Anda di halaman 1dari 7

Bayang Suram

Oleh : Tawfiqurohman (11190541000139)

Aku tidak mengerti darimana datangnya firasat buruk di malam itu. Mungkin sudah
menjadi naluri dasar manusia yang memperingatkan tubuhnya ketika ada bahaya yang
mengancam. Malam kelam juga dingin yang menusuk kulit dan mendirikan bulu kuduk itu
makin terbekas dengan kuat dalam kepalaku saat aku bertemu dengan dia. Si Bangsat yang bikin
aku jadi cecunguk penakut lagi setahun lamanya.

Pondok pesantren adalah sebuah tempat pendidikan tradisional yang dimana para
santrinya menetap di asrama dan belajar bersama para kiai. Banyak orang bilang kalau anak
pesantren itu nakal-nakal, maka dari itu ibu-bapaknya menjebloskan mereka ke pondok. Tetapi
itu tak sepenuhnya benar. Aku dan banyak temanku masuk pondok karena orang tua kami ingin
membekali kami dengan ilmu agama. Bukan karena nakal tapi supaya tidak jadi nakal. Mungkin
ibu-bapakku tidak ingin lihat aku bikin bunting anak orang sebelum kawin.

Pondokku ini tak terlalu besar, cukup besar memang kalau cuma menampung sekitar
seratus lima puluh orang. Dibanding pondok di daerah lain pondokku ini tidak seberapa besar.
Dengan satu bangunan asrama tua yang memiliki dua tingkat dengan tangga ditengah-tengahnya.
Dimana tingkat satu sebelah kanan tangga difungsikan sebagai asrama dan sebelah kiri tangga
difungsikan sebagai ruang kamar mandi dan sebelahnya lagi adalah tempat makan. Sedangkan
tingkat dua difungsikan sebagai asrama seluruhnya. Dinding-dinding bangunan ini sudah agak
kusam dan dihiasi bercak-bercak juga noda-noda hitam, karya kreativitas tangan para santri yang
malas untuk mencuci tangan sehabis makan, dan lebih memilih dinding daripada air untuk
membersihkan tangan mereka.

Cukup rasional kalau dipikir mereka lebih memilih dinding dibanding air, biarpun ruang
kamar mandi terletak tepat disebelah kanan tempat makan. Karena biarpun ruang kamar mandi
itu memiliki dua belas pintu tapi hanya lima pintu yang bisa dipakai. Untuk apa lama mengantre
demi membersihkan tangan kalau dinding-dinding bisa memenuhi kebutuhan mereka. Terlebih
kamar mandi ini tidak ada bedanya dengan toilet di terminal, dengan bau pesing dan harta-harta
yang tak tuntas disiram, dibiarkan tinggal begitu saja oleh si pemilik.

Lalu dari asrama naik keatas sedikit menuju arah gerbang atau tepat sebelum gerbang,
dapat ditemui sebuah surau di sebelah kanan. Disinilah pusat kehidupan pondok dimana para
santri dan kiai sembahyang, baca Quran, menuntut ilmu, dan mengkaji kitab-kitab arab gundul.
Lalu disebelah kanan masjid ada ruang kelas, tempat kegiatan belajar mengajar dari pagi sampai
sore. Dan tepat didepannya ada ruang kamar mandi yang tidak terlalu besar, hanya dengan empat
pintu tapi terkondisi dan bersih, juga seluruh pintunya bisa dipakai tidak seperti kamar mandi
dibawah. Maka dari itu, banyak santri yang rela berjalan sekitar seratus meter sekadar untuk
membuang hajat atau mandi dengan nyaman tanpa menutup hidung.

