I. PENGERTIAN
Dalam ajaran Shi’ah, Imamah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat urgen.
Literatur mereka mengatakan bumi tidak boleh absen dari Imam maksum sebagai al-
1
Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam: Darul masyriq, hlm. 918.
2
Al-Mu’jam al-Wasith: Dar ad-dakwah, 2/1058
3
Al-Munjid, hlm. 591
4
Al-Mu’jam al-Wasith, 2/698
5
Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazwini ar-Rozi, Mu’jam Maqoyiis al-Lughoh, Dar al-Fikr, 6/442
6
Dr. Ahmad Fathullah, mu’jam al-fadz al-Fiqhi al-ja’fari, mu’asasatu alu al-bait: Beirut, Hlm. 453
1
hujjah (argumen) kebenaran Allah swt. dan penyampai syariat Allah swt. pasca
wafatnya Rasulullah saw.7 Imam dibekali ilmu Laduni serta mendapat wahyu melalui
ilham. Karena itu Shi’ah itsna asyairah memosisikan Imam seperti halnya Nabi. Bahkan
Al-Bahrani dan an-nu’mani mengutamakan para Imam atas Nabi.8 Atas keyakinan ini
maka Imamah harus ditetapkan melalui mekanisme Al-nas wa al-washiyyah (teks dan
wasiat langsung),9 bukan melalui pemilihan (al-shura) sebagaimana yang dimiliki ahlu
sunnah. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad sebelum wafat, dengan jelas dan
tegas telah menunjuk Ali sebagai penggantinya/ washi dan anak keturunannya hingga
Imam ke dua belas. Polemik terjadi ketika Imam ke sebelas Hasan al-asykari meninggal
dan tidak memiliki anak. An-Naubakhti mengatakan kondisi ini menyebabkan Shi’ah
terpecah menjadi empat belas kelompok10, dan satu kelompok saja yaitu Shi’ah itsna
asyariyyah yang mengklaim bila Imam ke sebelas memiliki keturunan Imam ke dua
belas yaitu Muhammad Al-mahdi yang bersembunyi dari kejaran Daulah Abbasiyah di
Gua Sammara, Irak, pada usianya yang kelima tahun. 11 Dengan bersembunyinya
(kegaiban) Imam ini, maka Shi’ah memasuki fase kegaiban kecil (al-gaibah as-sughra),
yang dimulai dari tahun260 H- 329 H. Selama fase ini maka tugas dan fungsi Imam baik
sebagai pemimpin politik ataupun rujukan agama diwakilkan pada para wakil Imam
yang empat (annuwab al-arba’ah), mereka secara berurutan adalah: Utsman bin Said
Al-Umari, Abu Jafar Muhammad bin Utsman bin Said Al-Umari, Abu Al-Qosim Al-
Husain bin Ruh, dan Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad al-Samari.12
Kebuntuan terjadi manakala selama 60 tahun Imam tidak juga muncul, maka
masuklah fase yang dikenal dengan kegaiban besar (al-gaibah Al-kubra). 13 Inti dari
fase ini adalah lahirnya doktrin/ ajaran al-taqiyyah wa al-intidzar (Taqiyyah dan
penantian), yang berarti bahwa selama kegaiban, semua kewajiban agama yang
bersifat komunal seperti Salat Jumat, Salat Id., Salat Tarawih dan yang bersifat sosial
seperti pengelolaan zakat dan khumus, juga yang bersifat politik seperti jihad, amar
7
Al-Asfahani, Aqidah al-Shi’ah al-Imamah, hlm. 2-3
8
Al-katkani, al-burhan. Hlm. 24
9
Al-Asfahani, hlm. 5-6
10
An-naubakhti, firaq as-shiah, hlm. 96
11
Al-Mufid, al-irsyad fi ma’rifat hujajillah ‘ala al-Ibad. hlm. 389
12
At-Tuwaijiry, Wilayatul fakih wa tathowuruha, hlm. 11-13
13
