Oleh :
Khurul visasti A24160207
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kultur jaringan adalah salah satu metode yang digunakan dalam
pengembangan bioteknologi tumbuhan. Metode ini merupakan prosedur pemeliharaan
dan pertumbuhan jaringan tanaman (sel, kalus, dan protoplas) serta organ (batang, akar
dan embrio) pada kultur aseptis (in vitro). Metode kultur jaringan diantaranya
digunakan untuk perbanyakan tanaman, modifikasi genotip (plant breeding), produksi
metabolit sekunder, pemeliharaan plasma nutfah, penyelamatan embrio (embryo
rescue). Ada beberapa kelebihan metode kultur jaringan dibandingkan metode yang
lain yaitu metode perbanyakan lebih cepat dibandingkan metode yang lain, metode ini
digunakan untuk perbanyakan tanaman yang sulit diperbanyak dengan metode
konvensional, tanaman hasil kultur jaringan mempunyai jaringan yang lebih kuat, dan
dapat digunakan untuk memperoleh tanaman yang bebas penyakit dan tidak terbatas
oleh musim dalam pelaksanaanya (Hartmann, 1997).
Ukuran ruang laboratorium yang diperlukan dapat disesuaikan dengan volume
aktivitas kultur jaringan yang akan dilakukan. Laboratorium yang ideal yang memiliki
ruang persiapan yang di dalamnya terdapat timbangan analitik, lemari pendingin,
hotplate, mikrowave, oven, pH meter, alat-alat gelas standar (labu takar, pipet volume,
erlenmeyer, gelas piala, batang pengaduk dari gelas, dan wadah kultur), alat untuk
mencuci (washtaple), lemari untuk alat dan bahan kimia, sentrifuse, fumehood,
destilator, dan kereta dorong. Ruang yang kedua yaitu ruang transfer yang di dalamnya
terdapat laminar air flow, dissecting, mikroskop, alat diseksi, lemari tempat
penyimpanan alat-alat steril, dan timbangan kecil. Ketiga yaitu ruang kultur yang
dilengkapi dengan rak kultur dan lampu fluorescent, timer untuk mengatur lama
penyinaran, AC untuk mengontrol temperatur, mikroskop binokuler, dan shaker.
(Barahima, 2011).
Tujuan
TINJUAN PUSTAKA
Dasar pengembangan kultur jaringan adalah totipotensi. Totipotensi merupakan
potensi suatu sel untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang lengkap.
Setiap sel akan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap dan utuh apabila
ditempatkan pada kondisi yang sesuai (Kumar et al., 2011). Di dalam memulai
melakukan kegiatan kultur jaringan diperlukan ruang dan peralatan. Ukuran ruang yang
diperlukan dapat disesuaikan dengan volume aktivitas kultur jaringan yang akan
dilakukan. Ruang yang diperlukan untuk kegiatan kultur jaringan yaitu laboratorium
yang ideal yang memiliki: 1.) Ruang persiapan yang di dalamnya terdapat timbangan
analitik, lemari pendingin, hotplate, mikrowave, oven, pH meter, alat-alat gelas standar
(labu takar, pipet volume, erlenmeyer, gelas piala, batang pengaduk dari gelas, dan
wadah kultur), alat untuk mencuci (washtaple), lemari untuk alat dan bahan kimia,
sentrifuse, fumehood, destilator, dan kereta dorong; 2.) Ruang transfer yang di
dalamnya terdapat laminar air flow, dissecting, mikroskop, alat diseksi, lemari tempat
penyimpanan alat-alat steril, dan timbangan kecil. 3.) Ruang kultur yang dilengkapi
dengan rak kultur dan lampu fluorescent, timer untuk mengatur lama penyinaran, AC
untuk mengontrol temperatur, mikroskop binokuler, dan shaker (Barahima, 2011).
Perlengkapan dan sarana yang digunakan pada percobaan kultur jaringan
tanaman meliputi (1) Sterilisasi, alat yang digunakan adalah lemari aliran udara
laminari atau ruang kecil (catatan: lemari ini tersedia dalam berbagai ukuran, dan dapat
diletakkan di tempat yang diperlukan tanpa diperlukan tanpa perlu ruang khusus untuk
itu. Kipas angin pada lemari ini seringkali dijalankan terus menerus dan pra filter
diganti atau dibersihkan sebulan sekali), Otoklaf, Oven untuk sterilisasi kering
(sebaiknya ada tetapi tidak muklat), Perlengkapan untuk sterilisasi dengan
penyaringan, Radas penyulingan air dan atau pembebas mineral air murni, (2) Kultur
alat yang diperlukan adalah Ruang kultur dan atau kotak berpengatur suhu (Catatan:
baik terang ataupun gelap terus-terusan sama baiknya untuk pertumbuhan sel.
Umumnya cahaya yang dipancarkan dari lampu neon yang dingin dan putih
pada 25 W.m2 sudah mencukupi. Lampu ini dapat ditambah dengan bola lampu pijar.
Atau, dapat dipaki lampu Gro-Lux yang berspektur luas sebagi ganti lampu neon dan
lampu pijar), Rak (Rak dari kawat kasa yang kaku memungkinkan aliran udara
sebanyak-banyaknya dan naungan sekecil-kecilnya), Pengocok (Yang lebih baik
adalah model putar. Bentuk ini tersedia dari ukuran kecil untuk diletakkan di atas meja
(ukuran meja) sampai ukuran besar untuk ditempatkan di lantai), (3) Alat yang lainnya
adalah Pisau klinis, tang dan pembakaran Bunsen. Botol, cawan petri untuk kultur agar.
Lebih cocok digunakan botol gelas dan cawan petri plastic sekali pakai yang disterilkan
lebih dahulu. Labu kultur, botol Delong mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan botol lainnya seperti labu Erlenmeyer, yang mempunyai leher sehingga
cenderung mengumpulkan debu. Sumbat, dapat digunnakan sumbat busa. Sumbat
kapas yang dibungkus dengan kain kasa tipis tidaklahmahal, tidak berubah bentuk
dalam pemanasan dengan autoclave dan dapat digunakan berulang-ulang. Pipet,
tersedia pipet steril sekali-pakai, tetapi lebih baik digunakan pepet gelas sengan ujung
yang dapat dilepaskan. Lemari pendingin dan pembeku (Yuwono, 2008).
4
Metode
Mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok besar, dimana tiap satu kelompok
besar berada pada ruangan yang berbeda. Masing-masing kelompok besar dijelaskan
mengenai ruangan yang ada dan alat-alat yang terdapat pada ruangan tersebut. Setelah
penjelasan dari satu ruangan selesai maka akan bertukar tempat dengan kelompok
sebelumnya. Penjelasan mengenai ruangan dan alat-alat dijelaskan oleh asisten
praktikum, saat penjelasan mahasiswa mencatat, dan catatan tersebut ditulis pada jurnal
kelompok kecil setelah itu dikumpulkan.
5
KESIMPULAN
Pengenalan ruangan laboratorium dan alat-alat yang digunakan dalam
praktikum penting dilakukan. Praktikan wajib mengetahui nama , fungsi ,dan cara
menggunakannya dengan baik dan benar sehingga praktikum yang di laksanakan akan
berjalan efisien dan efektif. Terdapat 3 ruangan dalam laboratorium kultur jaringan
yaitu ruang persiapan, ruang penanman, dan ruang penyimpanan. Adapun alat-alat
dasar yang terdapat pada laboratorium kultur jaringan diantaranya gelas ukur,
erlenmeyer, petridish, hotplate, timbangan analitik, botol-botol gelas, oven, magnetic
stirrer, destilator, autoclave, shaker, pinset, scalpel, spatula, rak inkubasi, bunsen,
aluminium foil, karet, plastik gulung, batang pengaduk kaca.
8
DAFTAR PUSTAKA
Barahima A, 2011. Prinsip Dasar Teknik Kultur Jaringan. Bandung (ID) :Alfabeta.
Hartmann H T, Kester D E, Davies F T, Geneve R L. 1997. Plant Propagation:
Principle And Practices. Sixth Ed.
Kumar, A.A., K. Karthick, Arumugam, K. P.2011. Properties of biodegradable
polymers and degradatin for sustainable development. International Journal of
Chemical Engineering and Applications. 2(3), 164-167.
Yuwono Triwibowo, 2008. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada
University Press.
9
Oleh :
Mohamad Yusril Ramadhan A24160097
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik mengisolasi bagian-bagian
tanaman (sel, sekelompok sel, jaringan, organ, protoplasma, tepung sari, ovari dan
sebagainya), ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri,
akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang mempunyai sifat
sama seperti induknya dalam suatu lingkungan yang aseptik (bebas hama dan
penyakit). Selanjutnya teknik ini juga disebut kultur in vitro (in vitro culture) yang
artinya kultur di dalam wadah gelas (Armini et al., 1992). Media merupakan faktor
utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan
perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan secara umum sangat
tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang
dihasilkannya.
Keberhasilan kultur jaringan ditentukan oleh media dan macam tanaman.
Media mempunyai dua fungsi utama, yaitu untuk menyuplai nutrisi dan untuk
mengarahkan pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh. Adanya variasi media untuk
tanaman menimbulkan beberapa macam media yang digunakan yaitu Murashige
dan Skoog (MS), Gamborg (B5), Linsmaier, Nitsch , Knudson C (KC), dan Woody
Plant Medium (WPM). Selain media, zat pengatur tumbuuh juga memegang peranan
penting dalam melakukan teknik kultur. Zat pengatur tumbuh adalah kelompok
hormon, baik hormon tumbuhan alamiah maupun sintetis (Nurwahyuni dan Elimasni,
2006).
Dasar pengembangan kultur jaringan adalah totipotensi. Totipotensi merupakan
potensi suatu sel untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang lengkap.
Setiap sel akan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap dan utuh apabila
ditempatkan pada kondisi yang sesuai (Kumar et al., 2011). Medium kultur jaringan
sering menggunakan senyawa organik sebagai sumber vitamin, zat pengatur tumbuh,
atau asam amino yang berharga murah jika dibandingkan dengan harga bahan
sintetiknya. Contohnya air kelapa, ekstrak buah pisang, tomat dan lain-lain. Ekstrak
dari buah-buahan ini memiliki kelemahan karena konsentrasi vitamin, mineral dan zat
pengatur tumbuh yang dikandungnya sangat bervariasi tergantung pada dimana
tanaman itu tumbuh, cara budidayanya, varietas tanaman, dan umur buah.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui cara pembuatan media kultur jaringan
(KC) dan mengetahui fungsi dari bahan-bahan yang digunakan.
11
TINJAUAN PUSTAKA
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman (daun
muda, mata tunas, ujung akar, keping biji atau bagian lain yang bersifat meristematik)
serta menumbuhkannya dalam media buatan yang kaya nutrisi dengan penambahan zat
pengatur tumbuh (ZPT) secara aseptik (steril) dalam wadah in vitro yang tembus
cahaya sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi
menjadi tanaman lengkap kembali. Perbanyakan tanaman dengan metode kultur
jaringan dapat menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah banyak pada waktu yang
singkat, tidak bergantung pada musim dan bibit yang dihasilkan bebas hama dan
penyakit (Chawla, 2002).
Beberapa media dasar yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain
media dasar Murashige dan Skoog yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis
kultur, media dasar B5 untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya, media dasar White
sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat, media dasar Vacin dan Went digunakan
untuk kultur jaringan anggrek, media dasar Nitsch dan Nitsch digunakan dalam kultur
tepung sari (pollen) dan kultur sel, media dasar Schenk dan Hildebrandt untuk kultur
jaringan tanaman monokotil, media dasar WPM (Woody Plant Medium of Lloyd and
McCown 1981) khusus untuk tanaman berkayu. Dari sekian banyak media dasar di
atas, yang paling banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS)
(Widyastuti, 2002).
Menurut Umami (2012), salah satu faktor yang berpengaruh adalah ZPT. ZPT
merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit yang dapat
mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. Auksin dan
sitokinin merupakan ZPT yang sering dipakai dalam kultur jaringan untuk inisiasi
kalus. Hal serupa dikemukakan oleh Hendaryono dan Wijayanti (1994), zat pengatur
tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologis
tumbuhan. Zat pengatur tumbuh (ZPT) mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
kultur sel, organ, dan jaringan. Jika konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin
maka kalus akan tumbuh, dan bila konsentrasi sitokinin lebih besar dibanding auksin
maka tunas akan tumbuh (Sudarmadji, 2003).
12
Metode
Pembuatan media dimulai dengan menyiapkan alat-alat labu ukur 500 ml.
Selanjutnya, larutan stok sesuai dengan perhitungan masing-masing kelompok
dimasukkan ke dalam labu ukur menggunakan pipet. Contohnya pada kelompok B6
dengan media yang diberi kode KC5 larutan yang harus ditambahkan adalah 5 ml
Ca(NO3)2, 5 ml (NH4)SO4, 5 ml MgSO4. 7H2O, 5 ml KH2PO4, 10 ml F, 5 ml Myo, 5
ml vitamin, 0.25 ml IAA, 0.75 ml BA, 50 ml AK, 0.59 g L-1 AA, 15 g L-1 gula, 3.5 g
L-1 agar. Langkah selanjutnya adalah menambahkan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).
Larutan gula ditambahkan ke dalam labu takar setelah dilarutkan dengan menggunakan
magnetic stirrer. Setelah semua larutan selesai dimasukkan ke dalam labu takar,
langkah selanjutnya adalah dengan menambahan akuades hingga batas tera 500 ml dan
dilanjutkan dengan mengatur pH larutan dengan menambahkan HCl atau KOH 1N
hingga didapatkan pH sebesar 6.
Larutan media yang telah siap dimasak di dalam panci dan ditambahkan agar-
agar sebanyak 3,5 gram L-1. Selanjutnya, pada larutan yang sedang dimasak dilakukan
penambahan arang aktif. Larutan media diaduk agar tercampur dengan rata hingga
mendidih. Setelah mendidih, larutan media dituangkan ke dalam botol steril sebanyak
20 ml/ botol. Selanjutnya, botol yang sudah terisi ditutup menggunakan plastik dan
karet gelang lalu diberi label bertuliskan kode larutan, nama kelompok, serta tanggal
pembuatan media. Setelah itu, botol yang sudah diberi label disterilkan dengan
autoclave selama 20 menit. Media yang telah steril disimpan di ruang kultur pada suhu
20⁰C.
13
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Armini, A.N. M., Wattimena dan L.W. Gunawan, 1992. Perbanyakan Tanaman
Bioteknologi Tanaman Laboratorium Kultur Jaringan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor.
Chawla, H. S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. Science Publishers Inc.
New Hemsphire. 23-26.
Hendaryono DPS, Wijayanti A.. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Kumar, A.A., K. Karthick, Arumugam, K. P.2011. Properties of biodegradable
polymers and degradatin for sustainable development. International Journal of
Chemical Engineering and Applications, 2(3), 164-167.
Sudarmadji. 2003. Penggunaan benzil amino purine pada pertumbuhan kalus kapas
secara in vitro. Buletin Teknik Pertanian 8 (1): 8-10.
Nurwahyuni I , Elimasni. 2006. Pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan
kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander). Jurnal Biologi Sumatera.
1(2):26-33.
Umami, N. 2012. Efficient nursery production and multiple shoot clumps
Formation from shoot tiller derived shoot apices of dwarf napier grass
(Pennisetum purpureum Schumach). JWARAS 55 (2) : 121-127.
Widyastuti N. 2002. Inovasi Memperbanyak Bibit Tanaman. Diakses dari
www.sinarharapan.co.id/berita/ 0202/13/ipt02.htmL. Tanggal 27 Desember
2018.
16
17
Oleh :
Rizki Anugrahaeni A24160083
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman
seperti sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya menjadi tanaman utuh dalam
kondisi lingkungan yang aseptik (in vitro). Keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh
media yang digunakan, sumber eksplan, pemberian zat pengatur tumbuh, unsur hara
makro dan mikro, bahan organik, karbohidrat, asam amino, vitamin, bahan pemadat
media dan kondisi bahan, peralatan dan ruangan yang steril (aseptik). Respon
pertumbuhan planlet pada kultur jaringan juga tergantung pada jenis tanaman yang
dikulturkannya (George and Sherington, 1984).
Kondisi organ dan jaringan tanaman yang aseptik dapat dicapai dengan
melakukan sterilisasi. Sterilisasi dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan
terhadap organ dan jaringan tersebut sebelum dikulturkan. Ada empat pendekatan atau
cara yang biasa digunakan dalam sterilisasi, yaitu panas, kimia, irradiasi, dan filtrasi.
