Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Tn.

D DENGAN BPH DI RUANG 19


RSSA dr SAIFUL ANWAR MALANG

UMROTUL NUR FARIDAH


NIM. 19.30.052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Tn.D dengan BPH di Ruang 19 Rumah Sakit dr Saiful Anwar Malang
yang dilakukan oleh :

Nama : Umrotul Nur Faridah

NIM : 19.30.052

Prodi : Pendidikan Profesi Ners

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Pendidikan Profesi Ners Keperawatan
Kritis , yang dilaksanakan pada tanggal 09 September 2019 – 14 September 2019, yang telah
disetujui dan disahkan pada :

Hari : .......................................................

Tanggal : ........................................................

Malang, September 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (.............................................)
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hiperplasia
kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul
bedah. (Anonim FK UI 1995).
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra
posterior + 2,5 cm.
Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk
mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan
yang komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari
uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih
sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4
cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
1. Jaringan Kelenjar 50 - 70 %
2. 30-50% Jaringan Stroma (penyangga)

3. Kapsul/Musculer
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus :
1 Lobus medius 1 buah
2 Lobus anterior 1 buah
3 Lobus posterior 1 buah
4 Lobus lateral 2 buah
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan
menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang
tidak tampak karena terlalu kecil karena lobus ini tampak homoggen berwarna abu-
abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada
potoongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari :
1. Jaringan kelenjar 50%-70%. Jaringan kelenjar ini terbagi atas 3 kelompok bagian
:
 Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
 Bagian tengah disebut kelenjar submukosal, bagian ini juga disebut sebagai
adenomatus zone
 Disekitar uretra desebut periuretral gland
2. Jaringan stoma (penyangga) dan kapsul / muscular 30-50%
3. Kelenjar prostat
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym
yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
(penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu
orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar
melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui
uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan
pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan
(prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik
jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi
tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang
disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.

B. DEFINISI
Hipertropi prostat adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glandular dan interstitial yang menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan gangguan aliran urine, dan kebanyakan terjadi pada umur lebih
dari 50 tahun.
Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, jaringan hiperplastik terutama terdiri dari
kelenjar dengan stroma fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. (Price, 2005 : 1154).
BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan
menutupi orifisium uretra (Brunner and Suddart, 2001 : 1625).
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glanduler dan interstitial atau pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa yang menutupi orifisium uretra sehingga menyum.

C. ETIOLOGI
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat
dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan
estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-
α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam
sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor
ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian
akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk
ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga
terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan
keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui
bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif.
Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis
dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami
hiperplasia
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah
:
a) Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut;
b) Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat;
c) Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d) Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab
seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka
sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar
periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan
kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan
bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya
konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).

D. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior
dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra
daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika
dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor
ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi(buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara
serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
E. PATHWAY

Hormon estrogen & Prolkerasi abnormal sel


Factor usia Sel prostat umur panjang
testoteron tidak seimbang strem

Sel stroma Sel yang mati kurang Produksi stroma dan


pertumbuhan berpacu
epitel berlebihan

Prostat membesar
Menghambat aliran urina Retensi urine

Penyempitan lumen ureter Penekakak serabut-serabut Resiko pendarahan TURP


prostatika saraf Nyeri

Iritasi mukosa kandung Pemasangan foley cateter


Peningkatan resitasi leher Kerusakan mukosa urogenital kencing, terputusnya jaringan,
V.U & daerah V.U trauma bekas insisi
Pbstruksi oleh jendolan
darah post op
Pe ketebalan otot destruktor Penurunan pertahanan tubuh Rangsangan syaraf diameter kecil
(fase kompensasi)
Gangguan eliminasi urine

Terbentuknya sakula/trabekula Resiko infeksi Gate kontrole terbuka


Kurangnya informasi
terhadap pembedahan
Kelemahan otot destruktor Media pertumbuhan kuman Nyeri akut

Pe kemampuan fungsi V.U Residu urin berlebih Ansietas

Resiko ketidak efektifan


Reflek surine hidronefrosis
fungsi ginjal
F. DERAJAT BPH
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya
:
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

G. MENIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal,
dapat ditemukan uremia, peningkatan tekana darah, peningkatan denyut nadi,
peningkatan respirasi, foefer uremik, perikorditis, ujung kuku pucat, tanda tanda
penurunan mental serta neuropati ferifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis atau
pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA ( Casto Vertebrate Angularis) buli buli
yang dapat distensi dapat dideteksi dengan palpasi dan perkusi. Pemeriksaan penis dan
uretra penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding seperti
striktur, karsinoma, stenosis, meatus atau fimosis.
Pada pemeriksaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada BPH
konsistensinya kenyal) adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas
teraba, kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris, besar jaringan prostat kurang
dari 60 gr.

H. KOMPLIKASI
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine, karena produksi
urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine
sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal akan menjadi lebih cepat apabila terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk batu endapan dalam buli buli.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan dapat menimbulkan hematuria. Batu
tersebut jadap juga menimbulkan sistitis (infeksi pada kandung kemih) dan apabila
terjadi refruk dapat terjadi plelene fritis.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urin paling penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada kandung kemih, walopun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuria, elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
erupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolic. Pemeriksaan
Prostate Spesifik Antigo (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy
atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intrafena,
USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume
residu urine, dan mencari kelainan patologi lain. Baik yang berhubungan maupun
yang tidak berhubungan dengan BPH. Dari USG dapat ditentukan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, memeriksa residu urine, batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli.
J. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi (Tindakan Non Operatif)
Tindakan non operatif dilakukan bila pembesaran prostat masih ringan atau
stadium dini, dimana residual urine belum ditemukan atau tidak ada. Bila
ditemukan adanya peradangan prostat diberikan antimikrobial dan sizt bath, untuk
klien dengan resiko tinggi seperti infark jantung, decompensatio cordis berat
tindakan yang dilakukan yaitu kateterisasi dower dan memperbaiki keadaan umum.
Kateterisasi juga dilakukan pada kien yang mengalami retensi urine akut dan pada
klien yang tidak bisa mengosongkan kandung kemih secara spontan, kateter ini
dipasang terus menerus dan diganti setiap 4 hari (Rumahorbo, 2000 : 74).
2. Tindakan Operatif (Pembedahan)
a. Pembedahan dilakukan jika terdapat residual lebih dari 50 ml adanya
trabekulasi yang jelas. Pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat prostat
disebut prostatektomi. Prostatektomi dibagi kedalam 4 jenis yaitu sebagai
berikut Trans Urethral Resection (TUR)
Trans Urethral Resection (TUR) dilakukan pada BPH yang kecil dengan berat
35-50 gram dan pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung
melingkari uretra. TUR juga dilakukan pada klien yang tidak bisa
dilakukan Open Prostatctomy karena keadaan umum yang buruk. Operasi ini
dengan menggunakan alat resectoskop yang dimasukan ke dalam kandung
kemih melalui uretra dengan mereseksi lobus median dan satu lobus lateral
sehingga klien dapat BAK dengan baik (Rumahorbo, 2000 : 74).
b. Suprapubic Transversal Prostatctomy (Prostatektomi Suprapubis)
Suprapubic Transversal Prostatctomy adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yang dibuat kedalam kandung kemih dan
kelenjar prostat diangkat dari atas (Brunner & Suddart, 2001 : 1626). Operasi
ini dilakukan bila berat prostat 40 gram atau lebih, adanya trabekulasi yang
sangat besar dan prostat yang sangat besar intra vesikal (Rumahorbo, 2000 :
74).
c. Retropubic Ekstravesikal Prostatctomy (Prostatektomi Retropubik)
Tindakan operasi ini dilakukan dengan membuat insisi abdomen rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tetapi
tidak memasuki kandung kemih.
d. Perineal Prostatektomy
Mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum, fossa ischiarectalis
langsung ke prostat.
3. Terapi bedah
Indikasi absolute untuk terapi bedah yaitu :
a. Retensio urine berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda tanda obstruksi berat yaitu di vertikel, hidrovolunter dan hidronefrosis
f. Ada batu di saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektifnya. Intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi transurethral resection of the prostate (TURP) dan Transurethral
insision of the prostate (TUIP), prostatektomi terbuka dan prostatektomi aengan
laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis,
nomor medrek, tanggal masuk rumah sakit dan tanggal pengkajian, juga
identitas penganggungjawab klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan terakhir, dan hubungan dengan klien.
2. Riwayat kesehatan klien
a. Alasan masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke rumah sakit atau
kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari
pertolongan.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan oleh klien saat dilakukan pengkajian,
dimana pada klien dengan BPH keluhan yang dirasakan sebelum operasi
diantaranya nyeri pada saat BAK, urine keluar dengan menetes, pancaran
urine lemah dan sulit saat memulai BAK. Sedangkan keluhan yang mungkin
dirasakan setelah operasi diantaranya nyeri pada luka operasi (Brunner &
Suddart, 2001 : 1629).
Data subjektif dan objektif sebelum operasi
1) Data Subyektif
a) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
b) Sulit kencing
c) Frekuensi berkemih meningkat
d) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
e) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
f) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
g) Pancaran urin melemah
h) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
i) Kalau mau miksi harus menunggu lama
j) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
k) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
l) Urin terus menetes setelah berkemih
m) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
n) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
2) Data Obyektif
a) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
b) Terpasang kateter
c. Data subjektif dan objektif sesudah operasi
1) Data Subyektif
 Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
 Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
2) Data Obyektif
 Ekspresi tampak menahan nyeri
 Ada luka post operasi tertutup balutan
 Tampak lemah
 Terpasang selang irigasi, kateter, infus
 Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Dikaji tentang penyakit yang pernah diderita klien seperti penyakit jantung,
ginjal, dan hipertensi, juga riwayat pembedahan yang pernah dialami saat dulu,
baik yang berhubungan dengan timbulnya BPH, maupun yang tidak (Brunner
& Suddart, 2001 : 1629).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji apakah aggota dalam keluarga klien ada yang menderita penyakit seperti
klien, penyakit menular seperti TBC, dan penyakit keturunan seperti DM,
Hipertensi, Jantung, dan Asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan maka
dibuat genogram (AKPER Kota Sukabumi, 2005 : 52).
3. Data biologis dan fisiologis
a. Pola aktivitas harian
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pola aktivitas sebelum sakit dan setelah
sakit.
1) Pola makan dan minum
a) Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi
terhadap suatu jenis makanan tertentu, pada klien BPH biasanya terjadi
penurunan napsu makan akibat mual (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
b) Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang
harus dihindari pada klien BPH yaitu minuman yang mengandung
kafein dan alkohol, karena dapat meningkatkan diuresis sehingga
kemungkinan sisa urine dapat bertambah banyak dalam kandung kemih
(retensi urine).

