Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS PROBLEMATIKA LINGKUNGAN HIDUP YANG DITIMBULKAN

AKIBAT RELASI ANTARA NEGARA, PEMILIK MODAL, DAN RAKYAT

(RELEVANSI TEORI BIROKRASI KARL MARX DALAM MELIHAT PERAN NEGARA)

Kurnia Saleh, SH

A. LATAR BELAKANG

Isu lingkungan dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu isu yang hangat

diperbincangkan kepermukaan. Kebakaran hutan dan lahan, pencemaran sungai, hingga

masalah kesehatan dan hajat hidup orang banyak menjadi problematika yang ditimbulkan

karena ketidakarifan pemangku kepentingan dalam bersikap, yang kemudian bermuara

kepada rusaknya lingkungan hidup.

Pemangku Kepentingan (Steik holder) dalam relasi hukum lingkungan tentu saja tidak

dapat dilepaskan dari Negara sebagai patron utama, kemudian Korporasi pemilik modal yang

berlokasi diwilayah tempat aktifitas produksi usahanya, hingga masyarakat yang bermukim

diwilayah perusahaan. Peran negara sangat vital, karena negara memiliki kewenangan

mengeluarkan izin yang merupakan instrument legalitas masuk dan berjalannya perusahaan

di wilayah republik ini.1 Selain relasi antara negara dan perusahaan, seyogyanya masyarakat

juga tetap harus dilindungi hak-haknya, dan diperhatikan oleh kedua pihak dalam

bernegosiasi dalam rangka untuk menghindari terjadinya pelanggaraan hak dari

diterbitkannya izin oleh negara kepada perusahaan.

Pelanggaran hak yang paling rentan terjadi adalah, pelanggaran atas hak untuk

mendapatkan lingkungan hidup yang layak dan baik. Menjadi kontraproduktif kemudian

apabila terjadi in case kebakaran hutan dalam skala yang besar yang kemudian

menimbulkan dugaan bahwa pelaku pembakaran hutan tersebut tidak lain adalah pemilik

1
Takdri Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo: 2015, hlm.57

1
modal sebagai pelakunya. Kebakaran hutan merupakan problem serius, mengingat dampak

yang ditimbulkannya berakibat dengan kehidupan dan hajat hidup orang banyak menjadi

terganggu.

Dugaan keterlibatan perusahaan dalam kerusakan lingkungan hidup semakin menguat

apabila melihat refleksi sengketa lingkungan yang diselesaikan baik secara litigasi maupun

non-litigasi. Dalam beberapa tahun terakhir tercatat terdapat 13 (tiga belas) kasus sengketa

lingkungan melawan perusahaan maupun negara. 2 Apalagi jika dilihat dalam rentang 2014-

2019 kasus dalam wilayah hukum lingkungan cenderung terulang setiap pergantian tahun.

Hak atas lingkungan hidup senyatanya telah diatur dalam Konstitusi UUD NRI 1945,

juga telah diderivasikan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Lingkungan Hidup. Pentingnya persoalan lingkungan hidup dalam rangka terjaganya

lingkungan hidup dan hak masyarakat atas lingkungan hidup merupakan aspek terpenting

dalam politik hukum pembentukan UU Lingkungan hidup ini. Adapun jika terdapat

pelanggaran atas lingkungan hidup yang kemudian merugikan hajat hidup orang banyak

secara langsung maupun tidak langsng, secara fisik maupun psikis, maka senyatanya

tindakan merusak lingkungan hidup tersebut merupakan tindakan yang teridentifikasi dalam

pelanggaran ham.3

Fenomana isu lingkungan hidup merupakan fenomena yang nampaknya masih relevan

jika dilihat dalam perpektif Karl Marx. Seorang sosialis-komunis ini memaparkan sebuah

teori kelas yang melihat relatias kaum pemilik modal (Borjouis) sebagai puncak tertinggi

