Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menjadi klien
(penerima) asuhan keperawatan. Keluarga menempati posisi di antara individu dan
masyarakat, sehingga dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga,
perawat mendapat dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama adalah memnuhi
kebutuhan individu, dan keuntungan kedua adalah memenuhi kebutuhan masyarakat
(Ferry & Makhfudli, 2013).
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,
istri, dan anak, yang saling berinteraksi dan memiliki hubungan yang erat untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Interaksi yang baik antara anak dan orang tua
merupakan hal penting dalam masa perkembangan anak. Interaksi yang baik
ditentukan oleh kualitas pemahamaan dari anak dan orang tua untuk mencapai
kebutuhan keluarga (Soetjiningsih, 2012).
Menurut Fatimah (2010) Keluarga adalah perkumpulan dua orang atau lebih
individu yang hidup bersama dalam keterikatan, emosional dan setiap individu
memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Keluarga
adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang terikat oleh hubungan perkawinan,
hubungan darah, ataupun adopsi, dan setiap anggota keluarga saling berinteraksi satu
dengan lainnya (Mubarak,2009).
Sedangkan menurut UU No. 52 Tahun 2009, mendefinisikan keluarga sebagai
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya (Wirdhana et al., 2012).
Kesimpulannya keluarga merupakan suatu sistem tempat interaksi terjadi antar
anggota keluarga di dalam keluarga (teori sistem). Perilaku dan sikap anggota
keluarga dibentuk oleh hubungan antar anggota keluarga akan membentuk perilaku
dan sikap anggota keluarga tersebut. Setiap perubahan pada salah satu anggota
keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.
Tahap perkembangan keluarga menurut Friedman (2010) antara lain, tahap I :
Keluarga pemula, tahap II : Keluarga yang sedang mengasuh anak, tahap III :
Keluarga yang anak usia prasekolah, tahap IV : Keluarga dengan anak usia sekolah,
tahap V : Keluarga dengan anak remaja, tahap VI : Keluarga yang melepaskan anak
usia dewasa muda, tahap VII : Orang tua pertengahan, tahap VIII : Keluarga dalam
masa pensiun dan lansia.
Tugas perkembangan keluarga masing – masing berbeda di setiap tahapnya.
Keluarga tahap VIII adalah keluarga dalam masa pensiun dan lansia yang dimulai saat
salah satu pasangan pensiun, berlanjut salah satu pasangan meninggal.
Adapun tugas perkembangan keluarga tahap VIII : a. Mempertahankan
suasana rumah yang menyenangkan, b. Adaptasi dengan perubahan kehilangan
pasangan, teman, kekuatan fisik, dan pendapatan, c. Mempertahankan Kekaraban
suami istri dan saling merawat, d. Mempertahankan hubungan anak dan sosial
masyarakat, e. Melakukan life review, f. Menerima kematian pasangan, kawan, dan
mempersiapkan kematian (Harmoko,2012).
Salah satu masalah kesehatan keluarga dengan tahap perkembangan keluarga
dengan lansia adalah mengalami penurunan fungsi kesehatan. Masa lansia
menyebabkan penurunan fisik yang lebih besar dibanding masa sebelumnya. Proses
penuaan akan mengakibatkan kemunduran kemampuan fisik dan mental seseorang
(Masfufah, 2015).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004,
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas.
Lanjut Usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UU
RI No. 13 tahun 1998 tentang Kesejaheraan Lanjut Usia). Biro Pusat Statistik (2012)
menyebutkan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 65 tahun ke atas.
Pengertian lansia, pengertian lansia..
Proses usia lanjut dan pensiun merupakan realitas yang tidak dapat dihindari
karena berbagai stresor. Stresor tersebut antara lain berkurangnya pendapatan,
kehilangan berbagai hubungan sosial, kehilangan pekerjaan dan fungsi kesehatan.
Proses terjadinya penuaan penduduk dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya:
peningkatan gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, hingga kemajuan tingkat pendidikan
dan sosial ekonomi yang semakin baik. Dari aspek kesehatan, kelompok lansia akan
mengalami penurunan derajat kesehatan baik secara alamiah maupun akibat penyakit
Lanjut usia tidak dapat dikelompokkan secara kolektif sebagai satu bagian
populasi. Populasi lansia adalah kelompok yang heterogen, sehingga dikelompokkan
dengan karakteristik yang berdekatan. Pengelompokkan tersebut meliputi: Lansia
awal (65-74 tahun), lansia pertengahan (75-84 tahun), lansia akhir (85-99 tahun) dan
lansia elit (lebih dari100 tahun) (Touhy dan Jett,2012 dalam Sahar, Setiawan,
Riasmini,2019).
Secara global diprediksi populasi lansia terus mengalami peningkatan.
Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi dari pada populasi
lansia di wilayah Asia dan global setelah tahun 2050. World Population Prospect
2017 Revision oleh perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pertumbuhan penduduk
Indonesia sangat berpengaruh terhadap komposisi penduduk dunia. Populasi dunia
saat ini berada pada era penduduk menua (ageing population) dengan jumlah
penduduk yang berusia 60 tahun ke atas melebihi 7% persen populasi.
World Health Organization (WHO), Angka Harapan Hidup Sehat (AHHS)
Indonesia pada tahun 2016 adalah 12,7 tahun yang menandakan bahwa lansia