2) Pola eliminasi
a) Buang air besar (BAB)
Frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang
berkaitan dengan BAB. Pada klien BPH biasanya terjadi konstipasi
akibat protrusi prostat kedalam rektum (Doenges, 2000 : 671).
b) Buang air kecil (BAK)
Pada klien BPH terjadi peningkatan BAK, nokturia, hematuria, nyeri
saat BAK, urine keluar dengan menetes, sulit saat BAK dan terjadi
retensi urine (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
3) Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur.
Pada klien BPH terjadi nokturia dan hal ini mungkin akan mengganggu
istirahat tidur klien (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
4) Pola personal higiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan
menggunting kuku. Pada klien BPH yang sudah mengalami komplikasi
dan juga faktor usia yang sudah tua kemungkinan dalam perawatan dirinya
tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total.
5) Pola mobilisasi fisik
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga, kegiatan
diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu
aktivitas klien tersebut.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan dipergunakan untuk memperoleh data
objektif dari riwayat keperawatan klien, dalam pemeriksaan fisik terdapat 4
teknik yaitu Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi.
1) Sistem Persarafan
Pada klien BPH baik pre dan post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat
dari obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran pada klien
BPH compos mentis (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
2) Sistem Endokrin
Pada klien BPH terjadi penurunan jumlah hormon
testosteron (Samsuhidajat, 2004 : 782).
3) Sistem Perkemihan
Pre operasi pada klien BPH ditemukan peningkatan frekuensi BAK,
nokturia, hematuria, nyeri pada saat BAK, urin keluar dengan menetes,
retensi urine dan terdapat nyeri tekan pada area CVA serta terjadi
pembesaran ginjal jika sudah terdapat kerusakan ginjal (Brunner &
Suddart, 2001 : 1625).
Biasanya klien post operasi 1-5 hari dipasang kateter dan irigasi kandung
kemih kontinyu (spooling) (Brunner & Suddart, 2001 : 1630).
4) Sistem Pencernaan
Pada klien BPH dengan pre operasi terjadi mual dan muntah akibat dari
penekanan lambung (Brunner & Suddart, 2001 : 1625), konstipasi dan
kebiasaan mengedan saat BAK akan menyebabkan hernia dan hemoroid
(Samsuhidajat, 2004 : 783). Sedangkan pada post operasi dapat terjadi
mual karena efek anestesi sehingga timbul anoreksia.
5) Sistem Kardiovaskuler
Pada klien BPH dengan pre operasi, kaji tentang riwayat penyakit jantung
dan hipertensi. Jika sudah ada kerusakan ginjal maka akan terjadi
peningkatan tekanan darah tetapi peningkatan tekanan darah dan nadi juga
dapat terjadi bila klien merasa nyeri. Sedangkan pada post operasi dapat
terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi nadi, anemis, dan
pucat jika klien mengalami syok (Brunner & Suddart, 2001 : 1623).
6) Sistem Pernapasan
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi dapat terjadi
peningkatan frekuensi napas akibat nyeri yang dirasakan klien.
7) Sistem Muskuloskeletal
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi terjadi keterbatasan
pergerakan dan immobilisasi akibat nyeri yang dirasakan oleh klien.
8) Sistem Integumen
Pada klien BPH dengan pre operasi dapat terjadi peningkatan suhu tubuh
akibat terjadi proses infeksi, sedangkan pada post operasi terdapat luka
insisi jika dilakukan prostatektomi terbuka (Brunner & Suddart, 2001 :
1629).
9) Sistem Reproduksi
Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan
sampai terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat
bercampur dengan urine sehingga dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak
mengganggu fungsi seksual (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
4. Data psikologis
a. Status emosional
Dikaji tentang keadaan emosi klien. Pada klien BPH dengan pre operasi,
biasanya terjadi ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan.
b. Konsep diri
1) Citra tubuh
Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar.

2) Identitas diri
Kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari
observasi dan penilaian terhadap dirinya menyadari inidividu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain.
3) Peran
Serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam kelompok
sosialnya.
4) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku
berdasarkan standar pribadi.
5) Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis
seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
c. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik.
Mekanisme koping terdiri dari :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk menganggulangi ansietas dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
5. Data sosial dan budaya
a. Pola komunikasi dan interaksi
Kejelasan klien dalam kebiasaan berbicara, kemampuan dan keterampilan
klien berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
b. Support sistem
Dikaji bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat dalam proses
penyembuhan penyakit klien.
6. Data spiritual
a. Pola religius
Agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan yang dilakukan
klien selama ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah selama sakit.
b. Kepercayaan dan keyakinan
Bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan keyakinan klien
terhadap penyakit yang dideritanya.

7. Data penunjang
Data penunjang meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti
pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystoscopy.
B. DIAGNOSA
1. Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan retensi urine, infeksi urinaria
dan distensi kandung kemih, luka pembedahan (post op).
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan atau prosedur
pembedahan (pre op).
3. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan
pendarahan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, immobilitas,
pemasangan alat kateter
5. Resiko infeksi sehubungan dengan retensi urine dan terpasangnya dower
kateter
6. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan
dirumah sehubungan dengan kurang informasi.

DAFTAR PUSTAKA
Arifiyahto, dafid, 2008 “ Asuhan Keperawatan dengan Masalah Benigna Hipertropi Prostat
(BPH)” http://dafid-pekajangan blogspot.com/2008/03/askep-klien-bph.html.
Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.

Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai