Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA ET CAUSA TB PARU

Disusun oleh :
dr. Fauzan Anshar

Pembimbing :
dr. Mufidatun, Sp.P

Pendamping :
dr. Normasari Madani
dr. Elvi Agustina

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RSUD Dr. KANUJOSO DJATIWIBOWO
BALIKPAPAN
KALIMANTAN TIMUR
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
Efusi Pleura et causa TB Paru

Disusun oleh:
dr. Fauzan Anshar

Telah dipresentasikan pada:

Hari :
Tanggal :

Mengesahkan dan menyetujui,


Pembimbing

dr. Mufidatun, Sp.P

ii
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
Efusi Pleura et causa TB Paru

Disusun oleh:
dr. Fauzan Anshar

Telah dipresentasikan pada:

Hari :
Tanggal :

Mengesahkan dan menyetujui,

Pendamping, Pendamping,

dr. Elvi Agustina dr. Normasari Madani

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah


Subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan rahmat dan kemudahan yang diberikan
oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Efusi
Pleura et causa TB Paru”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan makalah ini tidak terlepas dari bantuan,
dukungan, do’a dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini
peneliti ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Edi Iskandar, Sp. PD, selaku Direktur RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan.
2. dr. Mufidatun, Sp. P, selaku pembimbing laporan kasus ini
3. dr. Elvi Agustina dan dr. Normasari Madani, selaku dokter pendamping penulis
selama menjalankan PIDI di RSKD Balikpapan
4. Rekan-rekan seperjuangan peserta PIDI RSKD Balikpapan
5. Seluruh staf RSKD Balikpapan dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus
ini.
Semoga seluruh pihak yang telah disebutkan mendapatkan balasan pahala,
keberkahan, rahmat, kebaikan dan kesehatan dari Allah SWT.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat banyak
keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi berkah bagi penulis maupun
pembacanya.
Balikpapan, Oktober 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... …… i


Lembar Pengesahan ....................................................................................... …… ii
Kata Pengantar .............................................................................................. …… iv
Daftar Isi ......................................................................................................... …… v
Daftar Gambar ............................................................................................... …… vi
Daftar Tabel ................................................................................................... …… vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. …… 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... …… 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ …… 2
BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... …… 3
2.1 Anamnesis .................................................................................................. …… 3
2.2 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... …… 4
2.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. …… 6
2.4 Diagnosis .................................................................................................... …… 9
2.5 Tatalaksana................................................................................................. …… 9
2.6 Prognosis .................................................................................................... …… 9
2.7 Follow Up .................................................................................................. …… 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. …… 13
3.1 Penyakit Jantung Reumatik ........................................................................ …… 13
3.1.1 Definisi ............................................................................................. …… 13
3.1.2 Epidemiologi .................................................................................... …… 13
3.1.3 Etiologi ............................................................................................. …… 13
3.1.4 Patofisiologi ..................................................................................... …… 14
3.1.5 Diagnosis .......................................................................................... …… 17
3.1.6 Tatalaksana ...................................................................................... …… 25
3.2 Analisa Kasus ............................................................................................. …… 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... …… 35

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rontgen thoraks PA ..................................................................... …… 4


Gambar 2.2 EKG pasien tanggal 11 Juli 2019 ................................................. …… 5
Gambar 2.3 EKG pasien tanggal 15 Juli 2019 ................................................. …… 5
Gambar 2.4 Echocardiography......................................................................... …… 7

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kriteria JONES ................................................................................ …… 15


Tabel 3.2 Kriteria WHO 2002 RHD ................................................................ …… 16
Tabel 3.3. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung ...................... …… 17
Tabel 3.4 Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever ................. …… 22
Tabel 3.5 Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever ............. …… 23
Tabel 3.6 Panduan Obat Antiinflamasi ............................................................ …… 24
Tabel 3.7 Obat-obatan gagal jantung pada RHD ............................................ …… 25
Tabel 3.8 Panduan aktivitas pada RHD ........................................................... …… 26

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Demam Rematik (DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR) masih menjadi
penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di dunia.1 Kejadian DR akut dan
PJR di negara industri menurun selama lima dekade terakhir, namun PJR ini masih
tetap menjadi masalah di negara industri dan negara berkembang hingga permulaan
abad ke-21 dengan efek yang buruk mengenai anak-anak dan dewasa muda pada
usia produktif.
Dalam laporan World Health Organization (WHO) Expert Consultation
Geneva pada tahun 2001, diperkirakan 12 juta penduduk dunia menderita DR dan
PJR, dan paling tidak 3 juta diantaranya menderita penyakit jantung kongestif. Pada
tahun 2000, dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi di setiap negara,
mulai dari 1,8 per 100.000 penduduk di Amerika hingga 7,6 per 100.000 penduduk
di Asia Tenggara.1
Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi PJR berkisar
antara 0,3 - 0,8 per 1.000 anak sekolah.2 Berdasarkan laporan Leman, menurut pola
etiologi penyakit jantung yang dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
M. Djamil Padang tahun 1973-1977 didapatkan 31,4% pasien DR/PJR pada usia
10-40 tahun, dengan mortalitas 12,4%.3
Penderita PJR akan berisiko untuk kerusakan jantung akibat infeksi
berulang dari DRA dan memerlukan pencegahan. Morbiditas akibat gagal jantung,
stroke dan endokarditis sering terjadi pada penderita PJR dengan sekitar 1.5%
penderita akan meninggal pertahun.4,5 Di seluruh dunia DRA diperkirakan terjadi
pada 5-30 juta anak-anak dan dewasa muda.6

1
1.2 Tujuan Penulisan
1. 2.1 Tujuan Umum
Laporan kasus ini dibuat sebagai bentuk tugas ilmiah dalam melaksanakan
Program Internsip Dokter Indonesia periode tahun 2019-2020 di RS Umum
Kanujoso Djatiwibowo.
1.2.2 Tujuan Khusus
Melalui laporan kasus ini diharapkan dapat dipelajari lebih lanjut
mengenai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan
tatalaksana penyakit jantung reumatik.

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2. 1 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berusia 9 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada tanggal 11 Juli 2019 pukul
06.30 WITA dengan:
a. Identitas
Nama : Tn. DJK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 20 tahun
Alamat : Teritip
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
RM : 799003

b. Keluhan Utama
Sesak dirasakan lebih kurang 3 minggu, dan dirasakan memberat 1 hari
SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSKD pada hari Sabtu tanggal 23 November 2019
sekitar pukul 11.30 WITA dengan keluhan sesak dirasakan lebih kurang 3
minggu, dan dirasakan memberat 1 hari SMRS. Sesak dirasakan hilang
timbul dan dipengaruhi posisi pasien saat istirahat, pasien terkadang batuk
dan keluhan sesak bertambah saat pasien batuk. Pasien juga mengeluh
demam yang naik turun lebih kurang 1 minggu saat awal keluhan sesak
timbul. Pasien mengaku tidak ada batuk lama sebelumnya, riwayat
konsumsi obat selama 6 bulan, tidak ada keringat berlebih dimalam hari,
dan tidak ada penurunan BB.

3
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat imunisasi lengkap
 Riwayat asma (-)
 Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan/obat

e. Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama
 Riwayat alergi pada keluarga disangkal

f. Riwayat pengobatan
 Pasien pernah berobat ke puskesmas dan di diagnosa asma.

2. 2 PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesaran : Compos mentis
 Tanda vital :
 Tekanan darah : 119/77mmHg
 Nadi : 105x/menit
 Pernafasan : 24x/menit
 Suhu : 36,2oC

Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis -/- Ikterik -/-
 Hidung : Dalam batas normal
 Telinga : Dalam batas normal
 Mulut : Dalam batas normal
 Leher : Pembesaran KGB (-) tiroid (-) DVJ R+2
H2O

4
Thorax
Pulmo
 Inspeksi : Gerakan dinding dada asimetris, dada
kanan lebih tinggi retraksi (-)
 Palpasi : Fremitus kanan lebih keras, krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/-), Redup (-/+)
 Auskultasi : Bunyi pernafasan : Vesikuler (+/-)
Bunyi tambahan : Ronkhi (-/+), Wh (-/-)
Cor
 Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung :

▪ Kanan atas : ICS II linea parasternalis


dextra

▪ Kiri atas : ICS II linea parasternalis


sinistra

▪ Kanan bawah : ICS IV linea


parasternalis dextra

▪ Kiri bawah : ICS V linea


midclavicularis sinistra
 Auskultasi : S1/S2 reguler, murmur sistolik, gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastirum, hepar dan lien
tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-),
clubbing finger (-), CRT < 2”