Indonesia dapat menjalani hidup dengan kondisi sehat sampai usia 72-73 tahun.
Pada tahun 2018, Indonesia memiliki 9,27 persen atau sekitar 24,49 juta
lansia dari seluruh penduduk. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya dan kenaikan ini diperkirakan akan terus terjadi dikarenakan berhasilnya
dari program jaminan pelayanan kesehatan pada lansia (jaminan kesehtaan, jamianan
kecelkaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian) yang diatur
pada UU No. 40 tahun 2004 telah berjalan dengan semestinya, seiring meningkatnya
usia harapan hidup masyarakat (Badan Pusat Statistik, 2018)
Jawa Tengah memperoleh posisi ke dua (12,34 persen), dengan populasi
lansia terbanyak di tahun 2018 setelah provinsi DI Yogyakarta (12,37 persen),
kemudian diikuti oleh Jawa Timur (11,66 persen), Sulawesi Utara (10,26 persen), dan
Bali (9,68 persen) (SUSENAS, 2018).
Kebumen lansia
Di negara berkembang insidensi penyakit degeneratif terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan hidup ini,
maka penyakit degeneratif juga meningkat, salah satunya adalah penyakit
osteoporosis. Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara dan
menjadi isu global di bidang kesehatan.
Osteoporosis menjadi suatu permasalahan global karena prevalensinya yang
semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Selain dapat menurunkan kualitas hidup,
biaya kesehatan juga akan meningkat karena terjadinya fraktur.
Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh
compromised bone strength sehingga tulang mudah fraktur ( ilmu penyakit dalma ).
Osteoporosis adalah penyakit tulang ditandai dengan menurunnya massa tulang
(kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam mengatur
kandungan mineral dalam tulang dan disertai dengan rusaknya arsitekrut tulang yang
beraibat penurunan kekutaan tulang (infodatin). Osteoporosis sering disebut
penurunan massa tulang oleh ketidakseimbangan proses yang memepengaruhi
pertumbuhan dan pemeliharaan tulang (buku kmb)
pengertian osteoporosis.
Osteoporosis pada lansia di indoensia, jateng, kebuemn
Penyakit sendi pada lansia di Indonesia sejumlah 18% menduduki peringkat
ke tiga dengan penyakit yang banyak diderita lansia setelah hipertensi 63,5%, masalah
gigi 53,6%, kemudian setelah itu dibawahnya diikuti oleh maslah mulut 17%, diabetes
mellitus 5,7%, penyakit jantung 4,5%, stroke 4,4%, gagal ginjal 0,8% dan kanker
0,4% (Profil Kesehatan Indonesia, 2018)
Salah satu langkah untuk menurunkan angka kejadian osteoporosis adalah
dengan mengetahui dan menghindari faktor - faktor risiko osteoporosis. World Health
Organization (WHO) memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif
utama di dunia.1 Tercatat bahwa terdapat kurang lebih 200 juta pasien di seluruh dunia
yang menderita osteoporosis2.
Wardhana (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan jenis kelamin, usia,
menopause dini, dan diabetes melitus merupakan faktor risiko terjadinya osteoporosis
pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Usia menjadi faktor risiko tertinggi pada
penelitian ini, yaitu usia lebih dari 65 tahun memiliki risiko 5,46 kali lebih besar
daripada usia 51-65 tahun. Faktor risiko independen untuk terjadinya osteoporosis
pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang adalah jenis kelamin dan usia.
Penelitian lansia osteoporosis, penelitian cara mencegah kesakitan
osteoporosis,
Osteoporosis dapat terjadi pada semua usia pria dan wanita, 80% penderita
osteoporosis adalah wanita. Satu dari dua wanita dan satu dari empat pria berusia
lebih dari 50 tahun akan mengalami fraktur terkait osteoporosis pada sisa waktu
mereka (buku kmb).
Aktivitas fisik pada lansia penderita osteoporosis sangat bermanfaat bagi
kesehatan. Banyak lansia melakukan latihan seperti berjalan dan senam. Latihan
memperbaiki status fungsional, menurunkan tekanan darah, menguatkan tulang dan
sebgaainya. Ada beberapa jenis latihan yang dapat dilakukan lansia antara lain latihan
beban dan senam taichi bagi lansia penderita osteoporosis (buku oren)
Salah satu penelitian oleh Miriam, Ph.D di Universitas Tuft Boston
mengemukakan bahwa ada suatu peningkatan kepadatan tulang pada daerah pinggul
dan punggung wanita post menopause (50-70 tahun) yang mengikuti latihan beban,
sedangkan yang tidak mengikuti latihan kepadatan tulangnya menurun (Sugiarto,
2015).
Safrina (2017) dalam penelitiannya menjelaskan senam taichi yang dilakukan
oleh wanita menopause usia 46-55 tahun di Kota Pematangsiantar mengahasilkan
pengaruh peningkatan massa tulang.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan studi kasus asuhan
keperawatan keluarga pada tahap perkembangan lansia dengan masalah perilaku
kesehatan cenderung berisiko di kelurahan xx dengan harapan keluarga mampu
mengenal maslaah hingga memanfaatkan pelayanan kesehatan pada lansia dengan
osteoporosis untuk meningkatakan status kesehatan keluarganya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran asuhan keperawatan keluarga dengan perilaku kesehatan
cenderung berisiko pada anggota keluarga dengan osteoporosis di kecamatan sempor
dengan penerapan senam taichi dan latihan beban pada pasien lansia osteoporosis.

