Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN
Disusun untuk memenuhi tugas profesi keperawatan Departemen Emergency

Disusun oleh :

LUT FIKA DARU A

NIM. 170070301111025

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

TRAUMA ABDOMEN
1. Definisi
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga
menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan
mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat
menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan
gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting,
seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi,
dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated intravascular
coagulation).
Salah satu kegawatdaruratan pada sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu
trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya
gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.
Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya
berbeda.Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan
tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.

2. Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2010) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada
abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan
kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan
kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau
benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkankerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat jugadiakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh :
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium,
lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas)
Disebabkan oleh :
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil / kecelakaan)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

3. Klasifikasi
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul : diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama,
yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk
pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya
dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan
menyebabkan rupture. Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa. Selain
itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan segera
dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi.
Selain itu, trauma abdomen juga dibedakan atas:
1. Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda
tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka
sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).
2. Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh, tetapi
dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera
perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya
viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan
adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati,
lien, pankreas, dan ginjal.

Secara umum mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:


a. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur. Akibatnya,
terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ
visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distal organ yang terkena. Contoh pada
aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkan gaya potong pada aorta dapat
menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada
cervicothoracic junction.
b. Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau
tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur, biasanya terjadi pada organ-organ
padat seperti lien, hati, dan ginjal.
c. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-
tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ berongga. Berat
ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena cedera.

4. Patofisiologi
(terlampir)

5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis trauma abdomen secara umum diantaranya:

 Nyeri (khususnya karena gerakan)


 Nyeri tekan dan lepas(mungkin menandakan iritasi peritonium karena
Cairan gastrointestinal atau darah)
 Distensi abdomen
 Demam
 Anoreksia
 Mual dan muntah
 Takikardi
 Peningkatan suhu tubuh
Manifestasi berdasarkan jenis trauma diantaranya:
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi ke dalam rongga
peritonium):
 Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
 Respon stres simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium)
 Kehilangan darah
 Memar/jejas pada dinding perut
 Kerusakan organ-organ
 Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kelakuan (rigidity) dinding
perut
 Iritasi cairan usus
6. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan
terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan
leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan
adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum
amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas
atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pada hepar.
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa
dijadikan acuan bahwa tidakterjadi perdarahan. Pasien pendarahan
mengeluarkan darah lengkap sehingga volume darah tergantikan dengan
cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone
[ACTH], aldosteron,antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian
ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan
pemberian transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif normal
(>30%)tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti fraktur pelvis
terbuka), atau kehilangan darah yangsignifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat
(jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan
cidera berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat
menunjukkan adanya cidera organ berongga.
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.
Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran
urogenital.
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau
panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan
mekanisme deselerasi yang signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi
untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan
kontras.

5. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan
trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnyadapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik.
Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). Indikasi dilakukan
laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak
terkontrol,penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FASTatau DPL (Feldman, 2006).
DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar
teraspirasi sebelum infus cairancuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1
L NaCl diinfuskan ke kavitas peritoneal melalui kateter dandibiarkan
tercampur, dimana akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel
darahmerah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL, peningkatan kadar
amilase, empedu, bakteri, seratmakanan, atau urin. Hanya diperlukan kira-kira
30 mL darah pada peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL positif secara
mikroskopis.
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk
kateter, infeksi (luka peritoneal), dancidera pada struktur intra abdomen
(seperti vesika urinaria, usus halus, uterus).
a. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
- Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
- Trauma pada bagian bawah dari dada
- Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
- Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alkohol, cedera otak)
- Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum
tulang belakang)
- Patah tulang pelvis
b. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
- Hamil
- Pernah operasi abdominal
- Operator tidak berpengalaman
- Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum. CT scan banyak
mendukung gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam
intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun DPL(Diagnostic Peritoneal
Lavage), CT scan dapat menentukan sumber perdarahan. Keuntungan utama
CT scan adalah tingginya spesifikasi dan penggunaannya sebagai petunjuk
manajemen nonoperatif pada cedera organ padat.
8. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma
mayor. Informasi pentingsekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2)
dapat digunakan untuk menilai pasien dengankecurigaan asidosis metabolic
hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang(>-5
mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan etiologi. Usaha
untuk meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan
SaO2 yang adekuat (>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan
cairan kristaloid, dan jika diindikasikan, dengan darah. (Sabiston, David :
2009)
Pemeriksaan khusus
1. Abdomonal Paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanyaperdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm
dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100 –
200 ml larutan NaCl 0.9%selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan Laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber
penyebabnya. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-
sigmoidoskopi (Kenedy, Eddy:2007)

