Anda di halaman 1dari 17

KARAKTERISTIK FISIK DAN FUNGSIONAL

TEPUNG LABU KUNING LA3 DESA TEGALREJO, KECAMATAN


TEGALSARI, KABUPATEN BANYUWANGI

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
Indri Mar’atus Sholeha
NIM. 161710101017

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan pola hidup masyarakat menyebabkan perubahan pola makan.
Modern ini, beberapa pangan alternatif mulai dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan dan permintaan masyarakat. Sebagai negara agraris dengan hasil
pertanian yang beragam, banyak inovasi yang dikembangkan sehingga tercipta
pangan baru yang digemari masyarakat. Belakangan, labu kuning menjadi salah
satu produk hasil pertanian yang mulai dikembangkan sebagai bahan pangan
alternatif. Labu kuning merupakan tanaman semusim, dimana akan langsung mati
setelah berbuah. Labu kuning sudah banyak di budidayakan di berbagai negara
seperti Amerika, Afrika, India dan Cina (Yuliani, dkk., 2004). Di Indonesia,
beberapa jenis labu kuning varietas lokal juga mulai dikembangkan, beberapa
diantaranya yaitu jenis bokor (cerme), klenting, dan ular (Hendrasty, 2003).
Labu kuning memiliki ciri khas warnanya yang berwarna kuning-
kemerahan. Warna kuning kemerahan ini menunjukkan bahwa labu kuning
mengandung komponen karotenoid, lebih tepatnya beta-karoten. Suarni (2009)
menyebutkan bahwa kandungan beta-karoten pada labu kuning mencapai 1187,23
µg/g. Selain kandungan beta-karoten yang cukup tinggi, labu kuning juga
mengandung beberapa komponen lain seperti flavonoid, vitamin C, vitamin E, serta
komponen mineral lain (Fu, dkk., 2006). Kandungan gizi yang cukup tinggi inilah
yang membuat labu kuning mulai dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif.
Perkembangan pemanfaatan labu kuning ini juga didukung oleh
produksinya sangat besar di Indonesia. Produksi labu kuning yang dilaporkan
mengalami peningkatan di tiap tahunnya. Berdasarkan data Departemen Pertanian
RI (2012), produksi labu kuning pada tahun 2011 mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya sebanyak 24,2% dengan produksi mencapai 428.179 ton.
produksi yang cukup tinggi ini juga disebabkan oleh mudahnya tanaman labu
kuning untuk tumbuh, tidak perlu lokasi khusus untuk menanam tanaman ini
(Suprapti, 2005).
Terlepas dari ketersediaan yang melimpah, pemanfaatan labu kuning masih
belum sesuai dengan ketersediaannya. Desa Tegalrejo, Kabupaten Banyuwangi
merupakan salah satu daerah penghasil labu kuning. Labu kuning yang dihasilkan
desa ini merupakan labu kuning hasil persilangan yang sebut sebagai labu kuning
LA3. Pemaanfaatan labu kuning LA3 di Desa Tegalrejo sebagai desa penghasil
labu kuning LA3 masih tergolong kurang. Pemanfaatannya hanya sebatas
pengambilan biji untuk dijual sebagai benih (Fauzi, dkk., 2017). Sementara, daging
buah yang sangat melimpah akan dibuang dan menjadi limbah. Pemanfaatan skala
rumah tangga tentu ada, seperti pembuatan keripik maupun dodol akan tetapi
jumlah daging buah yang dimanfaatkan masih sangat rendah jika dibandingkan
dengan produksinya.
Limbah daging buah labu kuning LA3 dapat dimanfaatkan sebagai pangan
alternatif mengingat kandungan gizinya yang cukup tinggi. Akan tetapi, daging
buah yang tersisa setelah diambil bijinya akan mudah membusuk sehingga masa
simpannya tidak akan lama. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memperpanjang umur simpan labu kuning yaitu dengan dilakukan proses
penepungan. Penepungan berfungsi untuk mengurangi kadar air sehingga
memperpanjang masa simpan serta mempermudah untuk pengolahannya. Belum
diketahuinya pengaruh penepungan terhadap karakteristik fisik dan fungsional labu
kuning LA3 membuat penelitian ini perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Labu kuning LA3 merupakan salah satu jenis labu kuning hasil persilangan
yang keberadaannya melimpah. Labu kuning jenis ini sejauh ini hanya
dimanfaatkan bijinya sementara daging buah kebanyakan dibuang atau dijadikan
pakan ternak. Keadaan tersebut membuat labu kuning jenis ini jarang sekali ditemui
dipasaran. Keterbatasan informasi mengenai labu kuning jenis ini menjadi dasar
penelitian ini dilaksanakan. Karakteristik fisik dan fungsional dari tepung kuning
LA3 perlu dilaporkan sebagai dasar pengembangan produk berbasis labu kuning
LA3 .
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini sebagai berikut:
1. Menganalisa sifat fisik tepung labu kuning LA3
2. Menganalisa sifat fungsional labu kuning LA3