5
2. 3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen thoraks

Tanggal 23 November 2019

Gambar 2.1 Rontgen Thoraks PA


Expertise :
- Perselubungan homogen pada seluruh hemithorax kiri yang
menutupi sinus dan diaframa kiri. Trachea shift ke kanan
- Cor : sulit dinilai
- Tulang – tulang intak
Kesan : Efusi Pleura sinistra massif

Tanggal 25 November 2019

Gambar 2.1 USG Abdomen

6
Expertise :
- Hepar: dalam batas normal
- GB: dalam batas normal
- Pankreas: dalam batas normal
- Lien: dalam batas normal
- Ginjal kanan: dalam batas normal
- Ginjal kiri: dalam batas normal
- VU: dalam batas normal
- Tampak echo cairan bebas berseptasi dengan debris echogenic pada
cavum pleura kiri yang mendesak diafragma dan lien ke caudal
- Kesan : Efusi Pleura sinistra dengan bulging diafragma dan
pendesakan lien ke caudal

Tanggal 2 Desember 2019

Gambar 2.1 Rontgen Thoraks PA


Expertise :
- Ujung chest tube terpasang setinggi costa X posterior
- Perselubungan homogen pada basal hemithorax kiri yang menutupi
sinus dan diaframa kiri.
- Cor : dalam batas normal
- Tulang – tulang intak
Kesan : Efusi Pleura sinistra

2. Darah rutin
Tanggal 10 Juli 2019
Parameter Hasil NilaiRujukan

Hemoglobin (L) 10.8 11,8 – 15,0


Eritrosit 4.37 juta 4 juta - 5,3 juta

7
Leukosit 9.08 5000 – 11000
Hematokrit (L) 34.4 35,0 – 45,0
Trombosit 240 150.000 –
450.000
MCV 78.7 75,0-91,0
MCH (L) 24.7 27,0-31,0
MCHC 31.4 31,0-37,0

Tanggal 12 Juli 2019


Parameter Hasil NilaiRujukan

Hemoglobin (L) 11.1 11,8 – 15,0


Eritrosit 4.52 juta 4 juta - 5,3 juta
Leukosit (H) 11.50 5000 – 11000
Hematokrit 35.2 35,0 – 45,0
Trombosit (H) 633 150.000 – 450.000
MCV 77.9 75,0-91,0
MCH (L) 24.6 27,0-31,0
MCHC 31.5 31,0-37,0

3. Imunoserologi

8
Nilai
Pemeriksaan Hasil
rujukan
Positif Negatif
ASTO (kualitatif)
(H) 28 <6
CRP

4. Kultur darah
Tanggal 17 Juli 2019
Specimen : Darah
Kesan : Tidak ada pertumbuhan kuman

5. Echocardiografi

Gambar 2.4 Echocardiografi

Hasil echocardiografi
Dilatasi LA, LV
MR sedang-berat
TR sedang
Kesan : RHD dengan tanda karditis
6. Urinalisa
Tanggal 15 Juli 2019
Nilai
Pemeriksaan Hasil
rujukan
Warna Kuning muda Kuning
Bilirubin Negatif Negatif

9
Keton Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
pH 5.0 5-9

2. 4 DIAGNOSIS KERJA
Penyakit jantung reumatik
CHF

2. 5 DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung kongenital asianotik
Bronkopneumonia

2. 6 PENATALAKSANAAN
Terapi dr. Sp. A :
 Benzatin Penicillin G 1,2jt IM (Jika tidak ada ganti Eritromisin
40mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis P.O)
 Aspirin 100mg/kgbb/hari dibagi 6 dosis P.O
 Jika ada tanda karditis  Prednison 2mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis
P.O selama 2 mgg lalu tapering off
 Salbutamol 3x2mg P.O
 Konsul dr. Sp. JP

Terapi dr. Sp. JP :


 Tirah baring
 Furosemide 20 mg 1_0_0 P.O
 Spironolakton 12,5mg 1_0_0 P.O
 Captopril 3x6,25mg P.O

2. 7 PROGNOSIS
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

2. 8 FOLLOW UP PASIEN RAWAT INAP :


Tanggal Follow up
11/7/2019 Sp. A
S : Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri pada
kedua lutut. Rujukan dari RSBB DPJP dr. Trisia,
Sp. A. Batuk ± Nyeri menelan (-)
O : S : 36oC N : 131x/i P: 24x/i BB : 38,5kg
Kepala : Mata : An -/- Ikt -/-

