Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN MENTAL DAN MORAL


BANGSA INDONESIA

PENYUSUN

AYU RIZQI KRISMUNAWATI

P1337424516004

ANONA

PRODI D4 KEBIDANAN MAGELANG

POLTEKES KEMENKES SEMARANG

2016/2017

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................ 1

Daftar isi............................................................................................2

BAB 1. PENDAHULUAN

Latar Belakang................................................................................ 3

Tujuan Penulisan..............................................................................4

Manfaat Penulisan............................................................................4

Rumusan Masalah............................................................................4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Pendidikan Karakter.................................................... 5

BAB 3. PEMBAHASAN

Peran pendidikan dalam membangun moral bangsa....................7-8

Tujuan dan fungsi dari pendidikan.................................................9-10

Sikap dan perilaku yang bermoral...................................................11-12

Strategi pengembangan sikap dan perilaku siswa yang bermoral...13-14

BAB 4. PENUTUP

Simpulan...................................................................................................15

Saran.........................................................................................................15

Daftar Pustaka.........................................................................................16

Lampiran..................................................................................................17

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Pendidikan merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi sepanjang
hayat. Tanpa pendidikan, mustahil manusia dapat hidup berkembang dengan
cita-cita untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan
hidupnya, karena pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi pembawaan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
agama. Tujuan pendidikan tidak sekadar proses transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) atau kultur, tetapi juga sekaligus sebagai proses
transfer nilai (transfer of value). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan, di
samping sebagai transmisi pengetahuan, juga berkenaan dengan proses
perkembangan dan pembentukan kepribadian atau karakter peserta didik.
Dalam rangka internalisasi nilai-nilai moral kepada peserta didik, maka perlu
adanya optimalisasi pendidikan agar peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakul karimah,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan berkembang pesat seiring dengan perkembangan era
globalisasi yang ditandai dengan kemajuan informasi dan teknologi
memberikan banyak perubahan. Kemajuan informasi dan teknologi tersebut
diukur dengan pendidikan sebagai barometernya. Secara logika, hal ini
sangatlah wajar, karena pendidikan merupakan alat sekaligus wadah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan sarana untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh human resources. Namun, ada sisi lain yang terremehkan,
yaitu proses pembentukan karakter manusia menjadi lebih baik (humanisasi).
Pengaruh era globalisasi dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi
tanpa disadari menjadikan pergeseran makna akan pendidikan itu sendiri.
Masyarakat mulai mengesampingkan makna hakiki dari nilai dan disorientasi
pendidikan.

3
1

1.2 TUJUAN PENULISAN

Adalah tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :

1. Mengetahui pentingnya peran pendidikan dalam membangun mental dan


moral bangsa.
2. Mengetahui fungsi pendidikan nasional bagi masyarakat indonesia
3. Mengembangkan sikap dan perilaku siswa yang bermoral dalam kegiatan
pembelajaran disekolah
4. Mengimplementasikan strategi pengembangan moral pancasila
5. Mengetahui aspek-aspek yang terkandung dalam pendidikan bangsa

1.3 MANFAAT PENULISAN

Makalah ini diharapkan berguna bagi masyarakat Indonesia khususnya


bagi mahasiswa. Agar sebagai generasi penerus bangsa yang mempunyai
moral dan mental yang baik melalui pendidikan yang baik pula. Dan
menyadarkan kepada orang tua agar pendidikan kepada anak sangat wajib
diberikan guna membentuk karakter yang baik bagi anak.

1.4 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana peran pendidikan dalam membangun moral bangsa


2. Tujuan dan fungsi dari pendidikan yang berkarakter dalam
membangun bangsa
3. Pengertian sikap dan perilaku yang bermoral
4. Bagaimana strategi pengembangan sikap dan perilaku siswa yang
bermoral dalam kegiatan pembelajaran di sekolah

4
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER

Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah, bawaan, hati, jiwa,


kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan
watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti
sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan


Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti
bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan
seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk mencapai tingkat
hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental.[2]
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie, berarti
bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan
seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk mencapai tingkat
hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental.[3] Sedangkan
karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas, adalah bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan
watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991)[4] adalah pendidikan
untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya.
Definisi pendidikan karakter selanjutnya dikemukakan oleh elkind dan sweet
(2004).
“Character education is the deliberate esffort to help people understand, care
about, and act upon caore ethical values. When we think about the kind of
character we want for our children, it is clear that we want them to be able tu
judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe

5
to be right, even in the face of pressure from without and temptation from
within”[5]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu memperngaruhi karakter peserta didik. Guru
membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan
bagaimana perilaku guru, cara guru bebicara atau menyampaikan materi,
bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tenting pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka tentang pendekatan dari
modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
dikembangkan di Negara-negara barat, seperti : pendekatan perkembangan moral
kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang
lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yaitu melalui penanaman
nilai-nilai social tertentu.
Berdasarkan grand desain yang dikembangkan kemendiknas, secara psikologis
social cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik) dari
konteks interaksi social cultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat.1

1
Heri Gunawan, Pendidkan Karakter, h.37

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN MORAL BANGSA

Dalam upaya membentuk karakter bangsa yang bermartabat, peran ilmu


pendidikan sangat penting, karena dalam ilmu pendidikan kita dapat menemukan
banyak konsep maupun teori pendidikan yang dapat dijadikan acuan untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan termasuk karakter atau wataknya.
Dalam Ilmu pendidikan juga dijelaskan bagaimana pendidikan itu sebaiknya
dilaksanakan. Benarkah pendidikan memegang peranan penting dalam
pembangunan, utamanya dalam membentuk watak bangsa yang bermartabat?
Pendidikan yang bagaimana yang dapat membentuk karakter bangsa yang
bermartabat itu? Plato memiliki gagasan tentang pendidikan. Gagasannya tentang
pendidikan sebenarnya untuk menjawab persoalan bagaimana menimbang dan
memilih para penjaga negara yang tidak hanya beringas dan sewenang-wenang
terhadap sesama warga negara, tetapi juga yang tidak membahayakan eksistensi
negara itu sendiri? Secara singkat, siapa “yang cocok” untuk menjadi penjaga
negara? Dari pertanyaan tersebut kemudian disepakati bahwa para penjaga harus
dipilih, dan kriteria untuk memilihnya adalah mereka yang berindera tajam,
cekatan dalam memahami segala persoalan, kuat, berani, dan memiliki jiwa yang
bersemangat. Di sini lalu timbul pertanyaan, bagaimana dapat diperoleh para
penjaga dengan sifat-sifat semacam ini? Salah satu jawabannya adalah melalui
pendidikan. Menurut Plato, pendidikan adalah alat pembentukan karakter, baik
bagi para penjaga maupun bagi seluruh warga negara.

Meskipun diyakini pendidikan dapat membentuk karakter bangsa,


sebagaimana telah disebutkan di atas. Juga, disebutkan lagi dalam UU RI Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Tetapi dalam kenyataan sejarah
bangsa kita, pembangunan manusia lewat pendidikan bergeser fungsinya dari
fungsi menanamkan ideologi dan mewariskan nilai-nilai budaya bangsa kepada
generasi baru ke fungsi ekonomis, yakni mempersiapkan tenaga kerja untuk bisa
berpartisipasi dalam proses produksi. Jika fungsi pertama lebih menekankan
fungsi pendidikan sebagai gejala kebudayaan, di mana pendidikan berfungsi untuk
menciptakan members of the nation-state,

7
sebagai warga negara yang baik, yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai
anggota suatu masyarakat bangsa. Fungsi kedua pendidikan lebih sebagai gejala
ekonomi, yakni mempersiapkan seseorang untuk memasuki pasar tenaga kerja
lewat serangkaian proses pembelajaran. Adanya pergeseran fungsi pendidikan ini
tentu bukan tanpa alasan. Alasannya, karena proses pendidikan tidak berlansung
dalam ruang kosong atau dalam kefakuman, melainkan berada di tengah-tengah
perubahan masyarakat. Dalam ungkapan yang lebih spesifik, proses pendidikan
itu berinteraksi dengan “dunia lain”, utamanya dunia politik dan ekonomi.
Bahkan dunia lain tersebut berupaya keras untuk dapat mendominasi dunia
pendidikan. Sekolah pada hakekatnya mempunyai peranan yang cukup penting
dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku moral anak yang beraklakul
karimah. Sekolah juga mempunyai peranan yang cukup penting untuk
memberikan pemahaman dan benteng pertahanan kepada anak agar terhindar dari
jeratan negatif perkembangan arus globalisasi yang ditandai dengan pesatnya
kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu,
sebagai antisipasi terhadap dampak negatif dari perkembangan arus globalisasi
tersebut, sekolah selain berperan dalam memberikan bekal ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (IPTEKS), serta ketrampilan berfikir kreatif, juga harus
mampu mengembangkan perannya dalam pembentukan manusia Indonesia yang
berkepribadian, bermoral, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hal itu sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam
UU RI no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang menyatakan
bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