Sterilisasi eksplan biasanya lebih sesuai menggunakan cara pemanasan (mekanik) atau
kimia, atau kombinasi dari keduanya. Sterilisasi dengan cara pemanasan biasanya
dilakukan pada jaringan tanaman yang keras atau berdaging tebal. Sedangkan cara
kimia dipakai untuk eksplan yang lunak atau jaringan yang masih muda (meristem).
Perlakuan yang akan diberikan dalam percobaan ini adalah dengan menggunakan
bahan kimia yang bersifat toksik sehingga mikroorganisme yang terdapat pada organ
dan jaringan akan mati. Namun, bahan-bahan kimia tersebut juga bersifat toksik bagi
sel tanaman. Sehingga diperlukan bahan kimia yang sesuai jenis dan konsentrasinya,
sehingga hanya mikroorganisme pengganggu saja yang mati.
Proses sterilisasi bahan eksplan merupakan kegiatan penting dalam kultur
jaringan. Sterilisasi tersebut tidak hanya dilakukan terhadap bahan eksplan tetapi juga
terhadap bahan dan peralatan, serta ruangan yang digunakan. Kegiatan sterilisasi
bertujuan untuk mengeliminasi patogen atau cendawan yang mungkin terbawa saat
pengambilan eksplan, yang dapat menimbulkan kontaminasi sehingga menghambat
pertumbuhan eksplan menjadi tanaman utuh. Banyak bahan deinfektan yang dapat
digunakan untuk sterilisasi media dalam kultur jaringan, diantaranya adalah HgCl2 dan
Clorox (Gunawan, 1992).
Pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam rangka menunjang program
pemuliaan pohon surian, khusunya dalam upaya menduplikasi materi genetik dan
rekaya genetik secara in vitro, diperlukan suatu penelitian kultur jaringan jenis surian.
Sebagai tahap awal adalah penelitian mengenai teknik sterilisasi bahan eksplan kultur
jaringan, menggunakan desinfektan HgCl2 dan Clorox.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk melatih mahasiswa melakukan sterilisasi bagian
tanaman yaitu benih dari lapang yang akan digunakan sebagai eksplan.
19
TINJAUAN PUSTAKA
Metode
Langkah perama yang dilakukan dalam kegiatan sterilisasi benih adalah
mencuci benih dengan air masak dan dilanjutkan dengan mencuci menggunakan
larutan detergen untuk menghilangkan kotoran. Benih yang telah dicuci kemudian
dibilas dengan menggunakn air masak dan direndam dalam air panas 40oC selama 30
menit. Selanjunya, jika air sudah dingin maka tambahkan agrept dan dhitane masing-
masing 2g/L, lalu benih tersebut diinkubasi selama satu malam dalam suhu ruang.
Biji yang telah diinkubasi selama satu malam dimasukkan ke dalam LAFC,
sebelumnya siapkan terlebih dahulu alat-alat yang dibutuhkan. Biji tersebut kemudian
dibilas dengan menggunakan air steril sebanyak 2 kali, kemudian direndam dalam
laruan Clorox 30% selama 30 menit. Setelah benih direndam, benih tersebut dibilas
menggunakan aquades steril sebanyak satu kali. Kemudian benih direndam dalam
larutan Clorox 10% selama 10 menit, lalu benih dikeluarkan dari larutan dan diletakkan
dalam peridish. Setelah itu, tanam benih kedalam media sebanyak 10 benih tiap
botolnya. Botol yang telah berisi eksplan diberi nama kemudian di masukan kedalam
ruangan kultur.
21
MST
Media Ulangan Rata-rata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
MSO+CAP
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
MST
Media Ulangan Rata-rata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
MSO+CAP
6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25
KESIMPULAN
Proses sterilisasi bagian tanaman (organ atau jaringan tanaman) untuk
menghasilkan jaringan tanamanyang steril namun sel-selnya tetap hidup. Jumlah
eksplan yang steril cenderung mengalami penurunan, jumlah eksplan yang membentuk
tunas dan jumlah tunas per eksplan rata-rata konstan. Pada jumlah awal berkecambah
dan berpoliferasi tidak menampakan tanda-tanda hal ini dapat disebabkan karena
pertumbuhan benih yang lambat. Penggunaan konsentrasi larutan sterilan yang tidak
tepat dapat menyebabkan eksplan terkontaminasi akibat mikroorganisme tidak mati
jika konsentrasi terlalu rendah, atacu menyebabkan eksplan mati jika konsentrasi
terlalu tinggi.
27
DAFTAR PUSTAKA
George, E.F and P.D Sherington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture hand Book
and Directory of Comercial Laboratorius. Exegenetics Ltd. England. 709.
Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro dalam Hortikultura. Jakarta(ID)
: Penebar Swadaya
Iyagba. 2012. Growth and Yield Response of Okra (Abelmoschus esculentus (L.)
Moench) Varieties to Weed Interference in South-Eastern Nigeria.
ISSN:12 (7) : 23-31
Nadira, S. 2009. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Okra (Abelmoschus esculatus) Pada
Perlakuan Pupuk Dekaform Dan Defolias. Journal Agrisains 10 (1) : 10-
15
Nursyamsi. 2016. Efektivitas Sterilisasi dan Perlakuan pada Benih terhadap
Perkecambahan Kayu Kuku. Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Makassar (ID):
Universitas Hasanuddin.
Putri A I, Herawan T, Prastyono, Haryjanto L. Pengaruh teknik sterilisasi eksplan
terhadap tingkat perolehan kultur jaringan aksenik ramin (Gonystylus
bancanus). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 11(2): 131-138.
Sandra E. 2003.Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta (ID): Media
Pustaka
28
Oleh :
Nur Afika Putri A24160105
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
LATAR BELAKANG
Pendahuluan
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan bawang putih (Allium sativum L.)
yang berasal dari genus Allium dan famili Liliaceae merupakan komoditas sayuran
rempah yang bernilai ekonomis tinggi. Sulitnya mendapatkan bibit dari biji botani
menjadi kendala yang dihadapi petani dalam perbanyakan menggunakan umbi.
Kendala tersebut berupa rendahnya ketersediaan bibit, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas (Rufaida et al. 2013).
Perbanyakan cepat dengan teknik kultur jaringan sangat menjanjikan untuk
perbanyakan tanaman. Teknik perbanyakan melalui umbi memerlukan waktu yang
cukup lama sehingga diperlukan perbanyakan klonal secara massal sebagai persiapan
untuk pengembangan secara komersial. Salah satu alternatif untuk penyediaan benih
secara massal ialah melalui pengembangan teknik kultur jaringan yang dapat
menyediakan benih dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat. Kultur
jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman yang potensial untuk
mendukung pengembangan induksi benih (Pramanik, 2010).
Tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan kultur jaringan sangat ditentukan oleh
sejumlah faktor, terutama sterilisasi dan komposisi media yang digunakan. Sterilisasi
bahan kultur dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penggunaan berbagai bahan
sterilan maupun perlakuan secara fisik (pemanasan atau pembakaran pada suhu
tertentu). Bahan sterilan yang sering digunakan diantaranya deterjen, bakterisida dan
fungisida (Devy dan Sastra, 2006).
Kesulitan perbanyakan tumbuhan yang terkontaminasi mikroorganisme dengan
kultur jaringan, yaitu bagaimana mematikan atau menghilangkan mikroorganisme
dengan bahan sterilian tanpa mematikan tumbuhan (eksplan) (Darmono, 2003).
Menurut Gunawan (1987), bahan-bahan sterilisasi yang biasa digunakan umumnya
bersifat toksik terhadap jaringan. Permasalahan lain yang sering terjadi pada kegiatan
kultur jaringan adalah peristiwa browning (pencoklatan). Menurut Sandra (2003),
setiap tumbuhan akan mengeluarkan larutan fenol yang akan bereaksi dengan udara
(oksigen) sehingga menghasilkan larutan berwarna coklat yang disebut quinon.
Larutan yang berwarna coklat tersebut jika terakumulasi pada media akan meracuni
eksplan.
Tujuan
Praktikum bertujuan melatih mahasiswa melakukan sterilisasi organ dan
jaringan pada bawang merah dan bawang putih.
