Anda di halaman 1dari 20

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dari diskusi berantai yang telah kita kaji bersama pada miinggu-minggu sebelumnya
terkait kajian epistimologi dalam filsafat ilmu telah dijelaskan dan telah kita ketahui
bersama bahwa dalam epistimologi gaya barat terkenal dengan tiga aliran pemikiran
yang antara lain; aliran empirisme, rasionalisme, dan intuitisme.1 Di sisi lain dalam
pemikiran filsafat ala timur yang dalam tulisan ini dimulai dari konsep filsafat hinduisme
berpendapat bahwasanya kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam elemen yang berupa
teks suci, akal dan pengalaman pribadi. 2

Lain halnya dengan pendapat hinduisme, dalam pemikiran aliran Islam juga terdapat
beberapa elemen dasar yang berkembang berdasarkan teori pengetahuan yang serupa
namun dalam hal ini islam sendiri memiliki tiga aliran yang yang mengkonstruk teori
pola pemikiran yang dinamai dengan genre Bayani, Irfani dan juga Burhani. Dimana ke-
3 aliran ini sendiri mempunyai argumentasi daya paham masing-masing prihal landasan
pola pengetahuan. Namun dalam tulisan makalah ini penulis hanya ingin membatasi
tulisannya pada pemahaman metode bayani semata.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka pemakalah merumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian dari Bayani?
2. Bagaimana sejarah hingga perkembangan epistimologi Bayani?
3. Bagaimana sumber pengetahuan epistimologi Bayani?
4. Bagaimana Lafal & Makna, Ushul & Furu’ dalam epistimologi Bayani?
5. Bagaimana cara Memperoleh Pengetahuan (Metode) dalam epistimologi Bayani?
6. Bagaimana logika dalam bayani?

1
Harry Hamerma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Karisusu, 1992), . 15.
2
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Bandung : The Science and Tecnolody Stues Foundation, 1987), . 83

1|Makalah Epistimologi Bayani 151018


Bab II
Pembahasan
A. Pengertian

Secara struktur kebahasaan, kata Bayan berasal dari bahasa Arab yaitu al-ba-ya-ni yang
secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. mengandung lima
pengertian; l) Kesinambungan (al-wash), 2) Keterpilahan (al-fashl), 3) terang dan jelas (al-
zuhur) dan al-wuduh, 4) al-fashahah dan al-qudrah dalam menyampaikan pesan atau maksud, 5)
manusia yang mempunyai kemampuan berbicara fashih dan mengesankan.3 keterpilahan dan
kejelasan tadi mewujud dalam al-bayan al-‘ibarat “perpektif” dan “metode” yang sangat
menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “estetik-susastra”4, melainkan juga
dalam lingkup “logic-diskursif”5. Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah terminology
yang disamping mecakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan mamahami.6
Menurut al-Razi, yaitu bahwa Bayan adalah pandai berbicara sehingga orang lain dapat
memahaminya. Namun demikian, Bayan juga berarti al-Qur'an itu sendiri, karena al-Qur'an juga
disebut al-Bayan, Sementara itu, al-Syaukani memaknai Bayan sebagai kebaikan dan kejelekan,
dan bisa juga berarti penjelasan tentang yang halal dari yang haram. 7 Sedangkan pengertian dari
Bayani itu sendiri adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Dalam Bayani ini bukan
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek
eksoterik (syariat).8

3
Muhammad Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h.19-20
4
Estetika sastra adalah hakikat keindahan, estetika disini dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
‘keindahan’, sedangkan sastra sendiri adalah bahasa atau hakikat. (lihat: Moh Badrih, sajian matakuliah Estetika
sastra, studi pendidikan dan sastra Indonesia).
5
Diskursif diperoleh manusia melalui serangkaian penyimpulan, tahap demi tahap dan tidak didapat dengan
penerangan langsung. Atau bisa diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan nalar, disimpulkan secara logis,
dan bertebaran serta tersebar pada semua benda. (lihat: website, www.lihat.co.id.KBBI)
6
Mahmud Arif, Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, (January-June
2002), h.13.
7
Al-Syaukani, Path al-Qadir, Juz 5, (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.), h. 131
8
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, (Maguwoharjo: AR-RUZZ Media, 2016), h. 187.

2|Makalah Epistimologi Bayani 151018


Jadi Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. 9 Maka sumber
epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni: teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa
karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif,
yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content).
Epistimologi ini dapat dipahami dari tiga aspek, yaitu aspek aktivitas pengetahuan,
diskursus pengetahuan dan aspek system pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan, bayani
berarti “tampak menampakkan” dan “paham memahamkan”. Sebagai diskursus pengetahuan,
bayani berarti dunia pengetahuan yang dibentuk oeh ilmu Arab Islam murni, yaitu ilmu bahasa
dan ilmu agama. Sementara itu, sebagai sistem pengetahuan, bayani berarti kumpulan dari
prinsip-prinsip, konsep-konsep dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan
terbentuk tanpa disadari.10
Menurut al-Jabiri, secara historis, sistem epistimologi indikasi serta ekspliasi bayani
merupakan system epistimologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi
dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti: filologi, yurisprudensi, ilmu hukum
(fikih) serta ulum Al-Qur’an (interpretasi, hermeneutika, dan eksegesis), teologi dialektis
(kalam) dan teori sastra nonfilosofis.11
Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayani,
ulama ilmu al-balagah misalnya, mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah ilmu yang dapat
mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih (penyerupaan),
majaz dan kinayah.12 Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang
dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan merupakan ilmu baru
yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar

9
Menurut al-Jabiri, dalam khazanah pemikiran Islam dikenal adanya tiga sumber pengetahuan yang masing-masing
dikenal dengan kelompok bayaniyyun (tekstualis), burhaniyyun (rasionalis), dan irfaniyyun (intuisis). Lihat A.
Khudori Soleh, Epistemologi Ibn Rusyd; Upaya Mempertemukan Agama dan Filsafat (Malang: UIN-Maliki Press,
2012). 53. Lihat juga Zulhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia dalam Jurnal JIA/ Desember 2013/ Th. XIV/ Nomor 2, h. 124. Lihat juga Waston,
Pemikiran Epistemologi Amin Abdullah dan Relevansinya bagi Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam Jurnal
Profetika, Vol. 17, No. 1, Juni 2016, h. 84.
10
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 113.
11
Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam Mohammad ‘Abed al-jabiri, (Jogjakarta: Islamika,
2003), h. xxvii.
12
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) . 58

3|Makalah Epistimologi Bayani 151018


kepada kondisi jelas.13 Sementara di pedesaan jawa Bayan sendiri memiliki arti perangkat desa
yang memiliki tugas menjaga kesetabilan jalannya roda pemerintahan desa dan hubungannya
kepada pihak luar desa maupun kepada aparatur yg lebih tinggi status penjabatannya daripada
aparatur pemerintahan desa #ger..
Makia dari sini pemakalah berpendapat bahwa kesimpulan dari pemahaman secara
istilah, bahwa epistimologi Bayani adalah suatu metode pemikiran yang berdasarkan kepada
Teks, dimana teks tersebut bisa dipahami lantas dijadikan landasan berbuat sesuatu secara
langsung tanpa perlu rasio akal maupun tidak langsung yang memerlukan pemikiran rasio akal
terlebih dahulu yang dalam hal ini biasa kita sebut sebagai Tafsir terhadap teks. Dari sini tampak
jelas terkesan rasio akal begitu berperan dalam menentukan penafsiran terhadap teks, namun
pada dasarny dalam pemahaman metode bayani sendiri akal budi (rasio) tidak bisa menafsirkan
secara sembarang terhadap suatu maksut, iya tetap haruslah patuh dan tetap bersandar terhadap
sebuah teks yang dalam hal ini tentulah Al-quran dan hadist.14

B. Asal Usul Epistemologi Bayani dan perkembangannya

Di penghujung abad pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu kuno dari
Iskandaria, pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam kebudayaan Islam Arab. Kehadiran
ilmu-ilmu non Arab Islam ini mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal karena
dianggap bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki wilayah kebudayaan
Islam melalui penerjemahan.

Kemapanan Pemerintahan Islam, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah, memberi


peluang yang luas bagi komunitas Muslim untuk berkenalan dengan kebudayaan luar. Hal ini
atas dukungan Khalifah al-Mansur yang sangat respek terhadap ilmu pengetahuan. Sejak itu,
Baghdad telah banyak bersinggungan dengan filsafat Yunani. Ibnu Nadim dalam al-Fihrisat
(pada masa kekuasaan al-Makmun; 811-833.M) banyak sekali mengalihbahasakan tulisan
Aristoteles. Ini merupakan awal gerakan keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam
pengalihbahasaan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab (al-ta’rib), bahkan di dalam kebudayaan

13
Abu Hilal al-‘Askari, al-Furuq al-Lugawiyah, (CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah). 360
14
Abdul Wahab Khalaf, ilm Ushul Fiqh, Terj. Madar Helmi, (Bandung, Gema Risalah Press,1996),.22

4|Makalah Epistimologi Bayani 151018


Arab Islam tulisan Aristoteles dianggap sebagai kitab induk sehingga dalam Dar al-Hikmah
banyak sekali terkumpul manuskrip (makhtutat) di dalamnya.15

Kronologi Bayani paling tidak telah dimulai dari masa Rasulullah saw, dimana beliau
menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh sahabat. Kemudian para sahabat menafsirkan al-
Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan Rasulullah saw melalui teks. Selanjutnya tabi’in
mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, kemudian mereka menambahkan
penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya dengan teks sebagai pedoman utama.
Akhirnya datang kemudian generasi setelah tabi’in yang melakukan penafsiran sebagaimana
pendahulunya sampai berkelanjutan kepada generasi yang lain.

Sedangkan Aristoteles merupakan orang yang pertama membangun epistemologi burhani


yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan.
Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip
dasarnya baik proporsi hamliyah (Categorical Proposition) maupun shartiyah (Hypothetical
Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk
menjaga kesalahan berpikir.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan


nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita
dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan
proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi
dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah masing-masing
pendekatan epistemologik: bayani dan irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama
lain, dan epistemologi burhani bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua
epistemologi di atas.