2
Disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar oleh Prof. Ahmad Romsan pada rapat senat khusu
terbuka, Universitas Sriwijaya, 29 April 2019.
3
Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat..” , kemudian dilator secara
spesifik bahwa hak atas lingkungan hidup merupakan sub dari pada hak untuk hidup (Pasal 9 UU HAM) dan Hak
untuk hidup merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. (Baca
Majda El Muhatj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana: 2005, hlm.162-163)

2
dalam kasta sosial, dan kaum buruh atau rakyat menengah kebawah sebagai kelas rendah

(proletar). Yang kemudian berhubungan satu sama lain, dimana pemilik modal mendapatkan

manfaat dan kekayaan dari hasil kerja kaum buruh, dan kaum buruh hnaya sebatas mencari

kecukupan untuk bertahan hidup. Marx pun melanjutkan bahwa, dalam situasi seperti ini,

seyogyanya negara sebagai bagian pelayanan publik berada sebagai pihak yang melindungi

dan memberikan privilege kepada rakyat cq rakyat tidak mampu, dan tidak dibenarkan

apabila negara dalam pelayanannya menyamaratakan perlakuan sebagaimana yang

diucapkan oleh Logemann, mengingat jika semua dipersamakan, maka tentu rakyat akan

menjadi lemah, disebabkan tidak memiliki power dari segi modal (perusahaan) dan power

dari segi kewenangan (pemerintah).

Isu lingkungan dalam tulisan ini melihat kesenjangan perlakuan antar relasi pemangku

kepentingan, dari perusahaan, negara, dan rakyat. Persoalan perusakan lingkungan hidup dan

mempermasalahkan perusahaan negara adalah bukan tanpa dasar, mengingat potensi untuk

melanggar hak atas lingkungan hidup yang dimiliki oleh rakyat sangat terbuka lebar apalalgi

jika dilihat dari historis sengketa lingkungan. Teori karl marx dalam melihat peran negara

sangat relevan jika dijadikan pisau analisis bagi penulis dalam melihat realitas relasi ketiga

pemangku kepentigan diatas, oleh sebab itu penulis tertarik mengangkat judul “ANALISIS

PROBLEMATIKA LINGKUNGAN HIDUP DALAM RELASI ANTARA NEGARA,

PEMILIK MODAL, DAN RAKYAT (RELEVANSI TEORI BIROKRASI KARL MARX

DALAM MELIHAT PERAN NEGARA)”

3
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana relasi dan peran negara, dalam sikap pelayanan birokrasi terhadap pemilik

modal yang kemudian merusak lingkungan hidup?

2. Bagaimana relevansi teori karl marx dalam melihat fenomena kerusakan lingkungan

hidup yang ditimbulkan oleh pemilik modal dan melanggar hak katas lingkungan

hidup orang banyak?

C. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian hukum yuridis-normatif. Sebagaimana menurut

Jhony Ibrahim yang menyatakan bahwa penelitian hukum normatif merupakan suatu

prosedur penelitian ilmiah dalam rangka menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika

keilmuan dari perspektif normatifnya. 4 Peter Mahmud Marzuki juga menambahkan bahwa

penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, doktrin-

doktrin hukum dalam rangka menjawab suatu isu hukum.5 Penelitian ini juga

menggunakan bahan hukum sekunder yang kemudian disinkronisasikan dengan bahan

hukum primer yakni mengenai relevansi teori karl marx dalam melihat peran negara,

perusahaan dan masyarakat, yang kemudian berakibat pada pelanggaraan hak atas

linkungan hidup.

2. Pendekatan Penelitian

Terdapat tiga pendekatan yang coba penulis gunakan. Antara lain pendekatan

perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Dan

4
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Byumedia, Malang,2006) hlm. 47
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana, Jakarta,2007), hlm.35

