Anda di halaman 1dari 31

KARATERISTIK BATUAN DASAR TERHADAP SEBARAN DEPOSIT

NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

PROPOSAL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN


MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:

MUHAMMAD ISMUL AZHAM


R1C1 16 066

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
NOVEMBER 2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nikel laterit adalah mineral bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan

batuan induk/dasar yaitu ultramafic (ultrabasa) di atas permukaan bumi. Proses ini

berlangsung selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik tersingkap di

permukaan bumi. Peridotit merupakan salah satu batuan asal pembawa nikel,

dalam batuan tersebut terdapat variasi mineralogi maupun persentase mineralogy

yang berbeda. Pelapukan pada peridotit menyebabkan unsur-unsur dengan

mobilitas rendah sampai immobile seperti Ni, Fe dan Co mengalami pengayaan

secara residual dan sekunder (Burger, 1996). Bijih nikel diperoleh dari endapan

nikel laterit yang terbentuk akibat pelapukan batuan ultramafik yang mengandung

nikel 0,2 – 0,4 % (Golightly, 1981). Nikel laterit umumnya ditemukan pada

daerah tropis, dikarenakan iklim yang mendukung terjadinya pelapukan, selain

topografi, drainase, tenaga tektonik, batuan induk, dan struktur geologi (Elias,

2001).

Indonesia merupakan Negara produsen nikel kedua yang terbesar setelah

Rusia. Sebaran batuan ultramafik juga terbatas dan dijumpai di Pulau Kalimantan,

Maluku, Papua dan Sulawesi. Endapan nikel laterit di Provinsi Sulawesi Selatan,

dijumpai pada daerah Sorowako, kabupaten Luwu Timur dan Daerah Palakka

kabupaten Barru. Selain itu, endapan nikel laterit juga dijumpai di daerah

Sulawesi Tengah yaitu Morowali, Bungku (Kabupaten Morowali), Luwuk

(Kabupaten Luwuk Banggai) dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Endapan nikel


laterit yang dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara, umumnya tersingkap di

Kabupaten Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana dan Pomalaa.

Berdasarkan proses pembentukannya endapan nikel laterit terbagi menjadi

beberapa zona dengan ketebalan dan kadar yang bervariasi. Daerah yang

mempunyai intensitas pengkekaran yang intensif kemungkinannya akan

mempunyai profil lebih tebal dibandingkan dengan yang pengkekarannya kurang

begitu intensif. Perbedaan intensitas inilah yang menyebabkan ketidakteraturan

dari distribusi pengkayaan unsur-unsur pada profillaterit, karena pembentukan

endapan laterit sangat tergantung pada faktor-faktor batuan dasar (source rock),

laju pelapukan, struktur geologi, iklim, topografi, reagen-reagen kimia dan

vegetasi, dan waktu. Secara tektonik Pulau sulawesi dan daerah sekitamya terletak

pada pertemuan tiga lempeng yakni lempeng benua Eurasia, benua Australia dan

lempeng pasifik. Oleh karenanya pulau ini secara geologi mempunyai

kompleksitas tinggi, mulai dari morfologi, struktur geologi, ragamjenis batuan

penyusun, sampai stratigrafinya.

Berdasarkan pembahasan diatas maka perlu diakannya penelitian mengingat

daerah Sulawesi tenggara khususnya di daerah IUP PT.Antam Tbk. Secara

struktur tektonik mempunyai komplesitas tinggi dan keberadaan ofiolit yang

begitu melimpah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah karateristik batuan dasar di daerah penelitian?

2. Bagaimanakah sebaran endapan nikel laterit di daerah penelitian?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu:

1. Mengetahui karateristik batuan dasar di daerah penelitian.

2. Mengetahui sebaran endapan nikel laterit di daerah penelitian.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi keilmuan:

Dapat mengetahui karaterisitik batuan dasar pembentuk endapan nikel

laterit dan pola sebaran endapan nikel laterit di daerah Penelitian.

2. Bagi perusahaan PT. Antam Tbk.

Mengetahui titik lokasi keberadaan bahan tambang yang mempunyai

potensi ekonomis dan sebagai pengembangan perencanaan eksplorasi yang

terarah.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat

geologi regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa

mandala geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur.