Epistemologi bayani muncul bukan sebagai hal yang sui generis, akan tetapi ia memiliki
akar historisnya dalam sejarah budaya dan tradisi pemikiran Arab. Sebagimana dimaklumi,
bahasa Arab diyakin sebagai bahasa wahyu Tuhan. Oleh karena itu, cukup berdasar bila

15
Wahib Wahab, REKONSTRUKSI EPISTEMOLOGI BURHANI PENYELARASAN METODOLOGI DALAM
PERSPEKTIF AL-JABIRI. WWW.BAHRUDINONLINE.NETNE.NET, (14 okt 18)

5|Makalah Epistimologi Bayani 151018


dikatakan bahwa determinan historis awal mula paradaban Islam adalah sinergi bahasa dan
agama. Awal mula aktivitas ilmiah yang mewarnai budaya Arab Islam berupa penghimpunan
bahasa Arab dan peletakan dasar-dasar tata kebahasaannya seiring dengan upaya mamahami
ajaran agama dan memproduksi wacana keagamaan yang membangun “Rasionalitas keagamaaan
Arab” dengan produk intelektualnya, yaitu ilmu kebahasaan dan ilmu agama.16

Nuansa kultural intelektual semacam itu melahirkan komunitas agamawan intelektual yang
menempati posisi otoritatif dalam ranah keagamaan dan keilmuan. Mereka adalah kalangan
bayaniyyun, meminjam istilah Al-Jabiri, yang secara “kolegial” berperan dalam memapankan
ilmu-ilmu Arab Islam yang bersifat istidlali murni, yaitu Nahwu, Balaghah, Fiqh dan Kalam.17
Ilmu-ilmu inilah yang menjadi lokomotif bagi formulasi keilmuan naqliyah murni dan keilmuan
naqliyah aqliyah.18
Berhubungan dengan hal-hal di atas, makna terminologi Bayan, mempunyai dua arti, yaitu
1) sebagai aturan penafsiran wacana-wacana (qawanin tafsir al-khirthabi) dan 2) syarat-syarat
memproduksi wacana (syuruth intaj al-khithab). Berbeda dengan makna etimologi yang sudah
dijelaskan di atas yang sudah ada sejak awal peradaban Islam, makna-makna terminologis ini
baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Antara lain ditandai dengan lahirnya
Al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim karya Mutaqil ibn Sulaiman (719-763 M) dan
Ma’ani al-Qur’an karya Ibn Ziyad Al-Farra’ (757-823 M) yang keduanya sama-sama berusaha
menjelaskan makna atas kata-kata dan ibarat-ibarat yang ada dalam Al-Qur’an.
Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan
pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Di bawah ini adalah
masa dimana bayani berkembang, yaitu:

16
Keilmuan semacam itu oleh Hasan Hanafi dikategorikan sebagai keilmuan naqliyah murni dan keilmuan
naqliyah-aqliyah , oleh Khairullah dikategorikan sebagai keilmuan syar’iyyah dan keilmuan lisaniyyah;
sedangkan oleh Ali Husni al-Kharbauthi disebut dengan dirasah diniyyah dan dirasah adabiyyah. Lihat Hasan
Hanafi, Dirasat Falsafiyyah, (Kairo: Maktabah al-Anjilu, 1987), h. 156; Khairullah Thalfah, Kuntum Khaira
Ummatin Ukhrijat li an-Nas, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1975), h. 726-737; dan al-Kharbauthli, al-
Hadharah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t.), h. 224.
17
Dalam pandangan al-Jabiri, qiyas (analogi) menempati posisi sentral dalam system pemikiran Bayani, yang tidak
saja teraplikasikan dalam lapangan fiqh, namun juga dalam bidang bahasa (balaghah dan nahwu) dan kalam.
Dalam fiqh, qiyas dimaksudkan untuk mencari dan menetapkan hukum baru (far'uri) dengan jalan merujuk secara
analogis pada hukum ashl (hukum yang telah ada dalilnya dalam nash). Namun demikian, lompatan metodologis
dari hukum ashl ke hukum far'un ini oleh sementara golongan (syi'ah dan Zahiriyah) diklaim sebagai didasarkan
atas prasangka mujtahid, bukan sesuatu yang yaqin, qath'i. Lihat Sembodo Ardi Widodo, Nalar Bayani, Irfani,
dan Burhani dalam Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, Nomor I, Januari-Juni 2007, h. 69-70.
18
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2008), h. 39.

