritenoid, m .ariepiglotika dan m.krikotiroid.Otot-otot ini terletak
pada bagian lateral laring.Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian
posterior , ialah m.aritenoid trasversum,m.aritenoid oblik, dan m.krikoaritenoid
posterior.1

6
Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan
mendekatkan kedua pita suara ke bagian tengah ) kecuali m.lrikoaritenoid
posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksi otot tersebut akan menjauhkan
kedua pita suara ke arah lateral)1

II.2.1 Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang saraf vagus yaitu saraf Laringeal Superior dan
saraf Laringeal Inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laringeal superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Nervus laringeal
inferior merupakan lanjutan dari saraf rekuren setelah bercabang. Nervus rekuren
5
merupakan cabang dari n.vagus. (Nn. Laringeal Rekuren) kiri dan kanan.
1. Nn. Laringeal Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke
depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian
akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna  bersifat sensoris, mempersarafi
vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas
pita suara sejati. Cabang Eksterna  bersifat motoris, mempersarafi m.
Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.
2. Nn. Laringeal Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeal yang kiri mempunyai
perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan
berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea
dan memberikan persarafan : sensoris  mempersarafi daerah subglotis dan
bagian atas trakea, Motoris  mempersarafi semua otot laring kecuali M.
Krikotiroidea Vaskularisasi

7
II.2.2 Perdarahan Laring
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeal Superior dan Inferior. 9
1. Arteri Laringeal Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeal Superior menembus
membrana thyrohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar
sinus pyriformis.
2. Arteri Laringeal Inferior
Berjalan bersama N. Laringeal Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor
Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeal
Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
Darah vena dialirkan melalui V. Laringeal Superior dan Inferior ke V. Tiroidea
Superior dan Inferior yang kemudian akan bersatu pada V. Jugularis Interna.

II.2.3 Sistem Limfatik


5,9
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar
limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan
middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.

8
Gambar 1 dan 2. Anatomi Laring

II.3. Fisiologi Laring


Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya.1,9
1. Fungsi fonasi
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan
danadanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring
diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring
serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-
paru, trakea, faring, dan hidung.
Terdapat dua teori mengenai pembentukan suara yaitu :
 Teori Myoelastik – Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot
laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi)
dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot
pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan
tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya
melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan

9
membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian
posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama
kali pula kontak kembali pada akhir siklus glotal. Setelah terjadi pelepasan
udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis
akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika
vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah
akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan
negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke
posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat
dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
 Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari
getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat
melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini
jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya /
frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri
menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi
pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral)

2. Fungsi respiratori
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesa
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi
oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan

menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring


mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan

laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam

mengontrol posisi pita suara.

10
3. Fungsi proteksi
Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke dalam
trakea dengan adanya refleks dari otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga
rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak
akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut
afferen N. Laringeal Superior sehingga sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral
menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

4. Fungsi lainnya
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu : pada waktu menelan faring bagian
bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M.
Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan
kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan
faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau
minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan
orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih
datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga
makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan
masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
Fungsi sirkulasi  Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan
penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada
venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat
menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat
karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini
adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N.

11
Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan
denyut jantung.

II.3 . Etiologi dan Patofisiologi Disfonia


Faktor penyebab suara serak sangat banyak (Tabel 1). Hilangnya suara secara
total dengan onset tiba-tiba disebut aphonia, yang lebih mungkin disebabkan oleh
kelainan neurologis atau psikogenik daripada lesi organik. Lesi dari pita suara
(vocal folds) lebih sering menghasilkan gejala vokal dengan onset bertahap, sering
dimulai sebentar-sebentar dan kemudian menjadi konstan dan kadang-kadang
memburuk seiring berjalannya waktu. Pasien mungkin mengalami kesulitan
memproyeksikan suara mereka karena adanya lesi pada pita suara atau
kelumpuhan yang mengganggu penutupan glotis. Pada pasien dengan
pemeriksaan laring yang normal, kesulitan meningkatkan intensitas suara
mungkin juga mencerminkan dorongan aliran pernapasan yang tidak memadai
karena penyakit utama pada paru-paru, gangguan neurologis, atau teknik yang
tidak sesuai. Produksi suara yang jelas membutuhkan koordinasi antara respirasi,
fonasi, dan artikulasi. Teknik yang tidak tepat (misalnya, berbicara sambil
menahan nafas atau dengan regangan otot yang berlebihan di daerah leher) dapat
mengakibatkan disfonia. Selain itu, gangguan pencernaan adalah penyebab umum
dari keluhan gangguan suara. Tanda laryngotracheal reflux yaitu suara serak yang
lebih buruk pada waktu bangun di pagi hari dan berhubungan dengan peningkatan
dahak, heartburn, dan seringnya membersihkan tenggorokan.6

