Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM KELUARGA
Disusun untuk memenuhi matakuliah: HUKUM ADAT
Dosen Pengampu: URWATUL WUSQO, M.HI

DISUSUN OLEH:
1. KHOIRUL ANAM
2. NURUDDIN
3. MUHDAR

FAKULTAS AGAMA ISLAM


JURUSAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM MADURA (UIM)
PAMEKASAN
2019
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul:
“HUKUM KELUARGA ”
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyadari bahwa terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
dari pembaca agar kami dapat memberikan yang lebih baik untuk yang
selanjutnya. Semoga Makalah ini dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi
pembaca ataupun penulis.

Pamekasan, 30 November 2019


Penulis,

KELOMPOK-6

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ......................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 5
C. Tujuan Makalah ........................................................................................ 5
BAB II .................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .................................................................................................... 6
A. Keturunan ................................................................................................. 6
B. Hubungan Anak dan Orang Tua ............................................................... 8
C. Memelihara anak yatim ............................................................................ 9
D. Mengangkat anak/adopsi ........................................................................ 10
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan
tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas, tampak
bahwa suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan”
dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri, sedangkan “tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Makna dan arti dari perkawinan menjadi lebih dalam, karena selain
melibatkan kedua keluarga juga lebih berarti untuk melanjutkan keturunan,
keturunan merupakan hal penting dari gagasan melaksanakan perkawinan.
Menurut ketentuan Pasal 80 KUHPerdata, sebelum berlakunya Undang-Undang
Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pejabat
Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUHPerdata disebutkan, bahwa perkawinan
secara agama harus dilakukan setelah perkawinan di hadapan Kantor Catatan
Sipil. Dengan demikian, apabila perkawinan hanya dilakukan secara agama dan
tidak dilakukan di hadapan Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi hukumnya
dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri
dan/atau antara suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata.
Hubungan Perdata yang dimaksud adalah antara lain hubungan pewarisan antara
suami dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan anak-anaknya serta keluarganya,
apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia.
Perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan
kepercayaan harus dicatat oleh petugas pencatat dengan maksud agar terjadi

3
tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Terciptanya tertib
administrasi kependudukan berarti menghindarkan kekacauan administrasiyang
berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.1 Kondisi
perekonomian dan kurangnya pengetahuan hukum menimbulkan ketentuan di atas
tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Khusus untuk perkawinan yang tidak
dicatatkan oleh pegawai pencatat. Atau adanya keinginan dari sang suami yang
tidak mau terikat pada ketentuan Pasal 27 BW/KUHPerdata juncto Pasal 2 ayat
(1) UUPA tentang syarat sahnya perkawinan. Hal tersebut dilakukan dengan cara
melakukan perkawinandengan cara menurut hukum Islam dan tidak mendaftarkan
perkawinan tersebut ke Kantor Catatan Sipil yang berwenang. Nikah di bawah
tangan atau perkawinan yang tidak tercatat, artinya secara material telah
memenuhi ketentuan syari'at dan dianggap sah secara agama tetapi tidak
mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang
sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak
tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di hadapan Pak Kiai atau tokoh
agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah.
Perkawinan ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2Dalam kondisi tersebut, anak-anak
yang dilahirkan dari perzinaan tentu saja akan menempatkan anak keturunan
sebagai anak tidak sah secara materiil maupun formil. Hal ini sesuai dengan Pasal
42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan syarat sah
perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan dalam ayat (1)
disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan dalam ayat (2) disebutkan
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Apabila suatu perkawinan tidak memenuhi kedua unsur sebagai mana diatur
dalam pasal tersebut di atas, maka perkawinan dianggap tidak sah menurut hukum
negara maupun hukum agama. Kedudukan anak hasil pernikahan siri hanya
memiliki hubungan dengan ibunya sementara dengan ayahnya tidak memiliki
hubungan hukum kecuali adanya pengakuan ayahnya terhadap anak tersebut yang

4
harus dilakukan dengan akta otentik.3 Upaya untuk membentuk keluarga
yangbahagia dan sejahtera, maka orang tua membina dan memelihara anakny
dengan cinta kasih, perhatian yang cukup termasuk pendidikan, kesehatan dan
kecakapan. Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan
dan sebagai landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksut keturunan?
2. Bagaimana hubungan anak dan orag tua?
3. Bagaimana jika memelihara anak yatim
4. Bagaimana jika mengangkat anak/adopsi?