6|Makalah Epistimologi Bayani 151018


1. Masa Al-Syafi’I (767-820 M)
Al-Syafi’I merupakan peletak dasar yurisprudensi Islam, menurut beliau Bayani berarti
nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang
berkembang hingga ke cabang (furu’). Sedangkan dari segi metodologis, Al-Syafi’I membagi
bayani ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu:
a. Bayan yang tidak butuh penjelasan lebih lanjut (Al-Qur’an),
b. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan (Sunnah),
c. Bayan yang keseluruhnya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,
d. Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
e. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, Al-Syafi’I kemudian menyatakan bahwa pokok (ushul)
ada tiga, yakni Al-Qur’an, sunnah, dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.19 Dalam kerangka
ini, ijma' dipandang lebih kuat dari pada qiyas, karena qiyas merupakan ijtihad individual,
sedangkan ijma' merupakan kesepakatan para mujtahid, sehingga secara hirarkis keempat
ushul itu menjadi Al-Qur'an, sunah, ijma', dan qiyas, atau dapat dipilah lagi secara
fundamental menjadi dua ushul, nash (al-Qur'an dan sunah) dan ijtihad (ijtihad jamaah dan
ijtihad individual).20
Al-Syafi’I telah merumuskan kerangka berpikir yang menjadi basis penting epistimologi
bayani. Sekurang-kurangnya terdapat dua aspek pokok yang terkandung dalam pemikiran
ushul fiqh as-Syafi’I yaitu aspek hukum (legal) dan aspek teologi. Menurut Nasr Hamid Abu
Zaid, sumbangan as-Syafi’I terbukti sangat menonjol, terutama berkenaan dengan sikapnya
atas Sunnah, dimana ia memposisikan sebagai nash kedua setelah Al-Qur’an. Meskipun tidak
diungkapkan secara eksplisit, kedua aspek tersebut bisa ditelisik dari pemikiran ushul
fiqihnya yang pada dasarnya dimaksudkan untuk merespon balik pemikiran kalam
Mu’tazilah yang sangat mengedepankan rasio dan terlalu banyak “berbicara” tentang Tuhan.
Bagi as-Syafi’I, tugas (bukan berbicara tentang Tuhan), dan ushul fiqh diorientasikan untuk

19
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, h. 188.
20
Sembodo Ardi Widodo, jurnal: Nalarrayani, 'Irfani, Dan Burhanidan Implikasinya terhadap Keilmuan
Pesantren,vol.6 Nomor.1. h.69.

7|Makalah Epistimologi Bayani 151018


menawarkan metodologi yang dibutuhkan dalam menguak aturan yang diwahyukan Tuhan
agar mampu memenuhi kewajiban berbakti kepada-Nya dan kepada sesama.21

2. Al-Jahizh (781-868)
Mengkritik konsep bayan Al-Syafi’I, karena menurut beliau bayan yang dilakukan
Al-Syafi’I baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana
memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Menurut asumsi
beliau, bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana (syurut intaj al-
khithab) dan bukan sekadar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi).
Jahizh menetapkan syarat bagi bayani yaitu:
a. Syarat kefasihan ucapan,
b. Seleksi huruf dan lafal-lafal,
c. Adanya keterbukaan makna,
d. Adanya kesesuaian antara kata dan makna,
e. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang
disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.
Sampai disini bayani telah berkembang jauh, tidak lagi sekedar sebagai penjelas atas
kata-kata sulit dalam Al-Qur’an, tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana
memahami sebuah teks (nash), membuat kesimpulkan dan keputusan atasnya, kemudian
memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar. 22

3. Ibn Wahhab Al-Khatib (870-950 M)


Beliau berpendapat bahwa bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar
melainkan sebuah metode untuk membangun konsep di atas dasar ushul furu’, caranya
dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi). Paduan
antara metode fiqh yang eksplonatoris (apa adanya/semestinya) dan teologi yang dialektik
dalam rangka membangun epistimologi bayani baru ini sangat penting, karena menurutnya
apa yang perlu penjelas (bayan) tidak hanya teks suci tetapi juga mencakup empat hal, yaitu:

21
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, 39-40.
22
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, h. 188-189.

8|Makalah Epistimologi Bayani 151018


a. Wujud materi yang mengandung aksiden dan substansi,23
b. Rahasia hati yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan syubhat,
saat terjadi proses perenungan,
c. Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi,
d. Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep.
Dari empat konsep ini, Ibn Wahab menawarkan empat macam bayani, yaitu:
a. Bayan al-I’tibar, untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi,
b. Bayan al-I’tiqad, berkaitan dengan hati (qolb),
c. Bayan al-‘ibarah, berkaitan dengan teks dan bahasa,
d. Bayan al-kitab, berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.24

4. Al-Syathibi (1336-1388 M)
Menurut beliau sampai sejauh ini, menurutnya bayani belum bisa memberikan
pengetahuan yang pasti (qath’i) tapi baru derajat dugaan (zhanni) sehingga tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani, istmibath dan qiyas,
yang mengembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan.
Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan. Karena
itu, Syathibi menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani yang dikembangkan dari
pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Rusyd, yaitu:
a. Al-istintaj, sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang
mendahului, pengetahuan bayani menurut Syathibi harus dihasilkan melalui proses
silogisme ini, sebab semua dalil syara’ mengandung dua premis, yaitu nazhariyah
(teoretis) yang berbasis pada indra, rasio, penelitian, dan penalaran, yang kedua
adalah naqliyah (transmitif), berbasis pada proses transmitif (naql khabar).
Nadzariyah merujuk kepada tahqiq al-amanath al-hukm (uji empiris suatu sebab
hukum) dalam setiap kasus, sedangkan naqliyah merujuk pada hukum itu sendiri dan
mencakup pada semua kasus yang sejenis sehingga ia merupakan kelaziman yang

23
Aristoteles menjelaskan bahwa Substansi adaalah sesuatu yang menunjukkan dirinya sendiri dan tidak
memerlukan sesuatu yang lain (dalam penunjukannya), sedangkan aksiden adalah suatu hal yang berdiri, tetapi ia
harus dihubungkan dengan sesuatu yang lain yang berdiri sendiri. Dengan kata lain aksiden-aksiden hanya dapat
beradadalam suatu substansi dan tidak pernah lepas darinya. Lihat : ibndjalal.blogspot.com (diunduh tanggal 28-
03-2017).
24
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, 189-190.

