Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin responden perempuan sebanyak 58,3% merupakan jenis kelamin terbanyak. Sedangkan pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 41,7%. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruli Syukran Maulana (2016) dengan hasil responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 63,8%, sedangkan responden berjenis kelamin lakilaki 36,2%. Berdasarkan keluhan LBP menurut jenis kelamin oleh Kaur Kiranjit (2015), ditemukan bahwa prevalensi keluhan LBP lebih banyak terjadi pada perempuan (71,0%) dibandingkan pada laki-laki (66,7%). Peneliti lain, Birabi BN (2012) juga menyebutkan keluhan LBP lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 50.96%. Perempuan lebih banyak mengalami LBP dibandingkan laki-laki karena perempuan memiliki pekerjaan sampingan seperti melakukan pekerjaan rumah disamping bekerja sebagai petani. Hal ini meningkatkan Risiko untuk terjadinya LBP. Selain itu, menurut Velina dkk (2013) tingkat kemampuan otot perempuan secara fisiologis lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan hanya memiliki kekuatan otot 89 60% dari kekuatan otot laki-laki, terutama untuk otot lengan, punggung dan kaki. Masa otot yang lebih kecil menyebabkan meningkatnya prevalensi keluhan LBP pada wanita. Purnamasari (2010) dalam penelitiannya juga memperoleh hasil serupa yaitu sebanyak 60,98% perempuan. Jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri punggung bawah, karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat mengalami siklus menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga memungkinkan terjadinya nyeri punggung bawah. 5.1.2 Usia Usia termasuk dalam salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada hasil penelitian ini didapatkan tahap perkembangan lansia awal (46-55 tahun) merupakan tahap perkembangan tertinggi terjadinya kasus LBP yaitu sebanyak 27.8 %. Hasil penelitian yang sama juga dilakukan oleh Dina Dewi SLI (2010) didapatkan bahwa responden yang paling banyak mengalami LBP berusia diatas 45 tahun dengan persentase 52%. Hasil penelitian sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendy Purnamasari (2010) yaitu sebanyak 63,3% responden berusia diatas 45 tahun. Ruli Syukran Maulana (2016) dalam penelitiannya juga mendapatkan hasil sebanyak 68,1% responden berusia diatas 45 tahun. 90 Hasil penelitian ini sesuai dengan kepustakaan yang dilaporkan oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke (2011) bahwa dengan bertambah tua seseorang, kekuatan tulang dan elastisitas otot cenderung menurun. Diskus vertebra akan kehilangan cairan dan kelenturannya sehingga menurunkan kemampuannya untuk melindungi tulang belakang, tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. 5.1.3 Pekerjaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki pekerjaan swasta sebanyak 72,2 %, merupakan pekerjaan yang paling banyak dimiliki responden dalam penelitian ini. Pekerjaan yang dimiliki responden diantaranya seperti buruh/karyawan di suatu pabrik, bertani, sopir, dan ada beberapa yang bekerja serabutan (pekerjaan tidak tetap) seperti kuli bangunan dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan Dina Dewi (2010) menunjukkan hal serupa, responden terbanyak yang mengalami LBP adalah pekerja swasta yaitu sebesar 44% dari total responden yang diteliti. Pekerjaan akan berpengaruh besar seseorang mengeluhkan LBP jika tidak memperhatikan kesehatan dengan menerapkan prinsip kerja secara ergonomis agar terhindar dari cedera. Sikap kerja merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya keluhan nyeri punggung bawah. Hal ini sesuai dengan kajian pustaka yang menyatakan bahwa petani lebih sering melakukan posisi membungkuk lebih banyak mengalami keluhan LBP 91 (68,6%) dibandingkan dengan posisi tubuh lain seperti jongkok, mengangkat, menggendong, dan posisi lainnya seperti menggunakan traktor (Kiranjit Kaur, 2015). Amalia Riza Umami (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa paling banyak mengalami keluhan LBP adalah pekerja dengan sikap kerja duduk tidak ergonomis, dengan hasil p=0,001 yang berarti menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sikap kerja duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah. Heru Septiawan (2013) melaporkan sikap kerja yang statis dalam jangka waktu yang lama lebih cepat menimbulkan keluhan pada sistem muskuloskeletal. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan fisik dan psikologis dengan keluhan yang dirasakan pada punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk. Gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi punggung pada saat duduk menyebabkan lemahnya otot perut sehingga terjadi lordosis yang berlebihan. Secara anatomis, lordosis yang berlebihan pada lumbal menyebabkan penyempitan saluran atau menekan saraf tulang belakang dan penonjolan ke belakang dari ruas tulang rawan (diskus intervertebralis). Hal inilah yang kemudian menyebabkan nyeri punggung bawah. Gangguan fungsi itu timbul akibat tidak seimbangnya otot perut dan otot punggung yang menyangga tulang belakang. 92 5.1.4 Skala nyeri sebelum dan setelah diberikan perlakuan serta penurunannya Pengukuran skala nyeri pada semua responden yang terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok dry cupping therapy (DCT), wet cupping therapy (WCT), dan cupping-puncturing-cupping (CPC) telah dideskripsikan pada bab IV. Pengukuran skala nyeri pertama (pre test) dilakukan sebelum responden diberikan terapi bekam. Berdasarkan skala rata-rata pada tabel diatas, skala nyeri responden sebelum diberikan perlakuan pada kelompok