4
pendekatan futuristic. Untuk pendekatan perundang-undangan, bagi penulis sangatlah perlu

untuk memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan terlebih

dahulu.6 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan

dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peraturan perundang-

undangan dapat dikatakan sebagai suatu Statute berupa legislasi dan regulasi.7 Dalam

kaitannya terhadap tulisan ini, pendekatan peraturan perundang-undangan adalah tepat

untuk digunakan. Objek dari pada ilmu hukum adalah peraturan-peraturan hukum positif

dan juga bagaimana tertib dari normanya. 8

Adapun terkait pendekatan kasus atau case approach tentu tidak dapat dilepaskan dari

alasan-alasan atau latar belakang hukum (ration decidendi) oleh hakim dalam rangka

mengeluarkan suatu putusannya. 9 Kemudian pendekatan futuristic penulis pakai sebagai

pendekatan yang melihat bagaimana idelanya pengaturan kedepan dalam rangka peran

negara, perusahaan dan masyarakat terkait sinergisitas pengelolaan lingkugan hidup.

3. Bahan Hukum

Mengingat penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, bahan-bahan hukum

yang diperlukan adalah bahan hukum primer, sekunder, serta tersier yang terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer

6
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm, 137.
7
Ibid.,
8
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta, Sinar
Grafika:2014), hlm.113
9
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm, 158

5
Adalah bahan hukum yang memiliki karakterisitik autoritatif atau dalam bahasa lain

memiliki otoritas.10 Dalam hal ini, yang menjadi bahan hukum primer meliputi:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup;

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang dapat berasal dari buku teks,

dikarenakan materi dalam buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan

pandangan klasik para sarjana dengan kualifikasi tinggi. 11 Selain itu, penulis juga

menggunakan bahan hukum sekunder dari jurnal-jurnal hukum, tulisan-tulisan hukum,

yang tentunya muatannya berisi perkembangan atau isu-isu yang aktual dan relevan terkait

hukum.

c) Bahan Hukum Tersier

Pada dasarnya bahan hukum ini hanyalah sebagai bahan penunjang yang berisi

petunjuk-petunjuk-petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, beberapa

diantaranya adalah abstraksi dari peraturan perundang-undangan, kamus hukum dan

ensiklopedia hukum. Dan diluar bidang hukum seperti ekonomi, sosial, politik. 12

4. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian

Teknik yang digunakan penulis antara lain dimulai dari mengumpulkan,

mengidentifikasi, melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan.

Melakukan penelitian dengan bahan-bahan pustaka, kemudian memilih bahan-bahan yang

10
Ibid, hlm. 181.,
11
Ibid, hlm. 182.,
12
Rahmad Baro, Penelitian Hukum Doctrinal, Indonesia Prime. (Makassar:2017)., hlm. 117.

6
mengandung perspektif yang berbeda dan relevan terkait permasalahan yang diteliti

penulis.

5. Teknik Analisis dan Pengambilan Kesimpulan

Analisis terkait bahan-bahan hukum yang telah lebih dulu dilakukan dengan kajian

identifikasi, kemudian disusun dan diinventarisirkan dan diolah melalui metode penafsiran

hukum, yakni metode yang dipakai dalam rangka menganalisis dan melakukan

pengambilan kesimpulan.

6. Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini menggunakan penarikan kesimpulan dengan logika berpikir atau

metode deduktif, dimulai dari penalaran yang berlaku umum sampai ke masalah konkrit

yang dihadapi.13 Aturan-aturan umum ini dijabarkan dalam wujud aturan-aturan yang lebih

konkret sehingga dapat ditafsirkan dan disimpulkan secara lebih khusus dalam rangka

menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

13
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, ( Bandung:Pustaka Setia, 2009), hlm.111.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Birokrasi dan Kelas Sosial Karl Marx

Secara etimologis, istilah birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis, „bureau‟,

yang berarti “kantor”, dan kata Yunani „kratein‟ yang berarti aturan. Sebagai suatu bentuk

institusi, birokrasi telah ada sejak lama. Raison d’etre keberadaannya adalah munculnya

masalah-masalah publik tertentu yang penanganannya membutuhkan koordinasi dan

kerjasama dari orang yang banyak dengan berbagai keahlian dan fungsi.