Mandala ini meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah

dan Lengan Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi

tersusun atas batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi

dari hasil proses pengangkatan (Obduction) selama Miosen. Surono menyebutkan

bahwa jalur batuan malihan dan sedimen serta penutupnya tersebut sebagai

mintakat benua, sedangkan batuan ofiolitnya merupakan lajur ofiolit Sulawesi

Timur. Bagian Timur Sulawesi ini memanjang melalui ujung Timur Lengan

Timur, sisi Timur bagian Tengah, dan Lengan Tenggara Sulawesi. Pembagian

mandala geologi Sulawesi dapat dilihat pada gambar 1.


Gambar 1. Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (Surono, 2010).

1. Geomorfologi Regional

Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,

terdiri atas pegunungan mekongka, pegunungan tangkelemboke, pegunungan

mandoke, dan pegunungan rumbian yang terpisah di ujung selatan tenggara.

Satuan morfologi ini mempunya topografi yang kasar dengan kemiringan lereng

yang tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunya pola yang

hampir sejajar berarah barat laut-tenggara arah ini sejajar dengan pola struktur

sesar regional kawasan ini. Pola tersebut mengeindikasikan bahwa pembentukan

morfologi pegunungan itu erat dengan sesar regional.


a. Satuan Morfologi

Diitinjau dari citra IFSAR di bagian Tengah dan Ujung Selatan Lengan

Tenggara Sulawesi, ada lima bagian satuan morfologi yang terdapat di

Sulawesi, dan di Daerah Rumbia terdiri atas tiga satuan morfologi yaitu satuan

pegunungan, satuan perbukitan rendah, dan satuan dataran.

 Satuan Pegunungan

Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,

yang terdiri atas pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelemboke,

Pegunungan Mendoke, dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung Selatan

Lengan Tenggara. Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang kasar

dengan kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini

mempunyai pola yang hampir sejajar berarah Barat laut-Tenggara. Arah ini

sejajar dengan pola struktur sesar regional di kawasan ini. Pola tersebut

mengindentifikasikan bahwa pembentukan morfologi pegunungan itu erat

hubungannya dengan sesar regional. Satuan pegunungan terutama di bentuk

oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan ofiolit. Ada perbedaaan

morfologi yang khas di antara kedua batuan penyusun itu. Pegunungan yang

disusun dari batuan ofiolit mempunyai punggung gunung yang panjang dan

lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang tajam. Sementara

itu, pegunungan yang dibentuk batuan malihan, punggung gunungnya terputus

pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun bersudut tajam.

 Satuan Perbukitan Rendah


Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan

ujung Selatan Lengan Tenggara. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah

dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama

batuan sedimen klastik Mesozoikum dan Tersier.

 Satuan Dataran

Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian Tengah ujung

Selatan Lengan Tenggara. Tepi Selatan dataran Wawotobi dan Dataran

Sampara berdasarkan langsung dengan satuan morfologi pegunungan.

Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi sesar geser

mengirih (Sesar Kolaka dan System Sesar Konaweha). Kedua sistem sesar ini

diduga masih aktif, yang ditunjukkan dengan adanya torehan pada endapan

alluvial dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk, 1997), sehingga sangat

mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan. Penurunan ini tentu

berdampak buruk pada dataran tersebut, diantarannya pemukinan dan pertanian

di kedua dataran itu akan diterjang banjir yang semakin parah setiap tahunnya.
Gambar 2. Bagian Selatan Lengan Sulawesi dari Citra IFSAR (Surono, 2013).

2. Stratigrafi Regional

Kompleks batuan malihan menempati bagian tengah lengan tenggara

sulawesi membentuk pegunungan mandoke dan ujung delatan membentuk

pegunungan rumbia. Komplek ini di dominasi batuan malihan yang terdiri dari

sekis, kuarsa, sabak dan marmer (simandjuntak dkk.,1993c; Rusmana dkk.,

1993b) dan terobos aplit dan diabas (Surono,1986). Secara garis besar kedua

mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo . Batuan yang terdapat di Lajur Tinodo

yang merupakan batuan alas adalah batuan malihan Paleozoikum (Pzm) dan

diduga berumur Karbon. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan batuan

malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan.

Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang menghasilkan
terobosan antara lain aplit PTr (ga), yang menerobos batuan malihan

Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) ,secara tak selaras menindih Batuan

Malihan Paleozoikum. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala

(TRJt). Hubungan dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Pada kala Eosen.

Hingga Miosen Tengah, pada lajur ini terjadi pengendapan Formasi

Salodik (Tems); Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku)

yang terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentintit. Batuan ofiolit ini

tertindih tak selaras oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan

terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan

sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal membentuk Formasi

Pandua (Tmpp). Formasi ini mendindih takselaras semua formasi yang lebih tua,

baik di Lajur Tinodo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk

batugamping terumbu koral (Ql) dan Formasi Alangga (Opa) yang terdiri dari

batupasir dan konglomerat. Batuan termuda di lembar peta ini ialah Aluvium (Qa)

yang terdiri dari endapan sungai, rawa dan pantai.