Tabel 1. Singkatan untuk etiologi disfonia: VINDICATE


Vaskular (thoracic aneurysm)
Inflamasi
Neoplasma ( kanker laring dan kanker hilum kiri pada paru)
Degeneratif (amyotrophic lateral sclerosis)
Intoksikasi (merokok, alkohol)

12
Congenital (laryngeal web)
Alergi (angioedema)
Trauma dan operasi kelenjar tiroid
Endokrin (reidel’struma)

Gejala vokal (yaitu, kelelahan, penurunan artikulasi, atau hypernasality) dapat


merupakan indikasi dari gangguan neurologis. Secara umum, hypernasality sering
disebabkan oleh etiologi neurologis. Hypernasality iatrogenik dapat terjadi setelah
prosedur bedah yang menciptakan pembukaan antara rongga mulut dan hidung
atau mengganggu persarafan neurologis. Pola perkembangan gejala mungkin
menunjukkan peristiwa neurologis statis seperti sebagai kecelakaan
serebrovaskular, penurunan progresif seperti pada penyakit neuromuskular, atau
kesulitan intermiten, yang mungkin bisa konsisten dengan gangguan seperti
multiple sclerosis atau myasthenia gravis.6
Ketidakseimbangan hormon mempengaruhi produksi vokal dengan menyebabkan
akumulasi cairan di lapisan superfisial dari lamina propria, yang mengubah
kemampuan getaran. Pasien dengan hipotiroidisme dapat hadir dengan suara
bernada rendah yang abnormal. Pasien wanita mungkin mengalami gangguan
vokal sementara ketika menjelang menstruasi, yang mungkin berhubungan
dengan beban cairan (fluid loading). Peningkatan massa menyebabkan pita suara
bergetar lebih lambat sehingga menghasilkan nada rendah. Peningkatan
penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) selama menstruasi juga
dapat mempengaruhi pasien untuk mengalami perdarahan akut pita suara. Periode
pertumbuhan pubertas mempengaruhi baik laki-laki dan perempuan, sehingga
tingkat lapangan produksi suara lebih rendah. Perubahan hormonal yang dialami
selama menopause juga dapat menghasilkan penurunan dalam frekuensi dasar.1
Kondisi medis kronis juga dapat mempengaruhi suara. Pasien yang mengalami
penurunan kesehatan fisik akibat penyakit jantung atau penyakit utama lainnya
mungkin tidak memiliki dukungan paru yang cukup untuk mempertahankan dan
memproyeksikan suara mereka. Tergantung pada etiologi yang mendasari, gejala
mungkin dapat diperbaiki dengan latihan. Selain itu, arthritis dapat mempengaruhi

13
sendi krikoaritenoid, yang mengakibatkan rasa sakit saat berbicara, suara serak,
dan variasi nada (pitch) terbatas.
Saluran vokal membutuhkan pelumasan yang baik. Setiap agen yang
mengeringkan lapisan mukosa mungkin mengganggu produksi vokal yang normal.
Kekeringan ini akan menyebabkan sekret menjadi lebih kental, membuat sekret
menempel dan memberikan sensasi pada pasien untuk perlu membersihkan
tenggorokan. Beberapa obat dan zat dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir
saluran vokal.
Gangguan psikologis sering tercermin dalam suara dan mungkin menjadi
penyebab utama dari gangguan suara. Sebagai contoh, suara pasien depresi
biasanya berkurang dalam kenyaringan. Stres juga memainkan peranan penting.
Kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup sehari-hari dapat memicu atau
mengabadikan gangguan suara yang ada. Secara umum, stres tampaknya
memperburuk semua masalah tetapi seharusnya tidak akan overgeneralized
sebagai penyebab yang mendasari.6

II.4 Diagnosis Disfonia


Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis, dan
perilaku yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian
dimulai dengan deskripsi dari suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial.
Visualisasi laring diperlukan untuk menentukan status dari pita suara. Secara
umum, pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali suara serak berlangsung
lama lebih dari 2 minggu. Pada kasus-kasus khusus, prosedur diagnostik yang
lebih canggih dapat diindikasikan.
Kualitas vokal dapat dideskripsikan menggunakan berbagai istilah subjektif
termasuk serak, parau , keras, atau desah.. Namun, tidak ada dari seluruh istilah
ini merupakan diagnostik. Sebaliknya, tingkat keparahan disfonia dapat dinilai
dengan mengamati abnormalitas pada pitch, kenyaringan, atau fluktuasi dalam
kualitas vokal.1,6

14
1. Anamnesa

Evaluasi pasien dengan disfonia dimulai dengan anamnesa yang cermat.