C. Tujuan Makalah
1. Mengatahui arti keturunan
2. Mengatahui hubungan anak dan orang tua
3. Paham untuk memelihara anak yatim
4. Mengatahui cara mengangkat anak/adopsi anak

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keturunan
Keturunan dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan
sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya,
karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa
ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan. Pasal
42 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud
dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri
sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua
putus. Pasal 47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan ornag tuanya
selama merka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak
tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Dan pada
pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan (1) batas usia anak
yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut
tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsingkan
perkawinan. (2) orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum didalam dan diluar pengadilan. (3) pangadilan agama adapat menunjuk
salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri
yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.
Masalah keturunan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
ditentukan dalam pasal 55 nya bahwa “Asal usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang”. Apabila akte kelahiran itu tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul anak itu. Atas penetapan Pengadilan
itu, maka Pegawai Pencatat kelahiran dapat mengeluarkan akte kelahiran terhadap
anak itu. Di dalam pasal 42 dinyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Seorang anak yang

6
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
serta keluarga ibunya.
Salah satu tujuan pernikahan adalah agar memiliki keturunan atau nasab.
Sehingga anak-anak yang terlahir jelas nasabnya, bapaknya, ibunya, dan
keluarganya. Lalu bagaimana hukum penetapan nasab anak dalam agama Islam?
Syekh Ali Jum’ah, salah satu ulama yang menjadi mufti di Al-Azhar Mesir
telah memberikan jawabannya di dalam Fatawa Asriyahnya bahwa nasab antara
anak dan ibunya ditetapkan dari sisi biologisnya. Sesuatu yang sekarang bisa
dibuktikan lewat tes DNA sehingga seorang anak dapat diketahui siapa ayah-
ibunya.
Hanya saja, nasab anak dengan ayahnya ditetapkan melalui jalan agama,
bukan jalan pembuktian biologis. Artinya, anak yang dihasilkan dari perzinaan,
nasabnya tidak mengikuti lelaki pelaku perzinaan tersebut. Sebab, hubungan
antara ayah dan ibunya terjadi bukan dengan akad nikah yang sah, meskipun sang
lelaki benar-benar ayah biologisnya dan dikandung serta dilahirkan oleh ibu
pasangan zinanya.
Jadi, bagi anak hasil zina, hukum mahram dan waris berlaku menurut
penetapan nasab. Nasab anak tidak terhubung dengan ayahnya kecuali jika dia
dihasilkan dari hubungan yang sah antara ayah dan ibunya. Artinya, jika tidak ada
akad nikah yang sah, maka tidak ada nasab. Demikian kesepakatan semua fuqaha’
(ahli hukum Islam/fiqih), dan tercantum dalam undang-undang Mesir.
Atas dasar itu, penetapan nasab merupakan turunan dari akad nikah yang
sah, atau yang rusak, atau dari persetubuhan yang mengandung syubhat. Seorang
hakim harus memikirkan segala kemungkinan yang ada agar dapat menetapkan
nasab dengan benar.
Jadi, jika seorang hakim memiliki bukti pasti bahwa sang anak dilahirkan
dari pernikahan yang sah, atau dia benar-benar sudah meyakini hal itu di dalam
hatinya, maka dia harus menetapkan bahwa nasab sang anak terhubung dengan
ayahnya.
Jika sudah terbukti bahwa pernikahan yang sah tidak terjadi, atau terjadi
akad nikah tetapi rukun dan syaratnya tidak sempurna, maka seorang hakim wajib
memutuskan bahwa nasab sang anak tidak tersambung dengan ayahnya, meskipun
seandainya tes DNA memutuskan sebaliknya, mengingat nasab anak dengan

7
ayahnya hanya bisa ditetapkan dari sisi agama, bukan dari sisi pembuktian
biologis.