9|Makalah Epistimologi Bayani 151018


tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. Nadziyah merupakan premis minor
dan Naqliyah merupakan premis mayor.
b. Istiqra’, adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema
pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction.
c. Maqashid Syari’ah berarti bahwa diturunkannya syari’at ini mempunyai tujuan-
tujuan tertentu, yang menurut Syathibi terbagi dalam tiga macam, yaitu dharuriyah
(primer), hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tersier).25
Pada tahap ini metode bayani telah sempurna dan sistematis, proses pengambilan
hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu’ pada ashl, tetapi juga lewat
proses silogisme seperti dalam filsafat.

C. Sumber Pengetahuan
Epistimologi Bayani meskipun menggunakan metode rasional filsafat seperti yang
digagas oleh Syathibi, akan tetapi tetap berpijak pada teks (nash). Sumber epistimologi
bayani adalah teks, sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan secara umum
menjadi dua yaitu teks nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan teks non nash yaitu berupa karya
para ulama.26 Tentang nash Al-Qur’an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukan hukumnya (dilalah al-hukm), nash Al-
Qur’an bisa dibagi dua bagian, qath’I dan zhanni. Nash yang qath’I dilalah adalah nash-
nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu,
atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil. Dalam konsep Syafi’I, ini yang
disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang dzanni dilalah adalah nash-
nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau diubah
dari makna asalnya menjadi makna yang lain. Begitu pula dengan sunnah, jika dalam Al-
Qur’an hanya berkaitan dengan dilalahnya, akan tetapi dalam sunnah hal itu berlaku pada
riwayat dan dilalah. 27

25
Tim FORZA Pesantren,Ijtihad Politik Islam Nusantara(Membumikan Fiqh Syasah Melalui Pendekatan Maqashid
asy-Syari’ah), Kediri :Lirboyo Press, 2015.243
26
Kheruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: tazzafa, t.t),. 42.
27
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 2004), 182-183.

10 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
D. Lafal & Makna, Ushul & Furu’

Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubunganya dengan
realitas, maka persoalan pokok yang ada didalamnya adalah sekitar masalah lafal makna dan
ushul-furu’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafal makna mengandung dua aspek yaitu teoritis
dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan tentang makna mengandung dua aspek
yaitu teoritas dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan tentang makna suatu kata,
apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya, tentang analogi bahasa dan soal
pemaknaan al-asma al-syar’iyyah, seperti kata salat, puasa, zakat dan lainnya.
Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya
perbedaan antara kaum rasionalis dengan ahli hadis, antara mu’tazilah dengan ahlu sunah.
Menurut mu’tazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan
istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus dimaknai sesuai dengan makna
asalnya. Sebab menurut ahli sunnah, bahasa atau kata pada awalnya berasal dari Tuhan yang
diberikan kepada rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya, sedangkan bagi mu’tazilah,
suatu lafaz pada dasarnya bersifat mutlak. Karena itu bagi ahli sunnah, kata perkata dari
sebuah teks harus tetap dijaga seperti aslinya, sebab perubahan redaksi teks berarti
perubahan makna.28
Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan Arab bahwa makna dan sistem berfikir
lahir dari kata (teks), bukan teks yang lahir dari makna dan sistem berfikir.Ilmu nahwu
(gramatika Arab) yang lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari kemungkinan
terjadinya penyimpangan makna. Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahwu bukan
lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar
tetapi sekaligus juga berisi aturan-aturan berfikir, yang kemudian melahirkan pengetahuan
bayani.29
Masalah kedua, tentang analogi bahasa seperti kata nabiz (perasan gandum) dengan
Khamar (perasan anggur), atau kata sariq ( pencuri benda) dan nabasy (pencuri mayat
dikuburan). Disini ulama sepakat bahwa menggunakan analogi diperbolehkan, tapi hanya

28
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, .192.
29
Zulpa Makiah, Jurnal: Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang
Mashlahah, 3.