Al-Tusi, al-gaibah, hlm. 237, 264-265
2
makruf nahi mungkar, mendirikan negara bahkan berijtihad pun harus dibekukan,
dikarenakan seluruh kewajiban tersebut hanya boleh direalisasikan di bawah arahan
Imam yang maksum.14 Konsep al-taqiyyah wa intidzar ini menimbulkan problem baru,
pasalnya Imam bersembunyi terlalu lama dan dimensi kehidupan umat Shi’ah terus
berkembang. Dalam menyikapi ini, lahirlah istilah al-akhbariyyun dan al-ushuliyyun,
kelompok pertama terus bertahan dengan ajaran ini (tektualis) sedang kelompok
kedua membuka pintu ijtihad. Terbukanya pintu ijtihad kembali, menjadi akar sejarah
munculnya konsep wilayatul fakih, ini dapat dilacak pada literatur fikih Shi’ah di abad
keempat Hijriyah, semisal tulisan Syekh Al-Mufid (m. 413 H)15 dan Sayyid Al-Murtadho
(m. 436 H)16. Konsep ini di awal kemunculannya hanya memberikan otoritas secara
terbatas, atau disebut dengan al-Niyabah al-Juziyah (perwakilan parsial). Maka
seorang fakih yang telah memenuhi seluruh syarat- fakih jami’ as-Syaroit- berperan
sebagai wakil Imam gaib dalam perkara pengadilan, penerapan hudud, menjadi wali
atas orang yang tidak memiliki wali, Salat Jumat, mengumpulkan serta
mendistribusikan sedekah dan khumus selama kegaiban Imam.17 Pengejawantahan
dari konsep “al-Niyabah al-Juziyah” dalam perkembangannya terkristal dalam sebuah
konsep yang dikenal dengan “Marja’ Dini atau Marja’ Taklid”18 (Pemangku Otoritas
Keagamaan).
Dengan berdirinya dinasti Shi’ah Safawi (1502-1772 M) pada awal abad keenam belas
19
Masehi, ulama Shi’ah semisal al-Muhaqqiq al-Karaki mengakui keabsahan
pemerintahan Raja Safawi di era kegaiban, karena al-Karaki memberikan andil fukaha’
kekuasaan politik, para Imam Shi’ah di era Dinasti Safawi terus menetapkan posisi ini
untuk para fakih dalam ranah praktik maupun teoritis20. Hanya pada dinasti ini ulama
14
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Teologi dan Ajaran Shi’ah, hlm. 94
15
Muhammad bin Muhammad bin an-nu’man, hidup abad 4-5 H, penyusun usul fikih Shi’ah, penggagas
madrasah ijtihad Shi’ah, pertengahan antara manhaj hadis dan qiyas. Catatan kaki, Al-Maraghi,
Wilayatul fakih fil ‘aqli al-madzhabi wa assiyasi al-Irani al-mu’ashir, Hlm., hlm. 83
16
Ali bin Husain bin Musa, seorang fakih mutakalim Imamiyyah, 355-436 H, Ulama besar Shi’ah
Imamiyyah. Ibid
17
Abu Mansur hasan al-hilli, mukhtalafu asShi’ah, Teheran, jilid 4, hlm. 497
18
Ali Mukmin, al-Fakih wa al-Siyasah Tatawwur al-Fikhi al-Siyasi Al-islami Hatta Zuhur al-Nazariyyat
al-Hadithsah, Beirut, Dar Al-hadi, Cet. I, 2003, hlm. 39
19
Ali bin Husain bin Abdul ‘aliy, terkenal dengan sebutan muhaqqiq ats-sani, m. 940 H, ulama besar
yang hidup pada masa dinasti Safawi. Catatan kaki, al-Maraghi, hlm. 83
20
Malik Musthofa al-amily, ittifaqul kalimah baina ulama ummah ala wilayatil fakih al-‘ammah, Beirut
2006 M, hlm. 130
3
Shi’ah mendapatkan posisi penting pemerintahan. Ahmad an-Naraki (m. 1245 H) 21
mengambil langah lebih besar dalam berteori, yang ia namakan wilayatul fakih.