7. Penatalaksanaan
A. Penanganan awal
 Trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
- Stop makanan dan minuman
- Imobilisasi
- Kirim kerumah sakit.
 Penetrasi (trauma tajam)
- Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis
- Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
- Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian
organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila
ada verban steril.
- Imobilisasi pasien
- Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
- Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekan.
- Kirim ke rumah sakit
B. Penanganan dirumah sakit
 Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya.
Jika penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan
selain pemberantasan syok (operasi)
 Lakukan prosedur ABCDE.
 Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah
aspirasi.
 Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai
urin yang keluar (perdarahan).
 Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika
terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ;
prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli,
rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan
bebas dalam rongga perut)
 Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang
menunjukkan trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri
diafragma, abdominal free air, evisceration) harus segera dilakukan
pembedahan
 Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-
operative berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
Scan
 Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
 Pemberian O2 sesuai indikasi
 Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
 Kebanyakan GSW (Gunshoot Wound)membutuhkan pembedahan
tergantung kedalaman penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal
 Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi
steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh,
pasien dapat dijahit dan dikeluarkan
 Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan
 Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan
dengan pembedahan
C. Penatalaksanaan Kedaruratan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan,
sirkulasi) sesuai indikasi.
- Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ;
gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada
pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi
masif.
- Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan
serta sistem saraf.
- Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher
didapatkan.
- Gunting baju dari luka.
- Hitung jumlah luka.
- Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
2. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera
abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
3. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai
pembedahan dilakukan.
- Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan
bendungan luka dada.
- Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan
cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
- Perhatikan kejadian syok setelah respons awal terjadi
terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya
perdarrahan internal.
- Dokter dapat melakukan parasentesis untuk
mengidentifikasi tempat perdarahan.
4. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini
membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi
terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena
aspirasi.
5. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan
salin basah untuk mencegah kekeringan visera.
- Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
- Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah
meningkatnya peristaltik dan muntah.
6. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian
adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
7. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital,
haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila
diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
8. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat
ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
9. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi
peritonium pada kasus luka tusuk.
- Jahitan dilakukan disekeliling luka.
- Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
- Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x
menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
10. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
11. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma
dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier
mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan
manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
12. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,
kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma,
eviserasi, atau hematuria. (Fitri & Nor, 2013)
13. Bila ingin dilakukan pembedahan abdomen/ laparotomi
Indikasi berdasarkan evaluasi abdomen :
- Trauma tumpul abdomen dengan Diagnostic Peritoneal
Lavage (DPL) positif atau Ultrasound.
- Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang
walaupun diadakan resusitasi yang adekuat.
- Peritonitis dini atau yang menyusul.
- Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinari
akibat trauma tembus.
- Luka tembak melintas rongga peritoneum atau
retroperitoneum viseral/vaskular.
- Eviserasi (pengeluaran isi usus).
- Udara bebas, udara retroperitoneum, atau ruptur
hemidiafragma setelah trauma tumpul.
- CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus
gastrointestinal, cedera kandung kemih intraperitoneal,
cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah
setelah trauma tumpul atau tembus.

