KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya tim penulis
dapat menyelesaikan makalah Asfixia Neonatorum.
Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi yaitu 34/1.000 kelahiran hidup,
sekitar 56% kematian terjadi pada periode sangat dini yaitu masa neonatal. Penyebab utama kematian
neonatal tersebut adalah asfiksia bayi baru lahir, prematurita/bayi berat lahir rendah dan infeksi.
Persalinan terjadi di rumah, bidan sebagai penolong persalinan, dan di Rumah sakit di lini terdepan
akan sering menjumpai kasus asfiksia atau masalah bayi baru lahir lainnya. Sehingga bidan dan
perawat harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang resusitasi bayi baru
lahir dan penanganan neonates sakit, yang sangat penting dalam upaya penurunan Angka Kematian
Bayi.
Terkait dengan hal tersebut, maka kami membuat makalah ini agar dapat mengembangkan
Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir. Kepada semua pihak yang telah mendukung penyusunan dan
revisi makalah ini, kami ucapkan terima kasih. Harapan kami makalah ini dapat digunakan dan
dimanfaatkan tidak hanya sebagai pedoman atau bahan belajar bagi karyawan rumah sakit Bengkulu,
tetapi juga sebagai bahan rujukan/kepustakaan ketika bertugas memberikan pelayanan kesehatan
terhadap bayi baru lahir.
Bengkulu, 2019
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berdasarkan data dari WHO November 2013, jumlah kelahiran bayi hidup di Indonesia pada
tahun 2010 adalah 4.371.800, dengan kelahiran prematur sebanyak 675.700 (15,5 per 100 kelahiran
hidup) dan angka kematian sebesar 32.400 (nomor 8 penyebab kematian di Indonesia). Dalam 10
tahun terakhir, Angka Kematian Neonatal di Indonesia cenderung stagnan yaitu 20/1000 kelahiran
hidup (SDKI 2002-2003) menjadi 19/1000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Selain itu proporsi kematian
neonatal terhadap kematian anak balita cenderung meningkat dari 43% (SDKI 2002-2003) menjadi
48% (SDKI 2012). Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama (0-6 hari) adalah
asfiksia (36 %), BBLR/ Prematuritas (32%) serta sepsis (12%) sedangkan bayi usia 7-28 hari adalah
sepsis (22%), kelainan kongenital (19%) dan pneumonia (17 %). Upaya menurunkan angka kematian
bayi adalah perawatan antenatal dan pertolongan persalinan sesuai standar yang harus disertai dengan
perawatan neonatal yang adekuat dan upaya untuk menurunkan kematian bayi akibat bayi berat lahir
rendah, infeksi pasca lahir (seperti tetanus neonatorum, sepsis), hipotermia dan asfiksia.
Dalam dekade terakhir pelayanan persalinan sudah lebih baik namun bayi baru lahir masih
banyak menderita asfiksia dan pada kasus asfiksia berat menyebabkan Hipoksia Iskemik Ensefalopati
(HIE) dan bisa menyebabkan kerusakan neurologis permanen. Prevalensi asfiksia pada persalinan
adalah 25 tahun, per 1000 kelahiran hidup di antaranya 15% adalah sedang atau berat. Pada bayi
prematur, 73 per 1000 kelahiran hidup di antaranya 50% adalah sedang atau berat.3,4 Di negara
berkembang, sekitar 3% bayi lahir mengalami asfiksia derajat sedang dan berat. Bayi asfiksia yang
mampu bertahan hidup namun mengalami kerusakan otak, jumlahnya cukup banyak. Hal ini
disebabkan karena resusitasi tidak adekuat atau salah prosedur. Pemerintah melalui Kementrian
Kesehatan RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 53 tahun
2014 tentang Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial untuk menangani asfiksia bayi baru lahir yang
tercantum pada pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial 0 (nol)
sampai 6 (enam) jam meliputi:
Asfiksia dapat dicegah dan ditangani, namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan,
kemampuan tenaga kesehatan, keadaan sosial ekonomi, sistem rujukan yang belum berjalan dengan
baik, terlambatnya deteksi dini kehamilan risiko tinggi dan kesadaran orang tua untuk mencari
pertolongan kesehatan.
2. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum:
Perawat dan bidan di rumah sakit umum Bengkulu mampu melaksanakan asuhan
kebidanan dan asuhan keperawatan pada bayi dengan asfiksia secara komprehensif
b. Tujuan Khusus:
Setelah menyusun makalah yang berjudul asfixia neonatorum ini diharapkan dapat :
1. Mengidentifikasi penyebab asfiksia pada bayi,
2. Mengidentifikasi masalah potensial bayi dengan asfiksia,
3. Mengidentifikasi kebutuhan segera pada bayi dengan asfiksia,
3. Manfaat Penulisan
Diharapkan dengan penulisan makalah ini karyawan rumah sakit Umum Bengkulu dapat
mengidentifikasi tentang Asfiksia Neonatorum pada bayi baru lahir serta penanganannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Istilah asfiksia sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti nadi yang berhenti (stopping of
the pulse).
