Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN (SCI)


SPINAL CORD INJURY (SPONDILITIS TUBERKULOSIS)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Program Profesi Ners Keperawatan Rehabilitasi di Gedung
Prof. Dr. Soelarto Lantai 4 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

Disusun Oleh:
RENDY HIMAWAN

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/ 1441 H

0
SPINAL CORD INJURY

A. Definisi Spinal Cord Injury


Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari
kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina, yang
menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung kemih sementara atau
permanen (Oteir et al, 2014). SCI adalah keadaan yang diakibatkan oleh trauma ataupun
nontraumatik yang menyebabkan adanya keterbatasan dalam perawatan diri, bergerak
dan beraktivitas sehari-hari (Sayılır, Erso¨z and Yalc¸ın, 2013). Kelainan motorik yang
timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik
berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh
level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada
fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual (Dewanto, dkk, 2007).

B. Klasifikasi Spinal Cord Injury


American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan
standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis.
Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP
dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif.
1. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
a. Klasifikasi Frankel
1) Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
2) Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
3) Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
4) Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
5) Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
b. Klasifikasi menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
1) Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5. Motoris (-), sensoris (-)
termasuk pada segmen sacral
2) Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen
S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik. Hanya
sensoris (+), motorik (-) sampai segmen sakral S4-5
1
3) Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari 3. Motoris (+)
dengan kekuatan otot < 3
4) Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3. Motoris (+)
dengan kekuatan otot > 3
5) Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal. Motoris dan sensoris
normal
2. Klasifikasi berdasarkan Lokasi Cedera
a. Cedera Servikal
1) Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada
gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Kehilangan sensori
pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada tetraplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan terhadap ventilator mekanis dan tergantung semua aktivitas
kebutuhan sehari-harinya. Tetraplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan
ventilator mekanis tetapi dapat dilepas.
2) Pada C5 medulla spinalis, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema
pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernafasan. Tetraplegia pada C5 biasanya mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut,
mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih
baik
3) Pada C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema
asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan.
Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri,
bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju
4) Pada C7, memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi
otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika
kerja refleks kembali. Tetraplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan

2
melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan
rumah yang ringan dan memasak
5) Pada C8, hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi
duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi
duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.Tetraplegia C8 harus mampu
hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian,
mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri
b. Cedera Thorakal
1) Pada T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi
postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici,
interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan,
nyeri, dan suhu
2) Pada T6-T12 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke
bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat a12, semua
refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien
dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas atas
kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
a) T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
b) T3 Aksilla
c) T5 Putting susu
d) T6 Prosesus xifoid
e) T7, T8 Margin kostal bawah
f) T10 Umbilikus
g) T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
1) L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang
dari bokong
2) L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
3) L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
4) L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha

3
5) L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area
sadel
d. Cedera Saccral
Pada S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari
S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area
sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior
paha

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas:
a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Tetraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena
kerusakan pada segment cervikal.
Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1) Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya:
a. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat
extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical
akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi
dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan,
fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah
lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh
sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu
cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus
respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara
maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
4
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan
darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah.
Problem ini timbul pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak
atau perubahan posisi tubuh yang terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang
bed rest lama dan endurancenya menurun.
2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik,
vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik,
vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/
motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3) Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien menurun
dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom.
Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan
aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti
kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi
rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi
mendadak, berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level
lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
(Teufack, 2012)

C. Etiologi Spinal Cord Injury


Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

5
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit
motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical
Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine,
cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan. (Setiawan & Iwan, 2010)

D. Manifestasi Klinis Spinal Cord Injury


Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada daerah
yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang
menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot
atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh,
tergantung dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya
medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan
hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula
spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa
hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian
menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang
seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot
tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa
minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter
(tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). (Setiawan & Iwan, 2010)
Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan
kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan
refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan
meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya

6
refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan
jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan.
(Setiawan & Iwan, 2010)
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks
hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga
dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta
fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang
mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
(disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.
(Setiawan & Iwan, 2010)
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi
yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian
tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks
autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah
cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana
aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan
cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang
lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang
timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi
akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus,
biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan
timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di samping itu juga masih ada
gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan
gangguan fungsi pernapasan. (Setiawan & Iwan, 2010)
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu :
a. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.
b. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek
tendon myotome.
c. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic blader
dan bowel.
d. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.

7
e. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk,
Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
f. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan hipotensi.
g. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya
disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan
mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m.
intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu
mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi
setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya
yaitu efektifitas kinerja otot pernafasan menurun. (Setiawan & Iwan, 2010)

E. Diagnosis Spinal Cord Injury


1. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma. Deteksi awal
cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa (sequele) pada fungsi
neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera medula spinalis harus dilakukan
imobilisasi dengan menggunakan collar servikal (collar brace) dan papan
(backboards). Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan
penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya
ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi hipotensi
yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada jantung saat terjadi
cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik. Hilangnya inervasi simpatik
juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai sekuestrasi cairan abdomen, distensi
kandung kemih, dan hipotermi. (Weiss, 2010)
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang tidak
stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen). Resusitasi terhadap
hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika pasien sadar, riwayat kejadian
harus ditanyakan, termasuk mekanisme terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala
neurologik lain yang timbul. Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan.
Sakit kepala hebat, terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur
odontoid atau hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada
pasien dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas.
Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan tangannya

8
sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus dievaluasi pada lengan dan
kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat membantu pemeriksa mengetahui
letak lesi. (Weiss, 2010)
Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen bagian
bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek kremasterika
(kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang diberikan di paha medial)
menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya reflek bulbokavernosus
(kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi pada penis atau klitoris atau
dengan menurunkan tekanan trigonum bladder dengan balon kateter foley ketika
kateter secara gentle ditarik keluar) menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik
sacral masih berfungsi. Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal
atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan
wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit. (Weiss, 2010)
Jika pasien perlu dipindahkan, maka harus menggunakan tekhnik fireman’s carry
atau log-roll, yaitu dibutuhkan minimal tiga orang pada masing-masing sisi dengan
orang keempat yang memimpin gerakan sekaligus mempertahankan posisi kepala
dengan traksi aksial secara gentle (4-7 kg) menggunakan satu tangan pada dagu (chin)
dan tangan lainnya pada oksiput. (Weiss, 2010)
2. Pemeriksaan Reflex Bulbo Cavernous
Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan kontraksi dari
otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik atau glans penis
dikompresi. Juga disebut refleks penis. Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah
salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks
ini merupakan refleks polysynaptic yang berguna selain untuk mengetahui adanya
syok spinal juga memperoleh informasi tentang adanya cedera sumsum tulang
belakang / Spinal Cord Injury (SCI). Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter
anal sebagai respon terhadap gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau
tertariknya kateter Foley. Refleks ini dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4.
(Weiss, 2010)
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral menunjukkan
syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang kembali setelah syok
spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik setelah refleks telah kembali

9
menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam
kasus di mana syok tulang belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau
cedera medullaris konus atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah
awal untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut
"Bulbospongiosus refleks". (Weiss, 2010)
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera
komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan
dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera
pada conus medullaris atau cauda equina. Jika refleks telah kembali tapi masih ada
kurangnya fungsi sensorik dan motorik maka ini hanya menunjukkan Spinal Cord
Injury komplit. Jika syok spinal tidak terlibat, belum ada atau tidak adanya refleks ini
maka bisa mengindikasikan cedera akar saraf sakral. Hal ini juga dapat diuji secara
electrophysiologik melalui ransangan listrik pada penis dan rekaman dari kontraksi
anus. Tes ini biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi jika ada motor atau fungsi
sensorik dari akar sakral dan di medullaris konus. (Weiss, 2010)
Syok spinal biasanya berlangsung 48 jam dan pengakhiran shock spinal sinyal itu
datang belakang bulbokavernosus refleks. Tetapi harus diingat bahwa shock spinal
tidak diamati pada cedera yang terjadi di bawah lesi injurynya. Karena ini tidak
menyebabkan shock spinal sehingga tidak adanya refleks bulbokavernosus
menunjukkan adanya cedera cauda equina atau cedera conus medullaris.
Berikut ini adalah kegunaan memeriksa refleks bulbocavernosus:
 Bulbocaverosus refleks menunjuk pada kontraksi sfingter anal sebagai respon
terhadap meremas pada glans penis atau menarik pada Foley kateter
 Refleks mencakup S-1, S-2, dan S-3 akar saraf dan lengkung refleks sumsum
tulang belakang yang dimediasi;
 Setelah trauma tulang belakang, ada atau tidak adanya refleks ini membawa
makna prognostik yang signifikan
 Periode syok spinal biasanya sembuh dalam waktu 48 jam dan kembalinya BCR
menandai berakhirnya shock spinal itu sendiri.
 Syok spinal tidak terjadi untuk lesi yang terjadi di bawah spinal cord, dan
karenanya, fraktur daerah lumbal bagian bawah seharusnya tidak menyebabkan
spinal syok (dan dalam situasi ini, tidak adanya refleks bulbocaveronsus
menunjukkan bahwa adanya cauda equina syndrome

10
 Hilangnya refleks persisten bulbokavernosus mungkin akibat dari conus
medullary syndrome, misalnya berasal dari suatu Burst fracture V lumbal
3. Pemeriksaan Sacral Sparing
Sacral sparing diuji dengan sentuhan ringan dan sensasi pin di persimpangan
mukokutan anal (S4/5 dermatom), di kedua sisi, serta pengujian kontraksi anal dan
sensasi anal yang mendalam sebagai bagian dari pemeriksaan dubur. Jika ada salah
satu yang hadir, baik utuh atau gangguan, individual memiliki hasil sakral sparing (+)
dan karena cedera sumsum tulang belakang yang inkomplit. (Weiss, 2010)
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma
vertebra. Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk penilaian cepat
tentang kondisi tulang spinal. Foto lateral paling dapat memberikan informasi dan
harus dilakukan pemeriksaan terhadap alignment (kelurusan) dari aspek anterior
dan posterior yang berbatasan dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan
angulasi spinal di setiap level. Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang
bengkak biasanya merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau
ligamen yang rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat
menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan
luasnya pedikel yang rusak.Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah dan
torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto polos komplit
pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang menunjukkan adanya
proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang diduga mengalami trauma
servikal. Gambaran oblik dari servikal atau lumbal akan menunjukkan adanya
fraktur atau dislokasi.
b. Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal dapat
menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang tidak tampak
pada foto polos.
c. MRI memberikan gambaran yang sempurna dari vertebra, diskus, dan medula
spinalis serta merupakan prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera
medula spinalis. Kanalis yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau
rusaknya ligamen jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi
EDH atau kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah
yang mengalami iskemi.
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:
11
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis

F. Tata Laksana Spinal Cord Injury


Cedera pada tulang dan saraf spinalis sering terjadi bersamaan sehingga terapi
keduanya juga harus bersamaan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Pertama,
didapatkan riwayat cedera. Kedua, dilakukan perawatan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut (cedera sekunder) dan mendeteksi fungsi neurologik yang memburuk sehingga
dapat dilakukan tindakan koreksi. Ketiga, pasien dirawat hingga kondisi optimal supaya
memungkinkan dilakukan perbaikan dan penyembuhan sistem saraf. Keempat, evaluasi
dan rehabilitasi pasien harus dilakukan secara aktif untuk memaksimalkan fungsi yang
masih bertahan meskipun jaringan saraf tidak berfungsi. (Oteir, 2014)
1. Steroid Dosis Spinal
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan NASCIS-3,
pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis dapat diterapi
dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera medula spinalis.
Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kgBB secara IV dalam 8 jam, dan terutama
dalam 3 jam setelah cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kgBB
tiap 45 menit setelah pemberian pertama. Jika pasien mendapatkan bolus
metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut
menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian
metilprednisolon dalam 3 jam setelah cedera, maka pemberian infus prednisolon
diberikan selama 24 jam. Penelitian menunjukkan akan terjadi pemulihan motorik dan
sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien yang menerima
metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum jelas
kesepakatannya. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan luka
tembak atau cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun,
atau dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang
timbul pada cedera medula spinalis). (Oteir, 2014)
Bila terjadi spastisitas otot, berikan: Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen 3x5
Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara tradisional

12
digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang menyakitkan. Efek
samping sedasi dan pusing yang umum terjadi. (Oteir, 2014)
Bila ada rasa nyeri bisa diberikan: Analgetika golongan NSAIDs (anti inflamasi).
Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan untuk nyeri, namun
penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering terjadi efek samping yang
merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal. Antidepresan trisiklik: digunakan
dalam pengobatan nyeri kronik untuk mengurangi insomnia, dan juga mengurangi
sakit kepala. (Oteir, 2014)
2. Alat Ortotik
Alat ortotik eksternal yang rigid (kaku), dapat menstabilisasi spinal dengan cara
mengurangi range of motion (ROM) dan meminimalkan beban pada spinal. Pada
umumnya penggunaan cervical collars (colar brace) tidak adekuat untuk C1, C2 atau
servikotorak yang instabil. Cervicothoracic orthoses brace diatas torak dan leher,
meningkatkan stabilisasi daerah servikotorak. Minerva braces meningkatkan
stabilisasi servikal pada daerah diatas torak hingga dagu dan oksiput. Pemasangan alat
yang disebut halo-vest paling banyak memberikan stabilisasi servikal eksternal.
Empat buah pin di pasangkan pada skul (tengkorak kepala) untuk mengunci halo ring.
Stabilisasi lumbal juga dapat digunakan sebagai torakolumbal ortose. (Oteir, 2014)
Fiksasi skeletal dengan Gardner-Wells tongs atau halo traction dapat dilakukan di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau halter traction dapat digunakan sementara.
Thoraciter tractions anhald lumbar fractures dilakukan dengan mempertahankan
pasien pada posisi netral, log rol diperlukan untuk penatalaksanaan dalam merawat
kulit dan pulmonary. (Oteir, 2014)
3. Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama adalah untuk
dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit neurologis
inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil untuk yang hanya
dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk
pasien trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda
pemulihan, atau pada pasien yang mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa
defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan
terapi fisik. (Oteir, 2014)
Indikasi lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis
disertai dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya

13
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil
meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws dikombinasi
dengan bone fusion. (Oteir, 2014)
4. Perawatan Berkelanjutan
Sangat penting untuk melakukan pencegahan dan perawatan dari thrombosis vena
dalam, hiperfleksi autonomik dan pembentukan ulkus dekubitus. Banyak pasien
dengan cedera medula servikal atau torak tinggi membutuhkan bantuan ventilasi
sampai dinding dada cukup kuat untuk bernafas. Pasien dengan cedera medula
spinalis biasanya bernafas dengan menggunakan diafragma. Jika terjadi ileus paralitik
disertai distensi abdomen atau pasien tampak lemah maka ventilasi akan memburuk.
Pasien akan mengalami hipoksik, sehingga perlu diberikan intubasi atau ventilasi
mekanik. (Oteir, 2014)
Pasien dengan cedera medula servikal tinggi (diatas C4) seringkali membutuhkan
bantuan ventilasi permanen. Akibat hilangnya jalur simpatik medula spinalis, tekanan
darah menjadi rendah dan menyebabkan cedera sekunder. Tekanan darah arteri rata-
rata 85-90 mmHg harus dipertahankan selama 7 hari pertama setelah terjadinya
cedera medula spinalis untuk meningkatkan perfusi pada medula yang cedera. Jika
produksi urin tidak adekuat setelah pemasangan kateter, pasien dengan hipotensi
sedang akan merespon terhadap pemberian konstriktor seperti efedrin, akan tetapi hal
tersebut hanya boleh diberikan setelah dipastikan tidak ada perdarahan pada rongga
dada atau abdomen. (Oteir, 2014)

G. Komplikasi Spinal Cord Injury


1. Ulkus dekubitus: Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla
spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah pinggul
(ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera medulla spinalis tidak
hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga peredaran darah
ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
2. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis
akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap
sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika aktifitas
otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas menumpu berat
badan, maka mulai terjadi penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang
berkurang.
14
3. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah
Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada
10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai keadaan.
4. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam cedera
medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal
daripada pembuluh darah.
5. Cardiovasculer disease: Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko
jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
6. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla spinalis.
Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis. Kerusakan pada
daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri
pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain
atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya.
7. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah paralisis dari
otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena. Kerusakan dapat mengenai
traktus descending motorik, AHC, dan saraf spinalis, atau kombinasi dari
semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya
refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti
berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu
akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks.
8. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan
paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu
pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi
pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya
gangguan pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti
m. adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga
menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret.
9. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral. Selama fase
spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada
bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic
bladder berupa adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot
detrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak
adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan
15
sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah
dengan adanya lesi pada cauda equina.
10. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan
komplit atau inkompletnya trauma. Terdapat dua macam respon, reflekogenik atau
respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada penderita dengan lesi UMN dan
psikogenik, dimana timbul melalui aktifitas kognisi seperti fantasi, yang
berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria dengan level lesi yang tinggi dapat
mencapai refleksif ereksi, tapi bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia
dapat lebih cepat untuk ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada
kauda ekuina tidak memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
11. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester terakhir.
Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari hilangnya
sensasi, dan persalinan diawali dengan disrefleksia autonomik. (Batticaca, 2008)

16
SPONDILITIS TUBERKULOSIS

A. Definisi
Spondilitis TB adalah penyakit radang granulomatosa pada tulang belakang yang
bersifat kronik yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Spondilitis TB
dapat berasal dari infeksi langsung (primer), yaitu bakteri langsung menginfeksi korpus,
ataupun infeksi tidak langsung (sekunder), yaitu bakteri menyebar secara hematogen atau
limfogen dari lokasi infeksi di tempat lain ke korpus tulang belakang. Kebanyakan
spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari paruparu, tetapi pada beberapa kasus
merupakan infeksi primer. (Rahyussalim, 2018)

B. Klasifikasi
1. Berdasarkan Usia
Neonatus Anak (1- Remaja Dewasa Dewasa Tua (>60
(<1 th) 8 th) (>9-18 muda (>30-60 th)
th) (>18-30 th) th)
Keluhan Rewel, gerakan Rewel, nyeri tulang Nyeri tulang
protektif berkurang, belakang, gangguan belakang, gangguan
umumnya keluhan saraf seperti saraf seperti
disampaikan kelemahan tungkai, kelemahan tungkai,
keluarga, kelainan kelainan bentuk kelainan bentuk
bentuk tulang tulang belakang tulang belakang
belakang (asimetris, (bengkok & benjolan) (bengkok & benjolan)
bengkok & benjolan)
Anamnesis • Demam berulang • Demam berulang • Demam berulang
dalam fase tertentu > dalam fase tertentu > dalam fase tertentu >
3 bulan 3 bulan 3 bulan
• Nafsu makan • Nafsu makan • Nafsu makan
berkurang berkurang berkurang
• Ketidaknyamanan • Ketidaknyamanan • Ketidaknyamanan
pada posisi tertentu pada posisi tertentu pada posisi tertentu
dalam jangka waktu dalam jangka waktu > dalam jangka waktu >
> 3 bulan 3 bulan 3 bulan
• Ada abses, gibus, • Ada abses, gibus, • Ada abses, gibus,

17
hingga kelumpuhan hingga kelumpuhan hingga kelumpuhan
• Kelemahan tungkai • Kelemahan tungkai • Kelemahan tungkai
yang dirasakan yang dirasakan yang dirasakan
bertahap dalam bertahap dalam bertahap dalam
jangka waktu tertentu jangka waktu tertentu jangka waktu tertentu
> 3 bulan > 3 bulan > 3 bulan
Pemeriksaan • Ditemukan tanda-tanda infeksi • Ditemukan tanda-tanda infeksi
fisik dan inflamasi dan inflamasi
• Tidak selalu disertai gizi buruk • Tidak selalu disertai gizi buruk
• Ada abses, gibus, hingga • Ada abses, gibus, hingga
kelumpuhan yang sesuai tingkat kelumpuhan yang sesuai tingkat
keparahan dan lama kejadian keparahan dan lama kejadian
Pemeriksaan Sinar-X, laboratorium (LED dan Sinar-X, MRI, laboratorium (LED
penunjang CRP), mikrobiologi (BKP), dan dan CRP), mikrobiologi (BKP),
histopatologi dan histopatologi
Pendekatan Konservatif: OAT Konservatif: OAT Konservatif: OAT
tata laksana Operatif: TTSS Operatif: TTSS Operatif: TTSS
alternatif 1-2 alternatif 1-2 alternatif 1-10
Rehabilitasi • Mengembalikan • Mengembalikan • Mengembalikan
& prognosis fungsi duduk, berdiri, fungsi duduk, berdiri, fungsi duduk, berdiri,
dan berjalan dan berjalan dan berjalan
• Mengembalikan • Memaksimalkan • Memaksimalkan
fungsi organ yang fungsi dalam aktivitas fungsi dalam aktivitas
dalam masa sehari-hari, pekerjaan, sehari-hari, pekerjaan
pertumbuhan dan kehidupan sosial dan kehidupan sosial
• Mendorong • Mengembalikan
pertumbuhan dan kemandirian
perkembangan sesuai
dengan anak normal

2. Berdasarkan Durasi
a. Kategori Akut Keluhan yang dialami masih ringan dan hasil anamnesis maupun
pemeriksaan fisik belum ada komplikasi

18
b. Kategori Kronik Keluhan yang dialami semakin berat, tetapi dari hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik belum ada komplikasi. Seringkali penderita sudah tidak
terlalu terganggu secara struktur dan fungsi, seperti bengkok atau gibus, karena
keluhan yang dialami hanya berhubungan dengan tulang, otot, dan kulit.
c. Kategori Neglected Keluhan yang dialami semakin berat, berlarut-larut dengan
bertambahnya waktu, serta telah terjadi komplikasi. Keluhan yang dialami
berhubungan pada kualitas hidup, saraf, tulang, otot, dan kulit, terlebih pada
kualitas hidup dan tulang.
3. Berdasarkan Organ yang Terlibat
Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan organ yang terlibat dibedakan atas tulang,
saraf, otot, dan kulit yang dievaluasi melalui pencitraan radiologi. Semakin banyak
organ yang terlibat maka kondisi penyakit semakin berat. Kondisi ini dapat berupa
keterlibatan:
a. korpus vertebra saja
b. korpus vertebra dengan abses
c. korpus vertebra dengan abses dan gangguan saraf
d. korpus vertebra dengan abses, gangguan saraf, dan otot
e. korpus vertebra dengan abses, gangguan saraf, otot, dan kulit
Pengklasifikasian:
1 : Infeksi terbatas hanya pada korpus vertebra dengan kerusakan < 50%.
2 : Infeksi telah menyebabkan adanya abses paravertebral dengan kerusakan
korpus > 50%.
3 : Infeksi telah mengenai jaringan lunak yang menyebabkan kelainan struktur,
yakni gibus > 30°.
4 : infeksi telah menimbulkan kerusakan vertebra > 50% disertai pemendekan
postur. Kondisi ini dapat disertai munculnya gibus, abses, dan jaringan
granulasi, tetapi tidak memiliki riwayat kelumpuhan dengan status neurologis
Franke D atau E.
5 : Telah terjadi defisit neurologis yang nyata dengan status neurologis Frankel
C, B, atau A.