Sebagai tempat pendidikan tradisional, sudah biasa pondok itu terletak di daerah-daerah
terpencil dan terpelosok. Mungkin agar pendidikan berjalan lebih efektif atau agar para santri
tidak memiliki tujuan ketika memanjat tembok ketika ingin melepaskan stress mereka sesekali
terkecuali harus merogoh kocek dari kantong yang sedari awal sudah kering untuk transportasi
dan menempuh perjalanan berkilo-kilo, ya memang isi kantong masalah terbesarnya. Dan tentu
tak terkecuali pondokku ini yang terletak di kaki gunung salak, Bogor. Di sebuah desa yang
cukup sepi penghuni dan kecil sesuai dengan jumlah mereka, dikelilingi dengan pepohonan yang
besar lagi rindang membentang dengan berani menutupi hampir seluruh permukaan tanah
gunung. Menjadikan udara sejuk atau lebih tepatnya dingin menusuk yang memucatkan kulit
biarpun dia seorang melayu, entah jadi apa para belanda itu jikalau kesini, apa akan jadi tembus
pandang? Tak mungkin, paling hanya akan kembali seperti awal ketika baru lahir, karena putih
kulit manusia tak bisa melampaui bidadari. Tumpukan pohon di dataran tinggi inipun
menjadikan air yang terpancur dari keran-keran besi dapat membuat kulit ini jadi mati rasa sebab
kedinginan tentu saja, membuat mereka yang sehabis mengguyur tubuhnya dengan air menjadi
putih agak bersinar, atau pucat seperti mayat. Juga menyusahkan mereka yang sedang dalam
keadaan junub sebelum adzan subuh.

Hutan sebagai alam liar dan sumber kehidupan tentu ada banyak mahkluk hidup yang
tinggal disana. Hewan-hewan yang jinak dan penakut atau yang buas terlampau berani, kucing
besar si penguasa hutan, serangga kecil mengerikan penyebab kematian, atau mereka yang
berwarna elok sedap dipandang namun menyimpan racun, tak ketinggalan penyamun-penyamun
yang menetap di hutan, yang kabur dari kejaran polisi sebab takut dikirim ke nusa kambangan,
karena yang mereka ambil bukan hanya sekadar hal remeh seperti harta saja akan tetapi juga
jiwa, ada lagi penyihir-penyihir yang mencari kehidupan dalam gelapnya hutan dan diatas
penderitaan orang lain, menyantet mereka yang dipesan oleh pelanggan, entah muntah paku, bisa
juga kecelakaan yang tak jelas, membuat pujaan hati pelanggan mabuk cinta, atau merusak
rumah tangga orang sampai memisahkan sepasang suami-istri. Brengsek memang, mereka jahat
lagi buruk, tapi ada yang lebih buruk dan lebih jahat lagi, yaitu yang membudaki para penyihir
tersebut, para dedemit, kalau ada penyihir berarti ada dedemit. Dedemit lah yang suka bikin
orang tersesat di hutan sampai tak bisa balik lagi ke keluarganya, merekalah yang bikin orang
jadi gila dengan merasukinya, merekalah yang menyesatkan orang dengan iming-iming
kekayaan sampai akhirnya terjerumus dan menemani para dedemit dibakar dalam api yang tujuh
puluh kali panasnya dari api yang pernah manusia rasakan. Sialnya dedemit itu sangat cocok dan
suka hidup dalam hutan, dan pondokku ini ada ditengah-tengah hutan, pasti kena imbasnya. Jadi
bukan hanya hewan-hewan saja yang masuk ke lingkungan pondok, dedemit pun ikut.

Di pondok ini sudah cukup banyak peristiwa yang terjadi, baik cerita dari masa lalu, masa
sekarang, mungkin masa yang akan datang, dan malam itu. Ada cerita tentang seorang guru yang
disihir dirasuki dedemit hingga tak bisa kendalikan badan, aku masih sempat ketemu dengannya,
ia lelaki yang tegap dan tinggi biar tak terlalu gemuk tetapi memiliki tenaga yang besar,
ditambah si dedemit tenaganya makin menjadi-jadi tentu saja. Menghancurkan pintu kayu
asrama yang sudah dibarikade lemari oleh para santri yang dibangun akan rasa takut padanya di
suatu malam. Ia kumat dan mengamuk, mengelilingi daerah pondok dengan muka merah
menahan amarah sampai baru bisa ditenangkan di keesokan harinya dengan cara dimakankan
kurma ajwa tujuh butir. Dengar-dengar ia disihir oleh perempuan yang cemburu dan tidak rela
atas pernikahannya, masuk akal karena pria ini jenaka dan cukup tampan.