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia) adalah
kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi,
2013).
Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara
respirasi, yang ditandai dengan:
(Prambudi, 2013).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia
yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi
bayi baru lahir (BBL) terhadap kehidupan uterin (Grabiel Duc, 1971).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat
mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi
pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan
akan berhenti, denyut jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara
berangsur angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apnea primer. Perlu
diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat
obat-obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen selama
periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila asfiksia berlanjut,
bayi akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan
darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin
lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea sekunder (Saifuddin, 2009).
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah
persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi
selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan.
Sebelum lahir, seluruh oksigen yang digunakan oleh janin berasal dari difusi darah ibu ke
darah janin melewati membran plasenta. Hanya sebagian kecil darah janin yang mengalir ke paruparu
janin. Paru janin tidak berfungsi sebagai jalur transportasi O2 atau ekskresi CO2 ataupun
keseimbangan asam basa pada janin. Paru-paru janin mengemband dalam uterus akan tetapi kantung-
kantung udara yang akan menjadi alveoli berisi cairan bukan udara. Selain itu pembuluh arteriol
konstriksi (mengkerut) karena tekanan parsial oksigen (PO2) pada janin rendah. Sebelum lahir,
sebagian besar darah dari sisi kanan jantung tidak dapat memasuki paru karena resistensi yang lebih
rendah yaitu melewati duktus arteriosus menuju aorta. Setelah lahir, bayi tidak lagi terhubung dengan
plasenta dan akan bergantung pada paru-paru sebagai sumber oksigen. Oleh sebab itu dalam hitungan
detik, cairan paru dalam alveoli harus diserap. Paru-paru harus terisi udara yang mengandung oksigen
dan pembuluh darah paru harus 2 membuka untuk meningkatkan aliran darah ke alveoli sehingga
oksigen dapat diabsorpsi dan dibawa ke sleuruh tubuh (Perinasia, 2012)
C. Patofisiologi
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada saat antepartum,
intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang
dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat.
a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk mengembangkan paru,
tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang
karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea
primer.
b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena dilakukan
tindakan resusitasi yang sesuai usaha bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan
membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap
terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan memasuki
periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan
terminal ini tidak akan terjadi.
c. Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di bawah 100 kali/menit.
Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi
bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus
berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal, jantungpun
berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.
d. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan ketokolamin dan
zat kimia stress lainnya. Walupun demikian, tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi
jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal.
e. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer dan apnea
terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi
syok memburuk apnea terminal.
(Perinasia, 2012)
D. Etiologi
a. Faktor ibu
c. Faktor bayi
2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi
forsep)
Towel (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi yang terdiri dari :
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia
ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia
dalam. Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada keadaan:
(a) gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani uterus akibat penyakit
atau obat,
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin
akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta,
perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali
pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :
(a) pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin,
(c) kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran
pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain
E. Manifestasi klinik
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis
pada janin atau bayi berikut ini :
a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
g. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas tidak
teratur/megap-megap
j. Pucat
F. Pengkajian klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009)
pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal
penting, yaitu:
a. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi bila perlu
lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau
mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak
adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
b. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan denyutan
umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini merupakan titik
batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.
c. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer
(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi
pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah
muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen lainnya
adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.
Skor Apgar adalah suatu metode sederhana yang digunakan untuk mengetahui apakah bayi
menderita asfiksia atau tidak dan yang dinilai adalah frekuensi jantung (heart rate), pernafasan
(respiratory), tonus otot (muscle tone), warna kulit (colour) dan refleks ransangan (reflex irritability).
Berikut adalah tabel skor Apgar
Komentar Resusitasi
Menit ke- 1 5 10 15 20
Oksigen
VTP/NCPAP
Intubasi ET
Kompresi Dada
Epineprin
Nilai Apgar adalah metode obyektf untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk
memberikan informasi mengenai keadaan bayi secara umum, serta responnya terhadap resusitasi.
Nilai Apgar ditentukan pada menit ke-1 dan menit ke-5 setelah lahir. Jika nilai Apgar pada menit ke-5
kurang dari 7 maka ada tambahan nilai setiap 5 menit sampai 20 menit. Nilai Apgar tidak digunakan
untuk memulai tindakan resusitasi ataupun menunda intervensi pada bayi dengan depresi sampai
penilaian menit ke-1. Akan tetapi resusitasi harus segera dimulai sebelum menit ke-1 dihitung
(Perinasia, 2012).
Menurut Anik dan Eka (2013:296) klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR :
1) Vigorous baby: Skor APGAR 7-10, bayi sehat kadang tidak memerlukan tindakan istimewa
1) Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak memerlukan resusitasi
dan pemberian oksigen secara terkendali.
2) Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan
istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
3) Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung
lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada
dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas
normal.
4) Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian
oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus dikalbonas
7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan cairan glukosa 40% 12 ml/kg berat badan,
diberikan lewat vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang
dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks
iritabilitas tidak ada.
G. Diagnosis
Menurut Ai yeyeh dan Lia (2013:250), Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan
kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
1) Denyut jantung janin : frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan semenit. Apabila
frekuensi denyutan turun sampai dibawah 100 permenit diluar his dan lebih-lebih jika tidak
teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
2) Mekonium dalam air ketuban : adanya mekonium pada presentasi kepala mungkin
menunjukkan gangguan oksigenasi dan gawat janin, karena terjadi rangsangan nervus X,
sehingga pristaltik usus meningkat dan sfingter ani terbuka. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila
hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3) Pemeriksaan Ph darah janin : adanya asidosis menyebabkan turunnya PH. Apabila PH itu
turun sampai bawah 7,2 hal ini dianggap sebagai tanda bahaya.
Menurut Anik dan Eka (2013:302), untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan pemeriksaan berikut ini:
1) Anamnesis : anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorium.
2) Pemeriksaan fisik : memperhatikan apakah terdapat tanda-tanda berikut atau tidak, antara
lain:
a. Bayi tidak bernafas atau menangis
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
c. Tonus otot menurun
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada
tubuh bayi
e. BBLR
3) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali
pusat jika:
a. PaO2 < 50 mm H2o
b. PaCO2 > 55 mm H2
c. pH < 7,30
H. Komplikasi
Menurut Anik dan Eka (2013:301) Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan komplikasi pasca
hipoksia, yang dijelaskan menurut beberapa pakar antara lain berikut ini:
1) Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti
otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan
organ lain. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi vascular
pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya asistensi vascular di perifer.
2) Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vascular antara lain timbulnya
rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai saraf simpatis dan adanya
aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopressin.
3) Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energy bagi
metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis an aerobik. Produk sampingan
proses tersebut (asam laktat dan piruverat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh
yang berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadilah asidosis metabolic. Perubahan
sirkulasi dan metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik
sementara ataupun menetap.
2) Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
5) Hematologi : Dic
I. Penatalaksanaan
1) Tindakan Umum
a) Bersihkan jalan nafas : Kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila
perlu digunakan laringoskop untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang
lebih dalam.
b) Rangsang refleks pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas
dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achilles.
c) Mempertahankan suhu tubuh.
2) Tindakan Khusus
a) Asfiksia Berat
Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermenten melalui pipa endotrakeal. Dapat
dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. O2 yang diberikan tidak
lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu
jari yang menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit.
b) Asfiksia Sedang/Ringan
Pasang Relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal
lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu kepala bayi ekstensi maksimal
beri O2 1-2 1/menit melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta
gerakkan dagu ke atas bawah secara teratur 20 x/menit.
b) Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.
J. Resusitasi
Usaha untuk mengakhiri asfiksia adalah dengan resusitasi memberikan oksigenasi yang
adekuat. Langkah awal resusitasi penting untuk menolong bayi baru lahir dengan asfiksia dan harus
dilakukan dalam waktu 30 detik. Resusitasi neonatus adalah serangkaian intervensi saat kelahiran
untuk mengadakan usaha nafas dan sirkulasi yang adekuat. Pada setiap kelahiran, harus ada paling
sedikit 1 orang di kamar bersalin yang tugasnya khusus bertanggung jawab untuk penanganan bayi
dan dapat melakukan langkah awal resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) dan
membantu kompresi dada. Bayi yang membutuhkan resusitasi saat lahir memiliki risiko untuk
mengalami perburukan kembali walaupun telah tercapai tanda vital yang normal. Ketika ventilasi dan
sirkulasi yang adekuat telah tercapai, bayi harus dipantau atau ditransfer ke tempat yang dapat
dilakukan monitoring penuh dan dapat dilakukan tindakan antisipasi, untuk mendapatkan pencegahan
hipotermia, monitoring yang ketat dan pemeliharaan fungsi sistemik dan serebra, berikut adalah
tahapan resusitasi.
Menurut Vidia dan Pongki (366:2016) agar tindakan resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat
dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
1) Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirnya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa
diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi
dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
2) Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan trampil.
b) Alat penghisap
d) Oksigen
e) Alat intubasi
f) Obat-obatan
Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah terhadap bayi yang lahir
diperlukan resusitasi atau tidak.