10
Dada : Jantung : S1/S2 reguler, murmur sistolik grade
III, gallop (-)
Paru : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abdomen : BU (+)
Ekstremitas : Edema (-) Sianosis (-) CRT <2”
A : Susp. Rheumatic Heart Disease dd/ PJB
P:
- Cek LED, CRP, ASTO, dan kultur darah
- Benzatin Penicillin G 1,2jt IM
(Jika tidak ada ganti Eritromisin 40mg/kgbb/hari
dibagi 4 dosis P.O 10 hari)
- Salbutamol 3x2mg P.O
- Konsul dr. Ria, Sp. JP pro echocardiografi

12/7/19 Sp. JP
S : Nyeri dada (-) Sesak (-) Fatigue (+)
O : TD : 100/70mmHg
Hasil echocardiografi
Dilatasi LA, LV
MR sedang-berat
TR sedang
Pem. Lab :
- ASTO (+)
- CRP 28 (H)
- LED 105 (H)
A : RHD dengan tanda karditis + CHF
P:
- Tirah baring
- Timbang berat badan/hari
- Balance cairan
- Furosemide 20 mg 1_0_0 P.O
- Spironolakton 12,5mg 1_0_0 P.O
- Captopril 3x6,25mg P.O

Sp. A
S : Mual (-) Muntah (-) Dada berdebar (+)
O : ASTO(+) CRP (+) LED ↑
A : RHD dengan karditis “berat”
P:
- Tirah baring 2-4 bulan
- Aktivitas didalam ruangan saja 2-3 bulan
- Timbang berat badan per hari
- Eritromicin hari ke 2
- Prednison 2mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis P.O
selama 6 minggu
13/7/19 Sp. A

11
S : Demam (-) Batuk (-) Nyeri dada (-) Palpitasi (-)
muntah (-) Lemas (-)
O : TD : 111/70mmHg
Rh -/- wh -/-
A : RHD dengan karditis berat
CHF
P:
- Eritromisin hari ke 3
- Prednison hari ke 2
- Obat jantung lanjut
15/7/19 Gizi
BB : 38kg TB : 126cm IMT/U : 23,94 (Moderate
overweight) BB/U : Normal
Diet jantung II 1600kkal peroral 3x makanan utama 2x
selingan
18/7/19 Sp. A
S : Sesak berkurang
O : TD : 124/64 N : 90x/i P : 24x/i S : 36,3
A : RHD + CHF
P:
- (+)Aspirin 100mg/kg/hari dibagi 6 dosis = 6x650mg
selama 2 bulan Prednison lanjut
- Eritromisin hari ke 8
- Prednison hari ke 7
- Obat jantung lain lanjut
19/7/19 Sp. A
S : Demam (-) Sesak (-) Nyeri dada (-)
O : Thoraks : Rh -/- Wh -/-
CRT < 2”
A : RHD dengan Carditis berat
CHF
P:
- Salbutamol stop
- Eritromisin 4x400mg hari ke 9
- Prednison 4x20mg hari ke 8 s/d 14 hari selanjutnya
tapering off 1mg/kg/hari = 4x10mg setiap 2 minggu
- Aspirin 6x650mg hari ke 2
- Furosemid 20mg 1-0-0
- Spironolakton 12,5mg 1-0-0
- Captopril 3x12,5mg
- Concor 1x1,25mg

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
3.1.1 Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan
penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit

13
jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%),
aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang
katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis
atau insufisiensi atau keduanya.1
3.1.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-
250.000 kematian bayi premature setiap tahun dan penyebab umum
kematian akibat penyakit jantung pada anak-anak dan remaja di negara
berkembang.2 Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29
Oktober–1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas
untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000
penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6
per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang
meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.3 Prevalensi demam
rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.3
3.1.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam
reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen
multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu
yang mempunyai factor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada
penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui
suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan
tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral
(76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens
tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.1

3.1.4 Patogenesis

14
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan
penyakit supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis,
pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam
rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri
tenggorokan, malaise, pusing dan leukositosis.4 Pasien masih tetap
terinfeksi selama berminggu minggu setelah gejala faringitis menghilang,
sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral
atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit.
Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat
mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.4,5
Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever akan berkembang menjadi
rheumatic heart disease.5 Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada
rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan
timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut),
kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis.5 Sebagai dasar
dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor
yang berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor
organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme
penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever.
Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan,
dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan
major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan
sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut
adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus.