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu:
1. Dapat diketahuinya sifat fisik dan fungsional labu kuning LA3
2. Dapat dikembangkan produk berbahan dasar labu kuning LA3
3. Dapat memberikan informasi dasar mengenai tepung labu kuning LA3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Kuning


Labu kuning atau biasa disebut dengan waluh (dalam bahasa jawa) atau
pumkin (inggris), merupakan jenis sayuran berbentuk lonjong atau bulat dan
memiliki warna kuning kemerahan. Bagian tengah buah terdapat biji yang
diselimuti lendir dan serat. Biji waluh berbentuk pipih dengan ujung runcing
(Hendrasty, 2003).
Beberapa varietas labu kuning lokal yang tumbuh dengan baik di Indonesia
antara lain jenis bokor atau cerme, kelenting dan ular. Masing-masing varietas
memiliki karakteristik berbeda (Suprapti, 2005).
Tabel 2.1 Varietas waluh lokal
No Varietas Karakteristik
1 Bokor atau cerme Buah bulat pipih
Batang bersulur panjang (3-5 m)
Daging buah berwarna kuning, tebal,
bertekstur halus dan padat, rasa gurih dan
manis
Berat buah 4-5 kg atau lebih
2 Kelenting Buah bulat panjang atau lonjong
Kulit berwarna kuning
Daging buah berwarna kuning
Panjang sulur 3-5 m
Berat buah 2-5 kg
Umut panen 4,5-6 bulan
3 Ular Buah panjang ramping
Daging kuning
Rasa buah kurang enak
Berat buah 1-3 kg
Sumber : Suprapti (2005)
Kandungan gizi yang terkandung dalam labu kuning cukup tinggi,
diantaranya fosfor 64,0 mg, vitamin A 180 mg, serta vitamin C 52 mg. Selain itu,
dalam 100 gram labu kuning mengandung energi sebesar 32 kkal, protein 1,1 gram,
karbohidrat 6,6 gram, dan lemak 0,1 gram (Rukmana, 1997). Kandungan vitamin
A pada labu kuning tergolong tinggi. Labu kuning mengandung karetonoid
utamanya beta-karoten yang sangat tinggi yaitu 180 SI atau sekitar 1000—1300
IU/100g bahan (Hendrasty, 2003).
Tabel 2.2 kandungan gizi daging buah labu kuning (per 100 gram)
No Unsur Gizi Kadar
1 Energi (kal.) 29
2 Air (g) 91,2
3 Protein (g) 1,1
4 Lemak (g) 0.3
5 Karbohidrat (g) 6,6
6 Kalsium (mg) 45
7 Fosfor (mg) 64
8 Zat besi (mg) 1,4
9 Vitamin A (SI) 180
10 Vitamin B (mg) 0,08
11 Vitamin C (mg) 52
12 Bagian yang dapat dimakan (%) 77
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, jakarta (1996)

2.2 Tepung Labu Kuning


Tepung labu kuning didefiniskan sebagai butiran halus yang lolos ayakan
60 mesh, memiliki warna putih kekuningan dengan aroma khas labu kuning. Kadar
air tepung labu kuning berkisar sekitar 13%. Karakteristik tepung yang dihasilkan
dari penggunaan labu kuning berbeda tergantung pada umur labu kuning yang
digunakan. (Hendrasty, 2003).
Tepung labu kuning memiliki daya simpan lumayan lama, namun karena
sifatnya yang higroskopis, penyimpanan tepung labu kuning harus dilakukan
dengan benar. Tepung harus disimpan di tempat kedap udara dan kondisi kering.
Dengan penyimpanan yang sesuai, tepung labu kuning bisa disimpan selama
kurang lebih dua bulan (Hendrasty, 2003).
Tepung labu kuning dapat di manfaatkan sebagai bahan substitusi dalam
pembuatan kue dan bakeri. Tepung labu kuning juga dapat diguanakan sebagai
campuran makan bayi karena kandungan gizinya (Hendrasty, 2003).