Konsep ini memberikan otoritas secara mutlak kepada para fukaha’ sepadan dengan
otoritas yang diberikan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. dan para Imam
maksum, sehingga menjadikan mereka sebagai penguasa dan wakil Imam mahdi yang
sedang bersembunyi. 22 An-Naraki senantiasa menyerukan teori ini kepada para
penguasa, atas landasan dhoruryyah bukan syar’iyyah, pandangan Naraki ini tidak
mendapat dukungan ulama shi’ah, karena dianggap akan mengeliminasi posisi Imam
ghoib, maka selama satu setengah abad hanya sebatas teori semata, hingga Khumaini
mampu mengaplikasikannya pasca revolusi 1979 M di Iran. Semua persoalan Imamah
Shi’ah serta seluruh cabangnya mulai dari penetapan Imam yang dua belas, lahirnya
kegaiban kecil dan besar, konsep al-taqiyyah wa al-intidzor, al-niyyabah al-juzziyyah,
hingga wilayatul fakih adalah dominan ijtihad. Artinya tidak disebutkan secara jelas
pada al-Qur’an maupun Hadits, sehingga bersifat dzanni (asumsi). Akan tetapi dalam
keyakinan Shi’ah menjadi qot’i (pasti) dan mengikat sebagaimana Aqidah.23
Konsep wilayatul fakih merupakan hasil dari ijtihad dan bukan masalah usul (dasar).
Konsep wilayatul fakih mutlaqoh (otoritas mutlak seorang fakih) ini di lontarkan
pertama kali oleh Ahmad Al-Naraki, pengarang buku “awai dal-ayyam fi bayan qowaid
al-ahkam”, di bidang usul fikih (m. 1248 H/ 1824 M). Konsep ini merupakan lompatan
dari konsep “marja’iyyah al-Diniyah” (pengampu otoritas keagamaan), yang muncul
di lingkungan Shi’ah itha ashariyyah selama masa gaibnya Imam 12 dan pemboikotan
mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan Sunni yang ada masa itu. Konsep wali
fakih dibangun atas prinsip “perwakilan umum para Fuqoha atas Imam mahdi”.
Artinya, sebelum Imam mahdi yang ditunggu-tunggu datang wali fakih menjadi
pengampu otoritas keagamaan sementara. Dengan konsep wilayatul fakih mutlak ini,
fungsi dan peran marja’ dini (pengampu otoritas keagamaan), berubah dari sekedar
21
Ahmad bin Muhammad al-Mahdi an-Naraki, ada yang mengatakan Mahdi bin Abi Dzar as-shofa’i,
1185-1245 H. Lihat catatan kaki, al-Maraghi, hlm. 83
22
Al-Maraghi, wilayatul fakih, hlm. 84
23
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dkk., teologi dan ajaran Shi’ah, hlm. 96
4
menjadi sumber fatwa dan hukum, dan dari pemegang wewenang sebagai penasihat
spiritual menjadi mursyid al-a’la (penasihat tertinggi) revolusi Iran, yang memiliki
kekuasaan tertinggi atas seluruh lembaga negara.24
Alasan Shi’ah itha ashariyyah jika yang berhak menjadi pemimpin umat pada masa
nubuwah hanya para Nabi, maka setelah beliau saw. wafat hanya para Imam yang
layak untuk melanjutkan kepemimpinan Rasul, karena menurut mereka, kualifikasi
dan kapasitas para Imam itu sepadan dengan Nabi. Adapun di masa gaibnya Imam
(ghoibah) hanya para ulama’ yang telah memenuhi sedikitnya tiga syarat yang berhak
melanjutkan estafet kepemimpinan para Imam. Syarat tersebut menurut Khumaini
adalah: fakahah (pengetahuan yang mendalam akan syariat), ’adalah (memiliki