30
TINJAUAN PUSTAKA
Metode
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam sterilisasi bawang yaitu mengupas
bawang lalu mencucinya. Pencucian bawang dilakukan sebanyak 2x. Pencucian
pertama dilakukan menggunakan air matang, sedangkan pencucian kedua dilakukan
menggunakan detergen untuk menghilangkan kotoran yang menempel dibagian
permukaan jaringan. Setelah dicuci dengan detergen, selanjutnya bawang dibilas
menggunakan airdan di rendam di larutan Agrepth dan Dithane selama 3 jam. Langkah-
langkah tersebut dilakukan di luar laminar. Laminar Air Flow disiapkan dan
dibersihkan menggunakan alkohol 70%. Alat dan bahan dimasukkan ke dalam laminar.
Bawang dibilas menggunakan air steril sebanyak dua kali sampai bersih. Selanjutnya,
umbi dipotong menjadi dua, sepertiga bagian bagi umbi yang memiliki basal plate dan
dua pertiga bagian untuk bagian lainnya.
Umbi direndam ke dalam larutan chlorox 50% selama 30 menit dengan catatan
bahwa tiap lima menit, bawang di goyang-goyangkan. Selanjutnya, umbi bawang
merah dan bawang putih dikupas dengan cara yang berbeda. Umbi bawang merah di
kupas hingga tersisa 2-3 lapis, sedangkan umbi bawang putih di potong dan diambil
bagian basal plate. Umbi direndam di dalam larutan clhorox 20% selama 15 menit
dengan catatan bahwa umbi di goyang-goyangkan tiap 5 menit. Bahan tanam
selanjutnya dikeluarkan dari gelas dan diletakkan di cawan petri. Bahan tanam di tanam
pada media MS0. Setiap kultur diberi label nama tanaman yang dikulturkan, nama
kelompok dan tanggal tanam dan selanjutnya disimpan pada ruang kultur dan
dilakukan pengamatan tiap minggu.
32
90
80
70
Persentase (%) 60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu setelah tanam
merupakan sterilisasi permukaan), waktu sterilisasi yang kurang optimal, dan kurang
cermat pada saat penanaman eksplan (Phillips dan Luteyn, 1983). Sterilisasi ini dapat
dikatakan belum berhasil karena masih terdapat eksplan yang mati. Hal ini
berhubungan dengan prinsip dasar sterilisasi yang disampaikan oleh Sandra (2003) dan
Gunawan (1987) yaitu bagaimana caranya mematikan kontaminan, namun tidak
mematikan eksplan.
eksplan bertunas
0.8
Jumlah
0.6
0.4
0.2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu setelah tanam
Gambar 2. Jumlah eksplan bertunas pada bawang merah dan bawang putih
2.5
tunas per eksplan
2
Jumlah
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu setelah tanam
Gambar 3. Jumlah tunas per eksplan pada bawang merah dan bawang putih
36
Respon yang diamati selanjutnya adalah jumlah tunas per eksplan. Jumlah tunas
per eksplan yang dihasilkan oleh bawang putih cenderung meningkat selama
pengamatan. Keadaan tersebut berbeda dengan bawang putih yang menunjukkan
bahwa jumlah tunas yang dihasilkan tiap-tiap eksplan mengalami fluktuasi. Adanya
tunas yang mati menjadi penyebab berkurangnya jumlah tunas per eksplan. Banyaknya
jumlah tunas yang dihasilkan pada tiap-tiap eksplan mengindikasikan besarnya jumlah
eksplan yang membentuk tunas. Perbedaan jumlah tunas yang dihasilkan pada masing-
masing eksplan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan karakter eksplan yang
digunakan, sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan. Gunawan (1992), menyatakan
kondisi kultur, genotip tanaman, dan tipe eksplan akan memberikan respon yang
berbeda terhadap sel, jaringan dan organ tanaman yang dikulturkan secara in vitro.
2.5
Kecambah berproliferasi
1.5
0.5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu setelah pengamatan
KESIMPULAN
Sterilisasi eksplan dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara mekanik
dan secara kimia. Keberhasilan sterilisasi organ dan media mempengaruhi jumlah
kontaminan yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan dari berbagai
mikroorganisme, namun tetap mempertahankan eksplan agar tidak mati. Semakin
sedikit eksplan yang terhindar dari kontaminan, maka semakin besar peluang
keberhasilan steriliasi yang dilakukan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Devy, L., dan Sastra, R. L., 2006. Pengaruh radiasi sinar gamma terhadap kultur In
vitro tanaman jahe. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 8(1): 7-14.
Gowda S, Hari A, Chougule B, Reddy KM, Chandanan A, Sodhi M, Koshy N, Fonseca
L, Totey S. 2013. J Stem Cell Res Ther.3:5. http://dx.doi.org/10.4172/2157-
7633.1000154
Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya
Informasi IPB.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas
(PAU) Bioteknologi IPB Bogor.
Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
ISTA, 2013. International Rules for Seed Testing Edition 2013. International Seed
Testing Association, Switzerland.
Litz, R. E . 1994. In vitro shoot proliferation and production of sets from genetic shoot
shallot. Plant Cell. Tissue. Org. Culture. 36:243-247.
Phillips, G.C. dan K.J. Luteyn. 1983. Effects off picloram and other auxins on onion
tissue cultures. J. ASHS 108:948-953.
Pramanik D, Rachmawati F. 2010. Pengaruh jenis media kultur in vitro dan jenis
eksplan terhadap morfogenesis lili oriental. H.Hort . 20(2) : 111-119.
Rufaida A, Waeniaty, Muslimin, I Nengah Suwastika. 2013. Organogenesis tanaman
bawang merah (Allium ascanolicum L.) lokal Palu secara in vitro pada medium
MS dengan penambahan IAA dan BAP. Jurnal Of Natural Science. 2 (2) : 1 –
7.
Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
Wijayani, A., dan D.P.S Hendaryono. 1994.Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta (ID):
Kanisius
Wudianto, R. 2002. Petunjuk Penggunan Pestisida. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
39
LAMPIRAN
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8
9 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0
10 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-
17% 6% 0% 6% 11% 0% 0% 0% 0% 0%
rata
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
10 3 3.5 3.5 4 4.5 4.5 4.5 4.5 5 5
Rata-
0.611 0.561 0.561 0.665 0.765 0.815 0.865 0.811 0.861 0.90111
rata
8 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-
45% 0% 0% 5% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
rata
5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
6 1 1 1 1 1 1.5 2 2 2 2
7 2 2.5 2.5 2.5 2.5 4 4 4.5 4.5 5
8 1.5 3.5 4 4 4.5 5.5 0 0 0 0
9 2 2.5 2.5 2 2 3 3 3 3 3
10 2 2.5 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-
1.4 1.8 1.6 1.516 1.616 2.016 1.5 1.55 1.61 1.66
rata
Oleh :
Nur Afika Putri A24160105
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dendrobium merupakan komoditas anggrek yang memiliki nilai ekonomi
tinggi dan banyak diminati pasar karena keunggulan yang dimilikinya (Widiastoety et
al., 2010). Indonesia memiliki cukup banyak Dendrobium hibrida unggul yang
berpotensi untuk dikembangkan dan siap bersaing dipasaran dengan Dendrobium
hibrida impor, salah satunya adalah Dendrobium Indonesia Raya ‘Ina’ (D. Kim Bora x
D. Wee Lian) yang berpotensi sebagai bunga pot. Kultivar ini memiliki keunggulan,
yaitu: umur berbunga genjah (2.5 tahun sejak aklimatisasi); mengeluarkan 4 tangkai
bunga dengan posisi tegak dan bunga spiral; panjang tangkai bunga 41-50 cm dengan
18-29 bunga per tangkai; kesegaran bunga lebih dari 2.5 bulan; tinggi tanaman
mencapai 80 cm; tahan penyakit; dan cocok dibudidayakan di dataran rendah sampai
menengah (PPVT, 2009). Pengembangan kultivar ini pada skala komersial masih
terkendala oleh ketersediaan benihnya yang masih sangat terbatas.
Perbanyakan Dendrobium melalui embriogenesis somatik menggunakan
genotipe, eksplan, media, sistem kultur, kondisi inkubasi, dan kepadatan kalus yang
berbeda telah dilaporkan, seperti pada D. ‘Chiengmai Pink’ (Chung et al., 2007).
Keberhasilan penggunaan metode kultur jaringan, terutama untuk induksi jumlah PLB
ditentukan oleh kombinasi yang baik antara media kultur yang bertindak sebagai
penyedia hara untuk pertumbuhan tanaman dan ZPT untuk menginduksi PLB, sehingga
diperlukan penelitian untuk melakukan percobaan perlakuan media dengan
penambahan ZPT untuk mendapatkan kombinasi media dan ZPT yang tepat untuk
mendukung pertumbuhan PLB anggrek.