Anamnesa yang rinci sangat membantu untuk menggambarkan secara spesifik
karakteristik suara dan faktor sosial dan medis yang berkontribusi. Hampir setiap
sistem tubuh dapat menyebabkan keluhan suara; karena itu, anamnesa harus
menyelidiki seluruh bidang. Persepsi pasien mengenai suara serak sebagai
perubahan dalam kualitas suara mungkin sama sekali berbeda dari pemahaman
dokter mengenai gejala tersebut. Minta pasien untuk menggambarkan perubahan
kualitas suara sespesifik mungkin, karena kualitas vokal mungkin menunjukkan
etiologi spesifik. Pastikan onset, durasi, dan waktu perubahan suara, serta apakah
ada fluktuasi vokal dan kelelahan suara. Gejala akut lebih mungkin terkait dengan
penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau cedera akut.Tanyakan pasien
tentang pola pengunaan suara dan permintaan vokal dalam pekerjaan dan
lingkungan. Pasien dapat menggunakan suara mereka cukup berbeda di tempat
kerja dibandingkan dengan ketika bersosialisasi atau berada di rumah. Berbicara
lebih dari kebisingan latar belakang yang berlangsung dalam waktu lama, bekerja
atau merawat anak-anak muda, bersorak di acara olahraga, atau bernyanyi tanpa
menggunakan teknik yang optimal dapat menyebabkan gangguan suara
hiperfungsiona . Menanyakan informasi mengenai segala obat atau zat yang dapat
berkontribusi untuk pengeringan selaput lendir saluran vokal adalah penting. Zat-
zat ini termasuk antihistamin, diuretik, obat psikotropika, tembakau, produk yang
mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat), alkohol, dan dosis tinggi
vitamin C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal (NSAID) seperti ibuprofen
atau aspirin dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita suara karena sifat
antikoagulan dari agen ini.Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama
lebih dari dua minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas,
memerlukan evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk
mempersempit diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat
penggunaan tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah
kanker kepala dan leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala

15
yang muncul.Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit
menelan, batuk atau sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa
asam di mulut di pagi hari; penyakit sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau
sinusitis kronis). Pasien juga harus ditanya tentang riwayat operasi di kepala dan
leher sebelumnya atau operasi lain yang membutuhkan intubasi.1,6

2. Pemeriksaan Klinik

Pemeriksaan klinik pada pasien dengan disfonia meliputi pemeriksaan umum


(status generalisata) dan pemeriksaan THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorok).
Pemeriksaan fisik dilakukan secara teliti dengan perhatian khusus pada bagian
kepala dan leher, dilanjutkan dengan penilaian ketajaman pendengaran, mukosa
saluran napas atas, mobilitas lidah dan fungsi saraf kranial. Jika kecurigaan klinis
tinggi, pasien juga harus diperiksa untuk tanda-tanda penyakit sistemik seperti
hipotiroidisme, atau disfungsi neurologis, seperti tremor, penyakit Parkinson atau
multiple sclerosis.1,6

3. Pemeriksaan Penunjang

A. Visualisasi laring
Visualisasi laring memungkinkan penilaian pita suara dan melihat apakah terdapat
lesi, atau eritema, atau edema mukosa, serta gerakan abnormal yang mungkin
menunjukkan masalah sistemik yang mendasari.6
 Laringoskopi tidak langsung (indirek)
Visualisasi laring dapat dilakukan melalui pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung dengan menggunakan kaca laring.