Pemikiran tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam tanggapannya

atas optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap bahwa oposisi Hegelian

antara kepentingan partikular dengan kepentingan universal sebagai hal yang tak bermakna

karena negara sesungguhnya tidak mencerminkan kepentingan universal. Bagi Marx,

birokrasi selamanya hanya mencerminkan kepentingan partikular dari kelas dominan dalam

masyarakat. Dalam perspektif ini, birokrasi tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan

dijalankan oleh kelas berkuasa untuk mengamankan kepentingannya.

Justifikasi dan eksistensi dari birokrasi sepenuhnya tergantung kepada kelas yang

berkuasa. Ketika birokrasi mengklaim telah merepresentasikan kepentingan universal

masyarakat, sesungguhnya itu tak lebih dari selubung ideologis yang berusaha

mengaburkan hakikatnya sebagai pelayan dominasi kelas penguasa. Dari perspektif kelas,

kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi, mereka bukanlah bagian dari

kelas sosial manapun karena posisinya yang non-organis, yakni tidak terkait secara

langsung dengan proses produksi, di mana proses produksi inilah yang secara konstitutif

mendefinisikan identitas kelas yang tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain, posisi

8
sedemikian membuat mereka memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik dengan

“pemiliknya” (kaum borjuis) menjadi dimungkinkan.

Marx belajar banyak dari Hegel tentang prinsip perkembangan melalui

pertentangan dan konflik. 14 Dalam menjelaskan sistem filsafatnya, Hegel menggunakan

metode yang disebut dialektika, yakni teori tentang persatuan hal-hal yang

bertentangan. Dialektika berasal dari bahasa Yunani dialegesthai yang kemudian

popular sebagai dialog. Proses dialektika terdiri dari tiga unsur yang meliputi fase

pertama, yang disebut tesis, fase kedua sebagai lawan tesis yaitu antithesis, dan dari

pertarungan kedua fase tersebut muncullah fase yang ketiga yaitu sintesis. Oleh

karenanya, Hegel menyampaikan menyampaikan bahwa dalam kehidupan ini tidak ada

sesuatu yang menetap dan selamanya akan mengalami perubahan.

Dialektika berarti sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh

hubungan yang berupa negasi, karena melalui negasi kita dapat maju, mencapai

keutuhan, dan dapat menemukan diri sendiri. 15 Dasar dialektika dari Hegel adalah

relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami

sebagai manifestasi diri roh, yang terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tidak

terputus. Marx memandang dialektika Hegel terlalu mengarah ke mistik. Kemudian

argumen Marx bahwa dialektikanya berbeda dengan dialektika Hegel. Marx

menyatakan bahwa dialektika Hegel berdirinya dengan kepala di bawah, sedangkan

Marx ingin membalikkan dengan kepala di atas. Hal ini disebabkan, karena Hegel

14
Listiono Santoso, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm.
36-37.
15
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, dari Capitalism and Modern
Social Theory: an Analysis Of Writing Of Marx Durkheim and Max Weber (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), hlm. 7-8.

9
menjelaskan, bahwa ide sebagai primer dan benda sebagai sekunder, sedangakan Marx

beranggapan sebaliknya yaitu benda adalah primer dan ide adalah sekunder. 16

Marx beranggapan bahwa ide tidak mampu menggambarkan kenyataan empiris

dalam masyarakat karena sifatnya abstrak. Pada dasarnya yang mengubah masyarakat

itu bukanlah ide, melainkan materi. 17 Menurut Hardiman sebagai ahli waris Hegel,

terdapat cita rasa Hegelian filsafat Marx. Pertama, Marx memakai metode dialektis

Hegel untuk menjelaskan sejarah dan proses-proses kemasyarakatan. Kedua, Marx juga

menganut asumsi-asumsi filsafat Hegel, bahwa melalui sejarah, umat manusia

mewujudkan dirinya pada tujuan tertentu, dan ketiga, seperti halnya Hegel, Marx juga

merefleksikan kenyataan yaitu alienasi.