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Metode
120
100
Persentas e (%)
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Minggu setelah tanam
cermat pada saat penanaman eksplan (Phillips dan Luteyn, 1983), namun pada
praktikum ini kemungkinan terbesar penyebab kontaminasi adalah kontaminasi yang
disebabkan oleh prosedur penanaman seperti tidak sterilnya alat yang digunakan untuk
menanam.
Jumlah eksplan yang membentuk embrio sekunder selama 8 MST pada semua
media kultur cenderung mengalami kenaikan (Gambar 1). Rata-rata jumlah eksplan
yang membentuk embrio sekunder pada masing-masing media berbeda-beda
(Lampiran 2). Rata-rata jumlah eksplan yang membentuk embrio sekunder (selama 8
MST) paling banyak terdapat pada media KC2, yaitu sebesar 30%, sedangkan pada
media SH6 hanya mencapai 2%. Hal ini membuktikan bahwa pemberian media kultur
jaringan yang berbeda berpengaruh terhadap eksplan yang mampu membentuk embrio
sekunder.
5
4
Jumlah
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Minggu setelah tanam
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arditti, J dan D.K Abraham .1996. Orchid micropropagation : the path from laboratory
to commercialization and an account of several unappreciated investigators.
Botanical Journal of the Linnean Society. 122:183-241
Chung, H.H., J.T. Chen, W.C. Chang. 2007. Plant regeneration through direct somatic
embryogenesis from leaf explants of Dendrobium. Biol. Plantarum 51:346-350.
Gunawan, L, W. 1993. Budidaya Anggrek. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
Phillips, G.C. and K.J. Luteyn. 1983. Effects off Picloram and Other Auxins on Onion
Tissue Cultures. J. ASHS 108:948-953.
[PPVT] Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. 2009. Deskripsi Anggrek Dendrobium
Indonesia Raya ‘Ina’. Lampiran Sertifikat Pendaftaran Varietas Hasil Pemuliaan
Nomor 161/PVHP/2009. http://setjen. deptan.go.id/ppvt [22 Juni 2009].
Rachmawati, F., A. Purwito, N.M.A. Wiendi, N.A. Mattjik, B. Winarto. 2014.
Perbanyakan masal anggrek Dendrobium ‘Gradita 10’ secara in vitro melalui
embriogenesis somatik. J. Hort. 24:196-209.
Sauleda, R. P. and R. M. Adams. 1989. The Orchid Genera Oncidium Sw. and
Tolumnia Raf. In Florida. Rhodora 91: 188-200.
Widiastoety, D dan Sati.1994. Pengaruh air kelapa terhadap pembentukan protocorm
like bodies (PLB) dari anggrek Vanda dalam medium cair. Jurnal Hortikultura.
4(2): 71-73
Widiastoety, D., N. Solvia, M. Soedarjo. 2010. Potensi anggrek Dendrobium dalam
meningkatkan variasi dan kualitas anggrek bunga potong. J. Litbang. Pertanian
29:101-106.
57
Oleh :
Mohamad Yusril Ramadhan A24160097
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kacang merah dan kacang buncis hitam memiliki nama ilmiah yang
sama yaitu Phaseolus vulgaris L., tetapi memiliki tipe pertumbuhan dan kebiasaan
panen yang berbeda. Kacang merah sebenarnya merupakan kacang buncis tipe tegak
(tidak merambat) dan umumnya dipanen setelah polong tua. Sedangkan kacang buncis
umumnya tumbuh merambat dan dipanen pada saat polong masih muda (Rukmana,
2009). Kacang merah mempunyai batang pendek dengan tinggi sekitar 30 cm. Batang
tanaman umumnya berbuku-buku, yang sekaligus merupakan tempat untuk melekat
tangkai daun. Daun bersifat majemuk tiga (trifoliolatus) dan helai daunnya berbentuk
jorong segitiga (Cahyono, 2007).
Masalah yang dihadapi oleh embrio meliputi masalah eksternal yaitu, tidak
tersedianya cadangan makanan di lingkungannya, dan masalah internal yaitu, masalah
yang terdapat di dalam genetik embrio itu sendiri, yang memungkinkan adanya
penurunan terhadap individu baru. Masalah internal tersebut dapat disebabkan karena,
polen tidak bisa berkecambah, polen mampu berkecambah namun tabungnya tidak
berkembang, polen berkecambah namun tidak mampu berfertilisasi, polen dan tabung
ada, terjadi fertilisasi namun embrio gagal (gugur) atau berkembang namun
perkembangannya tidak sehat. Salah satu cara untuk mengatasi kendala ini adalah
dengan melakukan fertilisasi secara in vitro bila ovari embrio tidak berkembang, atau
dapat dengan menyelamatkan embrio yang telah terbentuk dari ovari atau buah yang
masih muda. Dalam kultur jaringan hal ini disebut penyelamatan embrio atau embryo
rescue (Pierik, 1978).
Kelebihan utama dari embryo rescue ialah mempercepat perolehan bibit
tanaman jika bahan tanaman yang digunakan adalah embrio muda. Oleh karena
buahnya dipanen muda, embryo rescue secara tidak langsung berpotensi
memperpanjang umur produktif pohon induk penghasil benih sehingga pohon induk
dapat produktif dalam jangka waktu yang lebih lama. Embrio resque berbeda dengan
embrio culture. Perbedaan tersebut terlihat, bila embrio resque adalah kultur embrio
yang belum matang untuk mencegah keguguran. Sedangkan embrio culture adalah
kultur embrio matang, untuk merangsang perkecambahan. Tujuan dari penyelamatan
embrio adalah memperpendek siklus pemuliaan tanaman. Dormansi biji dapat
menghambat program pemuliaan tanaman (Dure, 1975).
Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelamatkan embrio bertujuan untuk meningkatkan daya kecambah biji
dapat dilakukan dengan kultur in vitro. Teknik ini banyak digunakan untuk
menyelamatkan embrio atau biji hasil persilangan dengan cara mengkulturkannya pada
media tumbuh yang sesuai. Keberhasilan teknik kultur in vitro ditentukan oleh
beberapa faktor, antara lain kondisi dan hubungan kekerabatan genotipe yang
digunakan sebagai tetua, formulasi media, dan umur biji muda (embrio) yang
dikulturkan (Kosmiatin, 2005)
Embryo rescue merupakan teknik untuk menumbuhkan embrio muda pada
kondisi lingkungan optimal secara in vitro (Taji et al., 2002). Teknik embryo rescue
telah digunakan untuk memperoleh bibit dari hasil persilangan tanaman antar spesies
(Kukharchyk dan Kastrickaya, 2006), benih tanpa endosperm (Arsyad, 2008), benih
dengan endosperm abnormal (Sukendah et al., 2008) atau benih dengan dormansi
panjang (Uma et al., 2011; Ning et al., 2007).
Kultur in vitro telah banyak dimanfaatkan untuk menyelamatkan embrio atau
biji hasil persi-langan seksual dengan cara mengkulturkannya pada medium tumbuh
(Raghavan, 1986). Dalam pemuliaan tanaman konvensional, banyak ditemui kegagalan
dalam pembentukan embrio yang baik. Kegagalan disebabkan oleh hambatan pada
polinasi, pertumbuhan pollen tube, fertilisasi, dan perkembangan embrio atau
endosperma. Perkembangan embrio dalam biji secara in vitro menurut para ahli
embriologi merupakan proses embriogenesis, sedangkan menurut ahli fisiologi dan
biokimia merupakan proses berurutan dari proses pembentukan zigot ke proses
perkecambahan (Dure, 1975). Menurut Pierik (1978) kultur embrio pada prinsipnya
dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni kultur embrio muda (immature embyo
culture) dan kultur embrio dewasa (mature embryo culture).
62
Metode
Pertama, biji kacang merah dicuci sebanyak 15 biji per grup. Biji direndam
dengan larutan Agrepth dan Ditahen selama tiga jam. Setelah itu, laminar disiapkan
dan bahan serta alat dimasukkan ke dalam laminar. Biji dibilas sebanyak dua kali
menggunakan air steril. Biji kemudian direndam di larutan Clorox 30% selama 15
menit. Biji dibelah menjadi dua. Embrio diisolasi lalu di renda di larutan Clorox 10%
selama lima menit. Biji ditanam pada media kultur sebanyak 5 biji pada tiap botol.
63
4.5
4
3.5
3
Embrio aseptik
2.5
Jumlah
2 Embrio mati
1.5
1 Embrio berkecambah
(%)
0.5
0
1 2 3 4 5 6
MST
Embrio yang mati disebabkan karena adanya bakteri ataupun jamur. Gejala
yang di timbulkan akibat adanya bakteri adalah adanya lendir berwarna putih
kekuningan atau putih susu disekitar media tempat tumbuhnya embryo. Bakteri
tersebut menghambat pertumbuhan dari embryo dan menyebabkan embryo
terkontaminasi. Bakteri yang menyebakan kontaminasi pada embryo ataupun media
tumbuh dapat masuk akibat kurang sterilnya kondisi lingkungan kerja pada saat
penanaman. Hal ini sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya embrio tersebut
tumbuh.
65
KESIMPULAN
Penyelamatan embryo dilakukan bertujuan untuk meningkatkan persentase
tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
agar peyelamatan embryo berhasil yaitu media tumbuh, kehati-hatian dalam
pengambilan embryo dan sterilitas dalam bekerja, karena hal tersebut sangat
mempengaruhi keberhasilan. Pada percobaan kali ini ada beberapa kegagalan dalam
penyelamatan embryo terlihat dari persentasi aseptic yang sempat menurun.
66
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad,M.A. 2008. Pertumbuhan anak semai anggrek Dendrobium yang berasal dari
protocorm kultur polong hijau pada berbagai media Secara In Vitro. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Cahyono. B. 2007. Kedelai. CV. Semarang (ID): Aneka Ilmu
Dure, L.S. 1975. Seed formation. Ann. Rev. Plant Physiol. 26:259-278.
Kukharchyk,N., M.Kastrickaya. 2006. Embryo rescue techniques in Prunus L. J. Fruit
Ornam. Plant Res. 14:129-135
Pierik, R.L.M. 1978. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijhaff Publishers.
Dordrecht, Boston, Lancaster. 334 p.
Raghavan, V. 1986. Variability through wide crosses and embryo rescue. In I.K. Vasil
(Ed.). Cell Culture and Somatic Cell Genetics of Plants 3: 631-633.
Rukmana, R. 2009. Budidaya Buncis.Jakarta (ID): Kanikus
Sukendah, Sudarsono, Witjaksono, N.Khumaida. 2008. Perbaikan teknik kultur embrio
kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) asal Sumenep Jawa Timur melalui
penambahan bahan aditif dan pengujian periode subkultur. Bul.Agron.36:16-
23.
Taji,A., P.Kumar, P.Lakshmanan. 2002. In vitro plant breeding. Haworth. United State
of America.
Uma,S., S.Lakshmi, M.S.Saraswathi, A.Akbar, M.M.Mustaffa. 2011. Embryo rescue
and plant regeneration in banana (Musa spp.). Plant Cell Tissue Organ
Cult.105:105-111
67
LAMPIRAN
Oleh :
Khurul visasti A24160207
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Ir. Megayani Sri Rahayu, M.S,
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kultur anther merupakan salah satu teknik dasar penerapan bioteknologi untuk
pemuliaan tanaman. Pembentukan tanaman haploid melalui pembentukan kalus atau
androgenesis langsung. Manfaat tanaman haploid dalam pemuliaan tanaman adalah
apabila digandakan kromosomnya dengan kolkhisin atau melalui fusi protoplas akan
diperoleh tanaman 100% homozigot.Kultur antera atau kultur haploid banyak
dipergunakan dalam menghasilkan kultivar-kultivar baru karena memiliki beberapa
keunggulan. Menurut Hendaryono (2004), tanaman haploid memberikan beberapa
keuntungan antara lain semua sifat dapat ditampilkan pada keadaan monohaploid baik
sifat dominan maupun sifat resesif. Seleksi pada tingkat haploid (mono atau di) jauh
lebih mudah dari tingkat polidi yang lebih tinggi ,penggandaan dari tanaman
monohaploid akan menghasilkan tanaman tetraploid yang homozigot. Hibridisasi
seksual antara tetraploid dan diploid akan menghasilkan tanaman triploid.
Menghasilkan tanaman super jantan yang selanjutnya dipergunakan untuk
menghasilkan tanaman jantan, sebagai hibrida FI.
Bidang bioteknologi, teknik kultur antera sudah lama dikembangkan sebagai
teknik kultur jaringan . Melalui cara ini tanaman mengalami sebagian dari siklus
generatif tetapi tidak melalui persilangan antara tetua jantan dan betina. Tanaman yang
dapat dihasilkan melalui cara ini antara lain tanaman haploid ganda, yaitu tanaman
homozigot dengan sifat bawaan dari induk asal antera (Aswidinnoor, 2004). Hanya
dengan satu kali siklus perkawinan diikuti dengan teknik kultur anteradapat langsung
diperoleh galur yang stabil. Kegunaan kultur anther antara lain mampu menghasilkan
tanamn monohaploid yang dapat digunakan untuk pemuliaan tanaman selanjutnya dan
dapat menghilangkan sifat resesif, serta dari monohaploid dapat dihasilkan derivate
yang dihaploid (diploid) dengan cara merangkapkan kromosom dengan perlakuan
kolkisin dan mengadakan silangan tanaman monohaploid dan untuk membuat tanaman
homozigot (Rahardja, 2001).
Tujuan
Percobaan ini bertujuan melatih mahasiswa untuk mengisolasi antera dari
bunga pepaya dan menanam antera secara in vitro untuk mendapatkan tanaman
haploid.
71
TINJAUAN PUSTAKA
Pepaya adalah tanaman asli Amerika Tengah yang beriklim tropis (Samson,
1980). Tanaman pepaya yang dibu.didayakan sekarang merupakan hasil persilangan
alami antara Carica peltata Hook. and Arn. dengan spesies liar lainnya (Lits 1984).Pada
tanaman pepaya dapat dijumpai bermacam-macam bentuk, tipe, dan jenis bunga.
Berdasarkan jenis kelaminnya, Soedirdjoatmodjo (1985) menyebutkan beberapa
macam bunga, yaitu bunga betina, bunga jantan, bunga sempurna 7 elongata, bunga
sempurna petandria, bunga sempurna antara, dan bunga sempurna rudimenter.
Kultur pucuk adalah salah satu dasar kegiatan perbanyakan tanarnan secara
vegetatif rnikro dalarn kultur jari ngan. Di bandingkan dengan kul tur rneristern, kul
tur pucuk lebih banyak dilakukan karena eksplan yang lebih besar pada kultur pucuk
lebih rnudah diisolasi, rnernpunyai peluang hidup lebih besar, dan rnenunjukkan
kecepatan turnbuh yang lebih baik (Hu dan Wang 1983).Mehdi dan Hogan (1976)
mengkulturkan pucuk pepaya yang berasal dari kecambah dengan menggunakan media
MS ditambah 4.7 wM kinetin. Untuk media perakaran digunakan MS ditambah 4.7
wM kinetin dan 24.5 wM IBA. Pada penelitian tersebut tidak terjadi perbanyakan
pucuk.
Kultur anther merupakan salah satu cara mendapatkan tanaman haploid melalui
proses androgenesis. Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah
kromosom sama dengan gamet pada sel-sel sporofitnya (Bajaj, 1983). Pepaya dapat
tumbuh pada suhu lingkungan 15⁰-35⁰C, tetapi suhu optimal bagi pertumbuhannya
berkisar antara 22-28⁰C. Tanaman muda membutuhkan kelembaban tinggi. Curah
hujan yang baik bagi tanaman pepaya berkisar 1500- 2000 mm per tahun
(Soedirdjoatmodjo, 1985).
72
Metode
Langkah pertama yang dilakukan adalah memisahkan putik bunga jantan dari
tanaman pepaya sesuai ukurannya. Ukuran kuncup bunga berkolerasi dengan umur
bunga. Sterilisasi kuncup bunga dengan cara mencelupkan bunga kedalam alkohol 70%
lalu dilewatkan api bunsen, lalu mendiamkannya sampai api padam. Perlakuan tersebut
diulang sebanyak 3 kali dengan tujuan agar bunga benar benar steril terhindar dari
mikroorganisme. Selanjutnya adalah membuka kuncup bunga dengan pinset dan
membuang korolanya secara hati hati agar anteranya tidak rusak. Melepaskan anter dari
tangkai bunga dan tanam pada media kultur N6. Kultur antera selanjutnya disimpan
dalam tempat yang gelap untuk menginduksi pertumbuhan kalus. Antera yang berasal
dari kuncup bunga yang berukuran sama dikulturkan didalam botol yang sama.
73
8 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0
10 0 1 1 1 1
Rata-rata 0 0,1 0,2 0,2 0,2
Keterangan:
v : sudah terbentuk kalus
x: belum terbentuk kalus
76
PEMBAHASAN
Tanaman haploid dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur
invitro anther dan pollen. Anther diperoleh dari tunas bunga dan dapat dikulturkan pada
medium padat atau cair sehingga terjadi embriogenesis (Sunyoto 2002). Selain itu
pollen juga dapat diambil secara aseptik dan dikulturkan pada medium cair. Proses
perbanyakan tanaman haploid dengan menggunakan gametofit jantan semacam ini
diesebut sebagai androgenesis. Ada dua macam androgenesis yaitu androgenesis
langsung dan tidak langsung. Androgenesis langsung adalah proses pembentukan
plantlet haploid dengan menggunakan kultur anther, sedangkan pada androgenesis
tidak langsung adalah plantlet terbentuk melalui pembentukan kallus yang kemudian
mengalami regenerasi menjadi plantlet (Rostini 1999).
Pada percobaan ini rata rata semua ulangan perubahan warna anther terbanyak
adalah warna kuning pada 1 MST hingga 3 MST. Perkembangan awal ini ditandai
dengan penyesuaian terlebih dahulu terhadap media tanam sehingga kebanyakan anther
berwarna kuning. Warna coklat pada anther menandakan bahwasannya tingkat umur
anther yang sudah tua. Pada ulangan 2 dan 3 semua mengalami kontaminasi baik itu
berukuran kecil, sedang, dan besar serta ulangan 4 tidak mengalami kontamisai sama
sekali. Tingginya tingkat kontaminasi ini terjadi karena kurang terampilnya praktikan
saat melakukan sterilisasi dan banyaknya eksplan yang tidak mampu tumbuh akibat
kerusakan sel saat sterilisasi berlangsung. Faktor lain yang berperan pada rendahnya
tingkat pertumbuhan kalus pada eksplan adalah media yang digunakan (Yusnita 2004).
Media yang digunakan kemungkinan memiliki efek inhibitor dan kekurangan ZPT.
Pada percobaan ini anther yang telah siap disimpan dalam tempat yang gelap.
Untuk menginduksi kalus, kultur diinkubasi di ruangan gelap pada suhu 27 °𝐶.
Demikian pula untuk meregenerasikan kalus diperlukan suhu yang sama dengan saat
induksi, tetapi kultur ditempatkan ditempat yang gelap. Pada anther yang tanggap
walaupun dinding sel jaringan akan berubah warna menjadi kecoklatan tetapi setelah 3
– 8 minggu anther akan membuka karena adanya tekanan dari kalus yang tumbuh dari
polen.
Kalus terbentuk dari umur 2 MST hingga 5 MST, hal ini di buktikan dari
ulangan 10 yang membentuk kalus pada umur 2 MST dan ulangan 7 yang membentuk
kalus pada umur 3 MST. Sedangkan ulangan 1,2,3,4,5,6,8, dan 9 tidak membentuk
kalus sama sekali, hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti kontaminasi karena
kesalahan praktikan bahkan umur anther itu sendiri. Kemampuan anther utuk
membentuk kalus juga dipengaruhi oleh jenis eksplan dari anther yang masih muda
atau telah matang. Anther yang telah matang lebih cepat membentuk kalus. Menurut
Swastika (2006), keberhasilan kultur anther ditentukan oleh beberapa faktor salah
satunya adalah umur anther pada saat dikulturkan. Warna anther dapat digunakan
sebagai penanda umur fisiologi bunga.
77
KESIMPULAN
Memperoleh galur murni tanaman haploid dengan cepat digunakan teknik
kultur anther yang merupakan salah satu teknik kultur in vitro. Salah satu faktor yang
berpengaruh besar dalam keberhasilan proses kultur anthera ini adalah umur polen
dalam anther. Anther yang tua mempunyai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi
daripada umur yang muda disebabkan oleh tingkat kematangan polennya. Pada
praktikum ini terdapat munculnya kalus yang terbentuk walaupun jumlahnya sangat
sedikit dan tidak diperoleh tunas dikarenakan waktu pengamatan yang terbatas.
78
DAFTAR PUSTAKA
Aswidinnoor H. 2004. Kultur antera padi pada beberapa formulasi media yang
mengandung poliamin.Jurnal Bioteknologi Pertanian.9(10): 14 – 19.
Bajaj, Y. P. S. 1983. In vitro production of haploid, p. 228-287. In P. V. Arnrnirato, D.
A. Evans,W. R.Sharp, Y. ~amada (eds.) Handbook of plant cell culture. I.
Techniques for propagation and breeding. Macmillan Publishing Co., New
York.
Hartmann, H. T., W. J. Flocker, and A. M. Kofranek. 1981. Plant Science. Growth,
development, and utilization of cultivated plants. Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.676p
Hendaryono D.2004. Teknik Kultur Jaringan-Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan
Tanaman Secara Vegetatif Modern. Yogyakarta(ID) : Kanisius.
Hu, C. Y. and P. J. Wang. 1983. Meristem, shoot tip, and bud culture, p. 177-227. P.
V. Ammirato, D. A. Evans, W. R. Sharp, and Y. Yamada (eds.) Handbook of
plant cell culture. I. q Macmillan Publishing Co., New York.
Litz, R. E. 1984. Papaya, p. 349-368. In P. V. Ammirato, D. A. Evans, W. R. Sharp, Y.
Yamada eds.) Handbook of plant cell culture. 11. Crop species. Macmillan
Publishing Co., New York.
Mehdi, A. A. and L. Hogan. 1976. Tissue culture of Carica papaya L. HortSci.
11(3):311 (abstract).
Rahardja C. 2001. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern.
Jakarta(ID) : Penebar Swadaya.
Rostini N.1999.Diktat Kuliah Pengantar Bioteknologi Dalam Pemuliaan
Tanaman.Bandung (ID) : Fakultas Pertanian Universitas Pedjadjaran.
Samson J A. 1980. Tropical fruits. Longman, Inc., New York. 250 p.
Soedirdjoatmodjo M D. S. 1985. Bertanam pepaya. Badan Penerbit Karya Bani
Jakarta ( ID ). 70 p.
Sunyoto N. 2002. Regenerasi kalus embrio pepaya secara kultur in vitro. Jurnal
Hortikultura. 12(2) : 71 -90.
Swastika F.2006. Bersama memicu perbaikan padi hibrida. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2(5) : 23 -29.
Yusnita R. 2004. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Efisien. Jakarta
(ID) : Agromedia Pustaka.
79
Oleh :
Rizki Anugrahaeni A24160083
Asisten Praktikum :
Dosen :
Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si.
Ir. Megayani Sri Rahayu, M.S,
Shandra Amarilis, SP., M.Si.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suatu tahapan yang sangat penting dalam teknik kultur jaringan adalah
aklimatisasi planlet yang ditanam secara in vitro kedalam rumah kaca atau langsung ke
lapang. Aklimatisasi merupakan kegiatan akhir teknik kultur jaringan. Aklimatisasi
adalah proses pemindahan planlet dari lingkungan yang terkontrol (aseptik dan
heterotrof) ke kondisi lingkungan tak terkendali, baik suhu, cahaya, dan kelembaban,
serta tanaman harus dapat hidup dalam kondisi autotrof, sehingga jika tanaman
(planlet) tidak diaklimatisasi terlebih dahulu tanaman (planlet) tersebut tidak akan
dapat bertahan dikondisi lapang.
Tahap aklimatisasi penting dilakukan mengingat tujuan kita mengkulturkan
bagian tanaman adalah semata-mata untuk mengembangbiakkan tanaman agar
diperoleh anakan baru. Tanaman yang tidak diaklimatisasi nantinya akan mengalami
kekurangan nutrisi karena kandungan hara dalam media lama kelamaan akan habis
mengingat jumlahnya juga terbatas. Tahapan aklimatisasi ini diperlukan oleh planlet
karena terdapat perbedaan kritis antara kedua tempat tumbuh tersebut (Nugroho dan
Sugito, 1996). Pada umumnya tanaman yang tumbuh secara in vitro membutuhkan
proses aklimatisasi untuk meningkatkan ketahanannya ketika dipindahkan ke lapangan.
