Anda di halaman 1dari 6

‘URF

Wan Mohd Afhdil Akram Bin Wan Abdull Hadi,Maulida Turrahmah, Catur Aji Satrio

Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
16210186@student.uin-malang.ac.id
18210031@student.uin-malang.ac.id
18210106@student.uin-malang.ac.id

Abstrak
Ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang seiring dengan perkembangan Islam ke berbagai
macam wilayah di luar jazirah Arab. Kajian tentang Ushul Fiqh diperlukan karena
banyaknya kebudayaan di luar jazirah Arab yang berbeda hingga bertolak belakang dengan
kebudayaan di jazirah Arab. Hal ini menjadi suatu kebutuhan masyarakat setempat yang
belum banyak memahami ajaran Islam. Sehingga banyak usaha yang dilakukan para ulama
untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, yang didasarkan pada beberapa metode
pengambilan hukum Islam di luar Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟, dan Qiyas yang sudah
disepakati bersama, antara lain adalah al-„urf. Bagi kaum muslimin, di manapun mereka
berada, hukum adat setempat dapat dinyatakan berlaku selagi tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan nash al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hukum-hukum ijtihadiyah yang
ditemukan dengan bersumber kepada ‘urf kemudian ditetapkan menjadi hukum Islam akan
mengalami perubahan jika ‘urf yang menjadi sumber itu mengalami perubahan. Dalam hal
ini sifat dinamisnya hukum Islam dapat diketahui dengan jelas.
Kata Kunci: Ushul Fiqh, ‘Urf, Hukum Islam.

Pendahuluan
Ilmu ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam menjelaskan
syari’at-syari’at islam serta dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Dalam ilmu
ushl fiqh ini banyak sekali pembahasan tentang sumber hukum islam selain yang terdapat
pada al qur’an dan sunnah. Yakni tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, 'urf dan lainnya.
Meskipun terdapat banyak perbedaan mengenai kehujjahan dari 'urf sebagai salah satu
sumber hukum islam, namun merujuk pada hadits-hadits nabi dan juga praktek para ulama
terdahulu, maka hal itu dapat menunjukkan bahwasannya diperbolehkannya memakai 'urf
sebagai sumber hukum islam. Karena pada prinsipnya agama islam menerima dan mengakui
adat dan tradisi dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan al qur’an dan sunnah.
Islam tetap melestarikan tradisi yang dianggap baik dalam masyarakat dan menghapus secara
bertahap tradisi yang dianggap bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Maka dari itu akan dibahas tentang kehujjahan 'urf sebagai salah satu sumber hukum
islam, yang mana bersumber dari tradisi yang ada pada masyarakat. Yang dilestarikan oleh
islam jika membawa pada kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syara’.

Pengertian ‘Urf
Secara etimologi ‘Urf berasal dari kata (‫ )عرف يعرف‬yang sering diartikan dengan
(‫ )المعرف‬yakni: “Sesuatu yang dikenal”. Aapabila dikatakan ‫(فالن اولى فالن عرفا‬Si Fulan lebih
dari yang lain dari segi urfnya) maksudnya bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan
dengan yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian dikenal oleh orang
lain.1
Kemudian dari kata ‘Urf muncul kata “ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi),
ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik)”.2 Untuk kata
ma’ruf sendiri terdapat dalam Q.S. al-A'raf (7):199
َ ‫ض َع ِن ْال َجا ِه ِل‬
‫ي‬ ِ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.3
Menurut Abdul-Karim Zaidan secara terminologi kata ‘urf mengandung makna:
‫ما الفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول او فعل‬
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun
perkataan.4
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan urf secara terminologi mengandung
makna dengan istilah al-’adah (kebiasaan), yaitu5:
Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal
yang sehat dan watak yang benar.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa urf adalah kebiasaan
baik itu dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

Macam-Macam ‘Adat
1. Urf ditinjau dari segi seperti apa melakukannya
a. Urf Qauli)‫(عرف قولي‬, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau
ucapan di masyarakat. Contohnya: kata (lahmun) artinya adalah daging, baik daging
sapi ataupun daging lainnya. Pengertian lahmun yang juga mencakup daging ikan
terdapat dalam Q.S. an-Nahl (16): 14
ُ ‫ط ِريا َوت َ ْستَ ْخ ِر ُجوا ِم ْنهُ ِح ْليَةً ت َ ْل َب‬
‫سونَ َها َوت َ َرى‬ َ ‫س َّخ َر ْال َب ْح َر ِلتَأ ْ ُكلُوا ِم ْنهُ لَ ْح ًما‬ َ ‫َو ُه َو الَّذِي‬
َ‫ض ِل ِه َو َل َعلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬ ِ ‫ْالفُ ْل َك َم َو‬
ْ َ‫اخ َر فِي ِه َو ِلت َ ْبتَغُوا ِم ْن ف‬
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya
kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.6
Namun kenyataannya pada masyarakat kebiasaan berbahasa sehari-hari
dikalangan orang arab kata lahmun tidak digunakan untuk “ikan” sehingga ketika
mereka bersumpah “Demi Allah saya tidak akan memakan daging” tetapi pada
akhirnya dia memakan daging ikan, menurut kebiasaan orang Arab orang tersebut tidak
melanggar sumpah.7
b. Urf Fi’li(‫)عرف فعلى‬, kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Contoh: Kebiasaan
ketika saling mengambil atau meminta makanan teman tanpa adanya ucapan meminta
dan memberi, tidak dianggap mencuri.8
2. Urf berdasarkan ruang lingkup penggunaannya, terbagi menjadi dua

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 410.
2
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh ( Jakarta: Amzah, 2010), 209.
3
Q.S. Al-A’raf (7): 199.
4
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 153.
5
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 209.
6
Q.S. an-Nahl (16): 14
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, 413-415.
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, 415.
a. Urf Umum (‫)عرف عام‬, yaitu kebiasaan umum mayoritas dari berbagai suatu negeri
disuatu masa. Contohnya: Kebiasaan yang berlaku ketika masuk di pemandian umum,
setiap tiket masuk di hargai sama atau diberikan hargatiket yang sama. Tidak
memandang seberapa lama orang tersebut mandi ataupun berapa banyak air yang
dipakai9.
b. Urf khusus )‫) عرفخاص‬,Abu Zahra lebih terperinci lagi yaitu‘urf yang berlaku di
suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu,10 Misalnya dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan
dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan
barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang-barang tertentu.11 ‘Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nash. Hanya
boleh berlawanan dengan qiyas yang ilat-nya ditemukan tidak melalui jalan qath'i, baik
berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.12
3. Dari segi keabsahannya pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu kebisaaan yang dianggap
sah dan kebiasaan yang dianggap rusak.
a. Kebiasaan yang dianggap sah, al-‘Urf al-shahih .)‫ )عرف صحيح‬Kebiasaan yang
dianggap sah adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadits) dan tidak meghilangkan kemaslahatan
mereka, tidak pula membawa mudharat kepada mereka.13 Atau dengan kata lain tidak
menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Misalnya, dalam
masalah pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempun dan
hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. 14
b. Kebiasaan yang dianggap rusak, al-'Urf fasid ( ‫ )عرف فاسد‬Kebiasaan yang dianggap
rusak adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlakudikalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antar sesama pedangang. Uang itu
sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas
juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunga 10%. Dilihat dari
keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah
memberatkan, karena yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat
tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis,
menurutsyara’ tidak boleh saling melebihkan. Dan praktik seperti ini adalah praktik
peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliah, yang dikenal dengan sebutan riba al-
nasi’ah (riba yang muncuk dari pinjam meminjam). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti
ini, menurut ulamaushul fikih termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
Penyerapan ‘Adat dalam Hukum
Pada waktu islam masuk dan berkembang di Arab, disana berlaku norma yang
megatur kehidupan bermuamalah yang tela hberlangsung lama yang disebut adat. Islam
datang dengan seperangkat norma syara’ yang mengatur kehidupan muamalah yang harus
dipatuhi umat islam sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

9
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, 154.
10
Abu Zahro, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 419.
11
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 2, 365.
12
Abu Zahro, Ushul Fiqh, 419.
13
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, 154.
14
Abdul Wahab Khallah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 134.
Adat yang bertentangan itu dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat
islam secara bersamaan dengan hukum syara’. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut
terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya. Dalam hal ini yang
diutamakan adalah proses penyeleksian adat yang dipandang masih diperlukan untuk
dilaksanakan. Berdasarkan hasil seleksi tersebut, ‘adat dapatdibagi menjadi 4 kelompok
sebagai berikut :
1. ‘Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur
kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsure manfaat dan tidak ada
unsur mudaratnya atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudaratnya. Adat dalam
seperti ini diterima sepenuhnya dalam hukum islam.
2. ‘Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsure maslahat (tidak
mengandung unsure mafsadat atau mudarat), namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap
baik dalam islam. Adat bentuk ini dapat diterima dalam islam, namun dalam pelaksanaan
selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian.
3. ‘Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsure mafsadat
(merusak). Maksudnya, yang dikandungnya hanya unsure perusak dan tidak memiliki
unsure manfaatnya atau ada unsure manfaatnya tetapi unsure perusaknya lebih besar.
4. ‘Adat atau ‘urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak
mengandung unsure mafsadat (perusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang
dating kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara’, baik secara langsung
atau tidak langsung.
‘Adat atau ‘urf dalam bentuk ini jumlahnya banyak sekali dan menjadi perbincangan
di kalangan ulama. Bagi kalangan ulama yang mengakuinya berlaku kaidah :
‫ْال َعادَة ُ ُم َح َّك َمة‬
“‘Adat itu dapat menjadi dasar hukum”
Adat dalam bentuk pertama dan kedua diterima oleh islam, dalam arti tetap
dilaksanakan dan ditetapkan menjadi hukum islam. Bentuk penerima oleh Al-qur’an adalah
cara Al-qur’an sendiri menetapkan hukumnya secara sama dengan apa yang berlaku dalam
adat tersebut, baik secara langsung atau setelah terlebih dahulu melalui proses penyesuaian.
Bentuk penerimaannya oleh sunah Nabi secara langsung adalah ‘adat tersebut ditetapkan
hukumnya oleh sunah sesuai menurut apa yang berlaku selama ini, baik melalui penetapan
langsung atau melalui taqrir dari Nabi. ‘Adat dalam bentuk pertama dan kedua ini
dikelompokkan kepada ‘adat atau ‘urf yang shahih.

Perbenturan dalam ‘Urf


Bentuk-bentuk perbenturan dapat diuraikan al-suyuthi (dalam bahasan tentang kaidah
al-‘adah muhakkamah), sebagai berikut :
1. Perbenturan ‘Urf dengan Syara’15
Yang dimaksud dengan perbenturan (pertentangan) antara ‘urf dengan syara’
disini adalah perbedaan dalam hal pengunaan suatu ucapan ditinjau dari segi ‘urf dan segi
syara’. Hal ini dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum dan juga yang
tidak berkaitan dengan hukum :
a) Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum, maka
didahulukan ‘urf.
b) Bila perbenturan ‘urf dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi
hukum, maka didahulukan syara’ atau ‘urf.
2. Perbenturan antara ‘Urf (‘Urf Qauli) dengan penggunaan kata dalam pengertian Bahasa.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat :

15
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih Jilid 2, 396.
a) Menurut Qadhi Husein, hakikat penggunaan bahasa adalah beramal dengan bahasa.
Bila berbenturan pengalaman bahasa itu dengan ‘urf, maka didahulukan pengertian
bahasa.
b) Menurut Al-Baghawi, pengertian ‘urf-lah yang didahulukan, karena ‘urf itu
diperhitungkan dalam segala tindakan, apalagi dalam sumpah.
c) Dalam hal ini Al-Rafi’I berpendapat mengenai talak, bila terjadi perbenturan antara ‘urf
dengan pengertian bahasa, maka sebagaisahabat cenderung menguatkan pengertian
bahasa, namun sebagian lain menguatkan pengertian ‘urf.
3. Perbenturan ‘Urf dengan Umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Dalam hal ini ada 2 pendapat :
a) Menurut ulam Hanafiyah ‘urf digunakan untuk men-takhsis umum nash. Umpamanya
dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa masa menyusukan anak, yang sempurna adalah
selam dua tahun penuh. Namum menurut ‘adat bangsawan Arab, anak-anak disusukan
orang lain dengan mengupahkannya. ‘Adat atau ‘urf ini digunakan untuk men-takhsis
umum ayat tersebut. Jadi, bangsawan yang biasa mengupahkan untuk penyusuan
anaknya, tidak perlu menyusukan anaknya itu selam dua tahun penuh.
b) Menurut ulama Syafi’iyah, yang dikuatkan utuk men-takhsis nash yang umum itu
hanyalah ‘urf qauli bukan ‘urf fi’li. Contoh yang popular digunakan untuk
menunjukkan perbenturan antara ‘urf dengan nash yang umum adalah akad jual beli
salam (pesanan/inden). Umum nash melarang memperjualbelikan sesuatu yang tidak
ada ditangan sewaktu berlangsung akad jual beli. Karena itu, umum nash melarang jual
beli salam yang sewaktu akad berlangsung tidak ada barangnya. Namun, jual beli
dalam bentuk salam ini sudah menjadi ‘urf yang umum berlaku dimana saja, maka
dalam hal ini, ‘urf tersebut dikuatkan, sehingga dalam umum nash yang melarang itu
dibirikan batasan, yaitu : “kecuali pada jual beli salam”.

Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum


Pembicaraan tentang kehujahan ‘urf ini dibatasi pada ‘urf bentuk keempat,baik
yang termasuk pada adat atau ‘urf yang umum dan yang tetap, maupun adat khusus dan yang
dapat mengalami perubahan bila waktu dan tempat terjadinya telah berubah. Secara umum
‘urf atau adat itu diamalkan oleh semua ulama fiqh selama ia merupakan ‘urf shahih dan
tidak bertentangan dengan hukum islam.16
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). ‘Urf didahulukan
atas qiyas khafi 17dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis
umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadits ahad. Sedangkan
ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan
batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah
sebagai berikut:
ِ ‫ط لَهُ فِ ْي ِه َو َل فِ ْي اللُّغَ ِة َي ْر ِج ُع فِ ْي ِه اِلَى ْالعُ ْر‬
‫ف‬ َ ‫ضا ِب‬ ْ ‫ش ْرعُ َم‬
َ ‫طلَقًا َو َل‬ َّ ‫ُك ُّل َما َو َردَ ِب ِه ال‬
Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’
maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada ‘urf.
Para ulama yang mengamalkan ’urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan
hukum, menetapkan beberapa pesyaratan untuk menerima ‘urf, yaitu:

16
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif (Jakarta Timur:
Zikrul Hakim, 2004), 102.
17
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2012), 74.
1. ‘Urf atau adat bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
2. ‘Urf atau adat berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam
lingkungan adat itu atau di kalangan sebagian besar warganya.
3. ‘Urf atau adat yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian (‘urf harus telah ada sebelum penetapan
hukum).
4. ‘Urf atau adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti.18
Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa ‘urf atau adat digunakan sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Namun ‘urf atau adat bukanlah dalil yang berdiri sendiri, akan
tetapi ‘urf atau adat menjadi dalil karena ada yang mendukung atau ada tempat sandarannya,
baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat. ‘Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah
diterima sekian lama secara baik oleh umat.

Kesimpulan
Hukum-hukum ijtihadiyah pada pokoknya bersumber kepada qiyas dan pertimbangan
kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Di antata yang akan mendatangkan kebaikan dan
memnuhi kepentingan masyarakat adalah mengukuhkan berlakunya ‘urf yang tidak
bertentangan dengan nash al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
Oleh karena berlakunya ‘urf yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash al-
Qur’an dan Sunnah Rasul dapat dikukuhkan dalam syari’at Islam, maka bagi kaum muslimin,
di manapun mereka berada, hukum adat setempat dapat dinyatakan berlaku selagi tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan nash al-Qur‟an dan Sunnah Rasul.
Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditemukan dengan bersumber kepada ‘urf kemudian
ditetapkan menjadi hukum Islam akan mengalami perubahan jika ‘urf yang menjadi sumber
itu mengalami perubahan. Dalam hal ini sifat dinamisnya hukum Islam dapat diketahui
dengan jelas.

Daftar Pustaka:
Dahlan, Abd Rahman.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Firdaus. Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.
Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004.
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.
Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004.
Khallah, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2012.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2014.
Zahro, Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.

18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, 424-426.

Anda mungkin juga menyukai