Cukup banyak kasus kesurupan di pondok ini tapi biasanya orang luar bukan santri,
mungkin para santri yang selalu diarahkan baca Quran tiap hari dan zikir pagi petang jadi dapat
perlindungan ilahi. Salah seorang kuli bangunan yang bekerja merenovasi masjid pun kesurupan
kala mendengarkan musik di malam hari ketika waktu rehatnya sehabis seharian bekerja, butuh
usaha yang tak mudah untuk kiai yang meruqyahnya agar buat dia sadar kembali. Atau cerita
saat aku terbangun dini hari sebab junub, aku memilih mandi dini hari daripada mandi sebelum
shubuh karena tak kuasa menahan malu melihat tatapan-tatapan dan mulut-mulut yang
menertawai seakan tahu dengan pasti kalau aku sedang junub. Dan aku lebih memilih berjalan
menuju kamar mandi depan kelas agar bisa mandi tanpa menahan bau. Saat perjalanan aku
mendengar suara murattal Quran dari arah pos satpam samping gerbang, ini tak biasa makanya
akupun menghampiri asal suara murattal tersebut. Ternyata ada masyarakat sekitar yang
kesurupan saat lewat jalan yang kebetulan dekat pondok jadi dibawa kemari. Ia tergeletak di
jalan samping pos satpam dan berteriak-teriak “Aing teh Maung!, Aing teh Uler!, Aing teh
jawara didieu!”, dedemit yang plin-plan pikirku. Ia mengamuk dan ditahan oleh satpam sembari
didengarkan bacaan Quran sampai akhirnya ustadz datang dan mengambil kendali, ustadz pun
mengusirku yang sedang asik menonton dan menyuruhku untuk tidur dan kembali ke asrama,
aku pun menurut dan lupa tujuan awalku datang kesana. Cerita punya cerita katanya orang yang
kesurupan itu bisa kesurupan karena kala ia sedang melewati sebuah kebun, dia melihat seorang
perempuan yang telanjang bulat dengan dada yang buncah mengajaknya bercinta di kebun, ia
pun menuruti ajakannya dan ikut masuk dalam kebun dan kesurupan. Kalau dipikir dengan akal
sehat bagaimana bisa seorang perempuan cantik tanpa busana ada di kebun pada malam hari
mengajak bercinta lelaki yang baru saja ditemuinya. Memang akal akan hilang kalau nafsu sudah
memuncak dan menguasai.

Aku juga memiliki cerita melihat dan mendengar dengan mata dan telingaku sendiri,
yaitu ketika aku sakit demam, terbaring lemah tak ada tenaga di asrama sendirian kala waktu
maghrib menjelang Isya mendengar suara langkah kaki dari balik deretan ranjang-ranjang atau
lemari-lemari tanpa ada si pemilik kaki, hilang ketika aku baca surat kursi dan balik lagi kalau
aku sudah berhenti baca. Ada lagi cerita saat aku terbangun dini hari karena mau pipis, masih
belum sadar betul, bangun dari ranjang, menuruni tangga tanpa rasa takut dan curiga sama sekali,
lalu aku menemukan sosok hitam berbentuk orang besar yang berjalan di jalan yang
menghubungkan antara asrama dengan masjid dan terlihat ingin balik ke asrama, paling
ketiduran di masjid dan baru balik ke asrama pikirku. Tapi paginya aku baru sadar kalau ukuran
orang itu tiga kali lipat lebih besar dibanding santri dengan tubuh tersubur dan tergembrot di
pondok sekalipun.