komitmen moral yang tinggi) dan kafa’ah (memiliki kemampuan memimpin negara).25
Sebab pemerintahan dalam perspektif mereka, tidak hanya berdimensi sosial politik
dan duniawi, tapi juga berdimensi spiritual.26
Namun, jika para Imam ditentukan oleh nash dan wasiyyah maka wali fakih dipilih
melalui mekanisme syura seperti milik ahlus sunnah, baik secara spontanitas maupun
lewat dewan ahli (majelis al-khubara’). Spontan yaitu muncul secara alami, seperti
saat Khumaini dilantik dimana seluruh rakyat sepakat atas kepemimpinannya, ini
sangat sulit terulang kembali. Bila tidak ditemukan penggantinya, maka melalui
majelis al-khubara’, yaitu sekumpulan dewan ahli yang dipilih rakyat akan
memusyawarahkan siapa yang berhak atas jabatan tersebut, bila tidak ditemukan
siapa yang layak maka akan ditunjuk 3-5 orang fakih yang menduduki jabatan itu. 27
Adapun tugas dan tanggung jawab wali fakih sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
bahkan melebihi kekuasaan presiden. 28 Meskipun memiliki kekuasaan yang besar,
secara teori majelis al-khubara’ mampu memecat wali fakih dengan beberapa
alasan.29
24
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, teologi dan ajaran Shi’ah, hlm. 96-97
25
Khumaini, hukumah Islamiyah. Hlm. 48
26
Dr. Zarkasyi, teologi, hlm. 97
27
UUD RII, pasal 107
28
UUD RII, pasal 110
29
UUD RII, pasal 111
5
III. KRITIK TERHADAP KONSEP WILAYATUL FAKIH
Keberatan konsep ini sudah ada semenjak wilayatul fakih dideklarasikan pertama kali,
karena tidak ada penerimaan konsep tersebut oleh sebagian besar fukaha Shi’ah saat
itu, kecuali Ayatullah Baruujerdy yang menyetujuinya dengan memberikan batasan-
batasan dan syarat-syarat.
Berhukum pada Kesyirikan dan Kekafiran. Penyeru konsep ini dihukumi musyrik dan
kafir karena wilayah mutlak bagi seorang fakih tidak ada dasarnya di dalam Alquran,
dua tokoh atas konsep tersebut baik Mullah Ahmad an-Naraki maupun Khumaini-
wilayatul tidak mendatangkan bukti-beristidlal- dari Alquran. Khumaini secara
eksplisit menyebutkan di banyak ceramah dan tulisannya bahwa wilayah bagi seorang
fakih datangnya dari Allah swt. atau Nabi Muhammad atau para Imam, untuk
mengelola urusan agama dan dunia umat Islam, termasuk tanggapannya terhadap
oposisi yang menolak konsep tersebut semisal Mehdi Bazargan-kepala pemerintahan
sementara setelah revolusi-, Khumaini mengatakan:
ًصبتهًفتنصيبيًلهًإنماًجـاءًبفضـلًالوَليـةًالتـيًأتمتَّـع
ّ يًبـيًالتذكيـرًمـرةًأخرىًبأننيًإذًن
ٌّ "ًوحـر
ً"ًوعلـىًالشـعبًاتِّباعـه،صبتـهًفـإنًطاعتـهًواجبـة
َّ ًوإننـيًإذًن،بهـاًمـنًلـدنًالشـارعًالمقـدَّس
“Saya harus mengingatkan Anda sekali lagi bahwa, pelantikan saya sebagai Waliyyul
fakih datang karena mandat dari Allah swt., bila saya sudah dilantik maka menaati
saya hukumnya wajib, dan rakyat harus mengikuti saya”.30
Kafirnya para pengusung konsep ini dikuatkan dengan pidato Khumaini yang
ditunjukkan kepada Ali Khamenei pada tahun 1988 M, di mana ia mengatakan:
30
Buletin An-Nur, yayasan tandzim dan nasyru at-turast Imam Khumaini, Teheran 1358 H, jilid 6 hlm.