Gambar 3. Peta Geologi Lengan Tenggara Sulawesi (disederhanakan oleh Rusmana dkk, 1993)

Penelitian yang dilakukan oleh Bothe (1927) dan Rover (1956) dalam

Surono (2013), bahwa sejumlah percontohan batuan malihan dari kompleks

batuan malihan di Lengan Tenggara bahwa periode pemalihan batuan, tua dan

muda. Pemalihan tua menghasilkan fasies epidot-ampibol dan yang muda

menghasilkan fasies sekis glaukofan. Pemalihan tua berhubungan dengan

penimbunan, sedangkan yang muda diakibatkan sesar naik. Sangat mungkin sesar

naik tersebut terjadi pola Oligosen Awal Miosen, sewaktu kompleks ofiolit

tersesar-naikkan keatas kepingan benua.

Menurut Helmers dkk. (1989) dalam Surono (2013) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa evolusi sekis hijau di Lengan Tenggara Sulawesi, Terutama

dari pegunungan Mendoke dan Pegunungan Rumbia adalah suatu pemalihan


pertama adalah rekritalisasi sekis hijau pada akhir penimbunan cepat (fast burial

yang pernah mengalami subdaksi

Gambar 4. Stratigrafi regional Lengan Tenggara Sulawesi (Rusmana dkk, 1993b;


Simandjuntak dkk, 1993a, b, c, Surono 1994)
3. Struktur Regional

Sesar kolaka diberi nama oleh simandjuntak dkk (1993) berdasarkan kota

kolaka yang dilaluinya memanjang sekitar 250 km dari pantai barat teluk bone

sampai ujung selatan lengan tenggara sulawesi, Sesar kolaka, yang relatif sejajar

dengan sesar lawanopo, dan sesar konaweha ini nampak jelas pada citra jauh,
udara, landsat dan IFSAR. Struktur utama yang terbentuk setelah tumbukan

adalah sesar geser mengiri, termasuk sesar matarombeo, sistem sesar lawanopo,

sistem sesar konaweha, sesar kolaka, dan banyak sesar lainnya serta lineasi. Sesar

dan liniasi menunjukkan sepasan arah utama tenggara-baratlaut dan timur laut

barat daya. Arah tenggara-baratlaut merupakan arah umum dari sesar mengiri

dilengan tenggara Sulawesi.

Struktur geologi yang dijumpai di daerah kegiatan adalah sesar, lipatan

dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut – tenggara searah

dengan Sesar geser jurus mengiri Lasolo. Sesar Lasolo aktif hingga kini. Sesar

tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala

Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar naik ditemukan di daerah Wawo,

sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo; yaitu

beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan

Formasi Matano. Sesar Anggowala juga merupakan sesar utama, sesar mendatar

menganan (dextral), mempunyai arah baratlaut-tenggara.


Gambar 5. Struktur geologi Sulawesi dan sekitarnya. Disederhanakan dari Silver dkk. (1983) dan
Rehahult dkk (1991).
B. Genesa Endapan Nikel Laterite

Menurut Boldt (1967), bahwa inti bumi mengandung lebih kurang 3 %

nikel, kemudian zona mantel bumi yang mempunyai ketebalan sampai 2.898 km

mempunyai kandungan nikel antara 0,1 – 0,3 % (Anonim, 1985). Ni terdapat

dalam mineral olivin, piroksen, ilmenit, magnetit (Browm dan Wager, 1967).

Ni dalam batuan utrabasa terutama terdapat dalam mineral mafik.

Umumnya proporsinya : Olivin > Orthopiroksen > Klinopiroksen. Kromit dan


magnetit mungkin juga berisi lebih sedikit Ni. Di dalam mineral mafik, nikel

terutama terdapat dalam jaringan mineral olivin yang terbentuk pada proses

kristalisasi awal. Masuknya Ni ke dalam struktur mineral olivin melalui perilaku

magmatik. Olivin dapat mengandung 0,4 % NiO dan 0,322 % Ni. Olivin (mineral

yang terbentuk pada temperatur tinggi) sangat tidak stabil di bawah kondisi

atmosfer, sehingga saat terjadi pelapukan akan melepaskan ion Ni yang terdapat

dalam ikatan atomnya (Waheed, 2002).