2
Penulis adalah dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY.

8
3.2 TUJUAN DAN FUNGSI dari PENDIDIKAN

Dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, disebutkan bahwa pendidikan bertujuan


meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian
mandiri, maju, tanggunh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja
profesional, serta sehat jasmani rohani.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi,
sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada
pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan
yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak
yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak
usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut
mulai dirintis melalui Pendidikan Karakter bangsa.
Dalam pemberian Pendidikan Karakter bangsa di sekolah, para pakar berbeda
pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa
Pendidikan Karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata
pelajaran. Pendapat kedua, Pendidikan Karakter bangsa diberikan secara
terintegrasi dalam mata pelajaran PKN, pendidikan agama, dan mata pelajaran
lain yang relevan. Pendapat ketiga, Pendidikan Karakter bangsa terintegrasi ke
dalam semua mata pelajaran.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik
mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter
pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-
nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah.
Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut di mata masyarakat luas.

9
Pendidikan karakter bertujuan sebagai berikut;
a. Versi Pemerintah
Pendidikan memiliki tujuan yang sangat mulia bagi kehidupan manusia. Dan
berkaitan dengan pentingnya diselenggarakan pendidikan karakter disemua
lembaga formal. Menrut Presiden republic Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono, sedikitnya ada lima dasar yang menjadi tujuan dari perlunya
menyelenggarakan pendidikan karakter. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai
berikut:
 Membentuk Manusia Indonesia yang Bermoral
 Membentuk Manusia Indonesi yang Cerdas dan Rasional
 Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras
 Membentuk Manusia Indonesia yang optimis dan Percaya Diri
 Membentuk Manusia Indonesia yang Berjiwa Patriot
Salah satu prinsip yang dimiliki konsep pendidikan karakter adalah terbinanya
sikap cinta tanah air. Hal yang paling inti dari sikap ini adalah kerelaan untuk
berjuang, berkorban serta kesiapan diri dalam memberikan bantuan kepada pihak-
pihak yang membutuhkan. Harus kita akui bahwa sikap tolong-menolong dan
semangat juang untuk saling meberikan bantuan sudah semakin luntur dari
kehidupan masyarakat. Sikap kepedulian yang semula merupakan hal yang paling
kita banggakan sepertinya sudah tergantikan dengan tumbuh sumburnya sikap-
sikap individualis dan egois. Kepekaan social pun sudah berada pada taraf yang
meprihatinkan. Maka tidak heran bila setiap saat kita menyaksikan masalah-
masalah social yang terjadi di lingkungan kita , yang salah satu factor
penyebabnya adalah terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain.
Maka, disinilah pentingnya pendidikan karakter supaya peserta didik benar-
benar menyadari bahwa ilmu yang diperoleh harus dimanfaatkan untuk
kepentingan banyak orang
b. Versi Pengamat
Berikut ini ada pendapat beberapa ahli mengenai tujuan pendidikan Karakter;
 Sahrudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pendidikan karakter bertujuan
membentuk masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergorong royong, berjiwa patriotic, berkembang
dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa
sekaligus berdasarkan Pancasila
 Menurut Sahrudin, pendidikan karakter memiliki fungsi-fungsi sebagai
berikut:
- Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi
sosok yang berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
- Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.3