31
6
ً"ًالحكومـةًالتـيًهـيًشـعبةًمـنًالوَليـةًالمطُلقاـةًللرسـولًصلـىًهللاًعليـهًوسـلمًواحـدًمـنًاألحـكام
"ًج
ًّ األوليـةًلإلسـالمًومقدَّمـةًعلـىًجميـعًاألحـكامًالفرعيـةًومقدَّمـةًحتـىًعلـىًالصالةًوالصـومًوال اح
“Pemerintahan Iran saat ini yang mana merupakan bagian dari Wilayatul mutlak,
lebih didahulukan dari hukum-hukum agama yang ada, bahkan lebih didahulukan dari
Shalat, puasa dan ibadah haji.”
Pandangan ini diungkapkan oleh Ayatullah Sayyid Abu al-Fadl bin ar-Ridho al-Burqo’i
al-Qumi31(m. 1991 M) di dalam kitabnya سـوانحًاأليـامSawaanikhul Ayyam, ungkapannya
ialah,
“Pertama, kita jangan menamakan undang-undang syirik dengan nama Islam, tidak
didapati ada satu ayat atau hadis pun yang mengatakan kalau seorang fakih memiliki
kekuasaan-wilayah- atas kaum muslimin. Mereka berhujah dengan hadis<ًالعلمـاءًورثـة
>األنبيـاءdan riwayat dari Imam Mahdi <>فارجعـواًإلـىًرواةًأحاديثنـا, padahal keduanya tidak
menunjukkan hal itu. Kedua, tidak boleh menerima khabar yang bertentangan dengan
Alquran, mereka- Khumaini dkk.- ingin menguasai rakyat dengan dalil khabar tersebut,
Fukaha di generasi awal memberikan otoritas bagi seorang fakih yang memenuhi
persyaratan-Fakih al Jami’ li asy Syarait-, terbatas atas yatim, anak kecil dan orang gila
bila mereka tidak memiliki wali, tetapi mereka hari ini-Khumaini dkk.- tidak
membatasinya sehingga mereka bisa memiliki otoritas atas seluruh manusia, mereka
juga meletakkan al-‘amaim-sorban khas Shi’ah- di atas kepala mereka, menyeru
manusia pada wilayatul fakih. Umat memang wajib menaati seorang penguasa, bila
mereka berhukum dan taat pada Allah swt., hakikatnya kita menaatinya sebagai
bentuk ketaatan atas menjalankan perintah Allah swt., bukan karena diri seorang fakih
itu, baik dia mujtahid maupun tidak, karena kepemimpinan bukan milik seorang
mujtahid, istilah mujtahid baru muncul pada abad ke empat Hijriyah, hal ini bisa
menjerumuskan pada perbuatan syirik-yakni syirik ketaatan- karena siapa yang
memberikan ketaatan secara mutlak kepada hamba-selain Allah swt.- maka itu adalah
31
Abu fadl al-Burqo’i, 1908-1992, dituduh beraliran ahlu sunnah dikarenakan tulisan-tulisannya,
meskipun banyak marja’ yang mengakui kemarja’annya al-Burqo’i, banyak mengkritisi pemikiran
Khumaini dan menganggap ajaran Shi’ah banyak terdapat khurafat. Lihat catatan kaki, al-Maraghi, hlm.