2.3 Karakteristik Fungsional


Sifat fungsional bahan pangan merupakan sifat yang terdapat pada bahan
pangan kecuali sifat gizinya, berperan dalam pengolahan dan dipengaruhi oleh sifat
fisik dan kimia bahan (Awwaly,2017).
2.3.1 Oil Holding Capacity
Oil Holding Capacity (OHC) atau daya ikat minyak/lemak merupakan
kemampuan protein untuk mengikat lemak. Dihitung sebagai jumlah air yang dapat
diserap per berat protein. Sifat ini cukup penting untuk dimiliki untuk penerapan
seperti butter, flavor dan emulsi. Komponen asam amino nonpolar yang cukup
tinggi pada protein bahan sangat penting untuk membentuk ikatan hidrokarbon
yang nantinya akan berdampak pada tingginya nilai OHC. Daya ikat minyak/lemak
ini sangat dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran dan konsentrasi, jumlah asam
amino polar, metode pengolahan, dan interaksi antara lipid-protein (Aryee, dkk.,
2018).
2.3.2 Water Holding Capacity
Water holding capacity (WHC) atau daya ikat air atau daya serap air
diartikan sebagai jumlah air yang dapat di serap atau ditahan per gram protein.
WHC berkaitan dengan interaksi antar molekul protein dengan air dan pelarut
lainnya (Aryee, dkk., 2018). Penentuan daya ikat air dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu menghitung jumlah air yang keluar atau lepas dari sampel menggunakan
gaya sentrifugasi atau tekanan, yang kedua yaitu mengukur jumlah air dapat terikat
dalam sampel dengan adanya penambahan air (Sikorski, 2001).
2.3.3 Daya Emulsi dan Daya Buih
Daya emulsi dan daya buih (foaming) merupakan salah satu sifat penting
protein dalam pengolahan makanan. Penerapannya sudah cukup umum utamanya
dalam ice cream, industri minuman, margarin dan banyak lagi (Lam dan Nickerson,
2013). Emulsi (ikatan minyak-air) dan buih (ikatan udara-air) dapat terbentuk
ketika butir minyak terdispersi dalam media cair. Sifat emulsi diukur dalam
emulsifying activity indeks (EAI) dan emulsifying stability index (ESI). EAI dihitung
sebagai jumlah minyak yang dapat teremulsi per unit protein, sementara ESI
dihitung sebagai stabilitas emulsi dalam wakktu yang ditentukan. Daya buih
dihitung berdasarkan penambahan jumlah buih, kapasitas dan stabilitasnya (Aryee,
dkk., 2018).
2.3.5 Kekuatan Gel
Kekuatan gel dalam industri makanan berperan penting dalam pembentukan
tekstur dan elastisitas produk yang dihasilkan. Pembentukan gel melibatkan
pemutusan rantai protein (protein unfolding) yang menyebabkan terbukanya asam
amino hidrofobik. Selanjutnya, molekul yang lepas akan terbentuk kembali,
berikatan dengan adanya jembatan disulfida, ikatan hidrogen, hidrofobik, dan/atau
gaya van der waals (Aryee, dkk., 2018). Kemampuan gelasi diukur dengan
banyaknya gelasi yang terjadi. Pada protein, proses gelasi dapat dipicu
menggunakan sumber panas (Nieto, dkk., 2016).
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kalibrasi Universitas
Jember, Laboratorium Rekayasa Proses Hasil Pertanian (RPHP) dan Laboratorium
Kimia dan Biokimia Pangan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember. Penelitian akan dilaksanakan
pada bulan Desember 2019 sampai selesai.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi labu kuning LA3 yang
diperoleh dari beberapa lahan berbeda di Desa Tegalrejo, Kecamatan Tegalsari,
Kabupaten Banyuwangi. Bahan kimia yang digunakan dalam analisa meliputi
alumunium foil, aquades, gliserol, buffer phospat 0,05 M, SDS 0,1% dan minyak
goreng.
3.2.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan untuk
pembuatan tepung dan peralatan untuk analisis. Peralatan yang digunakan dalam
pembuatan tepung meliputi baskom, mesin penggiling, ayakan tyler 80 mesh dan
oven pengering. Peralatan yang digunakan dalam analisa meliputi alat gelas, gelas
ukur, pipet tetes, colour reader, magnetic stirrer, texture analyzer, sentrifuge,
waterbath, neraca analitik, pH meter, vortex.