4. Berdasarkan Bentuk
a. Sentral Destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra.

19
b. Anterior Lokasi awal berada di korpus vertebra bagian superior atau inferior dan
merupakan penyebaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
c. Paradiskus Destruksi terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan
diskus intervertebralis.
d. Atipikal Campuran beberapa bentuk sehingga tidak memiliki pola yang jelas.
5. Berdasarkan Regio Infeksi (Servikal, torakal, Lumbal)
Pada dasarnya setiap regio tulang belakang dapat terinfeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis, tetapi regio tulang yang memiliki fungsi untuk
menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar lebih
sering terkena dibandingkan dengan regio lainnya. Area torakolumbal, terutama
torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas, merupakan tempat
yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan lumbal.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain. Sekitar 90-95% tuberkulosis tulang belakang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 tipe human dan 1/3 tipe bovine) dan 5-10 %
sisanya oleh Mycobacterium atipik. Bakteri ini berbentuk batang, tidak motil, tidak
dapat diwarnai dengan cara konvensional tetapi tahan terhadap pewarnaan asam
(metode Ziehl-Neelsen), sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA).
Bakteri ini tumbuh lambat dalam media diperkaya telur selama 6-8 minggu.
Spesies Mycobacterium lainnya, seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium
bovine, ataupun mycobacterium nontuberkulosis juga dapat menjadi etiologi
spondilitis TB, tetapi biasanya banyak ditemukan pada penderita HIV. Kemampuan
Mycobacterium tuberculosis memproduksi niasin merupakan karakteristik yang
dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
(Rahyussalim, 2018)

C. Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain. Sekitar 90-95% tuberkulosis tulang belakang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tipik (2/3 tipe human dan 1/3 tipe bovine) dan 5-10 % sisanya oleh
Mycobacterium atipik. Bakteri ini berbentuk batang, tidak motil, tidak dapat diwarnai
dengan cara konvensional tetapi tahan terhadap pewarnaan asam (metode Ziehl-
Neelsen), sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). (Rahyussalim, 2018)
20
D. Manifestasi Klinis
Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada
umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu
sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari, serta sakit pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai
nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis
yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia, dan refleks
Babinski bilateral. Gejala klinis spondilitis TB secara umum adalah sebagai berikut:
1. Adanya gambaran penyakit sistemik seperti kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermittent terutama pada waktu sore dan malam
hari
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu), berdahak atau berdarah
3. Adanya nyeri yang terlokalisir pada satu region tulang belakang, atau berupa nyeri
yang menjalar dan kaku saat bergerak
4. Adanya defisit neurologi: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular atau sindrom
kauda equine
5. Adanya keluhan deformitas pada tulang belakang (kifosis) 80% kasus disertai
timbulnya gibbus (punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan
lesi yang tidak stabil serta dapat perkembang secara progresif). (Rahyussalim, 2018)

E. Komplikasi
1. Pott’s paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces
21
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh : menigomyelitis –prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi
dura dan corda spinalis. (Tutik, dkk. 2016)

4. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosis dibagi dalam 5 stadium, yaitu:
1. Stadium implantasi Stadium ini merupakan kondisi dimana terjadi duplikasi bakteri
Mycobacterium tuberculosis membentuk koloni-koloni baru yang terjadi saat daya
tahan tubuh penderita menurun. Proses duplikasi ini berlangsung selama 6–8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anakanak umumnya
pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal Ketika stadium implantasi berlanjut, akan terjadi proses
destruksi korpus vertebra serta penyempitan ringan pada diskus yang berlangsung
selama 3–6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolapsnya
vertebra, dan terbentuknya massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin.
Kondisi ini terjadi pada 2–3 bulan setelah stadium destruksi awal. Sekuestrum dapat
terbentuk dan kerusakan diskus intervertebral dapat terjadi. Pada saat inilah terbentuk
tulang baji, terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis disebabkan oleh adanya tekanan
abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada regio ini.
5. Stadium deformitas residula Stadium ini akan terjadi 3–5 tahun setelah munculnya
stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen. Hal ini disebabkan oleh
adanya kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan. (Rahyussalim, 2018)
5. Pemeriksaan Fisik

22
1. Inspeksi
Inspeksi ini dilakukan saat pasien dalam posisi berdiri, berjalan, duduk, dan tidur
(posisi terkelungkup dan miring ke kanan atau kiri). Pertamatama didahului dengan
inspeksi umum untuk melihat apakah pasien dalam kondisi baik, apakah tampak
kurus, apakah cara berjalannya normal, dan sebagainya. Selanjutnya, inspeksi lokal
dilakukan untuk melihat adanya benjolan, gibus, abses, sinus, asimetri kiri-kanan
atau atas-bawah, rigiditas pada leher, punggung kaku.
2. Palpasi
Pada posisi tengkurap atau duduk, dokter dapat meraba gibus, abses, rasa panas
atau hangat, dan menentukan dimana level temuan itu. Pada saat bersamaan, dokter
mengamati ekspresi pasien apakah tampak nyeri atau tidak.
3. Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
4. Gerakan
Minta pasien bungkuk (fleksi anterior), fleksi lateral, dan rotasi badannya.
Pemeriksaan ini dapat menilai dampak proses infeksi pada gangguan neurologis.
Pasien diminta duduk, berdiri, dan berjalan, kemudian hasilnya dinyatakan dalam
skala Frankel, yakni A (tidak bisa sama sekali) hingga E (normal).
5. Sensorik
Pemeriksaan sensorik menilai rabaan halus, kasar, panas, dan dingin. Hasilnya
kemudian dibandingkan atas dan bawah, Apabila ada gangguan, tentukan level
dermatom yang terlibat. Lakukan tes sensasi propioseptif untuk menentukan apakah
pasien dapat menentukan arah gerakan jempol oleh dokter saat matanya tertutup.
(Rahyussalim, 2018)