Umumnya hidroksidasi dari beberapa unsur kimia dijumpai berasosiasi

dengan lingkungan laterit. Ion - ion yang dilepaskan selama proses hidrolisis dari

mineral - mineral mafik, ditetapkan sebagai hidroksida (Waheed, 2002). Pada

hidrosilikat nikel (mineral garnierit), nikel menggantikan atom Mg dalam mineral

serpentin, talk dan klorit. Anggota nikel murni tidak muncul secara alami dan

kebanyakan garnierit berisi (Ni, Mg) sebagai pengganti Mg (Waheed, 2002).

Istilah garnierite telah digunakan sebagai suatu istilah yang meliputi

seluruh bentuk hidrous nikel magnesium silikat. Faust (1966) dalam Waheed

(2002), menyatakan bahwa kebanyakan garnierit terkait dengan talk dan serpentin.

Kato (1961) dalam Waheed (2002), bahwa garnierit yang ditemukan di New

Caledonia, merupakan struktur yang serupa dengan serpentin, talk dan klorit.

Sedangkan Springer (1974) dalam Waheed (2002), mengusulkan tentang definisi

garnierit sebagai “ nikel magnesium hidrosilikat”, dengan atau tanpa berisi

alumina, melalui X – Ray Diffraction menunjukan bentuk khas serpentin, talk,

sepiolit, klorit, vermiculit atau campuran / gabungan semuanya.


Bentuk mineral garnierit mempunyai anggota : wilemsite (Ni talk)

[3NiO.4SiO2. H2O], pimelit (Ni kerolit) [Ni3Si4O10(OH)2.nH2O] dan nepouit

(Ni serpentin) [Ni3Si2O5(OH)4] dan sebagainya. Garnierit terjadi dengan mengisi

rekahan - rekahan yang ada. Warna garnierit mencakup dari hijau (terang dan

gelap) kekuning - kuningan, biru terang - gelap. Variasi yang kaya hijau berisi

lebih banyak nikel (Waheed, 2002).

Pada daerah penelitian ini, proses pembentukannya sangat berkaitan

dengan konsentrasi sisa. Menurut Bateman (1981), endapan jenis konsentrasi sisa

dapat terbentuk jika batuan induk yang mengandung bijih mengalami proses

pelapukan, maka mineral yang mudah larut akan terusir oleh proses erosi,

sedangkan mineral bijih biasanya stabil dan mempunyai berat jenis besar akan

tertinggal dan terkumpul menjadi endapan konsentrasi sisa.

Air permukaan yang mengandung CO2 dari atmosfir dan terkayakan

kembali oleh material – material organis di permukaan meresap ke bawah

permukaan tanah sampai pada zona pelindian, dimana fluktuasi air tanah

berlangsung. Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya CO2 akan kontak dengan

zona saprolit yang masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral –

mineral yang tidak stabil seperti olivin / serpentin dan piroksen. Mg, Si dan Ni

akan larut dan terbawa sesuai dengan aliran air tanah dan akan memberikan

mineral – mineral baru pada proses pengendapan kembali (Hasanudin dkk, 1992).

Boldt (1967), menyatakan bahwa proses pelapukan dimulai pada batuan

utrabasa (peridotit, dunit, serpentinit), dimana batuan ini banyak mengandung

mineral olivin, magnesium silikat dan besi silikat, yang pada umumnya
mengandung 0,30 % nikel. Batuan tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh

pelapukan lateritik. Air tanah yang kaya CO2 berasal dari udara luar dan tumbuh –

tumbuhan, akan menghancurkan olivin. Terjadi penguraian olivin, magnesium,

besi, nikel dan silika ke dalam larutan, cederung untuk membentuk suspensi

koloid dari partikel – partikel silika yang submikroskopis. Di dalam larutan, besi

akan bersenyawa dengan oksida dan mengendapa sebagai ferri hidroksida.

Akhirnya endapan ini akan menghilangkan air dengan membentuk mineral –

mineral seperti karat, yaitu hematit dan kobalt dalam jumlah kecil. Jadi, besi

oksida mengendap dekat dengan permukaan tanah.

Proses pelapukan dan pencucian yang terjadi, akan menyebabkan unsur

Fe, Cr, Al, Ni dan Co terkayakan di zona limonit dan terikat sebagai mineral –

mineral oxida / hidroksida, seperti limonit, hematit, geotit dan sebagainya

(Hasanudin, 1992). Selanjutnya pada proses pelapukan lebih lanjut magnesium

(Mg), Silika (Si), dan Nikel (Ni) akan tertinggal di dalam larutan selama air masih

bersifat asam . Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi dengan batuan dan

tanah, maka zat – zat tersebut akan cendrung mengendap sebagai mineral

hidrosilikat (Ni-magnesium hidrosilicate) yang disebut mineral garnierit

[(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral pembawa Ni (Boldt, 1967).