11 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
dari sisi logika bahasa, bukan pada lafal atau redaksinya. Sebab masing-masing bahasa
mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna yang berbeda, sehingga jika
dianalogikan akan bisa merusak bahasa yang ada didalamnya.
Masalah ketiga, permaknaan terhadap asma as-syar’iyyah. Menurut al-Baqilani,
karena al-Quran diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, maka ia harus dimaknai sesuai
dengan kebudayaan Arab, tidak bisa didekati dengan budaya dan bahasa lain. Sebaliknya
menurut mu’tazilah, pada beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai dengan pengertian lain
sebab Al-Quran sendiri tidak jarang menggunakan istilah Arab tetapi dengan makna berbeda
dengan makna asalnya.
Selanjutnya, soal ushul-furu’, menurut aljabiri, ushul disini tidak menunjuk pada
dasar-dasar hukum fiqih, seperti Alquran, sunnah, ijma’, dan qiyas, tetapi pada pengertian
umum bahwa ia pangkal (asas) dari proses penggalian pengetahuan. Ushul adalah ujung
rantai dari hubungan timbal balik dengan furu’. Dari sini, al-Jabiri kemudian melihat tiga
macam posisi dan peran ushul dalam hubunganya dengan furu’. Pertama, ushul sebagai
sumber pengetahuan yang cara mendapatkanya dengan istinbath. Berbeda dengan istintaj
(deduksi) yang dilakukan berdasarkan proposisi yang sah, istintaj menggali untuk
mendapatkan yang sama sekali baru, sehingga nash berkedudukan sebagai sumber
pengetahuan. Kedua, ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan lain, yang cara
penggunaannya dengan qiyas. Ketiga, ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan
pengetahuan, yang caranya dengan menggunakan kaidah kaidah ushul fiqh.30
Bayan menurut Imam Syafi’i adalah ungkapan yang mencakup berbagai macam
makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama namun cabangnya berbeda-beda.
Sedangkan tujuan Syafi’i dalam menetapkannya yaitu membatasi hubungan kontruksi dan
makna yang ada didalamnya dengan berangkat dari titik tolak bahwa bayan adalah ushul dan
furu’ dan bahwa hubungan ushul dan furu’ ditentukan oleh pengetahuan terhadap bahasa
Arab. Selanjutnya Syafi’i mengklafikasi dan menetapkan aspek-aspek bayan dalam wacana
Al-Quran membaginya menjadi lima yaitu:
Pertama, titah yang dijelaskan oleh Allah untuk makhluk-Nya secara tekstual yang
tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua, titah
yang dijelaskan oleh Allah secara tekstual namun membutuhkan penyempurnaan dan

30
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, 193-194.

12 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
penjelasan, dan fungsi ini dipenuhi oleh sunnah Nabi. Ketiga, titah yang ditetapkan Allah
dalam kitabNya dan titah ini dijelaskan oleh nabi-Nya. Keempat, sesuatu yang tidak
disebutkan Al-Quran namun dijelaskan oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana
titah sebelumnya sebab dalam kitab-Nya Allah memerintahkan agar mentaati rasul-Nya.
Kelima, apa yang Allah mewajibkan hambanya untuk berijtihad, dan cara untuk sampai
kesana adalah dengan memahami bahasa Arab dan stalatika ungkapan dan membangun
pemikiran berdasarkan qiyas, menganalogikan suatu kasus yang tidak ada ketentuannya
dalam teks atau pun khabar suatu keputusan hukum yang telah ada yang didasarkan pada
teks, khabr dan ijma’. Dari sini ditetapkan aturan umum yang membingkai pikiran dan
membatasi wilayah geraknya. Dalam hal ini syafi’i berkata “tidak seorang pun berhak
mengatakan tentang halal dan haramnya sesuatu kecuali informasi dari kitab dan sunnah,
ijma’ dan qiyas”.31
Ra’yu tidak boleh berjalan kecuali berdasar qiyas. Qiyas adalah proses penalaran
yang didasarkan kepada adanya persesuaian dengan informasi yang telah ada sebelumnya
dalam kitab dan sunnah, persesuaian (antara furu’ dan ashal) baik antara keduanya memiliki
kesamaan makna atau keserupaan.32 Demikianlah, ijtihad pada dasarnya adalah ijtihad dalam
memahami teks keagamaan didalam wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahannya harus
dicari didalam dan melalui teks, dan qiyas sama sekali bukan ra’yu tetapi suatu proses yang
dilakukan berdasarkan dalil sesuai dengan informasi yang telah ada dalam kitab dan sunnah.
Dengan demikian agar qiyas bisa berlangsung, harus ada khabar (yakni teks) dalam kitab
atau sunah yang dijadikan sumber dalil, dan harus ada persesuaian, baik persesuain makna
atau kemiripan, antara furu’ dengan sumbernya. Ijtihad dan qiyas adalah mekanisme berfikir
yang berlangsung dengan menghubungkan antara satu sisi dengan sisi lainnya dan tidak
membangun dunia pemikiran dengan bertolak dari prinsip-prinsip. Sedangkan wilayah
kehidupan dan mekanisme pemikiran ini adalah teks. Dari sini cakupan pemikiran menjadi
terbatas atau sekedar menarik kesimpulan dari teks.dalam istilah ushuliyyun menarik hukum
dari kata (istismar al-ahkam min al-lafaz). Dalam sini kajian dalam ushul fikih bertolak dari

31
Muhammad Abed al-Jabiri, “Takwin al-“Aql al- Arabi”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, “Formasi Nalar Arab,
Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius”, (Yogyakarta : IRCisod,
2003).169-170.
32
Muhammad Abed al-Jabiri, “Takwin al-“Aql al- Arabi”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, “Formasi Nalar Arab,
Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius”.170.

13 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
premis-premis kebahasaan yang dicari dalam kata, jenis-jenis, signifikasi dan
keragamannya.33

E.Cara Memperoleh Pengetahuan (Metode)

Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan yaitu:
1. Metode Langsung, yaitu dengan cara merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-hadist.
2. Metode tidak langsung, yaitu dengan menggunakan Qiyas, yang disini qiyas bisa dibagi
atas dua hal yaitu qiyas metafisik dan qiyas fisik.