Gambar 3. Laringoskopi Indirek

16
 Laringoskopi langsung (direk)
Apabila diperlukan visualisasi yang lebih detail, pencahayaan, dan
pembesaran, dapat dilakukan laringoskopi langsung dengan menggunakan
teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optik (fiberoptic
telescope atau nasofaringoskopi fleksibel) atau mikroskop
(mikrolaringoskopi). Pada laringoskopi langsung dapat juga dilakukan biopsi
tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila diperlukan tindakan
(manipulasi) bagian tertentu pada laring seperti aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik. Pengunaan teleskop ini
dapat dihubungkan dengan alat video (video-laringoskopi) sehingga akan
memberikan visualisasi laring yang lebih jelas baik dalam keadaan diam
(statis) maupun pada saat bergerak (dinamis) .6

Gambar 4 dan 5 .Laringoskopi Direk dengan teleskop laring dan serat optik

 Video-stroboskopi (Strobovideolaryngoscopy)
Pita suara biasanya bergetar selama berbicara, bernyanyi atau bersenandung
pada tingkat 80 sampai 400 kali per detik. Getaran ini terlalu cepat untuk
dapat dilihat dengan mata telanjang, karena itu, tidak dapat sepenuhnya
dievaluasi dengan laringoskopi tidak langsung (kaca laring).Visualisasi laring
dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan video-

17
stroboskopi dimana gerakan pita suara dapat diperlambat (slowmotion)
sehingga dapat dilihat getaran (vibrasi) pita suara dan gelombang mukosanya
(mucosal wave). Video-stroboskopi dilakukan dengan menggunakan teleskop
yang kaku dengan sudut 700 atau nasofaringoskopi fleksibel. Video-
stroboskopi ini penting terutama dalam mengevaluasi kasus lesi halus yang
mempengaruhi getaran pita suara. Mode ini memungkinkan untuk penemuan
lesi kecil seperti bekas luka pada pita suara, perdarahan, kista intracordal,
atau invasi epitelial pada awal karsinoma glotis.
 Pemeriksaan penunjang lainnya
Ketika imobilitas pita suara terdeteksi, diferensial diagnosis termasuk cedera
denervasi atau fiksasi krikoaritenoid. Ketika dilakukan dalam 6 bulan dari
cedera, elektromiografi (EMG) mungkin dapat menjelaskan etiologi: cedera
denervasi biasanya menunjukkan tanda-tanda denervasi pada EMG, dan
fiksasi krikoaritenoid menunjukkan aktivitas listrik normal.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan meliputi pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, mikrobiologi dan patologi anatomi.

II.5 Diagnosis Banding Disfonia


Penyebab suara parau dapat bermacam-macam, diantaranya : 7
1. Kelainan kongenital
a. Laringomalasia merupakan penyebab tersering suara serak saat bernafas pada
bayi baru lahir
b. Laryngeal web merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian
menutup jalan udara. 75 % selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi selaput
ini juga dapatterletak diatas atau dibawah pita suara.
c. Cri du chat syndrome dan Down syndrome merupakan suatu kelainan genetic
pada bayi saat lahir bermanifestasi klinis berupa suara serak atau stridor saat
bernafas.
d. Paralisis pita suara bisa terjadi pada saat lahir, baik satu atau kedua pita suara.
e.Tumor pada rongga dada (mediastinum) atau trauma saat lahir dapat
menyebabkan kerusakan saraf pada laring yang mempersarafi pita suara.

18
2. Infeksi
a. Infeksi virus merupakan infeksi yang paling banyak menyebabkan suara serak.
virus penyebab yang paling sering adalah rinovirus (common cold), adenovirus,
influenzavirus.
b. Infeksi bakteri seperti epiglottitis bacterial oleh Haemophilus influenza type B
merupakan salah satu penyebab tersering. Penyebab lain Streptococcus
pneumonia,Staphylococcus aureus.
c.Infeksi jamur seperti candida pada mulut dan tenggorok, ini merupakan
komplikasi yangdapat terjadi pada anak atau orang dewasa dengan imunosupresi
(HIV, kemoterapi, dll).
3. Inflamasi
Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat diakibatkan
oleh iritasi daninflamasi yang kronis pada pita suara yang sering terjadi pada
perokok, terpapar racun darilingkungan, dan penyalahgunaan suara.
a. Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada hubungan
denganpenyalahgunaan suara. Nodul ini timbul bilateral, lembut, lesinya bulat
terletak pada sepertiga anterior dan dua pertiga posterior dari pita suara.
b. Polip lebih sering didapatkan pada laki-laki dan sangat kuat hubungannya
dengan rokok,polip berupa massa lembut, bisa tunggal ataupun multiple, dan
paling sering unilateral.
c.Kista laryngeal biasanya berupa sumbatan kelenjar mucus atau kista inklusi
epitel danakan menyebabkan perubahan suara jika terdapat atau dekat dengan tepi
bebas pita.
d. Gastroesophageal reflux disease.
4. Neoplasma
a. Papilloma merupakan tumor jinak yang sering didapatkan pada saluran
pernafasan.
b. Hemangioma merupakan tumor jinak pembuluh darah
c.Limphagioma merupakan tumor pembuluh limfa, sering timbul di daerah
kepala, leher.
d. Tumor ganas misalnya karsinoma laring.