C. Kondisi Mineralogi

Endapan nikel laterite terbentuk baik pada mineral jenis silicate atau

oxide. Kemiripan radius ion Ni2+ dan Mg2+ memungkinkan substitusi ion

diantara keduanya. Umumnya, mineral bijih dari jenis hidrous silicate seperti talc,

smectite, sepiolite, dan chlorite terbentuk selama proses metamorphisme


temperature rendah dan selama proses pelapukan dari batuan induk. Umumnya,

mineral – mineral tersebut mempunyai variasi ratio Mg dan Ni. Mineral garnierite

dari jenis silicate mempunyai ciri poor kristalin, texture afanitik, dan berstuktur

seperti serpentinite (Brindley,1978).

D. Klasifikasi Endapan Nikel laterit

Umunya Nikel deposit terbentuk pada batuan ultrabasa dengan kandungan

Fe di olivine yang tinggi dan Nikel berkadar antara 0.2% - 0.4% wt. Secara

mineralogi nikel laterite dapat dibagi kedalam tiga kategori (Brand et all.,1998)

a. Hydrous Silicate Deposits

Profil dari type ini dari vertical dari bawah ke atas : Ore horizon pada

lapisan saprolite (Mg-Ni silicate), grade Nikel antara 1.8% - 2.5%. Pada zona

ini berkembang box-works, veining, relic structure, fracture dan grain

boundaries dan dapat terbentuk mineral yang kaya akan Nikel; Garnierite (

max. Ni 40%). Ni terlarut (leached) dari fase limonite (Fe Oxyhydroxide) dan

terendapkan bersama mineral silicate hydrous atau mensubtitusi unsure Mg

pada serpentinite yang teralterasi. Jadi, meskipun nikel laterite adalah produk

pelapukan, tapi dapat dikatakan juga bahwa proses enrichment supergene

sangat penting dalam pembentukan formasi dan nilai ekonomis dari endapan

hydrous silicate ini. Type ini dapat ditemui dibeberapa tempat seperti di New

Caledonia, Indonesia, Philippines.Dominika dan Columbia.

b. Clay Silicate Deposits

Pada jenis endapan ini, Si hanya sebagian terlarut oleh melalui

groundwater. Si yang tersisa akan bergabung dengan Fe,Ni,dan Al untuk


membentuk mineral lempung (clay minerals) seperti Ni-rich Notronite pada

bagian tengah profil saprolite. Ni-rich serpentine juga dapat di replace oleh

smectite atau kuarsa jika profile deposit ini tetap kontak dalam waktu lama

dengan groundwater. Ni grade pada endapan ini lebih rendah dari

Hydrosilicate deposit (1.2%).

c. Oxide Deposits

Type terakhir adalah Oxide. Profile bawah menunjukkan Protolith dari

jenis harzburgitic peridotites (mostly mineral olivine,serpentine, piroksen),

sangat rentan terhadap pelapukan terutama di daerah tropis. Diatasnya

terbentuk saprolite dan mendekati permukaan terbentuk limonite dan

ferricrete (dipermukaan). Pada tipe deposit oxide ini, Nikel berasosiasi

dengan Goethite (FeOOH) dan Mn Oxide (Brand et all,1998).

E. Kadar Nikel

Endapan Ni silikat memiliki kadar 1-2,6 % Ni , dengan nilai kadar rata-

rata didunia1,53 % Ni untuk hydratyed Mg-Ni silikat ( tipe A ) dan 1,21 % Ni

untuk endapan dominasi smectite (tipe B ) . Bagian dari beberapa jenis deposito A

( new Caledonia) , bagaimanapun, dapat melebihi 15 % Ni dan biasanya

berhubungan dengan fault dan shear zone . endapan oksida umumnya memiliki

kadar hingga 1,6 % Ni , (Goro, new caledonia ) , dengan kadar rata-rata global

l.03 % Ni ( Brand N.W dkk, 1998).


Gambar 6. Distribusi kadar endapan nikel laterit

F. Pelapukan Endapan Nikel Laterite

Pelapukan adalah proses perubahan fisik dan kimia pada batuan atau

mineral yang berlangsung di atau dekat permukaan bumi (Waheed, 2002).

Sedangkan Pearl (1988), menyatakan bahwa ketika batuan terangkat ke

permukaan akibat proses tektonik, batuan secara perlahan -lahan akan pecah

(retak). Retakan pada batuan inilah yang merupakan akses yang baik untuk

terjadinya proses pelapukan. Pelapukan disebabkan oleh kontak batuan dengan

air, udara dan organisme.

Menurut Pearl (1988), terdapat 2 macam pelapukan, yaitu : pelapukan

mekanis dan pelapukan kimia. Walaupun kenyataannya di alam, kedua proses

pelapukan tersebut sering terjadi bersama – sama.

1. Pelapukan Mekanis

Pelapukan mekanis menyebabkan batuan menjadi pecah - pecah melalui

berbagai kekuatan. Proses tersebut tanpa merubah komposisi kimia dari


materialnya (Pearl, 1988). Batuan yang mengalami proses pelapukan mekanik

akan pecah menjadi bagian-bagian yang kecil. Hasil akhir proses ini ialah material

kecil yang berasal dari batuan yang besar. Perombakan menjadi material kecil

mengakibatkan bertambahnya luas permukaan material, sehingga menambah

efektifitas pelapukan kimia.

2. Pelapukan Kimia

Menurut Waheed (2002), bahwa pelapukan kimia merupakan proses

dimana batuan bereaksi dengan agen - agen atmosfir, hidrosfer dan aktifitas

biologi untuk membentuk fase mineral yang lebih stabil. Batuan terurai melalui

proses kimia. Pelapukan kimia (yang berhubungan dengan proses lateritisasi)

terjadi dalam 4 macam (Waheed, 2002), yaitu :

 Hidrolisis

Merupakan proses kimia oleh adanya penguraian mineral menjadi

komponen – komponen yang lebih stabil di bawah pengaruh pelapukan

kimia. Sedangkan Ollier (1969), menyatakan bahwa hidrolisis merupakan

reaksi antara mineral dengan air, yaitu antara ion H+ dan ion OH- air dengan

ion-ion mineral.

 Oksidasi

Agen oksidasi pada lingkungan tanah adalah oksigen yang larut dalam

air hujan dan air tanah. Kondisi oksidasi hanya berada diatas permukaan air

tanah, sedangkan di bawah muka air tanah merupakan lingkungan reduksi.

Oksidasi dan reduksi, merupakan proses yang akan membentuk mineral-


mineral oksida akibat reaksi antara mineral dengan oksigen, atau jika

mengikutsertakan air akan menjadi mineral hidroksida.

 Hidrasi

Kehadiran ion hidroksil (OH), banyaknya oksidasi dihasilkan melalui

penguraian mineral kemudian diubah menjadi hidroksida. Hidrasi merupakan

proses penyerapan molekul-molekul air oleh mineral, sehingga membentuk

mineral hidrous. Contoh : hematit menjadi limonit.

 Larutan (solution)

Ketika pelapukan kimia berlanjut, hal ini menjadi lebih penting

karena semua unsur akan terurai dari mineral – mineral utamanya yang

pindah (hilang) dari lingkungan dimana proses larutan terjadi.

Proses kimia yang umumnya berlangsung pada perlapisan batuan utrabasa

adalah hidrolisis dan oksidasi. Hidrolisis merupakan tipe dari reaksi kimia antara

mineral dan air selanjutnya menghasilkan suatu kelebihan ion H+ atau OH- di

dalam larutan (Krauskopf dan Bird, 1995).

G. Hubungan Struktur Geologi terhadap pembentukan Endapan Nikel

laterit

Struktur geologi yang penting dalam pembentukan endapan laterit adalah

rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya rekahan dan patahan ini akan

mempermudah rembesan air ke dalam tanah dan mempercepat proses pelapukan

terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan akan dapat pula berfungsi

sebagai tempat pengendapan larutan-larutan yang mengandung Ni sebagai vein-

vein. Seperti diketahui bahwa jenis batuan beku mempunyai porositas dan
permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan

adanya rekahan-rekahan tersebut lebih memudahkan masuknya air dan proses

pelapukan yang terjadi akan lebih intensif (Ahmad, 2006).

H. Tektonik Setting

Nikel laterite berkembang di kompleks Ophiolite pada rentang waktu

Phanerozoic, terutama Cretaseous-Miosen. Ophiolite ini telah mengalami fault

dan joint sebagai efek dari tectonic uplift yang dapat memicu intensitas pelapukan

dan perubahan pada water table level. Deposit Nikel lainnya ditemukan pada

Archean Craton yang tergolong stabil berasosiasi dengan layer mafic complexes

and komatiite. Semakin banyak zona shear dan steep fault, semakin tinggi pula

tingkat enrichment proses untuk menghasilkan grade Nikel yang tinggi.