Atau juga bisa menggunakan dua metode di bawah ini:


1. Berpegang pada redaksi ( lafal) teks yaitu menggunakan bahasa Arab, seperti nahwu dan
saraf sebagai alat analisis.
2. Berpegang pada makna teks dengan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisis.

F. Logika Bayani
Penggunaan logika dilakukan dengan empat cara atau tahapan. Pertama, berpegang
pada tujuan pokok diturunkan teks, yang mencakup lima kepentingan, yakni bahwa ajaran
pokok teks adalah demi menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Caranya
dengan menggunakan induksi tematis dan disitulah tempat penalaran rasional.
Kedua, berpegang pada ‘illah teks.’illah adalah sifat atau keadaan yang melekat pada
teks sebagai dasar pijakan dari penetapan sebuah hukum. Untuk menemukan dan mengetahui
adanya ‘illat suatu teks ini digunakan sebuah sarana yang memerlukan penalaran yng disebut
masalik al-illah (jalan ‘illah).34 Cara kedua ini memunculkan metode yang terkenal yaitu
qiyas dan istihsan.
Selain qiyas, istihsan juga bisa dipakai untuk memperoleh pengetahuan, Istihsan
adalah berpaling dari sesuatu yang jelas yang masih samar, karena adanya alasan yang kuat
untuk pengalihan tersebut. Istihsan ini bisa dilakukan berdasarkan nash atau mashlahah.
Berdasarkan nash berarti ada dalil-dalil yang membenarkan atau menghendaki tidak
33
Zulpa Makiah, Jurnal: Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang
Mashlahah,.5.
34
Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, diterjemahkan oleh Masdar Helmi, “Ilmu Usul Fikih”, (Bandung :
Gema Risalah Press, 196).127-135.

14 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
berlakunya dalil yang pertama, sedangkan berdasarkan kemaslahatan berarti ada tujuan-tujuan
pokok yang bisa ditinggalkan.35
Ketiga berpegang pada tujuan sekunder teks. Tujuan sekunder adalah tujuan yang
mendukung terlaksananya tujuan pokok. Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan
sekunder teks adalah Istidlal, yakni mencari dalil dari luar teks, berbeda dengan istinbath yang
mencari dalil pada teks. Karena perlunya istidlal tersebut lahirlah teori-teori baru dalam usul
fikih, antara lain mashlahah mursalah, urf, dan sad aldzari’ ah.
Keempat, berpegang pada diamnya Syari’ (Allah) dan Rasul. Hal ini untuk masalah-
masalah yang sama sekali tidak ada ketetapanya dalam teks dan tidak bisa dilakukan dengan
cara qiyas. Caranya dengan kembali kepada hukum pokok (ashal) yang telah diketahui.
Misalnya hukum ashal masalah muamalah adalah boleh. Metode ini melahirkan teori baru
yang disebut istishab.
Menurut Marshal G.S Hodgson, masa al-Makmun memerintah adalah masa puncak
perkembangan pemikiran hukum Islam (Fiqh) dan kematangan susastra kebahasaan, sehingga
lahir lembaga ulama dan adib yang memotori gerakan, meminjam istilah George Makdisi,
scholasticism dan humanism. Gerakan pertama merupakan perwujudan dari gerakan
keagamaan tradisonal-konservatif dan budaya intelektual; gerakan ini adalah bentuk
interrelasi antara agama dan budaya, yang mengarah pada ortodoksi keagamaan, sedangkan
gerakan kedua adalah gerakan yang dilatari oleh kepedulian yang tinggi terhadap kemurnian
dan keunggulan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan bahasa kitab suci; gerakan ini
mengarah pada ortodoksi telah memunculkan kejayaan bagi epistemology bayani, sehingga ia
disinyalir sebagai mainstream tradisi pemikiran Arab Islam.36

G. Relasi antara Bayani dengan Al-Ahwal al-Syakhshiyyah


Bayan adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Dalam Bayani ini bukan
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus

35
Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos, 1997).139-141.
36
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, ( January-
June 2002).137

15 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
bersandar pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah
aspek eksoterik (syariat).37
Jika dikaitkan dengan hukum islam mengenai perkawinan, maka implementasinya
adalah sumber utama (teks) adalah Al-Qur’an, al-Qur’an sebagai sumber Dasar pijakan bagi
kaum muslim untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi,
misalkan saja pada permasalahan kepemimpinan dalam rumah tangga, dalam Al-Qur’an
sudah dijelaskan bahwa pemimpin dalam rumah tangga adalah suami, sesuai dengan surat
an-Nisaa’ ayat 34. Akan tetapi ayat tersebut masih belum bisa menjelaskan secara jelas
mengenai kedudukan suami seperti apa yang dapat menjadikan dia sebagai seorang
pemimpin dalam rumah tangga, maka dari itu perlu adanya hadis sebagai penjelas dari al-
Qur’an. Al-Qur’an pada tataran bayan ini lebih diprioritaskan dari ijma’ maupun qiyas yang
disitu adalah produk dari pemikiran manusia, akan tetapi bayan disini tidak memungkiri
adanya pemikiran lain seperti ijma’ dan qiyas untuk mendukung dari ayat al-Qur’an, asal
rasio yang dipakai dalam penentuan hukum suatu permasalahan tidak keluar dari syari’at
yang sudah ada dalam teks.

37
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, (Maguwoharjo: AR-RUZZ Media, 2016). 187.