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan
tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain
linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas
maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar
panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat
perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan
tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas
pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings,
larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini
adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk
pemasangan pipa endotrakeal.
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Salah satu
pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan
penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian
dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam
mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan
ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit)
segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi
mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah langkah pemasangan laringoskop dan selang
endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah
mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi
tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
(d) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang
yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan
sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan
dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau
ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan
menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau
gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus
memberikan rangsangan taktil.
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3
tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap
langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah
berikutnya.
b. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan ventilasi harus
sesuai.
Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama,
membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat
turunnya compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur
apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.
Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti bahwa
sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas
dangkal.
Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru
terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
pneumothoraks.
Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang
efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.
Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya
suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.
Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan
mengurangi meremas balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah
satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang sempurna, arus udara terhambat, dan tidak
cukup tekanan.
Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2009).
3. Kompresi dada
Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan menopang punggung
Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner
Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum, tangan lainnya
menopang punggung
Tidak tergantung
Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung maksimum
Frekuensi : 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per menit)
Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat, pelaku kompresi
mengucapkan “satu – dua – tiga - pompa-…” (Prambudi, 2013).
d) Intubasi Endotrakeal
Cara:
Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi glottis (huruf “V” terbalik)
Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa pada arah horizontal
Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada di batas pita suara
Batas waktu tindakan 20 detik (Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan dan berikan
VTP)
Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea rah langitlangit mulut bayi, cabut laringoskop
dengan hati-hati.
(Prambudi, 2013).
a. Epinefrin
Larutan = 1 : 10.000
c. Dekstron 10%
d. Nalokson
(Prambudi, 2013).
(1) Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus merupakan tim yang
hadir pada setiap persalinan.
(2) Tenaga kesehatan dikamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi
juga harus melakukannya dengan efektif dan efisien.
(3) Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai satu tim yang
terkoordinasi.
(4) Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya ditentukan
khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
(5) Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia dan siap pakai.
Algoritma Resusitasi Neonatal.
Yang tetap
Cukup bulan? bersama ibu
Lahir Bernapas atau menangis? Perawatan rutin :
I Tonus baik? Berikan kehangatan
I Bersihkan jalan napas
I
Keringkan
Tidak Evaluasi
I
I Hangatkan, bersihkan jalan napas bila
I perlu,keringkan, rangsang Tidak
I
I
I Fj dibawah 100 Tidak Sulit bernapas atau
30 detik megap
dpm,- megap, atau sianosis menetap?
apnu
I
I Ya Ya
I
I
VTP, monitor Spo Bersihkan jalan napas monitor Spo2
60 detik (VTP20-30/30 dtk
) Pertimbangkan CPAP
Tidak
Fj di bawah 100dpm?
Ya
Tidak
Fj di bawah0dpm?
6
Ya Target Spo2
Pertimbangkan intubasi kompresi 1 menit 60%-65%
dada kordinasikan dengan VTP
2menit 65%-70%
3 menit 70%-75%
Lakukan langkah Fj di bawah 60dpm? 4 menit 75%-80%
koreksi ventilasi
5 menit 80%-85%
Intubasi bila dada Ya 10menit 85%-95%
tak berkembang
Epinefrin IV
Pertimbangkan
Hipovolemia
pneumotoraks
sumber : AHA, 2012
Pathway
Asfiksia
(Bayi sulit bernafas spontan dan teratur)
Tindakan Umum :
1. Bersihkan Jalan Nafas
2. Rangsang Reflek Pernafasan
3.Mempertahankan Suhu Tubuh
Tindakan Khusus Asfiksia Berat : Tindakan Khusus Asfiksia Sedang : Tindakan Khusus Asfiksia Ringan :
Berikan 𝑂2 dengan tekanan positif Pasang Relkiek Pernafasan (Hisap Pasang Relkiek Pernafasan (Hisap
dan intermenten melalui pipa Lendir, rangsang nyeri ) Lendir, rangsang nyeri )
A. Kesimpulan:
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu
hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama
atau sesudah persalinan.
Penanganannya adalah dengan tindakan resusitasi. Tindakan resusitasi bayi baru lahir
mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
2.Memulai pernafasan
3.Mempertahankan sirkulasi
B. Saran
Bidan dan perawat diharapkan dapat lebih proaktif dalam bekerja sama dengan instansi
kesehatan, sehingga apabila terdapat pasien yang perlu segera dirujuk dapat dilakukan rujukan
secara cepat dan tepat dengan harapan pasien dapat segera ditangani.
Pertolongan persalinan yang benar menentukan kualitas bayi yang dilahirkan karena itu
diperlukan pengetahuan dan kemampuan tentang manajemen asfiksia dan resusitasi bayi baru lahir
untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian bayi.
DAFTAR PUSTAKA