96
7
toghut, dia menjadikan tandingan bagi Allah swt., kita wajib mengatakan kebenaran
( )أكثرهـم ًللحـق ًكارهـونsebagaimana yang tercantum dalam Alquran surat al-Baqarah
ِ ًي ًوَلا
ayat 107: (ًًنصيـر ّ ِـنًولِـ
ُون ًهللاًم ا
ِ ) اًو امـاًلكاـمً ِ ّمـنًد. Memberikan wilayah yang sempurna
bagi selain Allah swt. merupakan bentuk kekafiran dan kesyirikan”.32
Tidak ada riwayat dari ahlu bait. Ulama Shi’ah yang memiliki pendapat ini, tidak
sampai mengkafirkan Khumaini, mereka menolak konsep tersebut karena lemahnya
riwayat dari ahlu bait, pada mulanya mereka di barisan Khumaini ketika terjadi
revolusi menumbangkan Syah Reza Pahlavi pada tahun 1979 M, dan mendukung
pembentukan Republik Islam -baca Shi’ah- Iran. Mereka berbalik menjadi oposisi
ketika mengetahui bahwa konsep wilayatul fakih ini memberikan seorang fakih
kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan yang pernah dimiliki Syah, baik itu
kekuasaan politik, militer dan administrasi negara, terutama dalam pasal 110
konstitusi Iran. Di antara mereka adalah Ayatullah Al-Uzma Muhammad Hasan
Thobathoba’i Al-Qumi (1905-2007 M) 34 dan seorang marja’ Ayatullah Muhammad
Kadzim Syari’atmadary (1905-1986 M).3536
Tidak terdapat pada kitab ulama Shi’ah terdahulu. Sejumlah penulis modern,
terutama di era reformasi selama masa kepresidenan Muhammad Khatami, dalam
deklarasi penolakan wilayatul fakih, membeberkan fakta tidak adanya tulisan ulama
Shi’ah di abad ke empat Hijriyah, yang memberikan otoritas kepada fakih kecuali
32
Ayatullah Al-Burqo’i, sawaanikhul ayyam, Darul Aqidah, 2013 M, hlm. 178.
33
Ibid. Hlm. 180
34
Ayatullah Al-Udzma Muhammad bin hasan thobathoba’i al-Qumi, marja di Iran tahun 1329 H di kota
masyhad, mati tahun 1428 H.
35
Ayatullah al-Marja kadzim Muhammad kadzim syariatmadary, punya andil dalam agama dan politik
yang besar di Iran dan Irak, menjadi marja tahun 1961 setalah kematian marja Mokhsen al-barujerdy,
banyak yang mengikutinya dari Iran, Pakistan, India, Lebanon dan negara-negara teluk.
36
Al-Maraghi, wilayatul fakih, hlm. 87
8
sangat terbatas dan tidak sampai masuk dalam ranah pemerintahan. Hingga abad ke
sepuluh Hijriyah, teologi Shi’ah tidak mengenal seorang penguasa itu berasal dari yang
tidak maksum, karena bagi mereka kema’shuman adalah syarat dari seorang
penguasa, ini hanya dimiliki oleh Nabi dan ke dua belas Imam. Ulama Shi’ah masa itu
tidak membicarakan politik apa pun, wilayah fakih baru muncul pada fase terakhir
perkembangan fikih Shi’ah, para penulis yang menggunakan pendekatan ini berusaha
membuktikan bahwa wilayatul fakih tidak datang dari Allah swt., dan bahwa itu adalah
murni teori politik yang tidak ada hubungannya dengan agama, yang dengannya para
wali fakih tidak memiliki hak atas kekuasaan absolut, yang diperoleh melalui mandat
ilahi para Imam.
Para penulis pandangan ini diwakili oleh Mohsen Kadeur, yang telah mempengaruhi
pikiran politik Iran sejak tahun 1990-an, ia mendapatkan Ijazah dalam berijtihad dari
Ayatullah Muntazeri setelah sekolah selama 17 tahun di Hauzah Ilmiyah37, ia juga
mendapat gelar Ph.D. di bidang Filsafat di Universitas Tarteeb Mudarees, Teheran. Dia
dijatuhi hukuman penjara dan kemudian dideportasi dan dilarang mengajar, dan
akhirnya tinggal di luar Iran.38
37
Sekolah yang mencetak kader marja’ taklid, yang terkenal ada di Qom, Iran dan di Najef, Irak.
Ditempuh selama 30-40 tahun.
38
Al-Maraghi, Wilayatul fakih, hlm. 87-88
39
Ibid. Hlm. 89
9
Pertama, sistem kekuasaan. Dipilih oleh majelis al-khubara, atau oleh rakyat tapi disisi
lain waliyul fakih diberi kekuasaan mutlak. Ini seakan mengganti pemerintahan
fasisme otoriter dengan pemerintahan fasisme lain atas nama agama. Maka
menentang waliyul fakih sama dengan menentang Allah swt., karena masuk domain
kebenaran (Haqq) dan kebatilan (batil) dalam ranah Aqidah, bukan ranah benar atau
salah (khata’ wa showab).40 Terlihat setelah menjabat, Khumaini lebih kejam dari Syah
Reza Pahlevi dalam menyikapi lawan politik terlebih yang berseberangan mazhab
dengannya. Ini merupakan picu penolakan dari kebanyakan ulama Shi’ah di awal
diterapkannya konsep ini dalam UUD, karena dianggap memberikan fakih kekuasaan
yang melebihi kekuasaan yang pernah dimiliki Syah.
Kedua, berkaitan dengan sifat UUD Republik Iran. UUD ini mengandung ruh
sektarianisme serta fanatisme. Selain pengikut Shi’ah Imammiyyah tidak
diperkenankan mencalonkan diri sebagai presiden, meskipun masa revolusi mereka
banyak berkontribusi. Bahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari kalangan non-
Shi’ah tidak memiliki tempat di negeri ini, atau paling tidak menjadi penduduk nomor
dua atau tiga. Ini terlihat pada perlakuan Khumaini yang tidak adil dan manusiawi
terhadap Sheikh Ahmad Mufti Zadah, salah satu ulama ahlu sunnah di Iran yang
dengan lisan dan penanya ikut membantu dalam menumbangkan Syah. 41 Maka,
negara dengan sistem wilayatul fakih adalah negara mazhab Shi’ah Ja’fariyyah yang
tidak bisa diterapkan oleh negara dengan mazhab lain.42
Ketiga, dampak diberlakukannya sistem politik ini melalui revolusi. Dalam berbagai
ceramahnya Khumaini berjanji jika konsep ini diterapkan maka akan tercipta negara
adil yang tiada tandingannya. Namun setelah terealisasikan, Khumaini justru
menyingkirkan seluruh ulama Shi’ah yang berseberangan dengannya dalam konsep ini.
Tentu kita mempertanyakan apakah sistem yang dibangun atas nama Imam gaib yang
40
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dkk., teologi dan ajaran Shi’ah, hlm. 102
41
Muhammad Malullah, Naqdu Wilayatul Fakih, hlm. 261-263
42
Dr. Zarkasyi dkk., teologi, hlm.103
10
juga atas nama Allah swt. harus membunuh puluhan ribu orang hanya untuk
kepentingan politik Imamah dan wilayatul fakih.43
IV. KESIMPULAN
Shi’ah tidak memiliki sistem pemerintahan yang paten, karena setiap yang tidak
berlandaskan dari wahyu maka akan mengalami kebuntuan. Seluruh konsep yang ada
mulai dari Imamah hingga wilayatul fakih dominan ijtihad tapi dalam praktiknya
masuk ranah Aqidah sehingga menjadi senjata mematikan bagi lawan-lawan
politiknya, dengan melabeli mereka musuh negara dan agama. Ketiadaan konsep yang
jelas ini, penyebab perpecahan Shi’ah menjadi puluhan sekte dan alirannya. Pun
setelah dipraktikkan dalam konstitusi Iran, pada akhirnya rakyat Iran menilai sistem
ini gagal dengan aksi yang memuncak pada pertengahan November tahun ini. media
mencatat hingga tulisan ini kami buat sedikitnya 106 orang meninggal dan terus
terjadi kerusuhan dan unjuk rasa di seantero negeri, apakah masih pantas Iran
mencoba mengekspor revolusi ini ke negara Ahlu sunnah? Setidaknya ini bisa
menjawab tulisan yang banyak beredar di kalangan akademisi bahwa konsep yang
diterapkan di Iran hanya mengeluarkan dari satu rezim otoriter pada satu rezim
otoriter lain atas nama agama atau bahkan lebih kejam, benarlah sabda rasul bila
persia bila sudah hancur maka tidak akan bisa bangkit kembali. Wallahu a’lam bis
showab.
43
Ibid. Hlm.103-105
11