PENATALAKSANAAN LAINNYA
 LAPAROTOMI
Laparotomi adalah salah satu jenis tindakan pembedahan berupa
insisi dinding abdomen. Laparotomi eksplorasi adalah tindakan laparotomi
dengan tujuan memperoleh informasi yang tidak tersedia melalui metode
diagnosis klinis. Setelah patologi yang mendasari ditentukan, laparotomi
eksplorasi dapat diteruskan sebagai prosedur terapi atau mungkin untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Beberapa teknik laparotomi yaitu midline
incision, paramedium incision, transverse upper abdomen incision dan
transverse lower abdomen incision.
Indikasi dilakukannya eksplorasi laparotomi diantaranya adalah
trauma andomen dengan hemoperitoneum dengan hemodinamik yang
tidak stabil, perdarahan gastrointestinal, Hodgkin disease, nyeri abdomen
kronik, nyeri abdomen akut dan didapatkannya kondisi klinis intra
abdomen yang membutuhkan pembedahan darurat yaitu peritonitis, ileus
obstruktif dan perforasi.
Kontraindikasi dilakukannya laparotomi eksplorasi adanya kondisi
yang menyebabkan tidak memungkinkannya tindakan anestesi umum. Hal
tersebut diantaranya peritonitis dengan sepsis berat, keganasan yang
semakin memburuk dan penyakit komorbiditas lainnya yang membuat
kondisi pasien menjadi tidak layak untuk diberikan anestesi umum.
(Koppert, Wolfgang ,et al. dalam Juwita Kusumadei, 2013)
Laparotomi eksplorasi merupakan alat diagnostik yang baik,
namun antisipasi diagnostik lainnya tetap diperlukan. Laparotomi
eksplorasi harus dilakukan sesuai protokol standar dan pedoman untuk
laparotomi. Komplikasi non terapetik laparotomi dikaitkan dengan
morbiditas jangka panjang yang signifikan termasuk yaitu obstruksi usus
dan hernia insisional. Komplikasi potensial pasca lapartotomi segera yaitu
infeksi karena luka sayatan yang tidak benar-benar kering selama proses
penyembuhan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, ileus
paralitic, terdapat absess abdomen, atelektasis paru dan fistula enterocutan.
(Kazuto Omiya,et al dalam Juwita Kusumadewi, 2013)
 Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang masih
berfungsi dengan teknik bedah. Splenorafi merupakan teknik yang sering digunakan
pada pasien yang menderita cedera traumatik pada lien, dan keberhasilan prosedur ini
tergantung pada pemahaman ahli bedah tentang anatomi lien. Pembedahan dengan
teknik splenorafi dengan cara melakukan penjahitan luka robekan lien merupakan
tindakan yang aman. Splenorafi dilakukan pada trauma lien dengan hemodinamik yang
stabil, adanya cedera intraabdomen lain dan sesuai dengan skala trauma lien. Pada skala
III dan IV memerlukan mobilisasi untuk memaparkan hilus.
Splenorafi dilakukan dengan membuang jaringan non vital, mengikat pembuluh
darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi
kurang memadai, dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau
tanpa penjahitan omentum. Prosedur pada splenorafi yaitu:
- Lien dimobilisasi sepenuhnya dari semua perlekatannya sehingga dapat di inspeksi
secara cermat. Jika perdarahan banyak, dianjurkan mengendalikan arteri lienalis
utama segera dengan menggunakan loop pembuluh darah.
- Setelah lien dimobilisasi, lien biasanya diperiksa dengan melepas bekuan darah di
daerah yang cedera sehingga tempat-tempat perdarahan di dalam laserasi lien
dapat diidentifikasi.
- Setelah keseluruhan cedera dinilai, ligasi selektif pembuluh darah hilum segmental
yang tepat dapat dilakukan. Pada tahap ini dapat diambil keputusan tentang apakah
melakukan splenektomi parsial formal akan diperlukan atau apakah splenorafi dapat
dilakukan dengan jahitan penutup parenkim dan kapsula lien.
 Splenektomi
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi
dengan splenografi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi diindikasikan
hanya untuk kerusakan lien yang sangat parah. Splenektomi traumatik dilakukan untuk
cedera pada lien yang menyebabkan perdarahan intra abdomen. Prosedur ini mengikuti
pedoman untuk splenektomi elektif dan digabung dengan reparasi cedera lain sesuai
yang diindikasikan saat laparotomi darurat.
Spelenektomi parsial terdiri atas eksisi satu segmen, dilakukan jika ruptur lien
tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Sedangkan splenektomi
total harus selalu diikuti dengan reimplantasi lien yang merupakan suatu
autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus pecahan parenkim lien dengan
omentum dan meletakannya di bekas tempat lien atau menanamnya di pinggang pada
belakang peritoneum dengan harapan lien dapat tumbuh dan berfungsi kembali.
Prosedur dalam melakukan splenektomi yaitu:
- Splenektomi dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang. Pemaparan lien
dapat dipermudah dengan menempatkan pasien dalam posisi Trendelenburg
terbalik dan dengan memiringkan sisi kanan meja operasi ke arah bawah.
- Selang nasogastrik yang diinsersikan ke dalam lambung setelah intubasi pada
kasus elektif, berguna untuk mendekompresi lambung dan membantu
pemaparan. Dalam splenektomi darurat untuk trauma, insersi selang
nasogastrik dapat dilakukan sebelum intubasi untuk mengosongkan lambung.
- Untuk splenektomi elektif jika lien berukuran normal atau sedikit membesar,
insisi subkostal kiri memberikan pemaparan yang baik. Pada kasus trauma
abdomen, atau pada kasus dimana splenektomi dikombinasikan dengan
prosedur intra abdomen lain seperti laparotomi staging untuk penyakit
Hodgkin, sebaiknya menggunakan insisi panjang di garis tengah.
- Mobilisasi lengkap lien untuk kemudahan ligasi, agar arteri dan vena lienalis
dapat terlihat.
- Perlekatan ligamentosa dan vena-vena lambung yang berjalan dari lien ke
kurvatura mayor lambung (termasuk pembuluh darah gastrika brevis) dan
ligamentum lienorenale dipotong. Pemotongan pembuluh darah tersebut
diselesaikan dengan lien dibawa ke insisi abdomen atau pada lien yang masif ke
dinding abdomen.
- Ligasi arteri dan vena lienalis yang dekat dengan hilus dengan jahitan ganda.
- Lien diangkat
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil, splenektomi
tetap merupakan terapi pilihan. Jika ruptur lien sangat serius (skala V)
pemelihan pembedahan splenektomi sangat dianjurkan. (Gerald.,dkk, 2012)