3
Thomas Lickona¸ Mendidik untuk Membentuk Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 81.

10
3.3 SIKAP dan PERILAKU yang BERMORAL

Setiap orang pada umumnya sulit untuk melepaskan perasaan senang dan
tidak senang dari persepsi dan prilakunya ketika berinteraksi dengan suatu obyek
tertentu. Dalam mental kita selalu saja ada mekanisme mental yang mengevaluasi,
membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan ikut menentukan kecenderungan
perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang sedang kita hadapi, bahkan
terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita dipengaruhi oleh ingatan
kita akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang
sedang kita hadapi. (Azwar, 1998: 3)
Itulah fenomena sikap yang timbulnya tidak saja ditentukan oleh keadaan
obyek yang sedang kita hadapi tetapi juga oleh kaitannya dengan pengalaman-
pengalaman masa lalu, oleh situasi saat ini, dan oleh harapan-harapan kita untuk
masa yang akan datang. Dengan demikian untuk selalu dapat bersikap positif,
seseorang perlu dilatih mentalnya sejak kecil dengan pengalaman-pengalaman
yang positif (citra positif) dan dibiasakan menghadapi persoalan-persolan dengan
persepsi positif juga.

Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood (Azwar, 1998: 5): Sikap adalah
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung dan tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Sementara
menurut La-Pierre (Azwar, 1998: 5) sikap lebih diartikan sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan
Sikap seseorang terhadap sesuatu obyek umumnya dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang dianut dan melatarbelakangi seseorang tersebut sebagai pengalaman
hidupnya. Orang yang telah tertanam dan terkristal nilai-nilai tertentu dalam
mental atau kepribadiannya, tentunya dalam menghadapi dan merespon sesuatu
tersebut akan diwarnai oleh nilai-nilai yang diyakininya.
Berbicara sikap biasanya selalu dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam
batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respon atau reaksi terhadap
stimulus lingkungan sosial. Menurut teori tindakan beralasan oleh Icek Ajzen dan
Martin Fishbein (Azwar, 1998: 11), dikatakan bahwa sikap mempengaruhi
perilaku melalui suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan,
dan dampaknya hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan
oleh sikap umum tetapi ditentukan oleh sikap specifik (rasionalitas) terhadap
sesuatu. Kedua, perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap, tetapi juga oleh
norma-norma subyektif yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain
inginkan, agar kita perbuat. Ketiga sikap terhadap suatu perilaku bersama-sama
norma subyektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu

11
perbuatan (perilaku) apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia
percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang yang yakin bahwa


tindakan (perilaku) yang akan dilakukan menimbulkan dampak positif pada
dirinya, ia akan bersikap cenderung melakukan tindakan tersebut. Begitu
sebaliknya jika ia yakin tindakan yang dilakukannya berdampak negatif pada
dirinya, ia bersikap menolak melakukan tindakan tersebut. Hal ini disebut
keyakinan pribadi.
Darmiyati (1995: 52), mengatakan bahwa tindakan seseorang selain dipengaruhi
keyakinan pribadi (behavior belief) juga di pengaruhi oleh keyakinan kelompok
(group belief). Seseorang akan cenderung melakukan tindakan tertentu jika orang
tersebut yakin bahwa tindakannya itu akan disetujui oleh kelompoknya atau
lingkungan sosialnya. Sebaliknya apabila ia yakin bahwa lingkungan sosialnya
tidak akan mendukungnya, maka ia tidak bermaksud melakukan tindakan
tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial secara timbal
balik akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Interaksi antara situasi
lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar diri
individu akan membentuk suatu proses yang kompleks yang akhirnya menentukan
bentuk perilaku seseorang tersebut.
Selain berhubungan dengan perilaku, sikap juga berhubungan dengan
perkembangan nilai individu dan juga perkembangan moral dan mental etis
seseorang. Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Martin and Briggs (1986: 447),
bahwa: “Attitudes, we believe, form the building blocks for values development
and for the development of moral and ethical stances.” (Kita percaya bahwa sikap
membentuk blok bangunan perkembangan nilai dan perkembangan moral dan
mental etis). Dengan demikian untuk membentuk seseorang yang memiliki moral
yang baik dan bermental etis perlu memperhatikan perkembangan sikapnya. 4