B. Hubungan Anak dan Orang Tua


1. Anak dengan ibunya:
a. Perempuan yang melahirkan anaknya.
b. Hubungan ini tidak memperhatikan anak lahir dalam perkawinan resmi
atau tidak.
2. Anak dengan Bapaknya:
a. Hubungan hukum: Tergantung pada ada tidaknya perkawinan.
b. Hubungan nasab: mengikuti bapaknya (dalam perkawinan)
3. Kedudukan Anak
c. Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. (Ps. 42).
d. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya (Ps. 43).
e. Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya dan harus
dibuktikan dengan Anak sah:
f. Lahir dalam/ akibat perkawinan yang sah.
g. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut. (Ps. 99).
h. Anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Ps. 100)
i. Penyangkalan sahnya anak dapat diteguhkan secara lisan dan diajukan ke
PA dalam jangka waktu 180 hari setelah lahir atau 360 hari setelah
putusnya perkawinan.
UUP mengatur kewajiban orang tua dan anak dalam Pasal 45 dan 48.
4. Kewajiban orang tua:
j. Memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya hingga anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri. (Pasal45).
k. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.

8
l. Kekuasaan orang tua dapat dicabut untuk waktu tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga si anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandungnya yang telah dewasa, atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan pengadilan.
m. Dicabut kekuasaannya apabila:
i. Melalaikan kewajiban terhadap anak.
ii. Berkelakuan buruk sekali.
iii. Orang tua yang dicabut kekuasannya masih tetap berkewajiban
memberi pembiayaan pemeliharaan anak.
5. Kewajiban Anak
a. Taat dan berbakti kepada kedua orang tua.
b. Berkata lemah lembut.
c. Memelihara orang tua sewaktu lanjut usia.
UU Perkawinan mengatur hal ini dalam Pasal 64.

C. Memelihara anak yatim


Anak yatim dalam istilah syariat adalah anak yang ditinggal wafat oleh
ayahnya sebelum baligh. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam
kitabnya Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, yatim adalah orang yang mati ayahnya
sebelum baligh, baik dia kaya maupun miskin, laki-laki atau perempuan.
Syariat Islam sangat memuliakan orang yang menyantuni dan memperhatikan
anak-anak yatim sebagaimana firman Allah, “Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS
al-Insan [76]: 8).
Karena begitu mulianya mengasuh dan menanggung kehidupan anak yatim,
sehingga Rasulullah SAW menegaskan hal itu adalah salah satu amalan yang
dapat mengantarkan seorang Muslim masuk surga, bahkan berada dekat dengan
Nabi SAW.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim
(kedudukannya) di surga seperti ini,” kemudian beliau SAW mengisyaratkan
dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan
keduanya. (HR Bukhari).

9
Namun, apakah anak yang kehilangan ayahnya bukan karena kematian, seperti
anak yang dibuang orang tuanya, atau anak yang ditinggalkan orang tuanya di
panti asuhan termasuk ke dalam kategori yatim?
Dalam fikih disebutkan istilah laqith, yaitu seorang anak ditemukan di jalan
yang tidak diketahui orang tuanya, sehingga disebut juga dengan istilah majhul al-
nasab (yang tidak diketahui nasabnya).
Para ulama menegaskan, mengasuh dan menanggung segala keperluan
kehidupannya termasuk ke dalam kategori menyantuni dan mengasuh anak yatim.
Ulama menyebut mereka sebagai yatim hukmi (anak yatim secara hukum).
Karenanya, ada dua jenis yatim, pertama yatim hakiki, yaitu anak yang
ditinggal mati ayahnya ketika belum baligh. Dan, kedua yatim hukmi, yaitu anak
yang diikutkan kepada hukum yatim. Bahkan, ulama menjelaskan, mengasuh dan
menyantuni anak yang dibuang ini lebih utama daripada anak yatim karena
seorang anak yatim mungkin masih memiliki ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi
yang mengasihinya.
Sedangkan, anak yang dibuang tidak diketahui orang tuanya dan tidak
memiliki siapa pun untuk dijadikan tempat bersandar.
Tentunya, mengasuh dan menyantuni di sini bukan dalam arti mengadopsinya
untuk kemudian dinasabkan kepada yang mengasuhnya karena hal itu diharamkan
dalam Islam.
Tetapi, hanya membantu mereka untuk dapat memenuhi segala kebutuhan
hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa
pendidikan dan kasih sayang.