Meskipun Marx menolak idealisme Hegelian, namun Marx tetap menerima konsep

alienasi yang melalui proses-proses konflik dari Hegel. Perbedaannya, Marx

menempatkan kedua hal tersebut dalam materialisme dan menjadikannya sebagai titik

pusat tentang sejarah manusia dan sejarah menjadi arena konflik. Menurut Marx, Hegel

memang benar ketika melihat alienasi sebagai pusat konflik, namun salah ketika

menganggap alienasi dan pergerakan sejarah berakar pada sebatas ide-ide dan bukan

pada realitas material kehidupan. Menurut Marx, alienasi bukan hanya berarti bahwa

manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga

dimaknai bahwa dunai tetap asing bagi manusia. Dunia berdiri di atas dan menentang

manusia sebagai objek, meskipun dunia dapat menjadi objek ciptaan manusia. Alienasi

pada dasarnya melanda dunia dan manusia sendiri secara pasif dan reseptif sebagai

16
Ana Mariani, “Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme”, dalam Filsafat Sosial, Yogyakarta: Aditya
Media, 2013), hlm. 173
17
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 45.

10
subjek yang terpisah dari objek.18 Perbuatan manusia sendirilah yang menyebabkan

mereka teralienasi yang menjadi sumber utama kesengsaraan.

Kelas sosial menurut Marx merupakan gejala khas yang terdapat pada masyarakat

pascafeodal. Marx kemudian menyebut di dalam struktur kelas ada perbedaan, yakni

kelas atas (kaum pemilik dan alat-alat industri) dan kelas bawah (kaum proletar, buruh).

Dalam masyarakat kapitalis Marx menyebutkan ada tiga kelas sosial, yaitu: (1) kaum

buruh, yaitu mereka yang hidup dari upah (2) kaum pemilik modal (yang hidup dari

laba) dan (3) para tuan tanah (yang hidup dari rente tanah). Hubungan antar kelas ini

menurut Marx ditandai oleh hubungan eksploitasi, pengisapan, dan hubungan

kekuasaan (antara yang berkuasa dan yang dikuasai).

Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam teori kelas, yaitu: (1) Besarnya

peran struktural dibanding kesadaran dan moralitas. Implikasinya bukan perubahan

sikap yang mengakhiri konflik, tetapi perubahan struktur ekonomi. (2) adanya

pertentangan kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh. Implikasinya mereka

mengambil sikap dasar yang berbeda dalam perubahan sosial. Kelas buruh cenderung

progresif dan revolusioner, sementara kelas pemilik modal cenderung bersikap

mempertahankan status quo menentang segala bentuk perubahan dalam struktur

kekuasaan. (3) setiap kemajuan dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui

gerakan revolusioner. Semua itu pemikiran Karl Marx bermuara pada tujuan akhir yang

dicita- citakannya, yakni “masayarakat tanpa kelas”.19

18
Fromm, Erich, Konsep Manusia Menurut Marx, diterjemahkan oleh Agung Prihantoro, dari
Marx’s Concept of Man (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 58
19
I.B. Wiraman, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Prenadamedia, 2014),
hlm. 9

11
BAB III
PEMBAHASAN

A. Relasi dan peran negara, dalam sikap pelayanan birokrasi terhadap pemilik modal

yang kemudian merusak lingkungan hidup

Berbicara tentang pemilik modal/perusahaan, dalam meraup keuntungan yang sebesar-

besarnya, pemilik modal memerlukan lokasi dan wlayah strategis dan potensial untuk

diambil semua hal yang bernilai ekonomis untuk dapat dikoersilkan. Menjadi sebuah

problematic kemudian bagi perusahaan, apabila wilayah tersebut tidak dapat dikuasai

secara penuh disebabkan territorial wilayah tersebut berada diluar dari wilayah hukum

perusahaan, atau bahkan wilayah yurisdiksi negaranya.

Kedaulatan negara kemudian berperan penting disini, semua aktifitas keadministrasian

perusahaan untuk masuk dan menjalankan aktifitas produksi memerlukan banyak prosedur

dan teknis hingga mencapai pada keluarnya perizinan atas perusahaan. Negara sebagai

organ yang memiliki kewenangan dalam memberikan, mempertimbangkna,

memperpanjang, hingga mencabut izin suatu perusahaan, tidak dapat lepas dari tanggung

jawab secara moril maupun hukum apabila dikemudian hari ada permasalahan gangguan

kehidupan rakyatnya akibat aktifitas dari perusahaan.