16 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bayani dalam keilmuan epistimologi Islam dapat diartikan sebagai ilmu yang bersumber
pada teks, semua pengetahuan harus didasarkan pada teks (nash). Akan tetapi Bayani
juga tidak mengesampingkan akal (rasio) dalam memperoleh pengetahuan, tetapi akal
tidak boleh bertentangan dengan teks melainkan harus sesuai. Awal dari epistimologi
bayani merupakan suatu metode pemikiran khas Arab dengan berbagai asal-usul yang
dipakai masyarakat Arab pada waktu itu terutama dari segi kebahasaanya.
2. Perkembangan epistimologi bayani diawali dari perkembangan pengertian dari bayani
itu sendiri dan kemudian muncul beberapa metode yang dikemukakan para pemikir
Islam seperti Al-Syafi’I, menurut beliau pokok ushul itu adalah Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan qiyas. Al-Jahizh, pada masa ini Bayani ada perkembangan pesat yaitu bukan
lagi hanya sebagai penjelas akan tetapi juga menyimpulkan dan memberikan sistematia
kesimpulan. Masa yang selanjutnya adalah Ibn Wahhab Al-Khatib, pada masa ini
metode bayani memadukan antara metode fiqh yang eksplanatoris dan teologis. Pada
masa terakhir ada Al-Syathibi, pada masa ini bayani sudah lebih sempurna lagi dan
sistematis karena proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar
mengqiyaskan furu’ pada ashl.
3. Sumber utama dalam Bayani adalah teks, dalam ushul fiqh teks yang dimaksud adalah
adalah Al-Qur’an dan hadist. Tentang nash Al-Qur’an, meski sebagai sumber utama,
tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dalam Al-Qur’an terdapat qath’I dan
Zhanni.
4. Epistimologi Bayani berkaitan dengan teks dan hubunganya dengan realitas, maka
persoalan pokok yang ada didalamnya adalah sekitar masalah lafal makna dan ushul-
furu’. Kemudian dari dua aspek tersebut dibagi lagi dari segi teoritis munculnya tiga
persoalan tentang makna suatu kata. didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya,
tentang analogi bahasa dan soal pemaknaan al-asma al-syar’iyyah, seperti kata salat,
puasa, zakat dan lainnya.

17 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
5. Dalam metode bayani untuk mendapatkan pengetahuan teks maka diperlukan dua jalan
yaitu menggunakan bahasa Arab sebagai redaksi, dan yang dua adalah berpegang pada
makna teks dengan logika. Selain dari dua tersebut cara memperoleh pengetahuan bayani
juga bisa dilakukan dengan qiyas dengan istihsan.
6. Dalam logika bayani, ada empat cara atau tahapan yang dilakukan, diantaranya adalah
berpegang pada tujuan pokok diturunkan teks, berpegang pada ‘illah teks, berpegang
pada tujuan sekunder teks dan berpegang pada diamnya Syari’ (Allah) dan Rasul.

18 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abed, Muhammad Al-Jabiri. Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: Lkis, 2000).


Abed, Muhammad al-Jabiri. “Takwin al-“Aql al- Arabi”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri,
“Formasi Nalar Arab, Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Interreligius”. (Yogyakarta: IRCisod, 2003).
al-Jabiri, Abed. Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam Mohammad ‘Abed al-jabiri.
(Jogjakarta: Islamika, 2003).
Al-Kharbauthli, al-Hadharah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah. (Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t.).
Al-Syaukani, Path al-Qadir, Juz 5, (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.).
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformati., (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2008).
Hanafi, Hasan. Dirasat Falsafiyyah, (Kairo: Maktabah al-Anjilu, 1987)
Khudori, A. Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 2004).
Nasution, Kheruddin. Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: tazzafa, t.t).
Wahhab, Abdul Khallaf. “Ilmu Ushul Fiqh”. diterjemahkan oleh Masdar Helmi, “Ilmu Usul
Fikih”, (Bandung : Gema Risalah Press, 196).
Rahman, Fathur Jamil. Filsafat Hukum Islam. (Jakarta : Logos, 1997).
Soleh, Khudori. Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, (Maguwoharjo: AR-RUZZ
Media, 2016).
Susanto, Edi. Dimensi Studi Islam Kontemporer. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016).
Thalfah, Khairullah. Kuntum Khaira Ummatin Ukhrijat li an-Nas, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1975).
Tim FORZA Pesantren,Ijtihad Politik Islam Nusantara(Membumikan Fiqh Syasah Melalui
Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah), Kediri :Lirboyo Press, 2015
JURNAL

Al-Syaukani, Path al-Qadir, Juz 5. (Beirut: Dar al-Fikr, t. t.).


Arif, Mahmud. Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam, Al-Jami‟ah , Vol.40,
No.1, (January-June 2002).
Ardi, Sembodo Widodo. jurnal: Nalarrayani, 'Irfani, Dan Burhanidan Implikasinya terhadap
Keilmuan Pesantren,vol.6 Nomor.1.

19 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8
Makiah, Zulpa. Jurnal: Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Memperoleh
Pengetahuan Tentang Mashlahah.

20 | M a k a l a h E p i s t i m o l o g i B a y a n i 1 5 1 0 1 8

Anda mungkin juga menyukai