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah
cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenic, intra abdomen sepsis dan
abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleen yang muncul kemudian.
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture
pada organ. Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu
hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intraabdominal (esofagus,
lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih),
yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi
dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis.
 Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia
atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung,
maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul
gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon,
mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen
karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil
akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu
segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan,
peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
 Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma
adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat
traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik
perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam,
lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan secepatnya,
apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan tersebut. Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang
menimbulkan perdarahan dari limpa.Dalam taraf pertama darah akan
berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan
peritoneal belum ada sama sekali.
Sedangkan menurut Menurut Catherino, 2008, komplikasi yang dapat terjadi
akibat trauma abdomen diantaranya:
 Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal, dan
perdarahan
 Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin,
diaphoresis dan syok
 Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
 Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA)
 Komplikasi Segera: hemoragi, syok, dan cedera
 Komplikasi Lambat: infeksi

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang
mengancam nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai.
AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu
Allergies,Medications, Past medical history, Last meal or otherintake, Events
leading to presentation.
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang
berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang
berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut,
baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal
tersebut mencakup:
a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
c. Apakah pasien meninggal
d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan
e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan
airbags
f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
g. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang
h. Apakah ada masalah psikiatri
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat antiplatelet (seperti pada defek jantung congenital) karena
dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen.
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip –
prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas
A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen
harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku
pada abdomennya saja.

a) Biodata
 Keluhan Utama
 Keluhan yang dirasakan sakit
 Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
b) Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
 Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
 Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya
saat jatuh
 Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
 Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada
quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
 Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
 Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan
gangguan faal hemostasis.
d) Riwayat psikososial spiritual
 Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
 Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
 Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).