Dalam perspektif hukum lingkungan, seyogyanya negara bisa mengoptimalkan

kewenangan tersebut dengan pelaksanaan yang arif dan bijaksana sehingga tidak

merugikan rakyatnya. Apabila dilihat dalam UU PPLH, pada Pasal 14 disebutkan bahwa

dalam pengelolaan lingkungan hidup negara dibekali kewenangan mengeluarkan dan

menggunakan instrumen untuk menyikapi pemilik modal. Instrument lingkungan hidup

dipandang perlu, mengingat terdapat dimensi HAM dalam isu lingkungan hidup ini.

12
Pasal 14 UU PPLH menyebutkan bahwa instrument lingkungan hidup pada dasarnya

adalah instrument yang ditujukan dalam hal pencegahan pencemaran dan kerusakan

lingkungan hiudp. Adapun instrumen tersebut adalah :20

1) Kajian Lingkungan Hidup Strategis;

2) Tata Ruang;

3) Baku Mutu Lingkungan Hidup;

4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

5) Amdal;

6) UKL-UPL;

7) Perizinan;

8) Instrumen Ekonomi;

9) Peraturan Perundang-Undangan berbasis lingkungan hidup;

10) Anggaran berbasis lingkungan hidup;

11) Analisis resiko lingkungan hidup;

12) Audit lingkungan hidup.

Dari kedua belas hal tersebut diatas, instrument perizinan merupakan instrument

paling krusial. Izin merupakan instrument hukum adminitrasi yang dapat digunakan oleh

pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan

usahanya.21 Dasar hukum keberadaan izin lingkungan hidup diindonesia adalah UUPPLH,

khususnya pada Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Yang kemudian

dirumuskan dalam peraturan pelaksana dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun

2012 tetang Izin Lingkungan .

20
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm.73
21
Ibid, hlm. 94

13
Perizinian memilki fungsi preventif dalam arti instrument untuk pencegahan

terjadinya masalah-masalah akibat kegiatan usaha. Dalam konteks hukum lingkungan,

perizinan berada dalam wilayah hukum administrasi. Izin-izin tersebut kemudian

berfungsi untuk pencegahan pencemaran atau gangguan lingkungan, pencegahan

perusakan lingkungan hidup akibat pengambilan sumberdaya alam. Adapun izin-izin

tersebut diantaranys: Izin Hinder Ordonansi, Izin usaha, Izin pembuangan air limbah,

izin dumping, dan izin pengoperasian instalasi pengelolaan limbah bahan berbahaya dan

beracun (B3), Izin lokasi, Izin mendirikan bangunan. 22 Maka dari paparan diatas, negara

memilki kewenangan yang sangat superior dalam rangka eksistensi perusahaan.

Superioritas negara inilah yang kemudian semestinya disikapi oleh para elit untuk

berhati-hati dalam mengeluarkan instrument perizinan yang menjadi tonggak awal

jalannya sebuah perusahaan.

B. Relevansi teori karl marx dalam melihat fenomena kerusakan lingkungan hidup yang

ditimbulkan oleh pemilik modal dan melanggar hak atas lingkungan hidup orang

banyak

Teori birokrasi karl marx tidak dapat dilepaskan dari Dari perspektif teori kelas

sosialnya, Kelas sosial menurut Marx merupakan gejala khas yang terdapat pada

masyarakat pascafeodal. Marx kemudian menyebut di dalam struktur kelas ada

perbedaan, yakni kelas atas (kaum pemilik dan alat-alat industri) dan kelas bawah

(kaum proletar, buruh). Dalam masyarakat kapitalis Marx menyebutkan ada tiga

kelas sosial, yaitu: (1) kaum buruh, yaitu mereka yang hidup dari upah (2) kaum

pemilik modal (yang hidup dari laba) dan (3) para tuan tanah (yang hidup dari rente

22
Ibid, hlm.95

14
tanah). Hubungan antar kelas ini menurut Marx ditandai oleh hubungan eksploitasi,

pengisapan, dan hubungan kekuasaan (antara yang berkuasa dan yang dikuasai).

Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam teori kelas, yaitu: (1) Besarnya

peran struktural dibanding kesadaran dan moralitas. Implikasinya bukan perubahan

sikap yang mengakhiri konflik, tetapi perubahan struktur ekonomi. (2) adanya

pertentangan kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh. Implikasinya mereka

mengambil sikap dasar yang berbeda dalam perubahan sosial. Kelas buruh cenderung

progresif dan revolusioner, sementara kelas pemilik modal cenderung bersikap

mempertahankan status quo menentang segala bentuk perubahan dalam struktur

kekuasaan. (3) setiap kemajuan dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui

gerakan revolusioner. Semua itu pemikiran Karl Marx bermuara pada tujuan akhir

yang dicita- citakannya, yakni “masayarakat tanpa kelas”.23

Dalam kaitan terhadap tulisan ini, kepentingan pemilik modal selaku kelas atas

atau borjouis, sangat berpengaruh dalam latar belakang pengambilan sumber daya

alam yang kemudian berdampak kepada kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan

oleh pemilik modal. Teori birokrasinya marx, sebenarnya berlatar belakang dari

refleksi kehausan pemilik modal dalam mencari pundi-pundi kekayaan, yang

menyebabkan ketimpangan antara kelas atas yang semakin bertambah harta dan nilai

keyaannya, dan kelas buruh atau kelas bawah yang tidak akan pernah mampu

menyaingi para pemilik modal selaku tuannya. Mengingat orientasi pemilik modal

adalah materi komersial, maka potensi atas pelanggaran pelanggaran didalamnya dapat

23
I.B Wirawan,, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta: Prenadamedia, 2014. hlm.9
10

15
dengan mudah terjadi. Pola pikir dan kebiasaan di repubik ini cenderung berpihak

kepada perusahaan, apalagi jika dikaitkan pada dunia peradilan yang ditemukan

banyak terjadi kasus suap ketika pihak perusahaan menjadi tergugat dan terdakwa

dalam kasus hukum.

Siklus semacam ini kemudian bagi marx bisa saja diakhiri atau diminimalisir,

andai negara dalam hal ini pemerintah yang memiliki kewenangan dalam memberikan

izin kepada perusahaan dapat bersikap dengan bijak dalam aktualisasi kewenangannya.

Instrument semacam perizinan bisa saja menjadi sarana preventif dari terjadinya

pelanggaran cq kerusakan lingkungan.

Dalam mengeluarkan perizinan tentu saja banyak factor yang harus dipenuhi

perushaan secara formil procedural maupun substansi-material. Sehingga jika

ditemukan ketidakvalidan atau tidak terpenuhinya aspek tersebut, bisa saja perusahaan

tidak dapat masuk dan mendirikan izin usahanya disebabkan negara tidak memberikan

izin. Atau sebalikny, negara sebagai organ yang memberikan izin sewaktu-waktu dapat

saja mencabut izin tersebut sebagaimana dalam asas contrarius actus dimana yang

memberikan izin dapat mencabut izinnya kembali, in case apabila perusahaan sudah

tidak layak dan melakukan pelanggaran atas lingkungan hidup yang merugikan hajat

hidup orang banyak.

Posisi pemerintah tidak dalam posisi seimbang apabila berada dalam posisi

memberikan pelayanan, menurut marx rakyat harus dilebihkan dan diberikan

previllege dalam segi pelayanan, sehingga rakyat bisa mendapatkan perlindungan

haknya secara optimal. sayangnya, dalam wilayah aktualisasi, negara bahkan dalam

16
posisi netral terhadap semua pihakpun tidak terealisasi secara optimal, bahkan

cenderung berpihak kepada perusahaan atau pemilik modal. Hal tersebut dapat dilihat

dengan keengganan negara mencabut izin perusahaan-perusahaan yang dinyatakan

bersalah dan melanggar ketentuan hukum dilingkungan dan pidana diwilayah

peradilan.24 Dalam dimensi yang ekstrem, pembiaran negara bisa saja memenhi unsur

pelanggaran HAM. Apalagi jika kerusakan lingkungan tersebut telah merusaka tatanan

kehidupan masyarakat luas, dalam hal ini ha katas lingkungan hidup yang baik dan

sehat yang termasuk kedalam hak hidup.