Atau cerita temanku yang melihat rambut panjang terurai di lantai pintu kamar mandi
tiga, kamar mandi depan kelas. Atau temanku yang melihat sekelabat sosok putih diatas puing-
puing kayu bekas renovasi masjid. Semua penampakan demi penampakan dedemit yang terjadi
kebanyakan hanya berupa suara, bayangan hitam, atau sosok yang tidak jelas saja. Karena hal itu
maka muncullah sebuah nama untuk mereka, Bayang suram. Entah darimana datangnya sebutan
ini tapi maksud dan makna dari istilah ini memang cocok dan tepat sekali, “bayang” karena
penampakkannya yang tak jelas dan seringkali hanya berupa bayangan saja, dan “suram” karena
bikin orang yang lihat jadi suram mukanya atau suram hidupnya, menghantui pikiran dalam
jangka waktu yang tak sebentar. Tapi sisi positifnya mungkin kejadian itu bisa dijadikan bahan
cerita untuk bikin merinding anak cucu atau sekadar obrolan ringan sembari minum kopi di
malam hari kemudian hari.

Saat masih baru memasuki pondok dan duduk di kelas tujuh aku adalah seorang bocah
yang pengecut dan penakut, bukan ke orang tapi ke Bayang suram. Aku sampai menyiapkan diri
dengan tak minum setengah jam sebelum tidur dan kupastikan selalu pipis sebelum berwudhu
untuk tidur agar tak terbangun di malam hari. Kalau sampai terbangun di malam hari itu akan
terasa jadi momen yang paling menegangkan dalam hidup, perjalanan ke kamar mandi akan
serasa perjalanan terpanjang, imajinasi-imajinasi liar akan menyerbu pikiran, terasa akan ada
tangan yang menyambar dari sudut-sudut gelap lemari lalu membawa tubuh ini ke dunia lain,
serasa ada sosok yang menunggu sisi lain tangga dan dikemudian hari memang ada yang sedang
menunggu di sisi tersebut, kotak-kotak berisi makanan ataupun tas-tas yang ditaruh diatas lemari
terlihat seperti sosok Bayang suram yang sedang duduk karena lampu-lampu sudah dimatikan.
Aku sudah tahu itu hanya imajinasi liar saja tetapi karena rasa takut yang berlebih tetap saja
bikin bulu kuduk merinding dan takut setengah mati. Untuk mengatasi rasa takut itu kadang aku
bangunkan temanku kalau memang sudah kepepet di malam hari, biar temanku itu bersedia
menemani tetap saja terlihat muka malas dan masam dari wajahnya biar kadang ia juga
bangunkan aku kalau dia mau pipis di malam hari.

Atau sekadar mengambil buku yang ketinggalan di waktu Maghrib, para santri sudah
berada di masjid dan menyetorkan bacaan Quran-nya kepada para kiai sampai adzan Isya
dikumandangkan, dilanjut belajar malam dan megerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para
guru di siang harinya. Tentu saja kala itu tak ada santri di asrama membuat suasana asrama jadi
menyeramkan biar terang benderang, ditambah para Bayang suram berkeliaran di waktu
Maghrib, tentu saja bikin pikir dua kali untuk kembali ke asrama sendirian, tapi aku harus tetap
ambil buku itu, pilihannya di pukul rotan karena tak bawa buku di jam belajar malam atau
menahan takut untuk kembali ke asrama. Aku pilih pilihan kedua dan untungnya selama ini tak
terjadi apa-apa.

Kupikir aku harus berubah dan tak bisa kalau aku terus begini, menjadi lelaki baligh yang
penakut, maka aku mulai latihan untuk menghilangkan rasa takutku saat duduk di kelas delapan.
Seringkali aku datang ke asrama di waktu Maghrib, bukan untuk mengambil buku yang
tertinggal tapi sekadar untuk minum saja karena galon letaknya di asrama, bukan tujuan yang
penting memang karena tujuan asliku adalah untuk melatih diri agar tidak takut lagi ke si Bayang
suram. Atau aku menjelajahi kebun-kebun pondok sendirian ketika waktu belajar malam,
sekalian untuk melepas stress sehabis menghapal baris demi baris ayat suci Quran dan beban
pelajaran dinas yang sama berat juga banyaknya dengan pelajaran agama. Ada juga aku
menelusuri puing-puing kayu masjid ketika sedang direnovasi, gelap dan banyak paku memang
tapi tidak mengapa karena aku pakai sandal gunung. Semua itu kulakukan selama setahun demi
menghilangkan rasa takut ke Bayang suram dan akupun berhasil, aku menjadi sosok lelaki yang
berani dan tangguh, Bayang suram sudah tak bisa menggertak diri ini lagi. Tapi perjuanganku
hancur seketika dalam satu reka kejadian satu malam.

