Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN STEMI

(ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

A. Definisi
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di
pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh
darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti,
otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.

Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG


No Lokasi Gambaran EKG
Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
1
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
3
dan I dan aVL
Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
4 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di
I dan aVL
Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
5
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
6
dan aVF
Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
7
aVF, V1-V3
True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
8
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
9
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.
Gambar:
B. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi
dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap
yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai
endokardium sampai epikardium,disebut infark transmural, namun bisa juga hanya
mengenai daerah subendokardial,disebut infark subendokardial. Setelah 20 menit
terjadinya sumbatan,infark sudah dapat terjadi pada subendokardium,dan bila berlanjut
terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Kerusakan miokard ini dari
endokardium ke epikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun
nekrosis miokard sudah komplit,proses remodeling miokard yang mengalami injury terus
berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non
infark mengalami dilatasi.

C. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
a. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
b. Penyempitan aterorosklerotik
c. Trombus
d. Plak aterosklerotik
e. Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak
f. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
g. Penurunan darah koroner melalui yang menyempit
h. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
i. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.

D. Manifestasi Klinis
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar,
ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang
berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang
menyertai : berkeringat, pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
c. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.
d. Bisa atipik:
 Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
 Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung
bisa tanpa disertai nyeri dada.
Sebagian besar pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung koroner yang
diketahui . 50% tanpa disertai angina.

E. Komplikasi
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI, adalah:
a. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial
dalambentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non
infark. Proses inidisebut remodeling ventikuler dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca
infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi.
Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al ; slippage serat otot,
disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang didisprosional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
tersebar pasca infark pada apeks ventikrel kiri yang yang mengakibatkan
penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat
dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan
fraksi ejeksi < 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.
b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal ( 10 hari
infark ) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai
kongesti paru.
1. Gagal jantung
2. Syok kardiogenik
3. Perluasan IM
4. Emboli sitemik/pilmonal
5. Perikardiatis
6. Ruptur
7. Ventrikrel
8. Otot papilar
9. Kelainan septal ventrikel
10. Disfungsi katup
11. Aneurisma ventrikel
12. Sindroma infark pascamiokardias

F. Tatalaksana di Rumah Sakit


1. ICCU
 Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
 Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien
harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama.
Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol <300
mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat kalium,
magnesium dan rendah natrium.
 Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk
menghilangkan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan
penggunaan kursi komod di amping tempat tidur, diet tinggi serat dan
penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari).
 Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg
atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
2. Terapi Farmakologis
a. Antitrombotik
Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran
penting dalam pathogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk
mementapkan dan memepertahankan potensi arteri kororner yang terkait
infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat dilihat
pada Antiplatelets Trialists Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien
dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan
menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada
kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat
antiplatelet. PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas
vascular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting.
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi
segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
infractionated heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau
TNK) membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankanpatensi
arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus 60U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum
1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular
weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan
tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan
iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 bulan.
b. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka
panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan suplai dan
kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnnya infark
dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
c. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat
terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau
fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat
jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100
mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme remodeling ventrikel
pasca infark berulang juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat inhibitor
ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif. Penelitian klkinis
dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis
pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers
(ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun
atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Identitas pasien
a. Nama :
b. Umur :
c. Alamat :
d. Perkerjaan :
e. Tanggal masuk :
f. Status :

2) Riwayat kesehatan
a. Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam
b. Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:
 Sesak
 Udema
 Nyeri dada
c. Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada angota keluarganya adakah anggota
keluarganya yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien saat ini. Serta
riwayat penyakit lainnya seperti:
 Darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung
d. Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami
penyakit yang sama dengan yang dialami saat ini atau penyakit lain seperti:
 Riwayat asma
 Diabetes
 Stroke
 Gastritis
 Alergi
3) Pengkajian Sistem B 6
 B1 (Breathing) : dispneu (+), diberikan O2 tambahan
 B2 (Blood) : suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
 B3 (Brain) : pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
 B4 (Bladder) : tidak ada masalah
 B5 (Bowel) : penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
 B6 (Bone) : kelemahan, mengalami penurunan tonus otos.

 Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum:
2. Kesadaran:
3. TTV:
 Nadi:
 Napas:
 Suhu:
 Tekanan darah:
4. Mata: Pupil; Ukuran pupil; Refleks pupil; Konjungtiva.
5. Hidung:
 Deformitas (kelainan bentuk)
 sekret
 septum nasal
 pernapasan cuping hidung
6. Mulut:
 deformitas
 stomatitis
 caries dentis
7. Telinga:
 Deformitas
 serumen
8. Kepala:
 Deformitas
 Warna rambut
 Kekuatan rambut
 Nyeri tekan sinus
9. Leher:
 Letak trakea
 kelenjar limfe
 nadi karotis
 vena jugalar
 kelenjar limfe
10. Kulit:
 Warna
 Elastisitas
11. Thorax:
 Inspeksi : kesimetrisan
 Palpasi : nyeri tekan
 Perkusi : bunyi
 Auskultasi :
12.Paru:
 Kesimetrisan
 bunyi napas vesikuler
13. Jantung: letak jantung
14. Abdomen:
 kesimetrisan,
 nyeri tekan,
 massa
4) Pemeriksaan penunjang:
 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologi: Terjadi peningkatan leukosit
b. Cardiac enzyms: Terjadi peningkatan enzim
 Elektrokardiografi:
a. Detak jantung ...........
b. Ekokardiografi: Pergerakan dinding jantung dan struktur jantung.
5) Penatalaksanaan
a. Syok kardiogenetik
Penatalaksana syok kardiogenetik:
 Terapi O2, Jika tekanan darah sistolik <70 mmHg dan terdapat tanda syok
diberikan norepinefrin.
 Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan
dopamin dosis 5-15 ug/kgBB/menit.
 Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg namun tidak terdapat tanda syok
diberikan dobutamin dosis 2-20 ug/kgBB/menit.
 Revaskularisasi arteri koroner segera, baik PCI atau CABG, direkomendasikan
pada pasien <75 tahun dengan elevasi ST atau LBBB yang mengalami syok
dalam 36 jam IMA dan ideal untuk revaskularisasi yang dapat dikerjakan
dalam 18 jam syok, kecuali jika terdapat kontraindikasi atau tidak ideal dengan
tindakan invasif.
 Terapi trimbolitik yang diberikan pada pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tak ideal dengan trapi invasif dan tidak mempuyai
kontraindikasi trombolisis.
 Intra aortic ballo pump (IABP) direkomendasikan pasien STEMI dengan syok
kardiogenik yang tidak membaik dengan segera dangan terapi farmakologis,
bila sarana tersedia.
b. Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan secari klinis menyebabkan tanda gejala ventrikel
kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul s, hepatomegali) atau
tanda hipotensi. Penatalaksana infark ventrikel kanan:
 Pertahankan preload ventrikel kanan.
 Loading volume (infus NaCL 0,9 %) 1-2 liter cairan jam I selanjutnya
200ml/jam (terget atrium kanan >10 mmHg (13,6cmH20).
 Hindari penggunaan nitrat atau diuretik.
 Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardial harus dikoreksi. Pacu jantung
sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak repon
dengan atropin.
 Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading
volume.
 Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri.
 Pompa balon intra-aortik.
 Vasolidator arteri (nitropospid, hidralazin)
 Penghambat ACE
 Reporfusi
 Obat trombolitik
 Percutaneous coronari intervention (PCI) primer
 Coronary arteru bypass graft (GABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit
multivesel).

c. Takikardia dan Vibrilasi Ventrikel


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan vibrilasi ventrikular dapat
terjadi tampa tanda bahaya aridmia sebelumnya.
Penatalaksana Takikardia vebtrikel:
 Takikardia vebtrikel (VT) polimorvik yang menetap (lebih dari 30 detik atau
menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock
unsynchoronizer menggunakan energi awal 200 j; jika gagal harus diberikan
shock kedua 200-300 J;, dan jika perlu shock ketiga 360J.
 Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina ,
edema paru dan hipotensi (tekanan darah<90 mmHg ) harus diretapi dengan
shock synchoronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis
awal gagal.
 Takikardia vebtrikel (VT) monomorfik yang tidak disertani angina, edema
paru dan hipotensi (tekanan darah<90 mmHg) diterapi salah satu regimen
berikut:
 Lidokain: bolus 1-1-5mh/kg. Bolius tambahan 0,5-0,75mg/kg tiap 5-10
menit sampai dosis loding total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading
selanjutnya dengan infus 2-4 mg/ menit(30-50 ug/lg/menit).
 Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
 Amiodaron: 150mg infus selama 5-10 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit,
dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus
pemeliharaan 0,5 mg/menit.
 Kardioversi elektrik synchoronized dimulai dosis 50 J ( anestasi
sebelumnya).
Penatalaksana fibrilasi Ventrikel
 Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC
shock unsynchoronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus
diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J
( klas I)
 Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refraksi terhadap
shock elektrik diberika terapi amiodaron 300 mg atau 5/kg. IV bolus
dilanjutkan pengulangan shock unsynchoronized.
B. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada infark miokard adalah :
1) Perubahan pola napas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan ditandai dengan
sesak.
2) Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai dengan
keluhan nyeri dada.
3) Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi yang mempengaruhi masukan
nutrisi/peningkatan kebutuhan metabolik ditandai dengan kelebihan berat badan.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam aktivitas .
5) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan
ketakutan, gelisah dan perilaku takut.
C. Intervensi
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari
hipoksia.
Intervensi:
 Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman. Contoh adanya dispnea,
penggunaan otot bantu nafas, pelebaran nasal.
 Lihat kulit dan membran mukosa untuk adanya sianosis.
 Tinggikan kepala tempat tidur letakkan pada posisi duduk tinggi atau
semifowler.
 Berikan tambahan oksigen dengan kanul atau masker, sesuai indikasi

2) Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai dengan
keluhan nyeri dada
Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
a. Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari.
b. Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari.
c. Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam waktu
3 hari.
Intervensi:
 Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
 Agen non steroid, mis: indometasin(indocin);, ASA(aspirin)
 Antipiretik mis: ASA/asetaminofen (tylenol)
 Steroid
 Oksigen 3-4 liter/menit
 Selidiki keluhan nyeri dada, memperhatikan awitan, faktor pemberat atau penurun
 Memberikan lingkungan yang tenang dan tidakan kenyamanan. Mislanya
merubah posisi, menggunakan kompres hangat, dan menggosok punggung

3) Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi yang mempengaruhi masukan


nutrisi/peningkatan kebutuhan metabolik ditandai dengan kelebihan berat badan.
Tujuan : Meningkatkan nutrisi yang seimbang bagi pasien.
Kriteria hasil : Setelah perawatan menyatakan berat badan berkurang dalam waktu 1
minggu.
Intervensi:
 Kaji nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari, perhatikan tingkat
energy; kondisi kulit, kuku, rambut, rongga mulut, keinginan untuk
makan/anoreksia.
 Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat badan saat
penerimaan.
 Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat makanan, jumlah kalori
dengan tepat.
 Jamin penampungan akurat dari specimen (urine, feses, drainase) untuk
pemeriksaan keseimbangan nitrogen.
 Berikan larutan nutrisi pada kecepatan yang dianjurkan melalui alat control infuse
sesuai kebutuhan. Atur kecepatan pemberian per jam sesuai anjuran. Jangan
meningkatkan kecepatan untuk “mencapai”.
 Ketahui kandungan elektrolit dari larutan nutrisional.
 Jadwalkan aktivitas dengan istirahat. Tingkatkan teknik relaksasi.

4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam aktivitas .
Tujuan : Mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Kriteria hasil : Melaporkan tidak adanya angina/terkontrol dalam rentang
waktu selama pemberian obat.
Intervensi:
 Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya dan perubahan dalam
keluhan kelemahan, keletihan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas
 Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan
sebelum dan sesudah aktivitas dan selam di perluka
 Mempertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
 Membantu klien dalam latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun
dari tempat tidur, mencatat respon tanda vital dan toleransi pasien pada
peningkatan aktivitas
 Evaluasi respon emosional
 Berikan oksigen suplemen

5) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan


ketakutan, gelisah dan perilaku takut.
Tujuan : Mengidentifikasi dan mengenal perasaan pasien.
Kriteria hasil : Menyatakan penurunan ansietas/takut.
Intervensi:
 Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman/situasi. Dorong
mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, kehilangan, takut dll.
 Catat adanya kegelisahan, menolak dan menyangkal mengikuti program medis.
 Mempertahankan kepercayaan.
 Kaji tanda verbal/nonverbal kecemasan dan tinggal dengan pasien. Lakukan
tindakan bila pasien menunjukkan perilaku merusak.
 Terima tetapi jangan diberi penguatan terhadap penggunaan penolakan. Hindari
konfrontasi.
 Orientasikan pasien atau orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
di harapkan. Tingkatkan partisipasi bila mungkin. Jawab semua pertanyaan secara
nyata. Berikan informasi konsisten; ulangi sesuai indikasi.
 Anjurkan pasien atau orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan
seseorang, berbagi pertanyaan dan masalah.
 Berikan periode istirahat atau waktu tidur tidak terputus, lingkungan tenang,
dengan tipe kontrol pasien, jumlah rangsangan eksternal.
 Dukung kenormalan proses kehilangan, melibatkan waktu yang perlu untuk
penyelesaian.
 Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat.
 dukung kemandirian, perawatan sendiri dan pembuatan keputusan dalam rencana
pengobatan.
 dukung keputusan tentang harapan setelah pulang.

D. Implementasi
Implementasi di lakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan pasien.

E. Evaluasi
1) Nyeri berkurang atau hilang.
2) Pola nafas pasien teratur
3) Nutrisi pasien terpenuhi
4) Aktifitas pasien meningkat (normal)
5) Ansietas berkurang atau hilang

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, I. 2006. ‘Infark miokard akut dengan elevasi ST’ dalam Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B.,

Alwi, I., Simadibrata, M. & Setiati, S. (editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed.

4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia: Jakarta.

Doengoes, M. A. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, ed. 3. EGC: Jakarta

Elisabeth, C. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta

Price, S. A. & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi, vol. 1, ed. 6. EGC: Jakarta

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, vol. 2. EGC:

Jakarta

Sumber dari internet:

Anonim. 2012. LP Stemi. Diunduh dari: http://id.scribd.com/doc/100201497/LP-STEMI.

Diunduh tanggal 4 Desember 2012.

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN STEMI


(ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

OLEH

KELOMPOK II
1. ADNYANA PUTRA
2. DEWI LESTARI
3. RENDRA NUGRAHA
4. SUMANDIYASA
5. WIDARINI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BALI


JURUSAN SI KEPERAWATAN
2017

Anda mungkin juga menyukai