15
Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga
menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi
autoreaktif.6 Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO)
yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara
simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis
jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas
silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.7
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi
adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang
homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti
peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi
reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan
sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.7 Epitop
yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang
sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin,
dan N-asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini
menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya
rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein
yang mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung
dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,
Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan
jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.5,8
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga
memainkan peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-
6% populasi memiliki potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang

16
genetik marker menunjukan bahwa gen human leukocyte-associated
antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan penyakit rheumatic
fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak pada
kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II
berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan
memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas
II, HLA-DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease
pada lesi-lesi valvular.7
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan
pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di
katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang
dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae
baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.9
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup
mitral (65-70% kasus).4 Perubahan struktur katup diikuti dengan
pemendekan dan penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya
insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk dan
proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan
berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan
menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila
kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan
juga dapat terjadi.9
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi
katup aorta akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi
darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel
kiri.11 Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi
akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun
katup, corda dan otot papilaris. Stenosis dari katup mitral ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,

17
menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat
menimbulkan kelainan jantung kanan.9
Fase demam reumatik :
1) Fase infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A, paling
sering terjadi pada nasofaring.
2) Fase laten yaitu 1-3 minggu stelah infeksi dimana demam
dan manifestasi klinis telah menurun dan tidak didapati
Streptococcus, biakan negative
3) Fase reumatik akut. Manifestasi klinis sangat bervariasi
mulai dari karditis ringan, polyarthritis migrans, karditis
berat dengan gagal jantung. Fase ini berakhir 2-3 bulan dan
tidak didapati Streptococcus lagi
4) Fase akhir. Fase tenang atau fase inaktif dimana semua
tanda-tanda aktif reumatik menurun. Prognosis tergantung
pada rekurensi demam reumatik, luasnya kerusakan katup
dan beratnya miokard yang kena.

3.1.5 Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic
fever menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada
rheumatic fever bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi
yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem
organ yang terlibat.
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20%
anak-anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan
mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala,
penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat.
Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea, sakit perut dan
muntah.4

18
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di
bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan
kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan
infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya.4
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi
beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu
manifestasi mayor dan minor.4
Tabel 3.1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis
Rheumatic Fever10
Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis :
Eritema marginatum - artralgia: nyeri sendi tanpa merah
Nodul subkutan dan bengkak
Chorea sydenham - demam tinggi (>39oC)
Poliartritis migrans
Laboratorium:
- peningkatan penanda peradangan
yaitu erythrocyte sedimentation rate
(ESR) atau C Reactive Protein
(CRP)
- peningkatan ASTO
- pemanjangan interval PR pada
EKG

Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari
terakhir)

19
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup
A.4,11

Tabel 3.2. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis


Rheumatic Fever dan RHD11
Kriteria diagnosis Kriteria
Rheumatic Fever serangan Dua mayor
pertama - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
Rheumatic Fever serangan ulang - Dua mayor
tanpa RHD - Atau satu mayor dan dua minor
- Ditambah bukti infeksi SBHGA
sebelumnya
Rheumatic Fever serangan ulang - Dua minor
dengan RHD - ditambah dengan bukti infeksi
SBHGA sebelumnya
Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor
lainnya atau bukti infeksi SBHGA
PJR (stenosis mitral murni atau - Tidak diperlukan kriteria lainnya
kombinasi dengan insufisiensi untuk mendiagnosis sebagai RHD
mitral dan/atau gangguan katup
aorta)

Kriteria Mayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering
terjadi setelah poliartritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis

20
dan perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea
ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik,
edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering
ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya
demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup
jantung dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 3.3. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang


Timbul
Gangguan Manifestasi
Regurgitasi Mitral - Aktivitas ventrikel kiri
meningkat
- Bising pansistolik di apeks,
menyebar ke aksila bahkan ke
punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey
coombs murmur) di apeks
Regurgitasi Aorta - Aktivitas ventrikel kiri
meningkat
- Bising diastolik di ICS II
kanan/kiri, menyebar ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar
(sistolik tinggi, sedangkan
diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
Stenosis mitral - Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah apeks,
dengan S1 mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni


katup yang parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea,

21
ortopnea, distensi vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan
edema perifer.12 Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi
jantung yang redup, suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah
tanda khas efusi perikardium dan tamponade perikardium yang
mengancam.12

Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever,
terjadi pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari
setelah infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang
sendi aktif ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa
sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif
merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi
besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.
Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans).
Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan
namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat
sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau
tiga minggu.12

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance


Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan
dua kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten
yakni beberapa bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan).
Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan
saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari
chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya
rheumatic fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas.
Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan
inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat terkena, namun otot
ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin

22
diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.12

Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever
yang terjadi kurang dari 10% kasus.12 Ruam berbentuk anular berwarna
kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya
berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh
(dada atau punggung) dan ekstremitas.4

Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus.
Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas
jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala
bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan
berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-
2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic
fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu
menyertai karditis rematik yang berat.13

Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal
dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri
sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat)
juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar.
Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik,
yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever.
Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.12
c. Pemeriksaan Penunjang

23
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
untuk mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart
disease adalah :
i. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan.
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis
terutama pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker
inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah
(LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik
untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan
LED, namun normal pada pasien dengan congestive failure atau
meningkat pada anemia. CRP merupakan indikator dalam
menetukan adanya jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit.
CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif.8
- Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus
grup A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90
%.4

- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus


Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika
gejala klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus
yang biasa digunakan adalah antistreptolisin O / ASTO dan
antideoxyribonuklease B / anti DNase B. Pemeriksaan ASTO
dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6
setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak dan > 250

24
unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer
anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak
usia sekolah.4
- Kultur tenggorokan
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya
streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya
negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease
mulai muncul.4
ii. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali
dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.4
iii. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever
dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa
bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan
berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran
ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae
mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral.4
3.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis
besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta
hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan
memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat

25
fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease
berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari
rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain
itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a. Terapi Antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal
yang sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis
terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi
dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring yang berulang.6
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan
aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien
untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan
kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping.14
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan
amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta
hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap
penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi
dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus
group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan
penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung.
Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada
pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien
dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan
pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena
rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi
rendah).14

26
Tabel 3.4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever14
Agen Dosis ER
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B
satu kali sehari selama 10 hari
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 600,000 1B
unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg: 1,200,000 unit IM sekali
Peniillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg diberikan 1B
250 mg oral 2-3x sehari selama 10
hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500 mg
oral 2-3x sehari selama 10 hari

Untuk pasien alergi penisilin


Eritromicin 40mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis selama 1B
10 hari
Azithromycin 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 mg) oral 2B
(Zithromax) 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 dosis 2B
(Biaxin) (maksimal, 250 mg 2x sehari), selama 10
hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 1.8 2B
g/hari), dibagi menjadi 3 dosis, untuk 10
hari

Profilaksis Sekunder
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan
atau munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap
infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang

27
berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah
rheumatic heart disease yang parah.14

Tabel 3.5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic


Fever14
Agen Dosis ER
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 600,000 unit 1A
IM setiap 4 minggu sekali

Pasien berat > 27 kg: 1,200,000 unit IM setiap 4 minggu sekali

Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B


Eritromisin 250mg 2x sehari 1B
Sulfonamid Pasien berat > 30kg 1gram sehari 1B
Pasien berat < 30kg 500mg sehari

Tabel 3.6 Durasi pemberian profilaksis sekunder

b. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis)
biasanya merespon cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti

28
inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien
dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak
membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.6,15
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu
sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis
aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi
stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70
mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap
aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.6,15
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah
prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama
2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis
diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam
nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari.
Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi.4,6,15

3.7 Tabel Panduan Obat Anti Inflamasi

c. Terapi Gagal Jantung


Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon
baik terhadap tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid,
namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi

29
diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya,
pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan
diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE
Inhibitor dan atau digoxin. 4,6,15

Tabel 3.8 Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada


Rheumatic Fever
Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5
mcg/kg/hari dosis pemeliharaan
Diuretik:
Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,
Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari
Vasodilator: Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan,
Captopril dinaikkan 1,5 – 3 mg/kg/hari dibagi
dalam 3 dosis.
Sodium nitroprusside 0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan
bila gagal jantung sulit dikontrol.
Monitor kadar sianida.
Inotropik:
Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa
restriksi kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan
natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien
diberikan kortikosteroid atau diuretik.16,17
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat

30
itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai
tanda-tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara
bertahap.17 Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
Tabel 3.9 Panduan aktivitas yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever

e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif
untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi
defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa
pasien.16,17 Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau
mengalami gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan
intervensi.4
- Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal,
dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.4
- Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan
rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera
dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.4
- Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat
langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga
operasi lebih banyak dikerjakan.4

31
- Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau
kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian
katup.4

3.1.7 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami
kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun
sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan
kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip
dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih
besar.4
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12
minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien
dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan
serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi
60%.

3.2 Analisa Kasus


Pasien datang ke IGD RSKD pada hari Kamis tanggal 11 Juli 2019
sekitar pukul 06.30 WITA dengan keluhan nyeri lutut kanan dialami sejak
1 bulan yang lalu dan semakin memberat sejak 1 minggu terakhir SMRS.
Nyeri dirasakan hilang timbul, berpindah-pindah dan tidak dipengaruhi
aktivitas. Sebelumnya pasien merasakan bengkak dan kemerahan pada lutut
nya dan nyeri pada sendi siku, tetapi sekarang sudah tidak ada. Keluhan
disertai dengan rasa berdebar-debar saat aktivitas berat sejak ±1 bulan yang
lalu. Ibu pasien mengaku pasien menjadi cepat lelah, lemas dan penurunan
nafsu makan.
Sebelumnya pasien memiliki riwayat ISPA ± 1,5 bulan yang lalu
dan berobat ke faskes primer dan menerima obat racikan dosis 3x1.

32
Dari identitas pasien sesuai dengan studi epidemiologis bahwa
insiden tertinggi penyakit jantung reumatik ditemukan pada anak bermur 5-
15 tahun.6
Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien takikardi dengan heart
rate 110x/menit. Saat MRS pasien dalam keadaan tidak demam, yaitu
36,2oC. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan terdapat takikardi yang
tidak sesuai dengan tinggi suhu dan pada auskultasi bunyi jantung
didapatkan murur sistolik grade III pada daerah apeks jantung sehingga
mengarah ke karditis.4 Pasien memiliki riwayat demam di rumah saat ±1
bulan yang lalu. Demam pada demam reumatik berlangsung sebagai suatu
demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan
petanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu
banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis
banding yang bermakna.6 Pasien mengaku sendi siku dan lututnya pernah
nyeri dan disertai dengan pembengkakan dan kemerahan. Polyarthritis
migrans adalah radang sendi aktif ditandai dengan nyeri, bengkak, eritema
pada beberapa sendi.

Pada rontgen thoraks didapatkan kardiomegali dan tanda awal dari


udem paru yaitu kerley sign. Pada EKG yang dilakukan tidak didapatkan
pemanjangan interval PR. Hasil laboratorium menunjukkan HB 10,8mg/dl,
ASTO (+) dan CRP 28 (meningkat). Pasien lalu dilakukan pemeriksaan
echocardiografi yang hasilnya didapatkan mitral regurgitasi derajat sedang-
berat dan tricuspid regurgitasi sedang, sehingga memberikan kesan
rheumatic heart disease dengan tanda karditis.
Tabel 3.10 Diagnosis berdasarkan kriteria Jones
Kriteria Mayor Kriteria Minor
 Karditis  Demam > 39oC
 Poliarhtritis  Artralgia
Chorea sydenham  Lab ASTO (+) CRP meningkat