19
5. Trauma
a. Endotracheal intubation
b. Fraktur pada laring
c. Benda asing
6. Sistemik
a. Endokrin : hypothyroidisme, acromegaly
b. Rheumatoid arthritis berdampak pada kaitan antar sendi pada laring.
7. Penyakit Granulomatous contoh sarcoid, syphilis, TBC.

II.6 Tatalaksana Disfonia


Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan diagnosis
yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut.
Diagnosis disfonia berupa anamnesis, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaan
penunjang. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan
bicara serta tindakan operatif.1,10
 Peranan Terapi Suara
Kebanyakan gangguan suara memiliki etiologi multifaktorial yang terkait
dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak memadai,
penyalahgunaan vokal,dan / atau vokal kronis yang berfungsi berlebihan.
Nodul pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak ; adapun
kombinasi paparan iritasi dan penyalahgunaan merupakan penyebab
lebih sering. Rehabilitasi diarahkan untuk membangun keseluruhan
kebersihan vokal dan mendidik pasien tentang konservasi vokal.
Komponen utama dari terapi suara melibatkan tentang edukasi pasien
tentang anatomi dasar dan fisiologi mekanisme produksi vokal. Pasien
harus memahami hubungan antara gangguan suara yang spesifik dan
faktor penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan regimen
terapi.10
 Konservasi Vokal
Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi berlebihan
harus dinasehati mengenai metode-metode konservasi vokal.

20
Mengistirahatkan suaranya jarang diperlukan kecuali dalam kasus-kasus
perdarahan pita suara akut. Sedangkan istirahat vokal memungkinkan
perbaikan pembengkakan jaringan ,namun perbaikan suara bersifat
sementara dan disfonia dapat kembali sampai perilaku vokal lebih tepat
dipelajari. Konservasi vokal adalah metode yang lebih praktis dan realistis
mengurangi penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan
penyalahgunaan vokal perilaku. Mengurangi sumber yang jelas dari
penyalahgunaan vokal (misalnya, berteriak dan menjerit) hanya bagian
dari program. pembersihan tenggorokan berulang seperti berdeham adalah
iritan plika vokalis dan harus dihindari.Metode konservasi vokal bersifat
individu dengan gaya hidup spesifik pasien. Berbicara melebihi latar
belakang suara harus dihindari (imsalnya, musik di mobil atau televisi)
adalah sumber umum dari contoh yang tak perlu. Dalam beberapa kasus,
suara kerja tidak dapat dihindari, namun pasien dapat mengambil manfaat
dari menggunakan ‘ amplifier’ misalkan pada guru sekolah yang harus
mengeluarkan suara mereka untuk mendapatkan perhatian para siswa
muda mereka dapat menggunakan peluit untuk mencapai tujuan yang
sama.1,10
 Terapi Perilaku Suara
Terapi perilaku suara juga dapat diindikasikan untuk meningkatkan aspek
teknis penggunaan suara. Terapi perilaku mencakup dukungan napas
perut, penggunaan level intensitas ‘pitch’ yang tepat, memperbaiki
kalimat, dan teknik khusus lainnya.
Umpan balik sangat penting untuk proses terapi untuk memberikan pasien
kemampuan untuk membedakan antara target perilaku vokal dan perilaku
yang tidak tepat. Auditori, visual, sensorik, dan isyarat kinestetik semua
digunakan untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk memantau suara
dalam sesi latihan. Mesin ‘biofeedback’ yang canggih juga tersedia untuk
menyediakan tampilan visual mewakili sinyal vokal. Tergantung pada
dasar etiologi dan keparahan dari gangguan suara, terapi mungkin
memerlukan minggu ke bulan. 1,10