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
a. Menggambarkan asuhan keperawatan keluarga dengan perilaku kesehatan
cenderung berisiko pada anggota keluarga dengan osteoporosis.
b. Menggambarkan asuhan keperawatan keluarga dengan penerapan senam taichi
dan latihan beban pada pasien lansia osteoporosis.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan keluarga
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa xx sampai dengan evaluasi
c. Mendeskripsikan tanda dan gejala sebelum diberikan tindakan xx pada xx
d. Mendeskripsikan tanda dan gejala setelah diberikan tindakan xx pada xx
e. Mendeskripsikan kemampuan dalam melakukan tindakan xx sebelum
diberikan
f. Mendeskripsikan kemampuan dalam melakukan tindakan xx setelah diberikan

D. Manfaat Studi Kasus


1. Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian pasien
osteoporosis melalui xx dan xx
2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan dalam
pemenuhan kebutuhan promosi kesehatan pada pasien osteoporosis.
3. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan promosi
kesehatan pada pasien osteoporosis dan mengimplementasikan senam taichi dan
latihan beban pada asuhan keperawatan keluarga dengan anggota keluarga lansia
dengan osteoporosis.
IA SETIANA. 2016. BAB II Tujuan Pustaka
http://repository.ump.ac.id/1084/3/INDRA%20AMARUDIN%20SETIANA%20BAB%20II.pdf
Diakses tanggal 22 Oktober 2019

Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2013. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori


dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

https://media.neliti.com/media/publications/111231-ID-faktor-faktor-risiko-osteoporosis-
pada-p.pdf

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di

Indonesia. Jakarta : ISSN 2088-270X

1. Macdonald HM NS, Campbell MK, Reid DM. Influence of weight and weight change on
bone loss in perimenopausal and early postmenopausal Scottish women. 2005:163–71. 2.

2 Haussler B GH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology, treatment and


costs of osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study. 2007:77–84.

Sumber: UN, Departement of Economic and Social Affairs, Population


Division (2017). World Population Prospects, the 2017 Revision, custom data acquired via
website.

Anda mungkin juga menyukai