2. Pemeriksaan Fisik
1. Sistim Pernapasan
 Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada
serta jalan napasnya.
 Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan
tertinggal.
 Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
 Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi
2. Sistim cardivaskuler (B2 = blead)
 Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah
abdominal dan adakah anemis.
 Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana
suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung
paradoks.
3. Sistim Neurologis (B3 = Brain)
 Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
 Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak
 Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS)
4. Sistim Gatrointestinal (B4 = bowel)
Pada inspeksi :
 Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
 Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum
abdomen.
 Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
 Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan
adanya abdomen iritasi.
Pada palpasi :
 Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
 Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
 Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi :
 Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
 Kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum
abdomen.
Pada Auskultasi :
 Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau
menghilang.
Pada rectal toucher :
 Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
 Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
5. Sistim Urologi ( B5 = bladder)
 Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi
pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
 Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
 Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
6. Sistim Tulang dan Otot ( B6 = Bone )
 Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah
pelvis.
 Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan
semua cidera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem
respirasi, atau sistem kardiovaskular diluar cidera abdomen. Pemeriksaan yang
diperlukan adalah :
a. Pemeriksaan awal :
i. Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey
sekunder abdomen.
ii. Untuk cidera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan
segera, survei sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi
pasien stabil.
iii. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada
penderita. Banyak cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
b. Inspeksi :
i. Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera.
Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
ii. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi
karena sabukpengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk
contusio). Pada banyak penelitian, tanda(bekas) sabuk pengaman dapat
dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan insidensi cidera intra
abdomen.
iii. Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera
medulla spinalis.Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan
dengan pneumoperitoneum, dilatasigastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi
peritoneal.
iv. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien
dengan cedera trauma tumpul abdomen
v. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal,
namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan
edema panggul meningkatkankecurigaan adanya cedera retroperitoneal.
vi. Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak,
perdarahan, dan hematom.
c. Auskultasi :
i. Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula
arteriovenosa traumatik.
ii. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.
iii. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.
d. Palpasi :
i. Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien.
Perhatikan massaabnormal, nyeri tekan, dan deformitas.
ii. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan
intraabdomen.
iii. Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda
potensial untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang
rusuk.
iv. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius
bagian bawah,seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka
berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.
v. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan
cedera. Fecessemestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat
atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis
dari pasien.
vi. Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya
cedera medullaspinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan
penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
vii. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena
bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.
viii. Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah
cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
e. Perkusi :
i. Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal
ii. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan
besar konsultasi pembedahan.
iii. Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti
fraktur basal kranii) untukmenurunkan tekanan lambung dan menilai apakah
ada perdarahan. Jika pasien mengalami cidera maxillofacial, lebih baik
dipasang pipa orogastrik. Selanjutnya kateter foley juga dipasang
untukmengetahui produksi urin dan pengambilan sample urinalisis untuk
pemeriksaan hematuri mikroskopis.Jika cedera urethra atau vesika urinaria
diduga karena fraktur pelvis, maka perlu dilakukan retrogradeurethrogram
terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter. Karena luasnya spektrum
cidera pada trauma tumpul abdomen, maka frekuensi evaluasi ulang menjadi
komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma tumpul abdomen.
Survei tersier merupakan pengulangan survei primer dan sekunder serta
revisi semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah penelitian,
survey tersier pada trauma dapat mendeteksi 56% cidera yang terlewatkan
selama penilaian awal dalam 24 jam pertama.
Sedangkan Gerald, dkk (2012) menjelaskan pemeriksaan fisik diarahkan
untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat
cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Pemeriksaan fisik abdomen
harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi,
dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik
pada status.
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada
pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-
gejala perut.
 Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada
dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen.
Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti
apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah
laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian
usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar
pemeriksaan lengkap.
 Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang
penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di
retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang
mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan
isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-
tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keadaan ini
laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut,
pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya. Cedera struktur
lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan
ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus
tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal.
 Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan
tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena
dilatasi lambung akut di kuadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada
hemoperitoneum. Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan
shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang
beranjak atau menghilang.

 Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien)
mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya,
kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang
peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan
dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus,
maupun hemoperitoneum tahap awal. (Gerald.,dkk, 2012)

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya
pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai
dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen.
2. Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan hypovolemia, penurunan
suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral
dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30
ml/jam.
3. Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang
ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak
menyeringai kesakitan.
4. Ansietas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan
yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap
pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah.
5. Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan
sehubungan dengan kurangnya informasi / informasi inadquat yang itandai
dengan pasien bertanya tentang dampak dari musibah yang dialami dan akibat
dari pembedahan.
6. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
7. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
9. Resiko perdarahan behubungan dengan Syok Hipovolemik
10. Pola napas tidak efektif b/d hiperventilasi ditandai dengan sesak, dispnea,
penggunaan otot bantu napas, napas cupung hidung
11. Kerusakan integritas kulit b/d trauma tajam/tumpul ditandai dengan adanya
hematoma, ekimosis, luka terbuka, jejas pada daerah abdomen

INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan + KH Intervensi
Nyeri akut NOC : I. Pain Managemen
b/d agen  Pain Level  Lakukan pengkajian nyeri
cidera fisik  Pain control secara komprehensif termasuk

 Comfort level lokasi, karakteristik,

Setelah dilakukan perawatan durasi,frekuensi,kualitas dan

selama 3x 24 jam, diharapkan faktor presipitasi.

nyeri klien berkkurang  Observasi reaksi non verbal dari

dengan KH : ketidaknyamanan

 Mampu mengontrol  Gunakan tehnik komunikasi

nyeri (tahu penyebab terapeutik untuk mengetahui

nyeri, mampu nyeri pasien


 Berikan dukungan terhadap
menggunakan tehnik pasien dan keluarga
nonfarmakologi untuk  Berikan informasi tentang nyeri
mengurangi nyeri,  Ajarkan penggunaan tehnik non
mencari bantuan), farmakologi
 Melaporkan nyeri  Kontrol lingkungan yang dapat
berkurang dengan mempengaruhi nyeri
menggunakan  Kolaborasika pemberian
menegemen nyeri analgesik
 Menyatakan rasa  Beritahu dokter jika tindakan
nyaman setelah nyeri tidak berhasil atau terjadi
berkurang keluhan
 Tanda vital dalam  Monitor kenyamanan pasien
rentang normal RR : terhadap managemen nyeri
18x/mnt  Tingkatkan istirahat
II. Analgesik administration
 Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajatnyeri
sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang obat
(6 benar)
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan
atau kombinasi analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan Pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi keefektifan analgesik,
tanda dan gejala (efek samping)

Resiko Setelah dilakukan tindakan Shock Prevention


perdarahan keperawatan selama 2x 1 jam 1. Monitor adanya tanda tanda
risiko perdarahan teratasi respon shock (TD,
dengan : Nadi,CRT,suhu)
2. Monitor pulse oxymetry, ECG,
Noc :
3. Monitor hasil pemeriksaan LAB
Blood loss severity:
(trombosit. Hct,ABG, kadar
- Abdominal distention
elektrolit, PT OT)
(5) 4. Monitor hasil pemeriksaan lain
- Decreased systolic
(misalnya USG, CT Scan) untuk
blood pressure (5)
memantau adanya internal
- Skin and membranes
bleeding, ruptur hepar atau
pallor (5)
- Loss of body heat (5) gangguan lain
- Decreased cognition 5. Monitor adanya asites dan
(5) adanya nyeri abdomen bagian
Blood coagulation belakang
6. Monitor circulatory status
- Platelet count (3)
7. Administer IV fluid dengan
- Bleeding (4)
selalu memonitor hemodynamic
dan urin output
Hypovolemia management
8. Monitor status hemodynamic
9. Monitor adanya orthostatic
hypotension
10. Monitor for sources fluid
loss(bleeding, tachipnea dll)
11. Monitor intake dan output
12. Monitor hasil lab yang mengarah
ke tanda tanda perdarahan(Hb,
Hct, trombosit)
13. Catat adanya perubahan TD, RR,
Nadi, dll setiap 5 menit
Resiko Tujuan: NIC: Infection Protection
Infeksi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
keperawatan 3x24 ja,m resiko secara sistemik dan lokal
2. Monitor jumlah granulosit, sel darah
infeksi klien berkurang.
putih dan hasil yang menunjukkan
KH:
perbedaan
NOC: Infection Severity
3. Memperbaiki asepsis untuk pasien
Peningkatan jumlah sel darah
yang beresiko
putih ul (n : 4,0-11,3 103/ul) 4. ,emyediakan perawatan kulit yang
tepat untuk area edema
5. Inspeksi kulit dan membran mukosa
untuk kemerahan, kehangatan yang
ekstra atau drainase
6. Meningkatkan intake cairan dan
istirahat
7. Monitor perubahan tingkat
energi/malaise
8. Instruksikan pasien untuk
menggunakan antibiotik jika
diresepkan
9. Ajarkan keluarga dan pasien tentang
tanda dan gejala infeksi dan segera
laporkan ke layanan kesehatan

DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC
Sabiston, David. 2009. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Kenedy, Eddy. 2007. Ultrasonografi Trauma Tumpul Abdomen. Skripsi (tidak
diterbitkan) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Koppert, Wolfgang ,et al. Perioperative intravenous lidocaine has preventive effects on
postoperative pain and morphine consumption after major abdominal surgery. Anesth
Analg,2004;98:1050 – 5 dalam
Gerald.,dkk, 2012. Trauma Abdomen. Medan: Departemen Ilmu Bedah FK USU
Catherino ,Jeffrey M.2008. Emergency Medicine Handbook.USA: Lipipincott
Williams
Udeani & Seinberg .2011. Trauma Madicine : Blunt Abdominal Trauma
Trauma tumpul: jatuh pukulan Trauma tajam: pisau, luka
atau benturan benda tumpul tembak, ledakan dll.

…….
ansietas
Gaya predisposisi trauma > elastisitas & vikositas tubuh

hospitalisasi
Ketahanan jaringan tidak mampu mengkompensasi

Kurang Kurang paparan


pengetahuan informasi tentang Trauma abdomen
penyakit

Benda tajam
Trauma tajam menembus kulit Trauma tumpul

Kompresi organ abdomen


Kerusakan jar. kulit Kerusakan jar.
vaskuler Terjadi perdarahan dlm
jar. lunak & rongga
Bocornya abdomen
Luka terbuka Aktivasi system kinin
pemb.darah
pe↑ tekanan
Risiko invasi Produksi dan intraabdomen
Perdarahan masif
bakteri patogen sintesis
prostaglandin
Mendesak organ
Risiko infeksi itraabdomen
Kehilangan cairan pe↓ vol. darah
Nyeri akut
fisiologis tubuh
Penanga Mendesak
Kerusakan
nan lambung
integritas kulit Syok hipovolemik
tidak
tepat Perdarahan Distress lambung
tidak teratasi
Bakteri Produksi HCL ↑
masuk ke CO
darah
Timbul rasa eneg di perut

Syok Aliran Aliran Suplai O2 ke


Mual Muntah
Sepsis darah ke darah ke jaringan
ginjal otak
Intake nutrisi kurang

kesadaran Hipoksia
Laju filtral glomerulus

Pola napas Kelemahan fisik


Gangguan perfusi Kekurangan
Produksi urin tidak efektif
jaringan cerebral nutrisi
Hambatan kurang dari
Gangguan mobilitas kebutuhan
eliminasi urine fisik tubuh Output
cairan
Organ intra berlebih
abdomen
bengkak

Risiko Kekurangan
Kompresi diafragma ketidakseimbangan volume
elektrolit cairan

Ekspansi paru tidak


maksimal

Pola napas tidak efektif

Kelemahan fisik Intake nutrisi kurang

Anda mungkin juga menyukai