Sebaliknya, zona thrust fault berasosiasi dengan emplacement kompleks ophiolite

dan bersama dengan greenstone membentuk zona serpentine milonite atau talc-

carbonates-altered ultramafic rocks. Komposisi seperti itu tidak memungkinkan

terbentuknya Nikel pada endapan residu (regolith/lapukan) (Butt,1975).


III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan pada minggu pertama bulan Januari


2019 hingga minggu ke empat bulan Februari 2019, bertempat wilayah konsesi
PT. Antam Tbk. UBPN Sulawesi Tenggara (Pomaala).

Gambar 6. Peta Tunjuk Lokasi Penelitian


B. Jenis penelitian

Jenis penelitan ini merupakan jenis penelitian observasi dimana menurut

Sugiono (2012), observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung

dilokasi untuk memperoleh data yang diperlukan, yaitu dengan mendeskripsi

kenampakan langsung objek penelitian dilapangan serta pengambilan data

lapangan yang berupa pengamatan dan pengukuran di lapangan.


C. Bahan Penelitian

Beberapa bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Bahan yang di gunakan dalam penelitian

No. Bahan Kegunaan


Peta topografi skala 1 :
1. Sebagai peta dasar daerah penelitan
25.000.
Untuk melihat keadaan geologi regional
Peta geologi lembar
2.
daerah penelitian.
Kolaka 1:250.000
Untuk menguji Kandungan karbonat
HCL 0,1 M
3.
pada Batuan.

Data Kadar Nikel PT.


Untuk menetukan sebaran kadar nikel
4.
Antam Tbk.

D. Instrumen penelitian

Alat yang dipergunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian

No Alat Kegunaan
Untuk mengambil conto/sampel batuan di
1 Palu geologi
lapangan
GPS (Global Untuk menentukan posisi pada peta di
2
Positioning System) lapangan
Alat pembesar dalam pengamatan sampel di
3 Lup (20x)
lapangan
4 Kantong sampel Sebagai tempat conto/sampel batuan
Untuk menentukan arah, orientasi, dan
5 Kompas geologi
pengukuran data geologi di lapangan
Untuk mencatat data-data yang ada pada
6 Buku catatan lapangan
saat melakukan observasi di lapangan
Alat bantu dalam menulis serta pengukuran
7 Clipboard
data di lapangan
No Alat Kegunaan
Alat tulis (Pensil,
8 polpen, penghapus dan Sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan
pensil warna)
9 Kamera Untuk mengambil foto di lapangan
Tempat untuk menyimpan semua peralatan
10 Tas ransel
yang digunakan di lapangan

E. Prosedur penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap, mulai

dari tahap persiapan, tahap penelitian dan pengambilan data lapangan berupa data

kondisi geologi, data struktur geologi, tahap pengolahan data serta yang terakhir

adalah tahap pembuatan laporan.

1. Tahap persiapan

Tahapan ini merupakan tahapan pendahuluan atau merupakan tahap awal

dari suatu kegiatan penelitian sebelum melakukan pengambilan data-data

lapangan. Tahap ini terbagi atas : studi pustaka, pembuatan proposal, pengurusan

administrasi dan persiapan perlengkapan.

2. Tahap penelitian dan pengambilan data lapangan

A. Tahapan Penelitian, Tahapan ini meliputi :

1) Pengamatan singkapan dan jenis struktur geologi yang berkembang

2) Pengambilan conto batuan dan data struktur geologi.

3) Pengambilan data sekunder sebaran kadar nikel dan menghubungkan

dengan jenis struktur geologi yang berkembang.


B. Tahap Analisa Laboratorium

Analisis laboratorium yang digunakan adalah analisis XRF (X-Ray

Flourance) untuk mengetahui kadar Nikel (Ni) di daerah penelitian dan

analisis data struktur geologi serta menghubungkannya dengan tektonik

regional didaerah penelitian.

F. Tahap Pengolahan Data

1. Pengolahan data sebaran kadar nikel

Pengolahan data sebaran kadar nikel dilakukan dengan menggunakan data

sekunder kadar nikel hasil pemboran oleh PT. Antam Tbk. Kemudian

diolah dengan menggunakan software Arcgis v 10.3 untuk menghasilkan

peta sebaran kadar nikel laterit daerah penelitian.