24
Wawancara Direktur Eksekutif WALHI, Khairul Sobri pada Minggu, 13 Oktober 2019, Pukul 21.00

17
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Negara dalam hal ini Pemerintah memilki peran yang sangat vital dalam relasi masuk

dan beraktifitasnya perusahaan atau pemilik modal. Instrumen yang dimiliki negara

menjadi pijakan legalitas dari berdirinya suatu perusahaan didalam wilayah negara.

Perhatian atas lingkungan hidup menjadi pertimbangan utama diakomadiasi tidaknya

kepentingan perusahaan diwilayah negara.

2. Teori Birokrasi dan kelas Marx memandang bahwa, dalam segi pelayanan publik,

negara diidealkan memihak pada masyarakat banyak, dan kebijakan negara terhadap

eksistensi perusahaan idealnya dapat menjadi sarana preventif dan represif dalam

persoalan kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh perusahaan. Negara

punya kewenangan untuk mencabut instrument izin dan lain sebagaiya apabila

perusahaan tidak lagi menerpakan nilai-nilai penghormatan atas lingkungan hidup.

B. SARAN

1. Dalam memberikan izin dan memberikan instrument lain terhadap perusahaan,

seyogyanya negara harus memperhatikan kecenderungan perusahaan untuk bertindak

melanggar ketentuan dalam rangka mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Maka

negara harus bijak dalam bersikap, apalagin jika perusahaan-perusahaan yang

memohonkan izin memilki track record sebagai perusahaan yang bermasalah dengan

penegakkan hukum lingkungan dan hukum lainnya.

2. Seyogyanya negara harus memprioritaskan kepentingan rakyat ketimbang korporasi

pemilik modal. Negara tidak dibenarkan secara moril untuk menyamaratakan

18
perlakukan, mengingat rakyat dalam hal ini rakyat miskin tidak memilki modal dan

power sebesar korporasi. Apalgi kemudian negara berpihak kepada pemilik modal,

tentu kerusakan lingkungan hidup menjadi keniscayaan dibersamai dengan

kerusakan lainnya yang menganggu hajat hidup orang banyak.

19
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ana Mariani, 2013, “Karl Marx dan Imajinasi Sosialisme”, dalam Filsafat Sosial,
Yogyakarta: Aditya Media

Anthony Giddens, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap
Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba
Kramadibrata, dari Capitalism and Modern Social Theory: an Analysis Of Writing Of
Marx Durkheim and Max Weber, Jakarta: Universitas Indonesia Press

Beni Ahmad Saebani, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Pustaka Setia

Fromm, Erich, 2002, Konsep Manusia Menurut Marx, diterjemahkan oleh Agung
Prihantoro, dari Marx’s Concept of Man, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

I.B. Wiraman, 2014, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Jakarta:


Prenadamedia,

Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Byumedia, Malang

Listiono Santoso, 2007 Seri Pemikiran Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Majda El Muhatj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakara: Kencana

Nanang Martono, 2014, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern,


Posmodern, dan Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pers

Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, (Kencana, Jakarta.

Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Effendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research),
Jakarta:Sinar Grafika

Rahmad Baro,2017 Penelitian Hukum Doctrinal, Makassar: Indonesia Prime

Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

20
SUMBER LAIN :

Pidato pengukuhan guru besar oleh Prof. Ahmad Romsan pada rapat senat khusu terbuka,
Universitas Sriwijaya, 29 April 2019.

Wawancara Direktur Eksekutif WALHI, Khairul Sobri pada Minggu, 13 Oktober 2019, Pukul
21.00

21

Anda mungkin juga menyukai