4
Martin and Briggs (1986: 447),

12
3.4 STRATEGI PENGEMBANGAN SIKAP dan PERILAKU yang
BERMORAL
Secara teknis, strategi pengembangan sikap dan perilaku siswa yang bermoral
dalam kegiatan pembelajaran di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat
alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan
konten kurikulum pembelajaran moral yang telah dirumuskan ke dalam seluruh
mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan,
dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah). Strategi kedua ialah
dengan mengintegrasikan pembelajaran moral ke dalam kegiatan sehari-hari di
sekolah. Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pembelajaran moral ke
dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Dan strategi keempat ialah
dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua
peserta didik.
Berkaitan dengan implementasi strategi pengembangan moral dalam kegiatan
sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui :

a. Keteladanan
Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan
juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi murid-
murid di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada
siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar
dihadapan murid-muridnya. Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang
pentingnya kedisiplinan kepada murid-muridnya, maka guru tersebut harus
mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam
menjalankan tugas pekerjaannya.

b. Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat
itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah
laku peserta didik yang kurang baik, seperti berkelahi dengan temannya, meminta
sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding, mengambil barang milik orang lain,
berbicara kasar, dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa yang spontan tersebut,
guru dapat menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para
siswa, misalnya saat guru melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi di
kelas karena memperebutkan sesuatu, guru dapat memasukkan nilai-nilai tentang
pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling menghormati, dan sikap saling
menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga budaya.

c. Teguran.
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat
membantu mengubah tingkah laku mereka.

13
d. Pengkondisian lingkungan.
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana
fisik yang dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran moral. Contohnya
ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai
nilai-nilai moral yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib
sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh
setiap peserta didik.

e. Kegiatan rutin.
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris
masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah
kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan
ruang kelas tempat belajar.
Selanjutnya, untuk strategi pengintegrasian pembelajaran moral ke dalam kegiatan
yang diprogramkan,

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah konsep revolusi mental


peserta didik sebagai generasi penerus yang dilakukan untuk membangun
peradaban bangsa. Namun harus disadari bahwa penanaman karakter tersebut
memerlukan sebuah proses dan mustahil bisa ditempuh dalam waktu singkat. Hal
ini mengingat pendidikan karakter yang mengandung nilai-nilai esensial harus
diimplementasikan melalui suatu proses pembelajaran. Dan proses pembelajaran
tersebut bisa didapat melalui dunia pendidikan. Nilai-nilai esensial dari
pendidikan karakter tersebut diterjemahkan dalam delapan belas karakter yang
bisa ditanamkan pada kepribadian peserta didik, diantaranya adalah: etos
kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan,
berpandangan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama, gotong royong
dan berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.

4.2 SARAN

Keluaran institusi pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang


”pandai” dan juga baik dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan
orang pandai tetapi tidak baik, sebaliknya juga pendidikan tidak hanya
menghasilkan orang baik, tetapi tidak pandai. Pendidikan tak cukup membuat
anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter.
Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dilakukan sejak dini.
Terwujudnya manusia Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan
berbudi pekerti luhur merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia
yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional. Pada
tataran. Demikian, maka pendidikan yang berorientasikan pada nilai moral, akhlak
atau karakter menjadi penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pendidikan di Indonesia.5

5
Oleh: Ali Muhtadi )1

15
DAFTAR PUSTAKA

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132280878/penelitian/Pengemb+sikap+dan+perilaku+
bermoral+di+sekolah-Majalah+Ilmiah+Pembelajaran-Mei-2011.pdf

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=470873&val=6837&title=PERAN%
20PENDIDIK%20DALAM%20MEMBANGUN%20PERADABAN%20BANGSA%20MELALUI%2
0PENDIDIKAN%20KARAKTER

http://eprints.uny.ac.id/282/1/peran_ilmu_pend..pdf

file:///C:/Users/USER/Downloads/1287-4013-1-PB%20(5).pdf

https://fauziannor.files.wordpress.com/2013/03/peran-institusi-pendidikan-dalam-
membangun-karakter-bangsa.pdf

https://priendah.wordpress.com/2009/09/04/peran-pendidikan-dalam-membangun-
bangsa/

http://orzava.blogspot.co.id/2012/03/peran-pendidikan-dalam-membangun.html

http://www.academia.edu/9703535/PERAN_PENDIDIKAN_SEBAGAI_MODAL_UTAMA_
MEMBANGUN_KARAKTER_BANGSA_1

Dr. Budiono Kusumohadijojo.1994.Pendidikan Wawasan Kebangsaan Tantangan dan


Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan Indonesia.PT Grasindo

16
LAMPIRAN

17

Anda mungkin juga menyukai