2. Pengolahan data struktur geologi

Pengolahan data struktur geologi dilakukan dengan menggunakan

software Arcgis v.10.3 untuk pembuatan peta Struktur geologi dan

software Georose v.3.0 untuk mengetahui arah tegasan utama struktur

geologi yang berkembang di daerah penelitian.


- Studi pustaka
Persiapan - Pembuatan proposal
- Administrasi
- Perlengkapan

1. Pengamatan singkapan
2. Pengambilan conto
Pengambilan data batuan dan data Struktur
lapangan geologi.
3. Pengambilan data
Sekunder Sebaran kadar
nikel.

Analisa Laboratorium Analisis XRF (X-Ray


Fluorecence)

1. Pembuatan peta
Pengolahan Data Sebaran Kadar Nikel
laterit menggunakan
software Arcgis v 10.3.
2. Pengolahan data
Struktur Geologi
menggunakan Software
Georose V.9 dan Arcgis
V.10.3

Kontrol Struktur Geologi Terhadap Kadar Nikel Laterit


daerah IUP PT. Aneka Tambang (persero) Tbk.

Gambar 7. Diagram Alir Tahapan Penelitian


G. Jadwal Penelitian

Tabel 3. Rencana Kegiatan Penelitian


Januari Februari
Rencana
No. Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8

1 Studi Pustaka

Pengambilan
2
Data Lapangan

Pengolahan
3
Data

Pembuatan
4
skripsi

Keterangan :

= Sudah Berjalan

= Akan Berjalan
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, W, 2006, Fundamentals Of Chemistry, Mineralogy, Weathering


Processes, And Laterites Formations, PT. INCO. 212 hal.
Bateman, A. M., and Jensen, M. L., 1981, Economic Mineral Deposits, John
Willey & Sons Inc., New York 593 p.
Bish, D. L. and G.W. Brindley, 1978, Deweylites, mixtures of poorly crystalline
hydrous serpentine and talc-like minerals. Mineral. Mag., 42, 75-80.
.Boldt, J.R., 1967, The Winning of Nickel, The Hunter Rose Company, Longmans,
Canada.
Brand, N.W., Butt, C.R.M and Elias, M. 1998. Nickel laterites: classification and
features: AGSO Journal of Australian Geology and Geophysics, 17(4):
81-88.
Brown and Wagler, 1967, Rock Characterization Testing And Monitoring, ISRM
Suggested Methods, Published For The Commission On Testing
Methods, International Society For Rock Mechanics, Pergamon Press.
Burger, P.A., 1996, Origins and Characteristics of Lateritic Deposits In:
Proceeding Nickel, 96. pp 179-183. The Australasian Institute of
Mining and Metallurgi. Melbourne
Butt, C.R.M ., 1975, Nickel laterites and bauxites. CSIRO Australia, Division of
Mineralogy, Perth. Report FP 12,34pp.
Dalvi, A.D., Bacon, W.G., dan Osborn, R.C. 2004. The Past and The Future of
Nikel Laterite. Canada: Inco Limited.
Elias, M. 2001, Nickel Laterite Deposits – Geological Overview, Resources and
Exploitation. Australia: CSA Australia.
Faust, G.T., 1966, The hydrous nickel magnesium silicates–the garnierite group.
Am. Mineral., 51, 33-36.
Goligthly, P.J., 1979, Nikeliferous Laterite: A General Description. International
Laterite Symposium, Canada: Inco Metals Company.
Hasanuddin, D., Arifin Karim dan Apud Djajuli, 1992, Pemantauan Teknologi
Penambangan Bijih, Dirjen Pertambangan Umum, PPTM, Bandung.
Krauskopf, K. B., and Bird, D.K., 1995, Introduction to Geochemistry, 3rd
Edition, McGraw-Hill, Inc., New York.
M. Sompotan, Armstrong, 2012, Struktur Geologi Sulawesi, Perpustakaan sains
kebumian institusi teknologi bandung, 2012.
Ollier, C.D., 1969, Weathering, Geomorphology Text 2, Pliver & Boyd,
Edinburgh.
Pearl, R.M., 1988, Geology, 4rd Edition, A Division of Harper And Row,
Publisher, New York, Hagerstown, San Francisco, London.
Surono, 2010, Geologi Lengan Tenggara. Badan Geologi. Bandung.
Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Waheed, 2002, Nickel Laterites - A Short Course On The Chemistry, Mineralogy
And Formation of Nickel Laterites, PT. Inco, Indonesia (Unpublished).

Anda mungkin juga menyukai