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi (imaging)
Terdapat tiga modalitas utama yang digunakan dalam pencitraan struktur tulang
belakang.
a. Foto polos X-ray, Pada tahap awal spondilitis TB, pencitraan tampak normal.
Selanjutnya, foto polos digunakan untuk skrining ketika dicurigai terdapat
spondilitis infeksi. Foto polos dapat menilai struktur tulang dan kondisi jaringan

23
lunak di sekitar tulang. Kerusakan yang dapat dilihat, antara lain kompresi, burst
atau pecah, pergeseran, gibus, pendorongan struktur tulang ke kanal spinalis,
abses di daerah paravertebral (paravertebral abses). Selain itu, dapat juga
digunakan untuk mengevaluasi struktur di posterior tulang belakang (prosesus
spinosus dan lamina). Temuan awal pada foto polos adalah gambaran radiolusen
dan hilangnya plate margin, destruksi korpus vertebra terutama di anterior,
hilangnya ketinggian diskus, erosi lempeng akhir, geode vertebra, sekuestrasi
tulang, massa skeloris dan paravertebral. Adanya kalsifikasi pada paraspinal
dapat dicurigai disebabkan TB. Selanjutnya, infeksi dapat berlanjut hingga ke
segmen vertebra lainnya sehingga tampak beberapa level vertebra terlibat.
Ketinggian diskus yang berkurang dapat menetap. Pada tahap akhir, dapat
ditemukan sclerosis, ankilosis tulang, kolaps vertebra, dan pelebaran anterior
yang menyebabkan terjadinya kifosis dan gibus.
b. Modalitas selanjutnya yang dapat digunakan adalah pemeriksaan CT yang dapat
memperlihatkan struktur tiga dimensi kerusakan tulang belakang akibat proses
infeksi dengan lebih detail. Selain itu, pemeriksaan CT juga menggambarkan
ekstensi lesi karena resolusinya yang kontras. Pemeriksaan CT dilakukan untuk
melihat gambaran dekstruksi pada tulang belakang, osteoporosis, penyempitan
kanal yang mengakibatkan penekanan saraf, abses, dan deformitas, serta
keterlibatan infeksi tulang dan jaringan lunak. Fase awal penyakit dapat
ditemukan massa paraspinal dan abses yang berada di anterolateral korpus
vertebra dan menyebar ke jaringan dan epidural. Pada pemeriksaan CT, dilakukan
deskripsi terhadap destruksi tulang (fragmentasi, osteolitik, subperiosteal, atau
terlokalisir).
c. MRI, modalitas dengan sensitivitas tinggi (namun tidak spesifik), adalah
modalitas yang digunakan untuk menggambarkan kelainan struktur dan jaringan
lunak pada tulang dengan lebih detail. MRI sangat direkomendasikan terutama
pada awal kasus dengan kecurigaan spondilitis tanpa komplikasi spinal dan
neurologis. Adapun MRI juga membantu dalam mengidentifikasi komplikasi
yang terjadi. Setiap perubahan pada perkembangan penyakit dapat tertangkap
MRI saat modalitas lain tidak dapat menggambarkannya. MRI dapat
menggambarkan ukuran abses serta kerusakan otot dan medulla spinalis. Dengan
pemeriksaan MRI, dapat diperoleh gambaran lebih detail struktur anatomi dan
jaringan lunak yang terkena, misalnya medula spinalis, ligamentum flavum,
24
diskus intervertebra, ligamentum longitudinal, dan jaringan lunak lain
disekitarnya. MRI mampu melokalisir lokasi lesi dan deteksi awal destruksi
tulang. MRI juga dapat menggambarkan struktur di sekitar tulang belakang,
antara lain pembuluh darah dan perluasan abses ke paravertebral.
d. Modalitas lainnya yang dapat digunakan pada pasien spondilitis TB, yaitu USG,
pemeriksaan PET, dan bone scan. (Roni & Irsal, 2015)
2. Pemeriksaan Mikrobiologi
a. Kultur/ biakan
Hasil kultur bakteri positif menunjukkan infeksi yang aktif pada pasien dan
membutuhkan setidaknya konsentrasi 103 basil per mililiter spesimen. Infeksi
Mycobacterium tuberculosis dikatakan aktif apabila hasil kultur positif, dan
sebaliknya. Adapun hasil uji resistensi biakan baru diperoleh 2–4 minggu
sesudahnya. Sebelum kultur, pasien dianjurkan untuk menurunkan atau melepas
kebiasaan merokok. Selain itu, konsumsi floroquinolone juga perlu dihentikan
karena dapat menyebabkan bakteri kultur tumbuh lebih lambat.
b. Pewarnaan BTA
Pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA) Pemeriksaan mikroskopis BTA adalah
pewarnaan dengan Ziehl Neelsen untuk mendapat informasi Mycobacterium
tuberculosis yang mati dari spesimen secara cepat.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran khas dari pemeriksaan histopatologi spondilitis tuberkulosis adalah
Ditemukannya tuberkel memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan
temuan histopatologi lainnnya. Adapun tuberkel merupakan struktur yang dibentuk
oleh sel epiteloid, sel datia Langhans, limfosit, dan nekrosis perkijuan di pusatnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan, meliputi tuberculin skin test (TST),
complete blood count (CBC), pemeriksaan laju endapan darah (LED), dan
pemeriksaan CRP (C-reactive protein).
5. Pemeriksaan Biomolekuler
Deteksi interferon-gamma release assays (IGRAs) dan ICT tuberkulosis
(Immunochromatographic assays) dapat dilakukan sebagai deteksi dini antibodi pada
TB Spinal. Untuk pemeriksaan ICT sendiri memiliki spesifisitas hingga 98%. Deteksi
antigen M. tuberculosis bisa dilakukan dengan prosedur enzymelinked
immunoadsorbent assay (ELISA) dan polymerase chain reaction (PCR). ELISA
25
menggunakan antigen spesifik ESAT-6 dan CFP-10 sebagai stimulan. Adapun
pemeriksaan PCR berfokus pada pembentukan 123 pasang basa dengan pengulangan
pada segmen IS6110. (Roni & Irsal, 2015)