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dua faktor. Faktor pada penelitian ini yaitu lama waktu peram labu yang
terdiri dari waktu peram 2 minggu dan 2 bulan, serta lokasi tanam labu yang terdiri
dari 3 lahan berbeda di Desa Tegalrejo, Kecamatan Tegalsari, Kabupaten
Banyuwangi. Setiap perlakuan dilakukan 3 kali pengulangan.
3.3.2 Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yaitu penepungan labu kuning
LA3 dan analisa sampel.
a. Penepungan Labu Kuning LA3
Proses penepungan labu kuning LA3 diawali dengan pengupasan labu
kuning LA3 serta pembuangan biji dan plasenta. Labu yang telah bersih kemudian
dilakukan pembentukan chips menggunakan mesin chipper. Chips selanjutnya di
keringkan dibawah sinar matahari sekitar 1-2 hari hingga permukaan chips kering.
Pengeringan chips dilanjutkan dengan pengeringan mekanik menggunakan oven
dengan suhu ±50⁰C sampai chips benar-benar kering atau bisa dengan mudah di
patahkan. Chips kering selanjutnya digiling untuk dihasilkan tepung. Diagram alir
penepungan dapat dilihat pada gambar 3.1.
Labu kuning LA3

Kulit, Plasenta,
Pembersihan
dan biji

Pengecilan ukuran

Chips labu

Pengeringan sinar
matahari, 1-2 hari

Pengeringan menggunakan
oven, ±50⁰C

Chips kering

Penepungan

Tepung labu
kuning LA3

Gambar 3.1 Pembuatan tepung Labu Kuning LA3


b. Penentuan sifat fisik dan fungsional labu kuning LA3
Labu kuning LA3 yang sudah dipanen selanjutnya dilakukan proses
penyimpanan selama dua minggu dan dua bulan, penyimpanan ini berdasarkan
kegiatan dilapang bahwasannya labu sebelum di ambil bijinya akan di simpan
selama dua minggu dan penyimpanan maksimal labu sebelum di kupas yaitu dua
bulan. Selanjutnya labu di tepungkan untuk dilakukan pengujian fisik meliputi
warna, sudut curah dan massa jenis, serta dilakukan pengujian sifat fungsional
meliputi water holding capacity, oil holding capacity, kekuatan gel, daya buih dan
stabilitas, serta daya emulsi dan stabilitas.

3.4 Parameter Pengamatan


Parapmeter pengamatan dalam penelitian ini, meliputi:
1. Karakteristik Fisik
a. Warna
b. Massa jenis
c. Sudut curah
2. Karakteristik Fungsional
a. Water Holding Capacity (WHC) (Clunies, dkk., 1986)
b. Oil Holding Capacity (OHC) (Clunies, dkk., 1986)
c. Kekuatan Gel (British Standart, 1975)
d. Daya Buih dan Stabilitas (Subagio, dkk., 2003)
e. Daya Emulsi dan Stabilitas (Parkington, dkk., 2000)

3.5 Prosedur Analisis


3.5.1 Analisa Fisik
a. Warna (Hutching, 1999)
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat colour reader.
Prinsip alat tersebut yaitu pengukuran perbedaan warna berdasarkan pantulan
cahaya oleh permukaan sampel dengan pembacaan dilakukan pada 6 titik. Alat
diletakkan tegak lurus pada sampel kemudian tekan tombol “tager” maka akan
muncul nilai pada layar (L, a, b). Notasi L menyatakan tingkat kecerahan (light).
Rumus : standart L + dL
b. Massa Jenis
Pengukuran massa jenis dilakukan berdasarkan prinsip Archimedes.
Sebanyak 5 gram tepung dimasukkan kedalam gelas ukur yang terisi 50 ml air.
Selisih volume pada gelas ukur dianggap sebagai volume tepung. Selanjutnya
dilakukan perhitungan berdasarkan rumus:
ρ = m/v
keterangan:
ρ = massa jenis (g/ml)
m = massa tepung labu (g)
v = volume tepung (ml)
c. Sudut curah
Sudut curah merupakan sudut dari bahan yang di curahkan dari bidang datar
sehingga terbentuk gundukan berbentuk kerucut. Sejumlah bahan di curahkan dari
ketinggian 30 cm sehingga terbentuk gundukan berbentuk kerucut. Nilai sudut
dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kadar air dan orientas bahan. Sumus yang
digunakan untuk mengukur sudut curah, sebagai berikut :
tg ɑ = t/0,5 =2 t/d

3.5.2 Analisa Fungsional


a. Water Holding Capacity (WHC) (Clunies, dkk., 1986)
Analisa water holding capacity dilakukan dengan menimbang sebanyak 2,5
gram sampel. kemudian sampel dilarutkan dalam 5 mL aquades. Suspensi
kemudian disimpan dalam suhu ruang selama 15 menit dengan dilakukan
pengocokan setiap 5 menit. Selanjutnya suspensi di sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Nilai WHC dihitung menggunakan rumus :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑙
WHC = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑥 100%

b. Oil Holding Capacity (OHC) (Clunies, dkk., 1986)


Analisa oil holding capacity dilakukan dengan menimbang sebanyak 2,5
gram sampel. kemudian sampel dilarutkan dalam 25 mL gliserol. Suspensi
kemudian disimpan dalam suhu ruang selama 15 menit dengan dilakukan
pengocokan setiap 5 menit. Selanjutnya suspensi di sentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Volume gliserol yang terpisah diukur sebagai berikut
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)
OHC = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝑔𝑟𝑎𝑚)

c. Kekuatan Gel (British Standart, 1975)


Kekuatan gel diukur dengan menimbang 3,32 gram sampel kemudian
dilarutkan dalam 50 mL aquades. Larutan di aduk menggunakan magetic stirrer
suhu 60⁰C selama 15 menit. Selanjutnya larutan di tuang dalam beaker glass dan
ditutup alumunium foil untuk kemudian dinkubasi selama 18 jam suhu 10⁰C.
Selanjutnya sampel diukur menggunakan texture analyzer.

d. Daya Buih dan Stabilitas (Subagio, dkk., 2003)


Pengukuran daya buih dan stabilitas buih dilakukan dengan menimbang
sebanyak 0,1 gram sampel, kemudian di tambahkan 25 mL Buffer phospat 0,05 M
pH 7. Sampel kemudian di vortex untuk menghomogenkan. Sampel kemudian
diletakkan dalam beaker glas dan di catat volumenya. Kemudian dilakukan
pembentukan buih dengan pemberian gelembung gas yang dihasilkan aerator
selama 1 menit dan dilakukan pencatatan volume buih. Selanjutnya di diamkan 2
menit dan catat kembali volume akhir.
𝑉𝑜𝑙.𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖−𝑣𝑜𝑙.𝑎𝑤𝑎𝑙
Daya Buih = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑉𝑜𝑙. 𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑏𝑢𝑖ℎ
Stabilitas Buih = 𝑥 100%
𝑉𝑜𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙

e. Daya Emulsi dan Stabilitas (Parkington, dkk., 2000)


Pada analisa daya emulsi dan stabilitas sampel ditimbang sebanyak 0,1 gram
dan ditambahkan 10 ml buffer phospat 0,05 M pH7. Sampel dihomogenkan
kemudian ditambahkan 2,5 mL minyak goreng dan dihomogenkan kembali. Untuk
pengukuran daya emulsi, sampel diambil 1 mL. Sedangkan untuk pengukuran
stabilitas emulsi, sampel di diamkan selama 5 menit dan 10 menit kemudian diambil
pada bagian bawah sampel. masing-masing sampel kemudian ditambahkan dengan
5 mL larutan SDS 0,1% dan di vortex. Kemudian dilakukan pengukuran nilai
adsorbansi 500nm. Selanjutnya daya emulsi dan stabilitas dihitung menggunakan
rumus:
2 𝑥 2,303 𝑥 𝑎𝑏𝑠 𝑥 𝑑𝑖𝑙𝑢𝑠𝑖
EAI = 𝑐𝑥 (1−∅)𝑥104