D. Mengangkat anak/adopsi
Untuk dapat mengangkat anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak, orang
tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan (Pasal 32 Permensos No.
110/2009) sebagai berikut:
a. sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu untuk
mengasuh CAA;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55
(limapuluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;

10
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
f. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
g. memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu
menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
h. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
i. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;
j. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
k. memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk ditetapkan
di pengadilan.
Sementara itu, Abd. Rasyid As'ad menyatakan bahwa pengangkatan anak bagi
orang beragama Islam dapat dilakukan melalui Pengadilan Agama. Di dalam
tulisannya Abd. Rasyid As'ad mengatakan antara lain:
“Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan
anak (adopsi) bagi orang yang beragama Islam adalah menjadi kewenangan
penuh Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa berlaku di Pengadilan Agama
sebelum lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara
pengangkatan anak, yakni calon orangtua angkat mengajukan perkara
permohonan pengangkatan anak sebagaimana lazimnya perkara volunteer
(permohonan). Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum acara yang
berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan dalam
acara pemeriksaan dan bentuk penetepan dari permohonan pengangkatan anak
bisanya dipedomani SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983.
Pengangkatan anak menurut hukum perdata umum, sebelum perkara diajukan ke
Pengadilan Negeri, calon orangtua angkat harus terlebih dahulu mendapatkan
izin pengangkatan anak (adopsi) dari Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial
Propinsi. Untuk mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial
Propinsi, calon orangtua angkat dan anak angkat telah memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.13/HUK/1993.

“Setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, apakah sebelum


mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama harus pula
terlebih dahulu dilengkapi dengan Izin Pengangkatan Anak dari Kepala Dinas
Propinsi?. Menurut hemat penulis, karena pengangkatan anak dalam persepektif
hukum Islam tidak memutuskan nasab dengan orangtua kandungnya, maka
pengangkatan anak (adopsi) di Pengadilan Agama, tidak perlu izin dari Kepala
Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi. Kecuali kalau anak yang akan diangkat
tersebut berasal dari Panti Asuhan di bawah pengawasan Kementerian Sosial.

11
Namun demikian perlu adanya koordinasi yang baik antara Pengadilan Agama,
Kementerian Sosial, dan Dinas/Kantor Kependudukan dan Catatan Cipil
Kabupaten/Kota setempat.”

Jadi, pada dasarnya tidak ada pengaturan mengenai apakah orang tua tunggal
boleh mengangkat anak atau tidak menurut Hukum Islam. Yang terpenting
adalah jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan
ibu kandungnya.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak merupakan titipan atau amanat Allah, Akibatnya orang tua bertanggung
jawab atas kehidupan anak. Orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya di
akhirat kelak.
Hubungan anak dan orangtuanya adalah Ibu yang melahirkan anaknya
hubungan ini tidak memperhatikan lahir dalaperkawinan resmi atau tidak
sedangkan hubungan dengan bapaknya tergantung ada tidaknya perkawinan dan
dalam hubungan nasab mengikuti bapaknya (dalam perkawinan)
Hadirnya tokoh pelindung yang mampu memenuhi rasa aman para anak
yatim akan mengurangi dampak negative dari kondisi keyatimannya. Menurut
pandangan ini keyatiman justru akan membuat si yatim kuat dan tabah serta
memberi peluang untuk mengembangkan sikap mandiri. Dengan kata lain,
keyatiman merupakan kondisi potensial untuk mengembangkan kedewasaan
secara lebih cepat dan mantap. Hal ini tentu bisa terwujud jika para pengasuhnya
mampu melakukan pembinaan mental secara tepa
Memelihara, mendidik dan mengasuh anak orang lain sangat dianjurkan
dalam Islam, dan Anak angkat tidak menjadikan adanya hubungan darah antara
anak dan orang tua yang mengangkatnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://dalamislam.com/dasar-islam/arti-nasab

https://bincangsyariah.com/nisa/hukum-penetapan-nasab-anak-dalam-agama-
islam/

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/04/11/ml2km2-
mengasuh-anak-laqith

http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/IJECI/article/download/16540/11863

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt516b6321d8ef7/pengangkata
n-anak-menurut-hukum-islam/

14

Anda mungkin juga menyukai