7. Penatalaksanaan
Tata laksana tuberkulosis bertujuan untuk mengeradikasi bakteri dan mengembalikan
fungsi organ seperti sediakala. Tata laksana TB snal secara garis besar dapat dibedakan
menjadi prosedur nonoperatif dan operatif. Sebagian besar kasus spondilitis TB akan
menyebabkan terjadinya kerusakan pada korpus vertebra. Kerusakan ini akan
menyisakan defek dengan bagian yang tidak utuh. Besarnya volume defek atau bagian
korpus yang menjadi tidak utuh ini akan menimbulkan ketidakstabilan kesatuan tulang
belakang dalam menjalankan fungsinya sebagai pembentuk postur sehingga harus diatasi
dengan:
1. Farmakologi: Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol
(EMB). Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
2. Debridement adalah suatu tindakan membuang jaringan mati berupa jaringan
lunak, nanah, dan sekuester. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara kuretase,
pencucian, osteotomi, dan nekrotomi. Pendekatan yang dapat dilakukan antara lain,
pendekatan transpedikular, anterior, posterior, dan melalui kostotransverektomi
3. Refreshing (refresh tepi defek) dilakukan dengan tujuan mencapai bagian tulang
dan jaringan sehat. Tindakan ini dapat dicapai dengan melakukan osteotomi,
nekrotomi, kuretase, dan sequeterektomi. Pembuktian bahwa tindakan telah
mencapai bagian tulang dan jaringan sehat dilakukan melalui pemeriksaan
makroskopis dengan memperhatikan tanda-tanda vital jaringan seperti tulang
mengkilap, darah segar dari tulang, dan tidak lagi terdapat jaringan yang mudah
lepas.
4. Stabilisation (stabilisasi kesatuan vertebra) dicapai dengan menambahkan dan
menempatkan benda kaku untuk menyangga struktur tulang yang tidak stabil. Alat
yang digunakan berupa sistem sekrup dan rod yang pada umumnya terbuat dari
titanium, yaitu suatu material logam yang bersifat inert. Sistem sekrup dan rod ini
dapat dipasang di sisi anterior maupun posterior tergantung pada operator yang

26
memasang berdasarkan sisi tulang belakang yang dianggap kuat menyangga tulang
belakang yang tidak stabil.
5. Antimikrobial (pemberian OAT dan/atau antibiotika lokal) diberikan sesuai temuan
hasil kultur. Apabila hanya ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada
hasil kultur maka penberian obat anti tuberkulosis (OAT) dapat langsung dimulai
sesuai dengan protokol WHO. Namun bila pada temuan hasil kultur ditemukan
lebih dari satu bakteri, diberikan antibiotik sesuai bakteri yang ditemukan dengan
mempertimbangkan kesesuaian sensitifitas bakteri terhadap antibiotik yang
tersedia. Yang perlu diperhatikan pada pemberian antibiotik dan/atau OAT adalah
respon imun dan hasil pemberian OAT. Respon imun diamati dengan pemeriksaan
titer sel Th1 dan sel Th2 dengan proporsi titer populasi kedua sel ini sebagai acuan
dalam penilaian perbaikan dan kesembuhan.
6. Biospine (biological spine intervention) atau intervensi biologis untuk merangsang
pertumbuhan sel pengisi defek adalah suatu konsep penatalaksanaan defek pada
korpus vertebra dengan memperhitungkan faktor biologi sel dalam
bertumbuhkembang menyesuaikan lingkungan mikro yang ada sehingga tercapai
struktur organ yang sesuai atau menyerupainya. Pendekatan biospine
memperhitungkan keberadaan sel punca, skafold atau substitusi tulang, faktor
pertumbuhan, pasokan oksigen, dan medium pertumbuhan. Kini, sedang
dikembangkan prosedur tata laksana TB spinal yang melibatkan sel punca.
7. Pembedahan yang bertujuan mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan
deformitas spinal. Indikasi: defisit neurologis (perburukan neurologis akut,
paraparesis), deformitas spinal dengan instabilitas atau nyeri, tidak menunjukkan
respon terhadap terapi medis (kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut), abses
paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik. (Wahyono, 2006)

27
DIAGNOSA KEPERAWATAN

No Data Etiologi Problem


1 DS: klien/keluarga mengatakan adanya kesulitan Cedera pada medula Pola nafas tidak
spinalis, posisi tubuh yang
bernapas, sesak napas. efektif
menghambat ekspansi
DO : paru
a. penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi
b. penurunan menit ventilasi
c. pemakaianotot pernapasan
d. pernapasan cuping hidung
e. dispnea/napas pendek dan cepat
f. orthopnea
g. pernapasan lewat mulut
h. frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal
i. penurunan kapasitas vital paru
2 DS : klien/keluarga mengatakan adanya kesulitan kerusakan integritas Gangguan
bergerak sktruktur tulang, mobilitas fisik
klien mengatakan tangan dan tungkai tidak bisa kekakuan sendi,
digerakkan kontraktur, gangguan
DO: muskuloskeletal
a. kelemahan, parestesia
b. paralisis
c. kerusakan koordinasi
d. keterbatasan rentang gerak
e. penurunan kekuatan otot
f. Tangan dan tungkai tidak bisa digerakkan
3 DS: Pasien mengeluh nyeri pada bagian belakang leher Agen pencendera Nyeri akut
DO: Pasien terlihat kesakitan, skala nyeri 8 fisiologis
4 DS: Pasien mengatakan urine keluar menetes Kelemahan otot pelvis Gangguan
DO: Nyeri tekan pada abdomen dan keinginan kencing eliminasi urine
saat palpasi
6 DS: Pasien mengatakan ada rasa ketidaknyamanan pada Faktor mekanis gangguan
sistem gerak bagian ekstremitas intergritas kulit
DO: Pasien mengalami paralisis dan paraplegia yang
mengakibatkan kelumpuhan

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Luaran Intervensi

28
Diagnosa
Setelah dilakukan tindakan selama <24 Airway management
jam, pasien menunjukkan keefektifan pola 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil: ventilasi
 Menunjukkan jalan nafas yang paten 2. Pasang mayo bila perlu
(klien tidak merasa tercekik, irama 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
1 nafas, frekuensi pernafasan dalam 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
rentang normal, tidak ada suara nafas tambahan
abnormal) 5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
 Tanda Tanda vital dalam rentang normal keseimbangan.
(tekanan darah, nadi, pernafasan) 6. Monitor respirasi dan status O2
7. Monitor vital sign
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity Daily Living
selama 3x 24 jam, gangguan mobilitas 1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
fisik teratasi dengan kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
 Klien meningkat dalam aktivitas fisik ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
 Mengerti tujuan dari peningkatan 3. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
2 mobilitas dan bantu penuhi kebutuhan ADL
 Memverbalisasikan perasaan dalam 4. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
meningkatkan kekuatan dan 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
kemampuan berpindah dan berikan bantuan jika diperlukan
 Memperagakan penggunaan alat 6. Libatkan keluarga dan ajarkan cara
Bantu untuk mobilisasi memakaikan pakaian pada pasien
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pain Management
selama 3x24 jam, Pasien tidak mengalami 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri, dengan kriteria hasil: komperhensif termasuk lokasi,
 Mampu mengontrol nyeri (tahu karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
prnyebab nyeri, mampu menggunakan faktor presipitasi
tekhnik nonfarmakologi untuk 2. Observasi reaksi nonverbal dari
mencari nyeri, mencari bantuan) ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
daerah yang cedera  Melaporkan bahwa nyeri
berkurang
dengan menggunakan manajemen
nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
 Tidak mengalami gangguan tidur
dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/dingin
7. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

29
8. Monitoring vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Usus
selama 3x24 jam, konstipasi pasien teratasi 1. Identifikasi faktor-faktor yang
dengan kriteria hasil: menyebabkan konstipasi
 Pola BAB dalam batas normal 2. Monitor tanda-tanda ruptur
4
 Feses lunak bowel/peritonitis
 Cairan dan serat adekuat 3. Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan
 Aktivitas adekuat dan serat) terhadap eliminasi
 Hidrasi adekuat 4. Jelaskan pada klien konsekuensi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management
selama 3x24 jam, Gangguan integritas 1. Hindari kerutan padaa tempat tidur
kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: 2. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
 Integritas kulit yang baik bisa dua jam sekali
dipertahankan 3. Monitor kulit akan adanya kemerahan
 Melaporkan adanya gangguan sensasi 4. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
atau nyeri pada daerah kulit yang derah yang tertekan
6 mengalami gangguan 5. Monitor status nutrisi pasien
 Menunjukkan pemahaman dalam 6. Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang
proses perbaikan kulit dan mencegah yang menonjol dan titik-titik tekanan ketika
terjadinya sedera berulang merubah posisi pasien.
 Mampu melindungi kulit dan 7. Jaga kebersihan alat tenun
mempertahankan kelembaban kulit dan 8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
perawatan alami pemberian tinggi protein, mineral dan
 Sensasi dan warna kulit normal vitamin

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta.
Salemba Medika
Muttaqin, arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta. Salemba Medika.

30
Oteir A, Smith K, Jennings P, Stoelwinder J. 2014. The prehospital management of suspected
spinal cord injury: an update. Prehosp Disaster Med.;29:399–402. doi:
10.1017/S1049023X14000752.
Rahyussalim. 2018. Spondilitis tuberkulosis: diagnosis, penatalaksanaan, dan rehabilitasi.
Jakarta: Media Aesculapius
Roni Eka Sahputra, Irsal Munandar. 2015. Spondilitis Tuberkulosa Cervical. Jurnal
Kesehatan Andalas 4(2)
Sayilir, Erso¨z and Yalc¸in, 2013. Comparison of urodynamic findings in patients with upper
and lower cervical spinal cord injury. Spinal Cord. Vol. 51, 780–783
Setiawan, Iwan & Intan Mulida. 2010. Cedera Saraf Pusat Dan Asuhan Keperawatannya.
Yogyakarta. Nuha Medika
Snell RS. 2007. Neuroanatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC.
Teufack, S.; Harrop, J.S.; Ashwini, D.S. 2012 . “Spinal Cord Injury Classification”. In
Fehlings, M.G.; Vaccaro, A.R.; Maxwell B. Essentials of Spinal Cord Injury:
Basic Research to Clinical Practice. Thieme.
Tutik Kusmiati, Hapsari Paramita Narendrani. 2016. Pott’s Disease. Jurnal Respirasi. Vol. 2
No. 3
Wahyono, Y. 2006. Kumpulan Pelatihan Kupas Tuntas Low Back Pain Dengan Intervensi
Fisioterapi Terkini; Ikatan Keluarga Mahasiswa DIV, Surakarta
Weiss, J.M. 2010. “Spinal cord injury”. In Weiss, L.D.; Weiss, J.M.; Pobre, T. Oxford
American Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. Oxford
University Press, USA.

31

Anda mungkin juga menyukai