Masa aklimatisasi merupakan masa yang sangat kritis bagi keberlangsungan
hidupplanlet hasil kultur jaringan, karena tanaman ini memilik kutkula yan tidak
berkembang dengan baik akibat iklim mikro planlet dalam botol memilii kelembaban
antara 90-100%. Lignin pada sel batang, sel-sel palisade sedikit, jaringan dari akar ke
pucuk kurang berkembang, dan stomata tidak berfungsi dengan baik. Daun planlet
tipids dan kecil, belum dapat berfotosintesis secara aktif sehingga sulit beradaptasi
pada lingkungan in vivo. Cara untuk mengatasinya adalah dengan menurunkan
kelembaban guna meningkatkan pembentukan lapisan lilin. Selain itu, cara lain yang
harus dilakukan adalah aklimatisasi akar hal ini dapat dilakukan dengan pemberian
Rhizobium pada kultur. Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya pengetahuan
tentang bagaimana memberikan pengalaman tentang tata cara aklimatisasi planlet hasil
kultur jaringan, serta Mengadaptasikan tanaman hasil kultur jaringan terhadap
lingkungan baru sebelum ditanam di lapang dan untuk mengetahui kemampuan
adaptasi tanaman dalam lingkungan tumbuh yang kurang aseptik.
Tujuan
Pratikum ini bertujuan melakukan aklimatisasi planlet hasil perbanyakan kultur
jaringan.
81
TINJAUAN PUSTAKA
Metode
Langkah pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah mengeluarkan
planlet dari botol kultur secara hati-hati agar akar tidak rusak. Setelah planlet berhasil
dikeluarkan, panlet dicuci menggunakan air masak secara perlahan hingga bersihdari
agaragar,kemudian gunting akar yang terlalu panjang dan sisakan 3 cm. Planlet yang
sudah bersih dihitung jumlah buku dan tingginya. Setelah itu, planlet direndam dalam
laruan Agrept2g/L dan Dhitane M-45 2g/L selama 10 menit.
Media yang sudah steril dibasahi menggunakan air steril hingga jenuh. Planlet
yang sudah selesai direndam kemudian ditanam pada media yang sudah disiapkan
dengan jarak tanam 2 cm x 2 cm untuk mencegah bibit busuk. Setelah semua bibit
ditanam, baki tempat ibit ditanam ditutup dengan wrap plastik bening, kemudian
disimpan dalam ruang kultur. Planlet disiram dengan cara dispray 2-3 hari sekali untuk
menjaga kelembaban. Planlet yang sudah berumur 1 minggu dikeluarkan ke tempat
teduh untuk mengadaptasikannya pada lingkungan in vivo selama 1-2 minggu, pada
saat ini planlet dapat disemprot menggunakan pupuk daun. Ex vitro cutting dilakukan
pada 1 MST dengan memotong pucuk planlet (2 buku) dan menanamnya pada media
yang sama.
83
Keterangan :
Tanda (-) berarti datanya tidak ada, karena planletnya sudah mati
6.8 6.68
6.56
6.6
Tinggi (cm)
6.4
6.2
5.97
6
5.8
5.6
1 MS T 2 MS T 3 MS T
Minggu pengamatan
Gambar 1. Grafik tinggi planlet setelah aklimatisasi
85
17.2 17
17
Jumlah daun
16.8 16.69
16.6
16.4 16.2
16.2
16
15.8
1 MS T 2 MS T 3 MST
Minggu pengamatan
Gambar 2. Grafik jumlah daun planlet setelah aklimatisasi
1.6 1.37
1.4
1.2
Jumlah cabang
0.9
1
0.8
0.54
0.6
0.4
0.2
0
1 MST 2 MST 3 MST
Minggu pengamatan
Gambar 3. Grafik jumlah cabang baru setelah aklimatisasi
Hal yang pertama kali dilakukan praktikan adalah mengeluarkan planlet dari
botol dengan hati-hati agar tidak putus dan pastikan bibit tersebut telah berakar, dengan
pertimbangan bahwa planlet yang dinilai telah memiliki akar yang cukup akan
memudahkan dalam proses penyerapan hara dari media tanam. Kemudian pada gambar
selanjutnya planlet dicuci bersih dengan air yang sudah dimasak secara perlahan
sampai semua agar-agar sudah tidak ada pada akar planlet, setelah itu planlet di rendam
pada larutan Dithane/benlate 1 g/L + Agrept 1 g/L selama 10 menit, larutan tersebut
berfungsi sebagai bakterisida dan fungisida (Wattimena, 2011). Perlakuan ini
dimaksudkan agar tanaman terbebas dari kontaminasi cendawan dan perlakuan hormon
dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan bagian vegetatif tanaman.
Berdasarkan hasil pengamatan, planlet yang bertahan hidup hingga 100%
hanya beberapa kelompok. Sebagian kelompok ada planlet yang mati semua.
Keberhasilan tumbuh pada tahap ini masih sangat minim, bila persentase tumbuh telah
86
mencapai 50 % maka dapat dikatakan proses aklimatisasi tersebut berhasil. Hal ini
disebabkan karena beberapa faktor seperti suhu yang tidak tetap, faktor keterampilan
dan ketelitian pun sangat berpengaruh pada tahapan ini (Sitti dan Natalini, 2008). Pada
kelompok 1,2,3,6,7,8,10 keberhasilan planlet tumbuh sudah 50%, sedangkan
kelompok 4,5,9 planletnya tidak hidup.
Penggunaan media arang sekam dan tanah sudah tepat karena bersifat remah
media yang remah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air,
mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan unsur
haranya tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama. Media aklimatisasi bibit
kultur jaringan krisan dan kentang di Indonesia saat ini adalah media arang sekam atau
media campuran arang sekam dan pupuk kandang (Marzuki, 1999). Arang sekam
merupakan salah satu media hidroponik yang baik karena memiliki beberapa
keunggulan sebagai berikut; mampu menahan air dalam waktu yang relatif lama,
termasuk media organik sehingga ramah lingkungan, lebih steril dari bakteri dan jamur
karena telah dibakar terlebih dahulu, dan hemat karena bisa digunakan hingga beberapa
kali (Sinaga, 2001).
Pertumbuhan tanaman pada 0 mst di amati dari jumlah daun terdapat rata-rata
yaitu 16,69, pada 2 MST yaitu 16,20 dan pada 3 MST yaitu 17,01. Tinggi tanaman
rata-rata pada 0 MST yaitu 5.97, 2 MST rata-rata tinggi tanaman yaitu 6,68, dan pada
3 MST rata-rata tinggi sebesar 6,56. Pada umur 3 MST kebanyakan tumbuhan yang
tidak mati ini dikarenakan kurang tepatnya umur eksplan untuk dipindahkan dan
kesalahan pratikan ketika menanam. Dan pada tanaman terserang cendawan serta
terjadi klorosis pada tanaman karena belum dapat menyesuaikan tempat.
87
KESIMPULAN
Aklimatisasi merupakan tahapan terakhir dalam kultur jaringan tanaman.
Aklimatisasi merupakan proses adaptasi planlet dari keadaan heterotro menjadi
autotof. Proses adaptasi ini dilakukan bertahap dimulai dengan perendaman
menggunakan fungisida dan bakterisida, penanaman dalam media yang bersifat remah,
penutupan dengan plastik untuk mengurangi kelembaban secara pelahan, hingga siap
ditanam di lapang. Pengaturan kelembaban dan suhu yang sesuai sangat menntukan
keberhasilan aklimatisasi.
88
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, A. 1999.Pengaruh lama penyimpanan, konsentrasi sukrosa dan cahaya
penyimpanan terhadap vigor planlet kentang (Solanum
tuberosum L.).Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.
Bogor.
Nugroho, A. dan. Sugito. H, 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta
Sinaga, N. A. K. 2001. Pengaruh sukrosa dan lama simpan gelap terhadap vigor bibit
krisan (Chysanthemum sp.).Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian. IPB. Bogor.
Sitti Fatimah Syahid dan Natalini Nova Kristina,2008. Multiplikasi Tunas,
Aklimatisasi Dan Analisis Mutu Simplisia Daun Encok (Plumbago
zylanicaL.) Asal Kultur In Vitro Periode Panjang. jurnal Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik Vol. XIX No. 2, 2008, 117 – 128
Torres, K. C. 1989. Tissue Culture Techniques for Horticultural Crops.Chapman and
Hall. New York. London.
Wattimena, G.A. 2011. Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. Bogor. IPB Press
Wetherelll, D. F. 1982. introduction to in vitro Propagation. Avery Publishing Group
Inc. Wayne, New Jersey.