33
Eritema marginatum PR interval memanjang
Nodul subkutan

Dari tabel 3.10 diatas didapatkan 2 kriteria mayor + 3 kriteria minor


sehingga disimpulkan pasien menderita Penyakit jantung reumatik. Apabila
menggunakan kriteria WHO modifikasi JONES didapatkan pasien tersebut
masuk ke serangan pertama Rheumatic Heart Disease. Pasien lalu
dianjurkan untuk tirah baring hingga fase akut selesai 2-4 bulan karena
ditemukan tanda gagal jantung.6
Antibiotik untuk eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah
suatu hal yang sangat penting untuk menghindari paparan berulang kronis
terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Pada pasien
diberikan Eritromisin 40mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis P.O selama 10 hari.
Pasien diberikan lini kedua karena obat lini pertama Benzatine penicillin G
belum tersedia. Pasien juga diberikan antiinflamasi yaitu Prednison
2mg/kg/hari dibagi 4 dosis slm 2-6 minggu = 4x20mg lalu setiap 2 minggu
prednisone dapat ditapering off jadi 1mg/kg/hari lalu 0,5mg/kg/hari.
Prednison hanya diberikan pada penderita RHD dengan karditis berat. Anak
ini tergolong dalam kelompok karditis berat karena didapatkan
kardiomegali disertai tanda gagal jantung. Hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan karditis terbagi menjadi 3, yaitu karditis ringan, sedang, dan
berat. Pada karditis ringan tidak jelas didapatkan kardiomegali, karditis
sedang ditandai dengan kardiomegali ringan, dan karditis berat ditemukan
kardiomegali jelas dan tanda gagal jantung.11
Selain itu pasien juga diberikan aspirin 100mg/kgbb/hari dan
diturunkan menjadi 60mg/kg/hari saat minggu kedua. Aspirin diberikan
pada pasien dengan semua derajat karditis.11
Terapi untuk menangani gagal jantung pada pasien diberikan
furosemide 20mg 0_0_1 (golongan loop diuretic) dan spironolakton 12,5mg
1_0_0 (golongan diuretic hemat kalium) keduanya berguna untuk
mengurangi beban jantung (preload) dan dipantau balance cairannya. Pada

34
pasien juga diberikan captopril 3x6,25mg (golongan ACE inhibitor) yang
berfungsi untuk menurunkan afterload dengan vasodilatasi yang akan
menurunkan tahanan resitensi perifer (SVR). Pemberian concor 1x1,25mg
(golongan beta bloker) diberikan agar mengurangi kontraktilitas karena
sifatnya yang inotropic negatif dan mengurangi laju jantung. Pada pasien
dengan gagal jantung harus diberikan obat yang berfungsi menurunkan
heart rate agar darah yang ada diventrikel kiri bisa maksimal di pompa ke
seluruh tubuh.4
Pasien lalu dipulangkan pada tanggal 19 Juli 2019 (hari ke 9
perawatan). Keluhan nyeri persendian sudah tidak ada. Pasien kontrol ke
poliklinik anak dan jantung tiap 2 minggu untuk melanjutkan terapi benzatin
penicillin 1,2jt IU IM. Profilaksis sekunder dibutuhkan untuk pencegahan
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang
berulang sehingga mencegah perburukan atau munculnya rheumatic heart
disease.6
Selain eradikasi dari bakteri tersebut dilakukan juga follow up
mengenai mitral regurgitasinya baik klinis maupun dengan pemeriksaan
echocardiography.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chakko S, Bisno AL. 2001. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V,
Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc
Graw-Hill : New York.
2. Marijon E, Mirabel M, ,et al. 2012. Rheumatic fever. Paris: Lancet.
3. World Health Organization. 2001. Rheumatic fever and rheumatic heart
disease WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert
Consultation Geneva
4. Rilantono, LI. 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Majid Abdul. 2005. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem
Kardiovaskuler secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik

35
Jantung, dan Jantung sebagai Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan:
Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran USU.
6. WHO. 2004. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a
WHO expert Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.p
df [diunduh 11 Agustus 2019].
7. Luiza Guilherm, dkk. 2006. Molecular Mimicry in The Autoimmune
Pathogenesis of Rheumatic Heart Disease. Autoimmuniy.
8. Kumar, Vinay dkk. 2010. Valvular Heart. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. Philadelpia: Elsevier Inc.
9. Kliegman, Robert M, dkk. 2007. Rheumatic Heart Disease. Nelson
Textbook of Pediatrics, Edisi 18. Elsevier.
10. Mishra T.K., 2007. Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease: current scenario. JIACM.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
12. Essop, M.R & Omar, T. 2010. Valvular Heart Disease: Rheumatic
Fever. Philadelphia: Crawford.
13. Carapetis, J., dkk. 2010. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s
Cardiovascular Medicine. United States: The McGraw-Hill.
14. Armstrong, C. 2010. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic
Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis.
Am Fam Physician.
15. Kumar, R.K., Tandon R.2013. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart
Disease: The last 50 years. Indian J Med Res.
16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online]
Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-
overview#a0199 [diakses pada 20 agustus 2019].
17. Ciliers, A.M. 2006. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ.

36

Anda mungkin juga menyukai