21
 Intervensi Medis
Indikasi untuk penggunaan antibiotik dan / atau antihista-dekongestan
pada pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan
rinosinusitis bersamaan atau laryngotrakeitis bakterial, yang dapat
menyebabkan atau komplikasi suara serak pasien. Kortikosteroid harus
digunakan konservatif dan hanya pada pasien yang memiliki yang penting
kepentingan berbicara atau bernyanyi dan yang tidak memiliki
kecenderungan untuk penyalahgunaan vokal kronis.
Kortikosteroid dengan mengurangi edema pada tingkat glotik sehingga
mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang
sepatutnya adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara
serak pasien dan untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak.
Kortikosteroid harus diresepkan untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di
samping konservasi suara. Biasanya, pasien diberitahu untuk
menggunakan suara mereka hanya untuk panggilan suara mereka selama
periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan sebelum pertunjukan
harus menekankan kepada penyanyi.1,10
 Intervensi Bedah
Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien.
Pasien dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki
riwayat penyalahgunaan vokal yang harus diatasi. Penghilangan lesi tanpa
mengatasi penyalahgunaan vokal dapat menyebabkan kekambuhan dalam
1 tahun eksisi. Pada pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi
suara harus dimulai sebelum operasi untuk meminimalkan
penyalahgunaan vokal dantrauma sekunder pada periode pasca operasi.
Teknik phonosurgikal untuk menghilangkan lesi jinak fokus pada
pelestarian mukosa yang normal sementara menghapus daerah yang
terkena saja. Pasien dengan paralisis pita suara dan disfonia yang tidak
membaik selama 3 bulan dan menunjukkan tanda-tanda prognostic miskin
pada mungkin ‘reinnervation’ pada EMG (yaitu fibrillation potentials or
absent activity ) adalah kandidat untuk medialization laryngoplasty

22
(thyroplasty tipe I). Injeksi pita suara dengan lemak, kolagen, atau polytef
tergantung pada preferensi ahli bedah dan pengalaman. Namun, injeksi
polytef kurang dimanfaatkan oleh sebagian laryngologists karena
kesempatan meningkat untuk Granuloman dan distorsi permanen integritas
struktur pita suara. 1,10

23
BAB III
KESIMPULAN

Disfonia merupakan suatu gejala dan bukan penyakit. Manifestasi gangguan


kualitas suara pada disfonia dapat bervariasi seperti desahan, parau, tegang,
tercekik, tebal, nada menjadi tinggi atau rendah, tergantung struktur anatomis
yang terganggu dan patofisiologi produksi suara yang disebabkan penyakit yang
mendasari disfonia.
Etiologi disfonia bervariasi seperti neoplasma jinak, neoplasma ganas, trauma,
peradangan/infeksi, gangguan saraf, gangguan psikologis/fungsional. Lesi jinak
pada laring yang paling sering ditemukan adalah radang (laringitis), polip, kista,
granuloma, laryngocele, dan papiloma. Lesi ganas yang paling sering ditemukan
adalah KSS.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesa mendetail untuk mengetahui kualitas
vokal pasien yang terganggu, onset, dan progresifitas penyakit. Riwayat pekerjaan
sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi yang
berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat penyakit
sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk diselidiki.
Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk menilai
gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara yang
benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan diutamakan
pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara. Intervensi
bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi suara
untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi.

24
DAFTAR PUSTAKA
1. Hermani B, Hutauruk Syahrial. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-7. 2017. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 207-212.
2. Hermani B,.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. Edisi ke-7. 2017. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 171-
175.
3. Asyari , A., Novialdi, Fitri, F., & Azizah, N. (2017). Disfonia akibat polip
pita suara. Majalah Kedokteran Andalas , 40 (1), 52-63.
4. Gusmarina, A., Novialdi, & Hardisman. (2017). Karakteristik Pasien
Disfonia di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok–Bedah Kepala Leher
RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2010-2013 . Jurnal Kesehatan
Andalas , 6 (1), 93-99.
5. Snell, R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed ke-6. Jakarta:
EGC; 2006.
6. Lundy SD, Casiano RR. Diagnosis and Management of Hoarseness. 1999.
[dikutip 2011 Desember 25]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf/hp_oct99_hoarse.pdf.
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Voice disorders. In :Basic
otorhinolaryngology, a step by step learning guide. Thieme; 2006. p.385-
95. 

8. Rosen A.C, Simpson B.C. Anatomy and physiology of the larynx. In:
rosen A.C, Simpson B.C editors. Operative techniques in laryngology:
California. Springer; 2008. p.3-8. 

9. Sulica L. Voice: anatomy, physiology, and clinical evaluation. In: Johnson
Jonas T, Rosen Clark A, editors. Bailey’s head and neck surgery
otolaryngology. fifth ed. Philadelphia Lippincott Inc; 2014. p.945-55. 

10. Izdebski K. Clinical voice assesment: The role&value of the phonatory
function studies. In: Lalwani A.K editors. Current diagnosis & treatment
otolaryngology head & neck surgery. Second ed. McGraw-Hill
Companies, Inc; 2008. P.417-29. 


25

Anda mungkin juga menyukai