Kejadian itu terjadi ketika aku sudah duduk di kelas sembilan semester awal benar-benar
baru saja balik lagi ke pondok sehabis libur Iedul Fitri minggu pertama di suatu malam. Ketika
itu aku terbangun di malam hari karena ingin pipis, tapi tak seperti sebelumnya yang aku bangun
tanpa rasa cemas dan takut, kali ini aku merasakan firasat yang buruk dan terasa akan terjadi
suatu kejadian yang tak diinginkan apabila aku tetap turun kebawah. Kandung kemihku sudah
tak bisa menahan lagi jadi aku memaksa diri untuk turun kebawah dan menyalurkan hajatku.
Selama perjalanan ke kamar mandi tidak ada yang aneh baik saat turun tangga atau di kamar
mandi, namun aku masih belum lega sepenuhnya karena masih harus melewati perjalanan
kembali menuju surga dunia, yaitu kasur. Aku keluar kamar mandi dengan rasa agak terancam
lalu menaiki tangga dengan rasa takut yang tak berasal. Ketika aku sudah sampai disisi lain
tangga disanalah aku menginjak si Bayang suram, dalam sekejap aku sempat berpikir positif
kalau itu cuman kucing hitam tapi sayang bukan meong-an kesakitan yang kudapatkan akan
tetapi angin kencang yang menghempas tubuh, aku makin yakin kalau itu adalah Bayang suram
karena ia tidak kabur dengan cara berlari, yaitu melangkahkan kaki dengan cepat setelah kuinjak.
Tapi dia melayang dengan cepat lagi mulus diatas permukaan tanah, pergi dengan cepat
menghilang dari pandangan ke gelap gulita malam. Aku tersentak dan langsung berlari menaiki
tangga dengan keinginan berteriak sekeras mungkin tapi suaraku tidak keluar semua alias
tertahan, diantara shock sehabis bertemu Bayang suram dan juga terpikir tak ingin ada santri
yang terbangun karena teriakanku karena aku bisa mati karena malu dianggap penakut sebab
membangunkan seluruh santri hanya karena bertemu Bayang suram. Mereka bisa berkata begitu
karena belum pernah berhadapan langsung.

Dan aku terus berlari sampai akhirnya tiba di asrama dengan tarikan nafas yang terburu-
buru dan muka pucat pasi. Disanalah aku bertemu dua temanku yang belum tidur sedang main
handphone, tidak dititip, wajar karena baru saja habis liburan. Mereka keheranan melihatku yang
seperti habis dikejar harimau, mereka bertanya padaku “kau kenapa?”, aku diam tak menjawab
karena sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk mengeluarkan biar sepatah kata. Aku pun
langsung naik keatas ranjang lalu melihat kearah jam yang ternyata masih menunjukkan pukul
22:00, pantas saja temanku masih bangun. Sial kataku, kalau saja aku mengetahui kalau masih
belum larut malam dan masih ada santri yang terbangun tentu saja aku akan merasa agak tenang
dan tidak ketakutan. Tapi itu sudah terlambat karena waktu tak bisa diulang lagi, aku meringkuk
ketakutan diatas kasur selepas kejadian itu dan kesulitan untuk tidur biar pada akhirnya tertidur
juga. Kejadian itu membekas dengan kuat di dalam otak dan menjadi trauma yang cukup dalam,
menyiksa otak dan memunculkan imajinasi-imajinasi liar setahun lamanya. Menjadikan aku
seorang bocah penakut lagi. Menjadikan semua latihan itu hilang tak berbekas. Sial! pelatihanku
selama setahun digagalkan oleh satu Bayang suram di satu malam.

Anda mungkin juga menyukai