Keterangan : EAI = Emulsifying Activity Index (g/ml)


c = konsentrasi protein (g/ml)
∅ = fraksi volume minyak (ml/ml) dari emulsi
Abs = absorbansi
Dilusi = fraksi larutan (SDS + emulsi)

𝑇 𝑥 ∆𝑡
ESI = ∆𝑇

Keterangan : ESI = Emulsifying Stability Index (jam)


T = Turbiditas pada waktu 0 jam
∆𝑡 = Selisih waktu yang akan dihitung
∆𝑇 = Selisih turbiditas

3.6 Analisa Data


Data yang didapatkan akan dianalisa menggunakan uji sidik ragam
(ANOVA) p<0,005. Apabila terdapat beda nyata maka akan dilanjutkan dengan uji
Duncan New Multiple Test (DNMRT).
DAFTAR PUSTAKA

Aryee, A., Aggyei, D., Udenigwe, C. 2018. Impact of Processing on the Chemistry
and Functionality of Food Protein. Protein in Food Processing, Elsevier Ltd.
Awwaly, K. 2017 . Protein Pangan Hasil Ternak dan Aplikasinya. Malang : UB
Press.
British Standart. 1975. Sampling and testng of gelatin.
Clunies, E., Kakuda, Y., Mulen, K., Arnott D.R., dan de Man. 1986. Physical
Properties of Yogurt : A Comparison of Vat Versus Continous Heating
System Of Milk. Journal of Dairy Cience (69) : 2593-2603.)
Departemen Pertanian RI (2012),
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
Fauzi, M., Diniyah, N., Rusdianto, A., dan Kuliahsari, D. E. 2017. Penggunaan
Vitamin C dan Suhu Pengeringan pada Pembuatan Chip (Irisan Kering) Labu
Kuning LA3 (Cucurbita moschata). Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian
Vol. 14 No. 2 : 108-115.
Fu, CL., Shi, H., dan Li, QH.., 2006. Areview on Pharmalogical Activities and
Utilizatioin Technologies of Pumpkin. Plant Foods Hum Nutrition (61) :70-
71
Hendrasty, H. K. 2003. Tepung Labu Kuning. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Hutching. 1999. Food Color and Appearance. Marylan : Aspen Pubisher Inc.
Nieto-Nieto, T.V., Wang, Y.X., Oozimek, L., dan Chen, L. 2016. Improved
Thermal Gelation of Oat Protein with the Formation of Controlled Phase-
Separated Networks Using Dextrin and Carrageenan Polysaccharides. Food
Res. Int. (82) : 95-103.
Parkington, Ciong, Y., Blanchard, S.P., dan Froning., G.W. 2000. Chemical and
Functional Properties of Oxidatively Modified Beef Heart Surimi Stored at
20⁰C. Journal od Food Science 65(3) :428-433.
Rukmana. 19997. Budidaya Waluh. Yogyakarta : Kanisius.
Sikorski, Z. 2001. Chemical and Functional Properties of Food Protein.
Pennysilvania: Technomic Publishing Co.Inc.
Suarni. 2009. Potensi Kandungan Senyawa ß-Karoten Beberapa Komoditi Sebagai
Sumber Vitamin A. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi
Pertanian Lahan Marginal. Jakarta.
Subagio, A., W.S. Windrati dan Y. Witono, 2003. Development of functional
proteins from some localnon-oilseed legumes as food additives. Proceeding
of ITSF Seminar on Science and Technology, Indonesia Toray Science
Foundation, pp : 1-10
Suprapti, L. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Awetan Kering dan Dodol Waluh.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Yuliani, S. Purwani, Usmiati, S., dan Setiyanto. 2004. Pengembangan Teknologi
Pengolahan Pangan Berbasis Sagu, Sukun, dan Labu Kuning : Kegiatan
Penelitian Pengembangan Teknologi Berbasis Labu Kuning. Laporan akhir.
Badan Litbang Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai