Anda di halaman 1dari 91

ANALISIS KARAKTERISTIK BATUBARA BERDASARKAN

DATA LOG DAN DATA CORE DI PT EQUALINDO MAKMUR


ALAM SEJAHTERA SANGA-SANGA KABUPATEN KUTAI
KERTA NEGARA, KALIMANTAN TIMUR

HASIL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN MENCAPAI


DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:

FUAD JAFAR
R1C115040

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
Halaman Persetujuan

Hasil Penelitian

ANALISIS KARAKTERISTIK BATUBARA MENGGUNAKAN


DATA LOG DAN DATA CORE DI PT EQUALINDO MAKMUR
ALAM SEJAHTERA SANGA-SANGA KABUPATEN KUTAI
KERTA NEGARA, KALIMANTAN TIMUR

Diajukan oleh:

FUAD JAFAR
R1C115040

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Hasria, S.Pd., M. Si Masri.S.Si., M.T


NIP 19750612 200501 2 006 NIP 198808282019031010

Mengetahui,

Ketua Program Studi Teknik Geologi

Dr. Hasria, S. Pd., M. Si


NIP 19750612 200501 2 006

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil’aalamin, segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa

Ta’ala, dzat yang telah menciptakan manusia dengan penciptaan yang sebaik-

baiknya, menyempurnakan-Nya dengan akal dan membimbing-Nya dengan

menurunkan utusan pilihan-Nya. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada

junjungan Nabi besar Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam yang telah membawa

umat manusia dari zaman jahiliyah kezaman terang benderang yakni agama islam.

Penyusunan skripsi dengan judul “Analisis Karakteristik Batubara Menggunakan

Data Log dan Data Core di PT Equalindo Makmur Alam Sejahtera Sanga – Sanga

Kabupaten Kutai Kerta Negara, Kalimantan Timur” dimaksudkan untuk memenuhi

syarat memperoleh gelar sarjana strata satu di Universitas Halu Oleo Kendari Hasil

penelitian ini merupakan laporan hasil penelitian yang disusun secara seksama yang

berdasarkan hasil penelitian dilapangan dan dipadukan dengan teori yang telah ada.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan lebih detail

mengenai karakteristik batubara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasil

penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan, karena kesempurnaan hanyalah

milik-Nya semata. Oleh karena itu, saran dan kritik yang positif sangat diperlukan

untuk perbaikan hasil penelitian ini.

Melalui kata pengantar ini, tak lupa penulis menghaturkan rasa terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Jafar Ismail (almarhum) dan Jamilah Arief

serta saudara tercinta Ibrahim Jafar, Rudi Muhammad Amir dan Tante saya WaAmi

ii
Noer, Rukia Ismail yang telah mengasuh, membimbing dan membesarkan penulis

serta berkorban baik moril maupun materi. Penulis juga mengucapkan terimakasih

kepada Ibu Dr. Hasria, S.Pd., M.Si. selaku pembimbing I dan Bapak Masri.S.Si.,M.T.

selaku pembimbing II yang tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk

membimbing dan mengarahkan penulis berkaitan dengan penyusunan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati perkenankanlah penyusun

menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Halu Oleo Kendari

2. Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Universitas Halu Oleo

Kendari

3. Ketua Jurusan Teknik Geologi dan Sekretaris Jurusan Teknik Geologi serta

para dosen di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Universitas Halu Oleo

4. Bapak Arisona, S.Pd., MT., Ph, D, Bapak Suryawan asfar, ST., M. Si, dan

Bapak Rio Irham Mais Cendrajaya, S.Si., M.T. sebagai tim penguji yang telah

memberikan ide-ide atau kritikan yang bersifat membangun sehingga

penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Pak Irwan Topansari (KTT PT.EMAS) dan Bu Asri Pararak (Geologist PT.

EMAS) yang telah bersedia menjadi pembimbing Tugas Akhir yang elah

memberikan ilmu dan bimbingannya sehingga Tugas Akhir ini dapat

terselesaikan.

iii
6. Bapak Dr. Ir. Muh. Chaerul, S.T., S.KM., M.Sc., IPM., Bapak Asri Arifin

S.T., M.T., Bapak Harisma Buburanda, S.T., M.T. terimakasih atas arahan,

dukungan serta motivasi kepada penulis.

7. Semua staf Tata Usaha dan Karyawan dilingkungan Fakultas Ilmu dan

Teknologi Kebumian Universitas Halu Oleo yang secara langsung maupun

tidak langsung telah membantu terselesaikannya penelitian ini.

8. Kepada Departemen Enginering & seluruh jajaran direksi PT. EMAS yang

tidak bisa saya sebutkan satu persatu

9. Pak Sahrani, Pak agung, Pak Abi dan rekan-rekan PT. EMAS serta rekan

rekan kru bor sebagai teman ngobrol dan sharing-sharing selama berada di

Mess yang ikut memberikan supportnya.

10. Kepada saudara-saudara seperjuangan, Riswan, S.T., Hadis Alimanusa, S.T.,

Muhammad Hasan S.T., Arif Rahmat Pamuji S.T., Syamsul Isra Mahid,

Yuyun Sulistiawati Azna, Asnawi Jakaria, Syahrin, Rika Yustika, Zurik G.

Haeri Sandi, Phil Richard Saranga, Ifdal Usman, La Ode Muhammad Nero,

La Ode Muhammad Ahdiarno, Aditya Nugroho, Hedi Prasetyo, Muh. Idul

Saputra, Vikram Novrial, Marni, Muh. Arif, Mirdan, Rahmad, yang sama-

sama saling menyemangati dan mendukung dalam penyusunan hasil

penelitian.

11. Kepada sahabat keputrian Teknik geologi Niken Priscasari, Widya Tri

Arzelia, Intan Lestari, Asmawati, Indah, Nur Islami Fiqra, Putri Bintang, Siti

Norma, Wahyu Eka wati, Siti Sulaeha, Wa Ode Lisnayanti, Wa Ode Sarti, Wa

iv
Ode Siti Nurhasanah, Risma dan Musdalifah yang selalu menemani dan

mendukung penulis selama masa perkuliahan

12. Kepada sahabat kerja praktek Kalimantan Timur Saldi Muhammad,

Febriyanto Jeremi Allak, Istihsan Kamil. yang telah menemani selama kerja

praktek dilokasi penelitian.

13. Senior-senior dan Alumni Teknik Geologi Universitas Halu Oleo Kak Erick

Syarifuddin, S.T., Kak Jeni Rahmat, S.T., Kak Mawar Towan Lestari, S.T.,

Kak Sara Septiana, S.T., Ahmad Kurniawan, S.T. Kak Harzimanningrat, S.T.

dan yang tidak sempat disebutkan, terimakasih atas bimbingannya selama ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Kendari, Oktober 2019

Penulis

v
ANALYSIS OF COAL CHARACTERISTICS USING LOG AND CORE
AT PT. EQUALINDO MAKMUR ALAM SEJAHTERA SANGA-SANGA
EAST KALIMANTAN

Fuad Jafar
Departmen of Geological Enginering, Faculty of Earth Sciences and Tecnology,
Halo Oleo University
E-Mail: Fuadjafar.geologi@gmail.com

ABSTRACT

Coal is organic sediment, more precisely an organic rock. Coal is formed from the remains of
decaying plants and accumulates in an area with a lot of water conditions, commonly called
swamps. Coal has different properties each other depending on the level of coal itself, the
level of coal is divided into several levels, namely anthracite, bituminous, sub-bituminous,
lignite. Determination of the characteristics of coal is an analysis conducted to determine the
level of a coal using proximate analysis and determine the coal depositional environment
using well logging data. Proximate test for determination of water content, ash content, and
flying substances. Proximate analysis was performed using the ASTM method. Well logging
method to identify lithology, thickness and depth of layers. Based on proximate analysis
experiments from eight drill points, the value of the falue ratio obtained ranged from 1.02 to
1.20, this shows that coal samples from East Kalimantan are included in the group of
bituminous coal. In the well logging analysis the results show that coal from the research
formed in the transitional lower delta plain environment which is characterized by the
development of the claystone deposition unit, channel, interdistributary bay, and swamp in
the Balikpapan claystone and sandstone unit, based on this depositional association, can be
interpreted that and the Balikpapan sandstone and coal unit is transitional lower delta plain.

Keywords: analysis of coal characteristics, falue ratio,

vi
ANALISIS KARAKTERISTIK BATUBARA MENGGUNAKAN DATA LOG
DAN DATA CORE DI PT. EQUALINDO MAKMUR ALAM SEJAHTERA
SANGA-SANGA KABUPATEN KUTAI KERTA NEGARA KALIMANTAN
TIMUR

Fuad Jafar
Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Universitas Halu
Oleo
E-Mail: Fuadjafar.geologi@gmail.com

ABSTRAK

Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik.


Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu
daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Batubara memiliki sifat
masing-masing yang berbeda satu sama lainya tergantung dari tingkat batubara itu
sendiri, tingkat batubara terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu antrasit,
bituminous, sub bituminous, lignit. Penentuan karakteristik pada batubara merupakan
suatu analisis yang dilakukan untuk menentukan tingkatan dari suatu batubara
menggunakan analisis proksimat dan menentukan lingkungan pengendapan batubara
menggunakan data well logging. Uji proksimat untuk penentuan kadar air, kadar abu,
dan zat terbang. Analisis proksimat dilakukan dengan metode ASTM. Metode well
logging untuk mengidentifikasi litologi, ketebalan serta kedalaman lapisan.
Berdasarkan percobaan analisis proksimat dari delapan titik bor, nilai falue ratio yang
diperoleh berkisar antara 1.02 sampai 1.20, hal ini menunjukan bahwa sampel
batubara dari Kalimantan Timur termasuk dalam golongan batubara bituminous. Pada
analisis well logging hasilnya mennujukan batubara daerha penelitian terbentuk pada
lingkungan transitional lower delta plain yang dicirikan dengan berkembangnya
fasies creavasse splay, channel, interdistributary bay, dan swamp pada satuan
batulempung dan batupasir Balikpapan, berdasarkan asosiasi pengendapan ini, dapat
diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan satuan batulempung dan satuan
batupasir dan batubara Balikpapan adalah transitional lower delta plain.

Kata kunci: analisis karakteristik batubara, falue ratio,

vii
DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
ABSTRACT ............................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 3

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3

D. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3

II. TINJAUAN GEOLOGI........................................................................................ 5


A. Geologi Regional ................................................................................................. 5

1. Fisiografi Regional ......................................................................................... 5

2. Geologi Regional Cekungan Kutai ................................................................. 6

3. Stratigrafi Regional......................................................................................... 8

4. Struktur Geologi Regional ............................................................................ 10

B. Dasar Teori ......................................................................................................... 12

1. Batubara ....................................................................................................... 12

2. Proses Pembentukan Batubara ..................................................................... 14

3. Well Logging ............................................................................................... 22

4. Karakteristik Well Logging ......................................................................... 26

viii
5. Elektrofasie .................................................................................................. 27

6. Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara .................................................. 30

III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 35


A. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................ 35

B. Jenis Penelitian .................................................................................................. 36

C. Prosedur Penelitian ............................................................................................ 37

D. Instrumen Penelitian .......................................................................................... 38

E. Pengolahan dan Analisis data ............................................................................ 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 40


A. Geologi Daerah Penelitian ................................................................................. 40

B. Interpretasi Data Log dan Data Core ................................................................. 43

1. Analisis grafik defleksi log pada batuan sedimen ........................................ 44

2. Interpretasi Litologi Batuan Baerdasarkan data Pemboran (core) dan data


Logging Pada Masing-Masing Titik Bor ...................................................... 48

C. Interpretasi Lingkungan pengendapan Batubara Berdasarkan Data Log .......... 55

D. Korelasi Penampang 2D .................................................................................... 67

E. Analisis Proksimat ............................................................................................. 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 74


A. KESIMPULAN .................................................................................................. 74

B. SARAN .............................................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75


LAMPIRAN .............................................................................................................. 77

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi ASTM ........................................................................................ 34

Tabel 2. Alat dan bahan serta kegunaan ..................................................................... 38

Tabel 3. Data pemboran batubara daerah penelitian (PT. EMAS) ............................. 43

Tabel 4. Interpretasi litologi titik bor ALC10-18A .................................................... 48

Tabel 5. Interpretasi litologi titik bor ALC10-17A .................................................... 49

Tabel 6. Interpretasi litologi titik bor ALC10-10B .................................................... 50

Tabel 7. Interpretasi litologi titik bor ALC10-29 ....................................................... 51

Tabel 8. Interpretasi litologi titik bor ALC14-122 ..................................................... 52

Tabel 9. Interpretasi litologi titik bor ALC14-124 ..................................................... 53

Tabel 10. Interpretasi litologi titik bor ALC14-125 ................................................... 53

Tabel 11. Interpretasi litologi titik bor ALC14-131A ................................................ 54

Tabel 12. Hasil analisis uji proksimat dan falue ratio ................................................ 71

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Fisiografi Cekungan Kutai (modifikasi dari Nuay, 1985 dalam


Renaldo, 2009)........................................................................................... 5
Gambar 2. Peta geologi lembar Samarinda, Kalimantan Timur skala 1:250.000
(modifikasi dari Supriatna dkk, 1995) ....................................................... 6
Gambar 3. Kolom stratigrafi daerah Kutai Timur, Cekungan Kutai bagian utara
(Supriatna & Rustandi, 1995 dalam (Resmawan, 2007) ........................... 8
Gambar 4. Struktur geologi Cekungan Kutai (allen & Chambers, 1998
dalam (Renaldo, 2009) ............................................................................ 12
Gambar 5. Skema pembentukan batubara (Iswati, 2012 dalam (Wahida, 2017) ...... 13
Gambar 6. Model lingkungan pengendapan batubara dilingkungan delta
(Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012) ............................................... 17
Gambar 7. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barrier
(Horne, 1978 dalam YuniI Iswati, 2012) ................................................. 17
Gambar 8. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian lower delta plain
(Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012) ............................................... 19
Gambar 9. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian upper delta plain-
fluvial (Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012) .................................... 20
Gambar 10. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian transitional lower
delta plain (Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012) ............................ 21
Gambar 11.Skema rangkaian dasar densitas logg (John T. Dewan, 1983 dalam
(Harsono, 1993)...................................................................................... 24
Gambar 12. Ilustrasi log caliper ................................................................................ 25
Gambar 13. Respon log ideal dari masing-masing litologi ....................................... 26
Gambar 14. Pola respon dari log gamma ray (GR) (Cant, 1992 dalam
Yuni Iswati, 2012).................................................................................. 29
Gambar 15. Peta lokasi penelitian ............................................................................. 35
Gambar 16. Diagram alir penelitian .......................................................................... 39

xi
Gambar 17. Morfologi Daerah Penelitian ................................................................. 40
Gambar 18. a) data coring batubara dan b) data cuting pemboran ............................ 42
Gambar 19. Grafik log untuk batupasir (sandstone) ................................................. 45
Gambar 20. Grafik log untuk batulempung (claystone) ............................................ 46
Gambar 21. Grafik log untuk batulanau (siltstone) ................................................... 47
Gambar 22. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-17A .......................................... 56
Gambar 23. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-18A .......................................... 57
Gambar 24. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-29 ............................................. 58
Gambar 25. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-122 ........................................... 60
Gambar 26. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-124 ........................................... 61
Gambar 27. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-125 ........................................... 62
Gambar 28. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-131A ........................................ 65
Gambar 29. Korelasi penampang litologi 2D ............................................................ 68

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta titik bor PT. EMAS ....................................................................... 77

xiii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batubara tidak akan berhenti diperbincangkan selama masih menjadi salah satu

sumber energi primer di Indonesia, karena harganya yang relatif murah dibandingkan

dengan minyak dan gas bumi. Batubara merupakan salah satu sumber energi yang

penting bagi dunia, di gunakan pada pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik

hampir 40% diseluruh dunia. Batubara merupakan sumber energi yang

pertumbuhannya paling cepat di dunia di tahun-tahun belakangan ini bahkan lebih

cepat daripada gas, minyak, nuklir, air dan sumberdaya pengganti (World Coal

Institute, 2005).

PT. Equalindo Makmur Alam Sejahtera merupakan salah satu perusahaan yang

terintegritas secara strategis di dalam Equalindo Group. PT. Equalindo Makmur Alam

Sejahtera memiliki anak-anak perusahaan yang tertata dalam value chain pada

perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara yang berada di Propinsi Kalimantan

Timur dan pembengunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan energi

terbarukan. Pertambangan batubara yang dikelolah oleh PT. Equalindo Makmur

Alam Sejahtera salah satunya adalah PT. Alhasani yang terletak di Kelurahan Sanga-

Sanga Muara, Kabupaten Kutai Kerta Negara, Propinsi Kalimantan Timur. PT.

Alhasani memiliki areal kerja seluas 932,8 Ha, namun yang disetujui seluas 884 Ha,

dan memiliki kapasitas produksi sebanyak 600.000 MT/Tahun dengan kualitas

batubaranya yaitu bituminus.

1
2

Kualitas batubara dijumpai sangat bervariasi, baik secara vertikal maupun lateral,

diantaranya bervariasinya kandungan sulfur, kondisi roof dan floor, kehadiran

pengotor dan parting. Kondisi tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembentukan

batubara yang kompleks meliputi proses geologi yang berlangsung bersamaan dengan

pembentukan batubara (syn-depositional), proses geologi yang berlangsung setelah

lapisan batubara terbentuk (post-depositional), lingkunan pengendapan yang khas

sebagai tempat terbentuknya batubara. Analisis proksimat adalah salah satu analisis

yang digunakan dalam menentukan kualitas batubara.

Salah satu metode yang digunakan dalam eksplorasi batubara adalah well logging

yang tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi geologi yang berada dibawah

permukaan secara cepat dan detail. Metode well logging adalah alat perekaman untuk

mengetahui karakteristik bawah permukaan dengan menggunakan kombinasi log

gamma ray, log densitas dan log caliper. Metode ini memiliki akurasi data yang

tinggi dibandingkan dengan metode lainnya sehingga banyak digunakan oleh

perusahaan pertambangan.

Daerah penelitian berada pada formasi Balikpapan dimana formasi tersebut

adalah salah satu formasi yang termasuk dalam Cekungan Kutai. Formasi Balikpapan

merupakan salah satu formasi pembawa batubara di Cekungan Kutai dengan kualitas

batubaranya sub-bituminus hingga bitu minus yang tergolong dalam batubara muda.

Batubara di lokasi penelitian memiliki 3 seam utama, yaitu seam X, Y dan Z. Penulis

tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Analisis Karakteristik

Batubara Berdasarkan Data Log dan Data Core


3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang

muncul dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana menenukan linkungan pengendapan batubara daerah penelitian

dengan menggunakan data log tali kawat (well logging)

2. Bagaimana menentukan kualitas batubara yang ada didaerah penelitian

berdasarkan klasifikasi ASTM

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah:

1. Mengetahui lingkungan pengendapan batubara daerah penelitian dengan

menggunakan data log tali kawat (well logging)

2. Mengetahui kualitsa batubara yang ada di daerah penelitian berdasarkan

klasifikasi ASTM

D. Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan

manfaat berupa:

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan masukan bagi peneliti-

peneliti selanjutnya dan menambah data terkait daerah penelitian khususnya

mengenai Analisis Karakteristik Batubara Menggunakan Data Log dan Data Core Di

PT. Equalindo Makmur Alam sejahtera Sanga-Sanaga Kabupaten Kutai Kerta

Negara, Kalimantan Timur.


4

2. Bagi Keilmuwan

Penelitian ini dapat menambah referensi dan informasi serta koleksi penelitian

mengenai analisis karakteristik batubara menggunakan data log dan data Core di PT.

Equalindo Makmur Alam Sejahtera Sanga-Sanga Kabupaten Kutai Kerta Negara,

Kalimantan Timur.
II. TINJAUAN GEOLOGI

A. Geologi Regional

Daerah penelitian secara geologi regional merupakan bagian dari Cekungan

Kutai, yang termasuk dalam Peta Geologi Lembar Samarinda (Supriatna dkk., 1995).

1. Fisiografi Regional

Gambar 1. Fisiografi Cekungan Kutai (modifikasi dari Nuay, 1985 dalam Renaldo, 2009)

Fisiografi Cekungan Kutai seperti terlihat pada Gambar 1. Cekungan Kutai

merupakan salah satu cekungan Tersier yang terbesar di Indonesia, luasnya 165.000

km2 dan kedalamannya kurang lebih mencapai 14.000 m. Di bagian utara, Cekungan

Kutai dibatasi oleh sesar Sangkulirang dan sesar Bengalon, sedangkan dibagian

selatan dibatasi oleh sesar Adang (Aryadhi, 2011). Secara tektonik, Cekungan Kutai

5
6

dibagian utara dipisahkan dari Cekungan Tarakan oleh punggungan Mangkalihat dan

dibagian selatan dipisahkan dari Cekungan Barito oleh Adang flexure. Cekungan

Kutai bagian barat dibatasi oleh tinggian Kuching yang tersusun oleh batuan sedimen

berumur paleosen dan batuan metasedimen berumur Kapur, sedangkan Cekungan

Kutai bagian timur terbuka ke selat Makassar dengan kedalaman air laut mencapai

lebih dari 2000 meter (Resmawan, 2007 dalam Muhammad Dede Aryadhi, 2011).

2. Geologi Regional Cekungan Kutai

Gambar 2. Peta geologi lembar Samarinda, Kalimantan Timur skala 1:250.000 (modifikasi
dari Supriatna dkk, 1995)
7

Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan

tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Eurasia, Pasifik, dan Hindia-

Australia, juga dipengaruhi oleh tektonik regional dibagian Asia Tenggara. Cekungan

Kutai di Kalimantan merupakan cekungan busur belakang atau back arc yang

terbentuk di bagian barat akibat tumbukan antara lempeng benua dan lempeng

samudera. Peregangan di Selat Makassar sangat mempengaruhi pola pengendapan

terutama pada bagian timur cekungan.

Pada Tersier Awal, cekungan Barito dan cekungan Kutai merupakan satu

cekungan besar berarah utara timurlaut–selatan barat daya. Setelah pengangkatan

blok Meratus kedua cekungan tersebut mulai terpisah, kelurusan zona patenosfer

adalah pencirinya yang dikontrol oleh Sesar Adang atau disebut South Kutai

Boundary Fault. Pemisahan ini diduga terjadi selama miosen Tengah, berdasarkan

perbedaan fasies pada lapisan sedimen antara kedua cekungan dari Miosen Akhir

sampai Resen (Biantoro dkk, 1992 (Aryadhi, 2011).

Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran pada kala Eosen tengah

yang diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang berakhir pada Oligosen akhir.

karena tumbukan lempeng mengalami peningkatan tekanan mengakibatkan

pengangkatan dasar cekungan ke arah barat laut yang menghasilkan siklus regresif

utama sedimentasi klastik di cekungan Kutai dan tidak terganggu sejak oligosen

Akhir hingga sekarang (Ferguson & McClay, 1997 dalam Resmawan, 2007). Pada

kala Miosen tengah pengangkatan dasar cekungan dimulai dari bagian barat cekungan

Kutai yang bergerak secara progresif ke arah timur sepanjang waktu dan bertindak
8

sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga terjadi susut laut yang berlangsung terus-

menerus sampai Miosen Akhir.

3. Stratigrafi Regional
Berdasarkan peta geologi lembar Samarinda (Supriatna dkk., 1995) Gambar 2,

dan Gambar 3 membagi satuan lithostratigrafi daerah Kutai Timur menjadi 6 (enam)

formasi dengan urutan dari tua ke yang muda adalah:

Gambar 3. Kolom stratigrafi daerah Kutai Timur, Cekungan Kutai bagian utara (Supriatna
& Rustandi, 1995 dalam (Resmawan, 2007)
9

1.Formasi Pamaluan (Tmp): Batulempung dengan sisipan tipis napal, batupasir

dan batubara. Bagian atas terdiri dari batulempung pasiran yang mengandung sisa

tumbuhan dan beberapa lapisan tipis batubara. Secara umum bagian bawah lebih

gampingan dan mengandung lebih banyak foraminifera plankton dibanding

dengan bagian atasnya. Fosil penunjuk terdiri dari Globigerinita sp,

Globigerinoides trilobus, Globigerinoides primordius. yang berumur N.4-N.5 atau

Te5 bawah (Miosen Awal). Lingkungan pengendapan berkisar dari neritik dalam

sampai neritik dangkal.

2. Formasi Bebuluh (Tmbe): Formasi ini ditutupi selaras oleh Formasi Pulau

Balang, batugamping dengan sisipan batulempung, batulanau, batupasir dan

sedikit napal. Batugamping mengandung koral dan foraminifera besar.

Batugamping dari formasi ini adalah terumbu dan tebaran batugamping terumbu.

dengan ketebalanya diperkirakan 2000 meter, Berumur Miosen Awal.

3. Formasi Pulau Balang (Tmpb): Formasi ini berumur Miosen awal-Miosen

tengah perselingan batupasir batulempung dan batulanau, dengan sedikit sisipan

tipis lignit, serta batupasir gampingan. Sedimentasinya diperkirakan terjadi di

daerah pro-delta, dengan tebaran terumbu di beberapa tempat.

4. Formasi Balikpapan (Tmbp): Umur formasi ini dari Miosen Tengah - Miosen

Akhir. Ketebalan formasi mencapai ±2000 meter, dengan lingkungan pengendapan

di transitional delta plain. Formasi ini tertindih selaras oleh Formasi

Kampungbaru. Batulempung, batupasir kuarsa, lanau, serpi dan batubara. Pada

perselingan batulempung, batupasir kuarsa, dan batulanau memperlihatkan


10

struktur silang siur, mengandung sisipan batubara yang setempat dengan ketebalan

antara 20-40 cm. Batulempung berwarna kelabu, mengandung muskovit getas,

oksida besi dan bitumen.

5.Formasi Kampungbaru (Tmpk): Berumur Miosen Akhir hingga Plio-

Plistosen, dengan lingkungan pengendapan delta sampai laut dangkal dengan tebal

formasi antara 500-800 meter. Batulempung pasiran, batupasir dengan sisipan

batubara dan tuf, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi dan bintal

limonit.

6.Endapan Aluvial (Qal): Material lepas berupa pasir, kerikil, lanau, lempung

dan lumpur, merupakan endapan sungai, rawa, dan pantai.

4. Struktur Geologi Regional


Rezim ekstensional sangat mempengaruhi terbentuknya struktur geologi di

Cekungan Kutai di sepanjang Selat Makassar yang menimbulkan strike-slip fault

dengan arah pergerakan baratlaut-tenggara yang memisahkan Pulau Sulawesi dan

Pulau Kalimantan. Tinggian Kucing mempengaruhi Pola struktur Cekungan Kutai

yang tegasannya berasal dari arah baratlaut. Pengangkatan ini terus berlangsung

hingga mengakibatkan berkurangnya kestabilan. Akibat dari ketidakstabilan ini maka

terjadi pelengseran batuan ke arah timur. (Gambar 4) menunjukkan gambaran

struktur geologi regional yang mempengaruhi pembentukan Cekungan Kutai, struktur

yang ada adalah Sesar Adang, Sesar Sangkulirang, Sesar Bengalon, dan

Antiklinorium Samarinda yang berarah baratlaut-tenggara.


11

Struktur geologi yang berkembang di dalam Cekungan Kutai adalah sesar dan

lipatan. Batuan tua seperti Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh dan Formasi Pulau

Balang umumnya terlipat kuat dengan kemiringan sekitar 400, tetapi ada juga yang

mencapai 750, sedangkan batuan yang berumur lebih muda seperti Formasi

Balikpapan dan Formasi Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah, namun di

beberapa tempat dekat zona sesar ada yang terlipat kuat. Di daerah ini terdapat 3

(tiga) jenis sesar, yaitu sesar mendatar, sesar normal dan sesar naik. Sesar naik diduga

terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian dipotong oleh sesar mendatar yang terjadi

kemudian, sedangkan sesar turun terjadi pada Kala Pliosen (Supriatna dan Rustandi,

1995). Proses pembentukan lipatan di Cekungan Kutai terdiri dari dua pendapat,

yaitu:

1. Menurut Ott (1987 dalam (Resmawan, 2007), menyatakan bahwa pola struktur

pada Cekungan Kutai disebabkan oleh adanya proses gelinciran akibat gaya

gravitasi (gravity sliding) pada batuan dasar yang mempunyai plastisitas tinggi

akibat adanya pengangkatan Tinggian Kuching selama Zaman Tersier.

2. Menurut McClay dkk. (2000 dalam Resmawan, 2007) menyatakan bahwa

struktur di daerah dataran Cekungan Kutai merupakan hasil dari tektonik delta,

yaitu gabungan dari gaya tektonik dan sedimentasi yang cepat. Akibat

penumpukan terjadi pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesar-

sesar turun, kemudian mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya

kompresi.
12

Gambar 4. Struktur geologi Cekungan Kutai (allen & Chambers, 1998 dalam (Renaldo,
2009)

B. Dasar Teori

1. Batubara
Menurut Sukandarrumidi, 1995 dalam Akhsanul, Budiman, & Widodo, 2018

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari

tumbuhan, serta berwarna coklat sampai hitam,yang sejak pengendapannya terkena

proses fisiska dan kimia yang memperkaya kandungan karbonnya, sedangkan

menurut Diesel, 1992 dalam (Ma’Arif, 2016) “batubara adalah batuan sedimen yang

terbentuk dari sisa tumbuhan purba, yang dapat terbakar, berwarna coklat sampai

hitam, mengalami proses fisika dan kimia yang sejak pengendapannya yang

mengakibatkan pengayaan pada kangdungan karbon”


13

Pembentukan batuabara di awali dengan proses peatification (penggambutan) dari

sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi yang berlanjut pada

proses coalification (pembatubaraan) secara kimia, fisika, dan biologi yang tejadi

karena pengaruh beban sedimen yang menutupinya (over burden), tekanan,

temperatur dan waktu.

Gambar 5. Skema pembentukan batubara (Iswati, 2012 dalam Wahida, 2017)

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi

dan lokasi tempat tumbuhan berkembangnya ditambah dengan lingkungan

pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta

perubahan geologi yang berlangsung kemudian akan menyebabkan terbentuknya

batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara

berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal

seam).
14

Periode Karbon adalah awal mula pembentukan batubara (periode pembentukan

karbon atau batubara) sehingga dikenal sebagai zaman batubara pertama yang

berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap

endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan,

yang di sebut maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignit

(batubara muda) atau brown coal (batubara coklat) ini adalah batubara dengan jenis

maturitas organik rendah (Wahida, 2017). Dibandingkan dengan batubara jenis

lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai

kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama

jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap (World Coal

Institute, 2005).

2. Proses Pembentukan Batubara


Terdapat dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara yaitu:

1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification)

2. Proses pembentukan batubara dari gambut (coalification)

a. Proses Pembentukan Gambut (peatification)


Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, bersal dari hancuran,

tumpukan, atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup dari

udara (dibawah air), berat kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi

kering dan tidak dapat kandungan air lebih dari 70% (Wolf, 1984 dalam YuniI Iswati,

2012).
15

Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah dan kandungan

oksigennya sangant rendah, sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob hidup, sisa

tumbuhan tersebut tidak akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran

sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri anaerob yang melakukan proses

dekomposisi membentuk gambut.

Moor adalah lapisan gambut memiliki ketebalan minimum 30 cm (Anggayana,

2002 dalam Aryadhi, 2011). Berdasarkan morfologi pemukaanya, moor dapat di

kelompokan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan

makanan. Morfologi permukaannya datar dan atau cekung. Pasokan air utuk

gambut ini bersal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah) tidak

tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuhan perdu dengan PH berkisar antara

4,8-6,5 dan tumbuh rumput-rumputan dengan daun lebar.

2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari

permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor ini tidak tergantung pada

air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung

pada air hijan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan menyebabkan

air hujan tersimpan dalam gambut. Lebih sedikit bahan makanan untuk tumbuhan

dibandingkan dengan lowmoor sehingga jenis tanaman tersebar seperti rumput

dengan daun yang kecil dan lumut. Untuk daerah beriklim sedang, highmoor

ditumbuhi sphagnum dan di daerah tropis ditumbuhi hutan lokal dengan

bermacam jenis tumbuhan PH pada highmoor berkisar antara 3,3 – 4,6.


16

b. Kelas dan Jenis Batubara


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang di kontrol oleh tekanan panas

dan waktu. Batubara umunya di bagi dalam lima kelas: gambut, lignit, sub-

bituminous, bituminous, dan antrasit (Sutarno, 2013 dalam(Wahida, 2017).

1. Antrait adalah batubara kelas tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)

metalik, mengandung unsur karbon (C) antara 86-98% dengan kadar air kurang

dari 8%.

2. Bituminus mengandung unsur karbon (C) antara 68-86% dan berkadar air 8-10%

dari berat. Kelas batubara yang paling banyak di tambang di Australia.

3. Sub-bituminus mengandung banyak air dan sedikit karbon, oleh karenannya

menjadi sumber panas yang kurang efisien di bandingkan dengan bituminus.

4. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung

35-75% air dari beratnya.

5. Gambut, berpori dan memiliki nilai kalori yang paling rendah serta kadar air di

atas 75%.

c. Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batubara


Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan

geologi sekitarnya. Ketebalan, distribusi lateral, kualitas batubara dan komposisi

banyak dipengaruhi oleh ligkungan pengendapannya Gambar 6 menunjukan model

lingkungan pengendapan pada lingkungan delta..


17

Gambar 6. Model lingkungan pengendapan batubara dilingkungan delta (Horne, 1978 dalam
(YuniI Iswati, 2012)

1) Lingkungan pengendapan Barrier


Kearah laut batupasir butirannya semakin halus dan berselang seling dengan

serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut

kearah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu–abu gelap sampai hijau tua

yang mengandung fauna air payau. Batupasir pada lingkungan ini lebih bersih dan

sortasi lebih baik karena pengaruh gelombang dan pasang surut.

2) Lingkungan Pengendapan Back-Barrier

Gambar 7. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back Barrier (Horne, 1978
dalam (YuniI Iswati, 2012)
18

Lingkungan ini (Gambar 7) terutama disusun oleh urutan perlapisan serpih abu-

abu gelap kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang

secara lateral tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Lingkungan back

barrier: batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sejajar sistem penghalang atau

sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal chanel

setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan.

3) Lingkungan Pengendapan Lower Delta Plain

Gambar 8 adalah penampang lingkungan pengendapan pada bagian lower delta

plain, endapan yang mendominasi adalah batulanau dan serpih yang mengkasar ke

atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan lempung-serpih abu-abu gelap

sampai hitam, kadang-kadang terdapat mudstone siderit yang tidak teratur

penyebaranya. Pada bagian atas dari sikuen ini terdapat batupasir dengan struktur

ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus. Hal ini menunjukan

bertambahnya energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan yang

mengakibatkan terbentuk permukaan dimana tanaman menancapkan akarnya,

sehingga batubara dapat terbentuk. Lingkungan lower delta plain: batubaranya tipis,

pola sebaranya umumnya sepanjang chanel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan

ditandai oleh hadirnya spliting oleh endapan crevase splay dan kandungan sulfurnya

agak tinggi.
19

Gambar 8. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian lower delta plain (Horne, 1978
dalam (YuniI Iswati, 2012)

4) Lingkungan Pengendapan Upper Delta Plain-Fluvial

Gambar 9 adalah penampang lingkungan pengendapan pada lingkungan upper

delta plain-fluvial, endapan didominasi oleh bentuk linear tubuh batupasir lentikuler

dan pada bagian atasnya melidah dengan serpih abu-abu, batulanau, dan lapisan

batubara. Mineral batupasirnya bervariasi mulai dari lithic greywackesrkose, ukuran

butir menengah sampai kasar. Diatas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran

batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin keatas butiran menghalus pada

batupasir. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan point barmenunjukan bahwa hal

ini dikontrol oleh maendering. Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk,

lapisan batupasir dan batulanau tidak teratur sehingga menembus akar. Ketebalannya
20

bertambah apabila mendekati channel dan sebaliknya. Lapisan pembentuk endapan

alluvialplain cenderung lebih tipis dibandingkan endapan upper delta plain.

Lingkungan upper delta plain – fluvial: Batubaranya tebal dapat mencapai lebih dari

10 m, sebarannya meluas cenderung memanjang sejaajar jurus pengendapan, tetapi

kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk batubara ditandai

hadirnya splitting akibat chanel kontenporer dan washout oleh channel subsekuen dan

kandungan sulfurnya rendah.

Gambar 9. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian upper delta plain-fluvial


(Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012)

5) Lingkungan Pengendapan Transitional Lower Delta Plain

Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona transisi yang

mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Disini sekuen bay fill
21

tidak sama dengan sekuen upper delta plain ditinjau dari fauna air payau sampai

marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan chanel menunjukan

kenampakan migrasi lateral lapisan point bar accretion menjadi chanel pada upper

delta plain.

Gambar 10. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian transitional lower delta plain
(Horne, 1978 dalam (YuniI Iswati, 2012)

Gambar 10 merupakan penampang lingkungan pengendapan pada lingkungan

transitional lower delta plain, batupasir tipis crevasse splay umum terdapat pada

endapan ini, tetapi lebih sedikit banyak daripada di lower delta plain namun tidak

sebanyak di upper delta plain. Lingkungan transitional lower delta plain:

batubaranya tebal dapat lebih dari 10 m, tersebar meluas cenderung memanjang jurus

pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel, bentuk


22

lapisan batubara ditandai splitting akibat chanel kontenporer dan washout oleh chanel

subsekuen dan kandungan sulfurnya agak rendah.

3. Well Logging
Well Logging secara bebas dan sederhana berarti suatu pencatatan perekaman

penggambaran, sifat, karakter, ciri, data, keterangan, urutan bawah permukaan secara

bersambung dan teratur selaras dengan majunya alat yang di pakai. Well logging

dapat digunakan untuk memperkirakan keadaan struktur bawah permukaan. Well

logging adalah cara untuk mendapatkan rekaman log yang detail mengenai formasi

geologi yang terpenetrasi dalam lubang bor serta untuk menunjang data dari

pengeboran sehingga dapat dikorelasikan tingkat kebenaran yang di hasilkan

(Setiahadiwibowo A., P. 2016 dalam Khasanah, 2019). Kegunaan well logging dalam

hubungannya dengan eksplorasi geofisika menurut Harsono, 1993, antara lain untuk

mengidentifikasi litologi ketebalan serta kedalaman lapisan, mempercepat hasil

bawah permukaan dan memperkecil resiko pengeboran, membantu menentukan

densitas, porositas serta temperatur bawah permukaan, menentukan kandungan shale,

dan korelasi antar lapisan. Log geofisika yang utama digunakan dalam eksplorasi

batubara adalah gamma ray log, density log, dan caliper log. Kombinasi ini biasa

disebut dengan formation density sonde (FDS).

a. Gamma Ray Log (GR Log)


Prinsip pengukuran gamma rayy log adalah perekaman radioaktivitas alami bumi.

Radio aktivitas gamma ray bersal dari unsur-unsur radio aktif yang ada dalam batuan

yaitu Uranium-U, Thorium-Th, dan Potasium-K, yang secara continue memancarkan

sinar gamma dalam bentuk pulsa-pulsa energi radiasi tinggi. Sinar gamma ini mampu
23

menembus batuan dan di deteksi oleh sensor sinar gamma yang umumnya berupa

detektor sintilasi (Erihartanti dkk, 2015). Setiap GR yang terdeteksi

1. Evaluasi kandungan shale (Vshale).

2. Menentukan lapisan permeabel dan non permeabel berdasarkan sifat radioaktif.

3. Ketebalan lapisan batuan.

4. Korelasi antar sumur.

Penggambaran garis batupasir berada dibawah garis batupasir biasanya

menunjukan batubara atau batugamping. Untuk defleksi diantara garis shale dan

batupasir menunjukan radiasi antara batupasir dan shale, seperti batulanau,

batugamping argilaceous dan kadan batubara kotor.

b. Log Densitas (Density Log)


Log density merupakan suatu tipe log porositas yang mengukur densitas elektron

suatu formasi. Prinsip kerja log density yaitu suatu sumber radioaktif dari alat

pengukur dipancarkan sinar gamma dengan intensitas energi tertentu menembus

formasi/batuan, lihat pada Gambar 11. Batuan terbentuk dari butiran mineral,

mineral tersusun dari atom-atom yang terdiri dari proton dan elektron. Partikel sinar

gamma bertumbukan dengan elektron-elektron dalam batuan. Akibat tumbukan ini

sinar gamma akan mengalami pengurangan energi (loos energy). Energi yang

kembali sesuda mengalami benturan akan di terima oleh detektor yang berjarak

tertentu dengan sumberdaya. Kandungan komponen kuarsa, seperti kuarsa berbutir

halus dapat memberikan efek yang sangat besar dalam pembacaan density log. Hal

tersebut dapat menyebakan porositas semu batubara akan menurun sedangkan


24

densitas batubara akan meningkat. Semakin lemahnya energi yang kembali

menunjukan semakin banyaknya elektron-elektron dalam batuan, yang berarti

semakin banyak/padat butiran/mineral penyusun batuan persatuan volume. Besar

kecilnya energi yang di terima oleh detektror (Harsono, 1993) tergantung adari:

1. Besarnya densitas matriks batuan.

2. Besarnya porositas batuan

3. Besarnya densitan kandungan yang ada dalam pori-pori batuan

Gambar 11. Skema rangkaian dasar densitas logg (John T. Dewan, 1983 dalam (Harsono,
1993)
25

c. Log Caliper
Caliper log (Gambar 12) adalah merupakan log penunjang dalam interpretasi log

dimana kurva ini dapat menunjukan kondisi diameter lubang bor. Manfaat utama dari

caliper log adalah untuk mengetahui diameter lubang bor terhadap kedalaman yang

nantinya berguna untuk perhitungan volume lubang bor dalam kegiatan penyemenan.

Caliper log juga berguna untuk:

1. Menentukan setting packer yang tepat pada DST.

2. Estimasi ketebalan mud cake.

3. Perhitungan kecepatan lumpur di annulus untuk pengangkatan cutting.

Gambar 12. Ilustrasi log caliper


26

4. Karakteristik Well Logging


Interpretasi data well logging dilakukan untuk menentukan litologi pada setiap

kedalaman di bawah permukaan bumi. Pada kurva log Masing-masing litologi

memiliki respon yang khas, sehingga jenis litologi dapat di tentukan. Respon log

yang ideal untuk setiap jenis batuan, dapat dilihat pada Gambar 13 dibawah ini:

Gambar 13. Respon log ideal dari masing-masing litologi

Karakteristik log dari beberapa batuan adalah sebagai berikut:


1. Batubara: Gamma Ray rendah dengan density rendah

2. Batulempung: Gamma Ray menengah dengan Density menengah

3. Batupasir: Gamma Ray agak rendah dengan Density menengan sampai tinggi

4. Konglomerat: Gamma Ray menengah dengan Density menengah

5. Batugamping: Gamma Ray rendah dengan Density menengah sampai tinggi

6. Batuan Vulkanik: Gamma Ray rendah dengan Density tinggi


27

5. Elektrofasie

Elektrofasies di analisis dari pola kurva log gamma ray (GR). Menurut Selley

(1978) dalam (Harsono, 1993), gamma ray mencerminkan variasi dalam suatu

suksesi ukuran besar butir. Konsep motif log adalah suatu metode yang

mengkorelasikan bentuk pola log yang sama. Menurut Walker dan James (1992)

dalam Ismahesa (2015), pola-pola log menunjukan energi pengendapan yang

berubah, yakni berkisar dari energi tingkat tinggi sampai rendah. Dalam interpretasi

geologi, suatu lompatan (looping) dilakukan dari energi pengendapan sampai

lingkungan pengendapan, pola-pola log selalu diamati pada kurva gamma ray atau

spontaneous potential, tetapi kesimpulan yang sama juga dapat didukung dari log

Neutron-Density.

Log sumur memiliki bentuk dasar yang biasa mencirikan karakteristik suatu

lingkungan pengendapan. Bentuk-bentuk dasar tersebut dapat berupa cylindrical,

irreguler, bell, funnel, symmetrical, dan asymetrical (Kendal, 2003, dalam Ismahesa,

2015). Menurut Siddiqui (2013) dalam studi singkapan bentuk log, pola log yang

rumit secara geometris yang terjadi pada semua litologi, memiliki banyak bentuk atau

tren dan terjadi pada berbagai skala. Gambar 14 menunjukan lima pola bentuk dasar

dari kurva log GR, sebagai respons terhadap proses pengendapan. Berikut ini adalah

pejelasan mengenai bentuk dasar kurva log:

1. Boxcar/Cylindrical

Bentuk Boxcar/Cylindrical pada log GR atau log SP dapat menunjukan sedimen

tebal dan homogen yang di batasi oleh pengisian channel(chanel-fills) dengan kontak
28

yang tajam. Bentuk cylindrical diasosiasikan dengan akumulasi facies yang heterogen

pada lingkungan shallow water. Kondisi respon pertumbuhan reef terhadap kenaikan

muka air laut relatif yaitu keep-up carbonates shelf.

2. Funnel Shape

Profil bentuk corong (funnel) menunjukan pengkasaran regresi atas yang

merupakan bentuk kebalikan dari bentuk bell dengan dampak ketidaksesuaian batas

geologi dan tata waktu/runtunannya, dan selalu diasosiasikan sebagai coarsening-

upward. Bentuk dari log gamma ray memperlihatkan peningkatan rekaman kadar

sinar gamma ray kearah atas dalam suatu paket batuan. Bentuk funnel merupakan

hasil dari shoreline, perubahan berkembangnya dari endapan calstic ke carbonates.

Kondisi respon pertumbuhan reef terhadap kenaikan muka air laut relatif yaitu catch-

up carbonates shelf.

3. Bell Shaped

Profil Bentuk Bell menunjukan penghalusan ke arah atas, kemungkinan akibat

pengikisan channel (channel fills) memperlihatkan penurunan nilai rekaman kadar

sinar gamma kearah atas suatu paket batuan. Bentuk bell ini selalu diasosiasikan

sebagai fining upward. Bentuk bellmerupakan rekaman dari endapan tidal-channel

fill, tidal flat, transgressive shelf. Kondisi respon pertumbuhan reef terhadap

kenaikan muka air laut relatif yaitu give-up carbonates shelf.

4. Symmetrical-Asimetrycal Shape

Bentuk symmetrical merupakan kombinasi antara bentuk bell-sussinel. Kombinasi

coarsening-finning upward ini dapat di hasilkan oleh proses bioturbasi.


29

5. Irregular shape

Bentuk ini merupakan dasar untuk mewakili heterogenitas batuan reservoar.

Gambar 14. Pola respon dari log gamma ray (GR) (Cant, 1992 dalam (YuniI Iswati, 2012)

Setiap pola elektrofesies akan menghasilakan lingkungan pengendapan berbeda.

Secara umum lingkingan pengendapan berpengaruh pada kualitas batubara, akan

tetapi secara khusus yang lebih berpengaruh adalah genesa dari komponen kualitas

yang ada di dalam batubara, litologi pengapit lapisan batuabara, dan asosiasi dengan

mineral lain.

Secara umum penelitian ini di lakukan dengan tiga tahapan yaitu tahap akuisis,

analisis dan interpretasi. Akuisis sendiri meliputi kajian pustaka, Well logging dan

pemboran. Hasil dari akuisis well logging menghasilkan respon gamma ray log, short

dan long density log. Selanjutnya di lakukan identifikasi litologi yang akan

menghasilkan analisis elektrofasies dan analisis ketebalan dan kedalaman lapisan


30

batubara. Tahapan selanjutnya adalah interpretasi itu sendiri. Interpretasi merupakan

hasil dari akuisisi dan analisis. Pengambilan data lapangan menggunakan system

touch coring (gabungan antara non coring dan coring) yaitu coring dilakukan

terhadap perlapisan batubara, sedangkan pada saat pengeboran menembus litologi

lain dilakukan pengeboran non coring (open hole).

6. Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara

a. Analisis Kualitas Batubara


Terdapat dua jenis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis proksimat dan

analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan

pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat bertujuan untuk

mengkuantifikasi nilai moisture atau air yang dikandung batubara, baik air

permukaan (free moisture) maupun air bawaan (inherent moisture), kemudian

mengkuantifikasi pula kandungan abu (ash), zat terbang (volatile metters), dan

karbon tertambat (fixed carbon).

Standar opration prosedur (SOP) analisis proksimat diperlukan untuk memberikan

acuan bagi analisis untuk menghasilkan nilai hasil uji yang presisi dan akurat.

Dengan mengetahui kadar abu dapat memperkirakan berapa nilai kalori dari batubara

dimana semakin tinggi kadar air dan abu akan menghasilkan kalori yang rendah. Zat

terbang juga salah satu pengotor batubara dan dapat menentukan range batubara

selain nilai kalor. Berdasarkan zat terbang yang tinggi dapat menyebabkan batubara

terbakar dengan sediri (self burning). Karena sangat pentingnya parameter proksimat

dalam batubara diperlukan analisis dan akurat dalam metode analisisnya.


31

1. Kadar Air (moisture)

Semua batubara meiliki kadar air (moisture) yang terdiri dari air permukaan

(surface moisture) dan didalam batubara itu sendiri (inherent moisture). Kadar air

dalam batubara menjadi bertambah pada saat pencucian batubara sehabis

penambangannya. Bertambahnya kadar air di dalam batubara juga di sebabkan karena

penimbunan di udara terbuka atau bila butiran-butiran batbaranya makin halus

(pratiwi,2013 dalam (Ma’Arif, 2016)

Menurut Xianchun dkk (2009) dalam (Komariah, 2012) “menyatakan bahwa

moisture dalam batubara berada dalam beberapa bentuk yang berbeda yaitu air bebas

di permukaan, air yang terkondensasi di kapiler, air yang terserap, air yang terikat

dengan gugus polar dan kation, dan air yang timbul akibat dekomposisi kimia baik

material organik maupun inorganic”.

2. Zat Terbang (volatile Metter)

Didalam batubara tekandung sejumlah zat-zat atau gas-gas yang mudah terbang

antara lain hidrogen dan zat-zat iar arang (CH4, C2H6, C2H2, C2H4) dan sebagainya

(Andrean, 2012). Zat atau gas yang mudah terbang tersebut akan segerah terbakar

setelah bercampur dengan udara pembakaran. Yang dimaksud dengan kandungan zat-

zat mudah terbang tersebut adalah persentase atau berat dari zat-zat penguap, bila

dilakukan destilasi terhadap bahan bakar tersebut tanpa ada hubungan dengan udara

pada temperatur 950oC dikaurangi berat uap air yang menguap sedangkan sisanya

berupa kokas. Kandunga zat terbang memberikan pengaruh terhadap ppeningkatan


32

konserfasi kandungan zat terbang batubara. Kandungan zat terbang yang tinggi

menunjukan bahwa batubara di dominasi oleh struktur alifatik dan gugus fungsional

eter yang lemah dan mudah diputuskan ketika dipanaskan dalam suhu yang tinggi

(Harli,2013 dalam (Ma’Arif, 2016).

3. Kadar Karbon (Fixed Carbon)

Kadar karbon tetap merupakan bagian dari batubara yang membutuhkan waktu

lama untuk terbakar di dalam ruang bakar, karena masih terdapat sisa karbon. Fixed

Carbon di tentukan dengan perhitungan: 100% dikurangi persentase Moisture, volatil

metter, dan ash (dalam basis kering udara(adb)).

4. Kadar abu (ash)

Abu merupakan zat mineral yan tidak terbakar dan akan tertinggal ketika batubara

terbakar sempurna. Kadar abu yang tinggi dalam batubara tidak mempengeruhi

proses pembakaran, namun dapat memperbesar kerugian yang disebabkan

terdapatnya sejumlah bahan bakar yang terbuang bersama dengan abu tersebut. Abu

batubara mengadung sebagian unsur yang bersifat volatile pada temperatur tinggi dan

ukuran batubara sangat bervariasi yang semuanya tergantung pada teknik penggiligan

batubara (Pratiwi,2013 dalam (Ma’Arif, 2016)). Dari hasil limbah pembakaran

batubara banyak ditemukannya unsur Si dan Al yang berupa abu laying (fly ash) dan

abu dasar (bottom ash). Abu laying dan abu dasar tersebut memiliki kandugan SiO2

dan Al2O3 dengan persentase yang berbeda. Abu laying yaitu sebesar 51.8% dan

26.85% sedangkan abu dasar sebesar 57.48% dan 36.61% (Fatiha,2013 dalam

(MA’Arif, 2012).
33

b. Klasifikasi Batubara
Hampir setiap negara penghasil batubara dengan jumlah besar mempunyai istilah

sendiri untuk menyatakan rank. Sebagai contoh, rank batubara di Amerika

menggunakan standarisasi dari ASTM (American Society for Testing Material) dan

di Jerman menggunakan standarisasi dari DIN. Klasifikasi ASTM berdasarkan rank

dari batubara itu atau berdasarkan derajat metamorphism nya atau perubahan selama

coalificasi (mulai dari lignit sampai antrasit). Untuk menentukan rank batubara di

perlukan data fixed carbon (dmmf), volatile matter (dmmf) dan nilai kalor dalam

Btu/lb dengan basis mmmf (moist mmf). Klasifikasi ASTM bisa dilihat pada Tabel 1
34

Tabel 1. Klasifikasi ASTM


35

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei di lapangan

tambang batubara PT Equalindo Makmur Alam Sejahtera Sanga-Sanga Kabupaten

Kutai Kertanegara Propinsi Kalimantan Timur (Gambar 15).

Daerah penelitian dapat di tempuh selama 4 jam 30 menit menggunakan

transportasi udara dari bandara Halu Oleo menuju Balikpapan di tempuh selama 1

jam 15 menit dan dilanjutkan dari Balikpapan menuju Sanga-sanga selama 3 jam, dari

sanga-sanga menuju tempat penelitian selama 15 menit.

Gambar 15. Peta lokasi penelitian


36

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan data-data yang digunakan sebagai data utama dan

data penunjang, adapun data-data itu meliputi:

1. Data Log

Data ini berupa data sekunder yang di dapat dari hasil pengambilan data yang

dilakukan oleh PT Alhasani. Data ini berupa rekaman grafik log (gamma ray,

densitan dan kedalaman) dimasing-masing sumur bor. Banyaknya data yang

digunakan adalah sebanyak 8 (delapan) titik bor. Dan juga didukung foto core yang di

ambi perkedalaman.

Well logging secara bebas dan sederhana berarti suatu pencatatan perekaman

penggambaran, sifat, karakter, ciri, data, keteranga, urutan bawah permukaan secara

bersambung dan teratur selaras dengan majunya alat yang di pakai. Diagram yang

dihasilkan akan merupakan gambaran karakter/ sifat yang ada pada formasi. Metode

well logging adalah suatu perekaman berdasarkan sifat fisis di sepanjang sumur

lubang bor yang dilakukan kemudian bergerak secara perlahan-lahan dengan maksud

agar sensor yang di turunkan ke dalam lubang bor dapat mengetahui hal-hal yang di

temuinya.

Pada batubara di kenal adanya coal lithology log yaitu hubungan penampilan dari

gamma ray log dan densiti log, termasuk juga di dalamnya caliper log bila lubang bor

rusak misal adanya ambrukan


37

2. Data Core

Data ini berupa bongkahan batubara (sampel Core) yang di ambil di lokasi

penelitian, dan selanjutnya dari data tersebut di lakukan uji laboratorium, guna

mendapatkan parameter uji yang di inginkan.

3. Peta Geologi Regional

Peta geologi regional daerah penelitian merupakan peta yang digukanan untuk

mengetahui kondisi geologi daerah penelitian. Didalam peta geologi regional terdapat

informasi stratigrafi, informasi perkembangan tektonik, dan informasi jenis-jenis

batubara daerah penelitian.

C. Prosedur Penelitian
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, persiapan awal

penelitian, selanjutnya pengolahan data log dan uji data core, kemudian dilanjutkan

pengolahan data serta analisis hasil.

Dari data log yang berupa grafik gamma ray dan grafik densitas kemudian

diinterpretasi untuk menentukan lapisan dan jenis batubara dari lapisan penyusun

batuan lainnya serta untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara dari

pembacaan grafik log dan analisis core yang dihubungkan dengan lingkungan

pengendapan dari model Horne 1978. Untuk data core (sampel batubara) di kirim dan

di uji di laboratorium PT Equalindo Makmur Alam Sejahtera menggunakam analisis

proximat yang untuk mengetahui kualitas batubara yang di dapat dari perhitungan

kadar air (moisture), zat terbang dari batubara, kandungan abu (ash), mineral lainnya

yang terkandung didalam batubara, dan fixed carbon total carbon dengan perhitungan
38

100% dikurangi persentase Moisture, Volatil metter dan ash. Secara garis besar

pengolahan data dapat dilihat pada diagram alir (Gambar 16)

D. Instrumen Penelitian
Tabel 2. Alat dan bahan serta kegunaan

NO Nama Alat dan Bahan Kegunaan

1 GPS Sebagai petunjuk titik koordinat


2 Spidol Permanen Untuk menandai kantong
sampel batuan
4 Kamera Untuk mengambil gambar
dilapangan
4 Kantong Sampel Sebagai tempat penyimpanan
sampel
5 Karung Untuk menyimpan kantong
sampel yang telah diisi sampel
batuan
6 Core Box Untuk menyimpan hasil coring
7 Meteran Untuk mengukur panjang
coring yang naik
8 Alat bor Untuk membor batubara
9 Alat logging Untuk Loging titi bor yang
sudah di bor
39

E. Pengolahan dan Analisis data

START

1. Administrasi
2. Studi pustaka
Tahap Awal
3. Pembuatan proposal
4.Perlengkapan alat

Penelitian
dilapangan

Data Log Data Core

Gamma Ray Log Density Log


Karakteristik Fisik

Proximate

Lapisan Batubara
dan Sedimen
Penyusunya

TM VM ASH FC

Lingkungan
Kualitas Batubara
Pengendapan
(ASTM)
Batubara

Selesai

Gambar 16. Diagram alir penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Geologi Daerah Penelitian

Geologi daerah penelitian terdiri atas beberapa aspek diantaranya morfologi,

stratigrafi, dan struktur.

1. Morfologi
Daerah penelitian terletak dilokasi penambangan ALC10 dan ALC14 PT. EMAS.

Secara umum morfologi daerah penelitian merupakan daerah aktif penambangan

yang memiliki morfologi perbukitan dan lereng bergelombang sedang seperti daerah

sekitarnya dengan ketinggian 10-200m dari permukaan laut.

Gambar 17. Morfologi Daerah Penelitian

40
2. Stratigrafi

Stratigrafi daerah penelitian secara umum disusun oleh tiga satuan batuan yang

berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Supriatna dan Rustandi (1995)

membagi stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa satuan batuan yang

berumur Miosen tengah sampai miosen akhir pada formasi Balikpapan yaitu:

batulempung, batupasir kuarsa dengan sisipan lanau dan batubara. Satuan

batulempung, dimana satuan ini merupakan satuan yang tertua didaerah penelitian

yang berwarna abu-abu sampai coklat, ukuran butir lempung 1/256 kemas tertutup,

sortasi buruk, permeabilitas buruk, satuan batupasir kuarsa berwarna abu-abu sampai

putih memiliki ukuran butir pasir sangat halus sampai pasir sedang, sortasi baik serta

mamiliki komposisi mineral kuarsa pada batupasir kuarsa, struktur sedimenya

menghalus keatas (finning upwoard) dan terdapat sisipan batulanau, satuan batubara

berwarna hitam kecoklatan sampai hitam, cerata hitam, kilap tanah sampai kilap kaca,

kekerasan sedang. Struktur yang berkembang pada daerah penelitian adalah homoklin

dengan arah jurus perlapisan berarah timurlaut-baratdaya dengan arah kemiringan

lapisan ketenggara. Terdapat pula sesar normal berarah baratlaut-tenggara pada

bagian barat daerah penelitian yang memotong jurus perlapisan batuan daerah

penelitian.

41
A

Gambar 18. a) data coring batubara dan b) data cuting pemboran

42
B. Interpretasi Data Log dan Data Core

Endapan batubara pada daerah penelitian berada pada satuan batulempung dan

batupasir, dengan nama lain, satuan batuan ini merupakan satuan pembawa batubara

(coal bering) yang merupakan bagian dari formasi Balikpapan. Batubara ditemukan

sebagai sisipan, berwarna coklat kehitaman - hitaman, kilap dull-dull banded,

kekerasan hard-moderate, gores cokla-hitam kecoklatan, belahan subconcoidal-

iregular.Pada daerah penelitian dilakukan pengeboran sebanyak 8 titik bor pada dua

pit yaitu ALC-14 dan ALC-10 dengan kedalaman 40-80m dan 28-76m. berikut

adalah data pemboran di daerah penelitian(Tabel 3).

Tabel 3. Data pemboran batubara daerah penelitian (PT. EMAS)

No Borhole Elevasi Kedalaman Ketebalan Seam


(m) (m) (m)
6,64 Seam U
1 ALC10-10B 10,00 82,50 5,00 Seam T
0,99 Seam 1
2 ALC10-17A -2,00 75,00 2,86 Seam Z
1,10 Seam Y1
3 ALC10-18A 4,00 40,50 3,44 Seam 2
4 ALC10-29 12,00 45,00 2,82 Seam W2
2,20 Seam W3
ALC14-122 0,00 61,50 5,10 Seam w
5 ALC14-124 0,00 30,00 1,22 Seam X
3,48
6 ALC14-125 27,00 84,00 2,32 Seam Y1
7 ALC14-131A 3,00 28,50 4,26 Seam X
5,08

43
44

Berdasarkan karakter lapisan batubara yang diamati dari data core dan log,

disimpulaka bahwa di daerah penelitian memiliki delapan lapisan (seam) batubara

pada ALC10 dan ALC14 dengan variasi ketebalan antara 90 cm - 650 cm dengan

urutan muda ke tua yaitu seam 1, seam 2, seam 3, seam 4, seam 5, seam 6. seam 7,

dan seam 8.

Sebelum melakukan tahapan logging geofisika dilakukan kegiatan tahapan

pemboran eksplorasi. Dalam melakukan pemboran eksplorasi kondisi daerah tersebut

harus diperhatikan meliputi kondis geologi umum, tataguna lahan, dan infrastruktur.

Dalam pembahasan ini penulis akan menganalisis grafik log, interpretasi data hasil

pemboran, analisis lingkungan pengendapan berdasarkan variasi runtunan litologi dan

data log, korelasi penampang 2D berdasarkan titik bor menggunakan data log, dan

analisis kualitas batubara menggunakan klasifikasi ASTM.

1. Analisis grafik defleksi log pada batuan sedimen


Daerha penelitian terletak pada formasi Balikpapan. Batubara yang berada pada

formasi Balikpapan tertutupi oleh batuan sedimen, dimana pada daerah ini batuan

sedimen yang dijumpai yaitu batulempung (claystone), batupasir kuarsa (sandstone)

dan sisipan batulanau (siltstone).


45

a. Analisis grafik log pada sandstone (batupasir)

Gambar 19. Grafik log untuk batupasir (sandstone)

Gambar 19 menujukan grafik log batupasir (sandstone). Karakteristik batupasir

memiliki warna abu-abu terang, ukuran butirnya mulai dari pasir sedang sampai

sangat halus. Pola log batupasir pada gambar diatas berbentuk funnel menunjukan

bahwa ukuran butirnya mengkasar keatas dengan kisaran nilai 5-58 cps, dan fasies

creavasse splay dengan struktur sedimen 2-70 cps. Energi sedimentasi pengendapan
46

batupasir tersebut identik dengan arus sedang sampai kuat, tingkat kekerasannya agak

keras dan memiliki sturuktur sedimen yaitu wavy lamination (laminasi

bergelombang).

b. Analisis grafik log pada batulempung (claystone)

Gambar 20. Grafik log untuk batulempung (claystone)

Gambar 20 menunjukan grafik log claystone (batulempung) umumnya warna

batuan sedimen ini dari abu-abu gelap sampai terang, berwarna abu-abu (grey), pada

bagian bawah (bottom) biasanya terdapat fragmen carbon, dan pada bagian atas (top)

yaitu batulanau (silstone), umumya kekerasan batuan menengah sampai agak keras,

pola grafik log pada Gambar 20 berbentuk irregular dengan kisaran nilai 10 sampai
47

58 cps, dan biasanya memiliki laminasi paralel dan bergelombang. Ini menunjukan

bahwa energi sedimentasi pengendapan batulempung tersebut identik dengan arus

sedang.

c. Analisis grafik log pada batulanau (siltstone)

Gambar 21 menunjukan grafik log siltstone (batulanau). Umumnya berwarna abu-

abu sampai coklat terang, ukuran butirnya sangat halus, tingkat kekerasanya agak

keras. Pola log yang ditunjukan pada gambar dibawah berbentuk irregular dengan

kisaran nilai 9 sampai 22 cps dan memiliki struktur sedimen paralel dan laminasi

bergelombang ini menunjukan energi sedimentasi pengendapan batulanau tersebut

identik dengan arus sedang.

Gambar 21. Grafik log untuk batulanau (siltstone)


48

2. Interpretasi Litologi Batuan Baerdasarkan data Pemboran (core) dan data


Logging Pada Masing-Masing Titik Bor

Berdasarkan data delapan titik bor (Error! Reference source not found.), didaerah

penelitian memiliki variasi runtunan litologi yang dikuasai oleh satuan batuan

batulempung (claystone), batulanau (siltston), batupasir (sandstone), batulempung

karbonan (carboneceous claystone) dan batubara (coal).

Pada setiap pengeboran kedalaman O-5meter merupakan open hole. Yang

dimaksud dengan Open Hole adalah hasil pemboran yaitu partikel - partikel yang

keluar dari lubang bor menggunakan tekanan air dan sampai dipermukaan yaitu

berupa “cutting” mengalir melalui parit dan ayakan pemisah diamati material yang

keluar, tetapi tidak dianalisis.

Interpretasi litologi yang dilakukan berdasarkan data pemboran (hasil coring),

kemudian dilanjutkan dengan logging. Dari data logging tersebut dilakukan

interpretasi jenis dan litologi batuan dengan melihat pola defleksi log GR dan

Density, sedangkan untuk kenampakan sifat batuan diamati dari hasil coring yang

tidak mungkin dapat dilihat dari hasil logging.

Tabel 4. Interpretasi litologi titik bor ALC10-18A

TITIK BOR ALC10-18A


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 1 Open hole
1 13 Batulempung, berwarna abu-abu sampai coklat, ukran butir lanau
sampai lempung
13 15 Batulempung, berwarna abu-abu, ukran butir lanau sampai lempung
15 19 Batulempung, berwarna abu-abu terang, ukuran butir lempung
19 21 Batulempung, berwarna abu-abu terang, ukuran butir lanau
49

21 30 Batulempung, berwarna coklat, ukuran butir lempung


30 34 Batubara seam 2, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
Batuan sedimen yang mengandung cukup besar material organik,
34 35 batubara, batulempung, dan campuran batulanau yang mengandung
karbon dan batupasir
35 40 Batulanau. Berwarna hitam sampai abu-abu gelap, ukuran butir
lempug, mengandung material organik

Total kedalaman pemboran (Tabel 1) adalah 41 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 40 m Batubara pada seam ini ditemukan pada titik bor yaitu ALC10-18A

dengan nama seam 2. Secara umum, ketebalan batubara pada seam ini mencapai 3.44

m dengan ciri kilap dull, berwarna hitam, gores hitam, berat light-moderate,

kekerasan hard, struktur massive, belahan subconcoidal- isrreguler. Seam ini

mempunyai kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung.

Tabel 5. Interpretasi litologi titik bor ALC10-17A

TITIK BOR ALC10-17A


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 1 Open hole
1 4 Batupasir, berwarna abu-abu, ukuran butir pasir sangat halus
4 10 Batulempung, berwarna abu-abu terang sampai coklat, ukran butir
lempung
10 14 Batulempung, berwarna coklat kemerahan, ukuran butir lempung
sampai lanau
14 15 Batulempung, berwarna abu-abu gelap sampai hitam, ukuran butir
lanau
15 37 Batulempung, berwarna coklat, ukuran butir lempung
37 40,2 Batubara seam Z, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
Batuan sedimen yang mengandung cukup besar material organik,
40,2 41 batubara, batulempung, dan campuran batulanau yang mengandung
karbon
41 55 Batulanau. Berwarna abu-abu terang, ukuran butir lempug,
50

mengandung sedikit material organik dibagian atas


55 60 Batupasir, berwarna abu-abu sampai coklat, berukuran butir pasir
sangat halus
60 61 Batubara seam Y1, berwarna hitam, cerat hitam, kusam, rapuh,
kekerasan agak keras
61 65 Batulanau, berwarna coklat, ukuran butir lanau
65 66 Batubara seam 1, berawarna hitan, kusam, cerat hitam, kekerasan
agak keras
66 72 Batulanau, berwarna coklat sampai abu-abu gelap, ukuran butir
lempung sampai lanau
72 75 Batupasir, berwarna abu-abu, ukuran butir pasir sangat halus

Total kedalaman pemboran (Tabel 5) adalah 76 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 75 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam Z, Y1, dan

1. Seam Z memiliki ketebalan 2,86 m, seam Y1 memiliki ketebalan 1,10 m, dan seam

1 memiliki ketebalan 1,10 m, dengan kontak atas dan bawah batu lanau serta sisipan

batupasir secara umum, batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull - dull

banded, berwarna hitam kecoklatan, gores coklat – coklat kehitaman, beratnya

moderate, kekerasan moderate – hard, struktur massive – blocky banded, belahan

subconcoidal – ireguler.

Tabel 6. Interpretasi litologi titik bor ALC10-10B

TITIK BOR ALC10-10B


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 3 Open hole
3 6 Batulempung, berwarna coklat, ukran butir lanau sampai lempung
6 12 Batupasir, berwarna coklat, ukuran butir pasir halus sampai pasir sangat halus
12 25 Batulempung, berwarna abu-abu terang sampai abu-abu gelap, ukuran butir
lempung sampai lanau
2 2Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung, mengandung sedikit
25 27 karbon
2 3Batupasir, berwar abu-abu, ukuran butir pasir halus
27 32
51

3 3Batubara seam U, berwarna hitam, rapuh, kekerasan sedang


32 37
3 6Batulanau, berwarna coklat, ukuran butir lempung sampai lanau
37 64
6 6Batubara seam T, Hitam, agak terang, kekerasan agak keras
64 69
6 8Batulanau, berwarna coklat, ukuran butir lempung sampai lanau, mengandung
69 82 karbon bagian atas

Total kedalaman pemboran (Tabel 6) adalah 83 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 82 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam U dan T.

Seam U memiliki ketebalan 4,7 m, seam T memiliki ketebalan 5 m. Karakteristik

batubara pada titik bor ini relatif berwarna hitam, kilap dull - dull banded, gores

hitam – coklat kehitaman, beratnya moderate, kekerasan moderate – hard, struktur

massive – blocky banded, belahan subconcoidal – ireguler. Perselingan batupasir dan

lempung mendominasi pada titik bor ini. Batupasir berbutir sedang sampai halus

dengan ketebalan mencapai 6 meter.

Tabel 7. Interpretasi litologi titik bor ALC10-29

TITIK BOR ALC10-29


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 1 Open hole
1 18 Batulempung, berwarna coklat, ukran butir lempung
18 20,88 Batubara seam W2, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
20,88 31,92 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung
31,92 34,12 Batubara seam W3, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
34,12 45 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung
52

Total kedalaman pemboran (Tabel 7) adalah 46 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 45 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam W2 dan

W3. Seam W2 memiliki ketebalan mencapai 3 m, sedangkan seam W3 memiliki

ketebalan mencapai 2,2m, kedua seam ini adalah hasil dari splitting dari seam W.

Karakteristik batubara berwarna hitam kusam dan kekerasannya sedang. Perselingan

batubara dan batulempung mendominasi pada titik bor ini. Lapisan batulempung

dengan karakteristik umumnya mengandung sedikit cerat batubara.

Tabel 8. Interpretasi litologi titik bor ALC14-122

TITIK BOR ALC14-122


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 6 Batupasir, berwarna coklat, ukura butir pasir halus, mengandung mineral
kuarsa
6 14,4 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung
14,4 19,14 Batubara seam W, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan sedang
19,14 21 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lanau
21 61 Batupasir, berwarna abu-abu sampai putih, ukura butir pasir halus,
mengandung mineral kuarsa

Total kedalaman pemboran (Tabel 8) adalah 62 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 61 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam seam W.

Seam W memiliki ketebalan mencapai 5.10 m.

Secara umum batubara pada seam ini mempunyai ciri kilap dull banded, berwarna

hitam kecoklatan, gores coklat, berat moderate, kekerasan moderate, strukturnya

massive – blocky banded, batubara pada titik bor ini ditemukan adanya parting

dengan ketebalan 2 cm, dengan kontak atas dan bawah yaitu batupasir sisipan

batulempung.
53

Tabel 9. Interpretasi litologi titik bor ALC14-124

TITIK BOR ALC14-124


Kedalaman Deskripsi
(m)
0 1 Open hole
1 3 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung
3 10,02 Batupasir, berwarna abu-abu, ukura butir pasir halus
10,02 11,24 Batubara seam X, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
11,24 11,48 Parting, berwarna abu-abu sampai hitam, lempung dan mengandung
karbon
11,48 14,96 Batubara seam X, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
14,96 16 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung,
mengandung sedikit karbon dibagian atas
16 30 Batupasir, berwarna abu-abu sampai putih, ukura butir pasir halus,
mengandung mineral kuarsa

Total kedalaman pemboran (Tabel 9) adalah 31 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 30 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam X. Seam X

memiliki ketebalan 4.94 m yang seam ini memiliki parting dengan ketebalan 0.24 m.

karakteristik batubara relatif berwarna hitam terang dam keras. Perselingan batupasir

dan lempug mendominasi pada titik bor ini. Ketebalan batupasir mencapai 15 m.

Tabel 10. Interpretasi litologi titik bor ALC14-125

TITIK BOR ALC14-125


Kedalaman(m) Deskripsi
0 1 Open hole
1 3 Batulempung, berwarna abu-abu, ukuran butir lempung
3 12,88 Batupasir, berwarna abu-abu sampai coklat, ukura butir pasir halus
12,88 15,20 Batubara seam Y, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
15,20 17 Batulempung, berwarna abu-abu sampai hitam, ukuran butir
lempung, mengandung sedikit karbon dibagian atas
54

17 24 Batulempung, berwarna abu-abu terang, ukuran butir lempung


24 61 Batupasir, berwarna abu-abu sampai putih, ukura butir pasir sedang,
mengandung mineral kuarsa
61 70,68 Batupasir, berwarna abu-abu sampai putih, ukura butir pasir halus,
mengandung mineral kuarsa
70,68 74,84 Batubara seam X, berwarna hitam, cerat hitam, kilap kaca, kekerasan
keras
74,84 76 Batupasir, berwarna abu-abu, ukuran butir pasir sangat halus

Total kedalaman pemboran (Tabel 10) adalah 77 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 76 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam X dan Y.

Seam X ketebalannya mencapai 4.26 m, sedangkan seam Y ketebalannya mencapai

2.32 m. Karakteristik batubara relatif kilap dull, berwarna hitam, gores hitam,

kekrasan moderate – hard, struktur massive – blocky banded. Perselingan batupasir

dan lempung mendominasi pada titik bor ini. ketebalan batupasir mencapai 46 m.

Tabel 11. Interpretasi litologi titik bor ALC14-131A

TITIK BOR ALC14-131A

Kedalaman (m) Deskripsi

0 1 Open hole

1 10 Batupasir, berwarna abu-abu sampai putih, ukura butir pasir


sedang, mengandung mineral kuarsa
10 17,48 Batulanau, berwarna coklat, ukuran butir lanau

17,48 22,56 Batubara seam X, berwarna hitam, cerat hitam, rapuh, kekerasan
sedang
22,56 28 Batulanau, berwarna coklat, ukuran butir lanau

Total kedalaman pemboran (Tabel 11) adalah 29 m, sedangkan kedalaman loging

adalah 28 m. Seam batubara yang diperoleh Pada titk bor ini adalah seam X. Seam X
55

memiliki ketebalan mencapai 5.08 m. Karakteristik batubara berwarna hitam terang,

cerat hitam dan mudah hancur.

C. Interpretasi Lingkungan pengendapan Batubara Berdasarkan Data Log

Secara kualitatif log gamma ray akan memberikan kualitas grafik log yang cukup

baik dibandingkan dengan log density. Hal tersebut dikarenakan log GR memiliki

tingkat kosensitifitasan detektor yang cukup baik dalam pembacaan radiasi alam

seperti unsur Uranium, Thorium dan potasium.

Analisis elektrofasies ini akan menggunakan beberapa sampel lubang bor inti

(coring) yang diambil secara representatif. Pada pit ALC10 dipilih empat titik bor

yaitu ALC10-10B, ALC10-17A, ALC10-18A, ALC10-29. Pada ALC14 dipilih empat

titik bor yaitu ALC14-122, ALC14-124, ALC14-125, dan ALC14,131A.

Berikut ini akan diperlihatkan beberapa lubang bor yang menunjukan perbedaan

pola log sebagai manifestasi penggunaan metode log inside casing. Pola log tersebut

akan di sebandigkan dengan model horne (1978) dan dikalibrasikan dengan sampel

bor inti agar dapat memberikan keyakinan tertentu pada identifikasi litologi

Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan delta telah dikemukakan oleh

horne (1978). Identifikasi lingkungan pengendapan purba dari sayatan stratigrafi

berdasarkan variasi urutan batuan kemudian dibandingkan dengan sistem

pengandapan untuk model endapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang).
56

Gambar 22. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-17A

.Data log pada Gambar 22 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

yang menunjukan adanya endapan interdistributary bay, swamp, creavasse splay, dan

channel. Masing-masing fasies lingkungan pengendapan dapat diketahui dari litologi

dan struktur sedimen. Endapan interdistributary bay dicirikan dengan batu lempung

dan batulanau yang mengkasar keatas (corsening upward) dengan kisaran nilai 10

sampai 50 cps berada pada delta front, endapan swamp dicirikan oleh batubara berada

pada delta plain dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps, endapan creavasse splay

dicirikan oleh batupasir dan menghalus keatas (finning upward) dengan kisaran nilai

5 sampai 25 cps, batulanau dan batulempung berada pada delta plian dan endapan
57

channel dicirikan oleh batupasir yang menghalus keatas dengan kisaran nilai 10

sampai 50 cps memiliki struktur sedimen cross beding (silang siur). Perlapisan dan

perselingan batupasir dan batulempung yang tidak teratur, ini menunjukan bahwa

energi sedimentasi pengendapan batuan sedimen tersebut identik dengan sedang,

batubara pada titik bor ini mengalami pemisahan atau (spliting) yang merupakan

akibat dari pengendapan channel

Gambar 23. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-18A

Data log pada Gambar 23 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

(coarsening upward) yang menunjukan adanya endapan interdistributary bay dan


58

swamp. Masing-masing lingkungan pengendapan dapat diketahui dari litologi dan

struktur sedimen. Endapan interdistributary bay dicirikan dengan batu lempung dan

batulanau yang yang berbentuk irregular berada pada delta front dengan kisaran nilai

15 sampai 50 cps, endapan swamp dicirikan oleh batubara berada pada delta plain

dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps. Ini menunjukan bahwa energi sedimentasi

pengendapan batuan sedimen pada gambar diatas identik dengan arus sedang.

Gambar 24. Elektrofasies pada lubang bor ALC10-29


59

Data log pada Gambar 24 menunjukan adanya endapan interdistributary bay

dan swamp. Masing-masing lingkungan pengendapan dapat diketahui dari litologi

dan struktur sedimen. Endapan interdistributary bay dicirikan dengan batu lempung

dan batulanau yang pola grafik log berbentuk irregular menunjukan struktur sedimen

laminated wave ripples (laminasi bergelombang) berada pada delta front dengan

kisaran nilai 20 sampai 50 cps, endapan swamp dicirikan oleh batubara berada pada

delta plain dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps. Ini menunjukan bahwa energi

sedimentasi pada litologa yang berada pada titik bor ini identik dengan arus sedang.

Data log pada Gambar 25 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

(coarsening upward) yang menunjukan adanya endapan interdistributary bay,

swamp, creavasse splay, dan channel. Masing-masing fasies lingkungan

pengendapan dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan

interdistributary bay dicirikan dengan batu lempung yang pola kurva lognya

berbentuk irregular berada pada delta front dengan kisaran nilai 20 sampai 50 cps,

endapan swamp dicirikan oleh batubara berada pada delta plain dengan kisaran nilai

5 sampai 10 cps, endapan creavasse splay dicirikan oleh batupasir dan menghalus

keatas (finning upward) dengan kisaran nilai 5 sampai 30 cps, batulanau dan

batulempung berada pada delta plain dan endapan channel dicirikan oleh batupasir

yang menunjukan struktur sedimen silang siur (cross bedding) dapat dilihat dari pola

grafik log yang irregular dengan lisaran nilai 5 sampai 10 cps, serta endapan levee

yang dicirikan oleh sortasi yang buruk dapat dilihat dari pola grafik log yang irreglar

dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps. Perlapisan dan perselingan batupasir dan
60

batulempung yang tidak teratur ini menunjukan energi sedimentasi pengendapan

batuan sedimen pada titik bor ini identik dengan arus sedang.

Gambar 25. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-122


61

Gambar 26. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-124

Data log pada Gambar 26 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

(coarsening upward) yang menunjukan adanya endapan interdistributarri bay,

channel, swamp, dan creavesse splay. Masing-masing lingkungan pengendapan dapat

diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan interdistributary bay dicirikan

dengan batu lempung yang mengkasar keatas (corsening upward) berada pada delta

front yang pola grafik lognya berbentuk funnel dengan kisaran nilai 10 sampai 30 cps,

endapan channel dicirikan oleh batupasir yang menunjukan struktur sedimen silang

siur (cross bedding) dapat dilihat dari pola grafik log yang irregular dengan kisaran
62

nilai 5 sampai 40 cps, endappan swamp merupakan jenis endapan yang lingkungan

pengendapannya terendam air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk

akumulasi gambut dicirikan oleh batubara berada pada delta plain dengan kurfa

lognya berbentuk blocky boxcar dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps, endapan

creavasse splay dicirikan oleh batupasir yang struktur sedimennya silang siur (cross

bedding) menghalus keatas (finning upwoard) dengan kisaran nilai 5 sampai 35 cps.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa energi sedimentasi pengendapan

batuan sedimen tersebut identik dengan arus sedang dan kuat.

Gambar 27. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-125


63

Data log pada Gambar 27 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

(coarsening upward) yang menunjukan adanya endapan creavesse splay , swamp,

interdistributarri bay, dan channel. Masing-masing lingkungan pengendapan dapat

diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan creavasse splay dicirikan oleh

batupasir yang bentuk kurfa lognya berbentuk irregular struktur sedimennya laminasi

bergelombang (laminated wave ripples)dengan kisaran nilai 20 sampai 50 cps,

endappan swamp merupakan jenis endapan yang lingkungan pengendapannya

terendam air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut

dicirikan oleh batubara berada pada delta plain dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps,

Endapan interdistributary bay dicirikan dengan batulempung yang menghalus keatas

(finning upward) berada pada delta front dengan kisaran nilai 5 sampai 40 cps,

endapan channel dicirikan oleh batupasir yang menunjukan struktur sedimen silang

siur (cross bedding) dapat dilihat dari pola grafik log yang irregular dengan kisaran

nilai 20 sampai 50. Ini menunjukan bahwa energi sedimentasi pengendapan batuan

sedimen tersebut identik dengan sedang sampai kuat.

Data log pada Gambar 28 menunjukan pola grafik log yang mengkasar keatas

(coarsening upward) yang menunjukan adanya endapan creavesse splay , swamp,

interdistributarri bay, dan channel,. Masing-masing lingkungan pengendapan dapat

diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Masing-masing lingkungan pengendapan

dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan creavasse splay dicirikan

oleh batupasir yang struktur sedimennya laminasi bergelombang (laminated wave

ripples) yang berbentuk bell (menghalus keatas) dengan kisaran nilai 15 sampai 35
64

cps. Endappan swamp merupakan jenis endapan yang lingkungan pengendapannya

terendam air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk akumulasi gambut

dicirikan oleh batubara berada pada delta plain dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps,

Endapan interdistributary bay dicirikan dengan batu lanau yang menghalus keatas

(finning upward) berada pada delta front dengan kisaran nilai 10 sampai 30 cps,

endapan channel dicirikan oleh batupasir yang menunjukan struktur sedimen laminasi

bergelombang (laminate wave ripples) dapat dilihat dari pola grafik log yang

irregular dengan kisaran nilai 10 sampai 40. Dari penjelasan diatas menunjukan

Masing-masing lingkungan pengendapan dapat diketahui dari litologi dan struktur

sedimen. Endapan creavasse splay dicirikan oleh batupasir yang struktur sedimennya

laminasi bergelombang (laminated wave ripples) yang berbentuk bell (menghalus

keatas) dengan kisaran nilai 15 sampai 35 cps, endappan swamp merupakan

jenibahwa energi sedimentasi pengendapan batuan sedimen tersebut identik dengan

arus kuat sampai sedang. Ini menunjukan Masing-masing lingkungan pengendapan

dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen. Endapan creavasse splay dicirikan

oleh batupasir yang struktur sedimennya laminasi bergelombang (laminated wave

ripples) yang berbentuk bell (menghalus keatas) dengan kisaran nilai 15 sampai

35endappan swamp merupakan jenibahwa energi sedimentasi pengendapan batuan

sedimen tersebut identik dengan arus kuat sampai sedang.


65

Gambar 28. Elektrofasies pada lubang bor ALC14-131A

Masing-masing lingkungan pengendapan dapat diketahui dari litologi dan struktur

sedimen. Endapan creavasse splay dicirikan oleh batupasir yang struktur sedimennya

laminasi bergelombang (laminated wave ripples) yang berbentuk bell (menghalus

keatas) dengan kisaran nilai 15 sampai 35 cps, endappan swamp merupakan jenis

endapan yang lingkungan pengendapannya terendam air dimana lingkungan seperti

ini sangat cocok untuk akumulasi gambut dicirikan oleh batubara berada pada delta

plain dengan kisaran nilai 5 sampai 10 cps, Endapan interdistributary bay dicirikan

dengan batu lanau yang menghalus keatas (finning upward) berada pada delta front

dengan kisaran nilai 10 sampai 30 cps, endapan channel dicirikan oleh batupasir yang

menunjukan struktur sedimen laminasi bergelombang (laminate wave ripples) dapat

dilihat dari pola grafik log yang irregular dengan kisaran nilai 10 sampai 40. Dari
66

penjelasan diatas menunjukan bahwa energi sedimentasi pengendapan batuan

sedimen tersebut identik dengan arus kuat sampai sedang.

Daerah penelitian yang merupakan lingkungan transitional low delta plain yaitu

bagian yang kearah transisi dari suatu delta merupakan bagian dari delta yang

karakteristik lingkungannya didominasi oleh arus sungai dan laut (aktivitas aliran

sungai) dan tidal (pasang surut). Pada transitional low delta plain ditemukannya

adanya aktivitas dari gelombang yang tidak terlalu besar. Daerah transional low delta

plain ini didomonasi oleh batulempung dan batupasir dengan kedalaman 5-30 m.

Melalui analisis elektrofasies dapat diidentifikasikan bahwa batubara pada ALC10

dan ALC14 menjadi dua fasies pengendapan yaitu delta front dan delta plain. Dapat

diinterpretasikan bahwa secara genesa pengendapan batubara pada ALC10 dan

ALC14 berbeda genesa geologinya, dimana batubara delta front diendapkan pada

daeraha dengan arus yang relatif lemah dibanding dengan delta plain. Satuan

batulempung dan batupasir kuarsa pada transitional lower delta plain terbentuk

bersamaan dengan pengendapananya formasi balikpapan yang umurnya dari miosen

tengah sampai miosen akhir.

Analisa core dan pola log GR daerah penelitian, menunjukan bahwa daerah

transitional low delta plain ini didomonasi oleh sungai dan laut dan membentuk

rawa-rawa yang didominasi oleh sedimen yang pada bagian atas berbutir halus.

Kecenderungan sedimen yang makin menghalus keatas pada sub-lingkungan levee

berasosiasi dengan channel terbentuk sebagai hasil luapan material selama terjadi

banjir, lingkungan ini mempunyai kecepatan arus kecil, dangkal, dan tidak berelief,
67

sehingga proses akumulasi lambat yang ditunjukan oleh batuan sedimen yang

mayoritas memiliki laminasi paralel dan tipis. Kemudian karena pengaruh dari

gelombang pasang surut, laminasi pada batuan sedimen berubah menjadi gelombang

(wavy lamination). Gelombang pasang surut serta turun naiknya muka air laut

menyebabkan siklus penggenangan disetiap bagian delata, sehingga berpengaruh

pada kecepatan suplai sedimen yang dibawah oleh sungai.

D. Korelasi Penampang 2D

Lapisan sedimen dindapkan secara menerus dan berkesinambungan sampai batas

cekungan sedimentasinya. Penerusan bidang perlapisan adalah penerusan bidang

kesamaan waktu (waktu pengendapan) atau merupakan dasar dari prinsip korelasi.

Profil penampang korelasi ini dibuat dengan program corel draw 2019, yang

bertujuan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan dan melihat kemenerusan

lapisan batubara serta batuan yang berada pada roff dan floor batubara tersebut. Pada

Error! Reference source not found. penulis melakukan korelasi pada titik bor

ALC10-10B, ALC10-17A, ALC1018A, ALC10-29, ALC14-122, ALC14-124,

ALC14-125, ALC14-131A
68

Gambar 29. Korelasi penampang litologi 2D

Error! Reference source not found. merupakan hasil dari korelasi yang telah

dilakukan, korelasi variasi runtunan dari semua litologi. Hasil korelasi antar

kedelapan lubang bor menunjukan bahwa ketebalan batubara pada seam yang sama,

memiliki ketebalan yang tidak sama, ini menunjukan bahwa masing-masing titik bor
69

memiliki lama waktu proses sedimentasi yang berbeda pula, perbedaan litologi antara

roof dan floor batubara juga terlihat jelas pada hasil korelasi dari delapan titik bor.

Sedangkan litologi yang banyak dijumpai pada korelasi tersebut adalah lapisan

batulempung (claystone) yang lingkungan pengendapannya lebih dominan kelaut

(delta front) dan batupasir (sandstone) yang lingkungan pengendapanya lebih

dominan darat (delta plain). Dari hasil korelasi kedelapan titik bor diketahui bahwa

pada titik bor ALC10-10B sampai ALC14-131A mengalami perubahan litologi dari

delta front ke delta plain yang semula didominasi oleh batulempung yang semula

dikontrol oleh antara arus sungai dan laut yang arus gelombang tidak terlalu besar

kemudian perlahan-lahan berubah menjadi interaksinya dengan sungai yang dicirikan

dengan litologi batupasir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa batubara pada daerah

penelitian terbentuk di sepanjang lingkungan delta palin dan delta front.

E. Analisis Proksimat

Analisis proksimat adalah analisis yang paling mendasar dalam penentuan

kualitas batubara yang meliputi penentuan kadar air lembab, kadar abu, kadar zat

terbang dan karbon tertambat (fixed carbon).

Penentuan kadar air lembab bertujuan untuk mengetahui seberapa besar air yang

terkandung di dalam sampel batubara yang di uji, sehingga dapat menentukan

kualitas batubara tersebut cocok digunakan dalam proses industri, karena semakin

besar kandungan air dalam sampel maka diperlukan energi yang cukup banyak dalam

proses pembakaran batubara dalam suatu industri. Air yang terkandung dalam

batubara ada dua yaitu air bebas dan air lembab, air bebas yaitu air yang terikat secara
70

mekanik pada permukaan dan mempunyai tekanan uap normal (kadarnya dipengaruhi

oleh cuaca) sedangkan air lembab yaitu air yang terikat secara fisik pada bagian

dalam batubara dan mempunyai tekanan uap dibawah nol.

Analisi abu sangat penting pada penggunaan energi batubara dalam industri,

diantaranya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya pengerakan dalam dinding

alat (furnec), selain itu kadar abu juga biasanya dipakai sebagai indikasi kualitas atau

grade batubara karena kadar abu merupakan ukuran bagi material yang tidak

terbakar. Batubara yang dibakar mampu merubah senyawa anorganik menjadi

senyawa oksida yang berukran halus dalam bentuk abu. Abu hasil pembakaran ini

dikenal sebagai ash content atau kandungan abu batubara (Sukandarrumidi 2006

dalam (Andrean, 2012).

Kadar zat terbang merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi

senyawa – senyawa yang terdapat didalam batubara selain air. Dalam pembakaran

batubara, zat terbang merupakan parameter penting karena memberikan indikasi

kasar tentang karakteristik pembakaran yang meliputi penyalaan, stabilitas nyala, dan

reaktifitas. Kandungan zat terbang berkaitan dengan proses pembatubaraan yang

mengakibatkan kandungan air dalam batubara akan berkurang, sebaliknya semakin

kecilnya kandungan air maka nilai kalor akan meningkat (Sukandarrumidi 2006,

dalam (Andrean, 2012). Berikut ini adalah hasil analisis proksimat dari 8 sampel yang

di analisis dapat dilihat pada Tabel 12.


71

Tabel 12. Hasil analisis uji proksimat dan falue ratio


Penentuan Kode Sampel
% ALC10- ALC10- ALC10- ALC10- ALC14- ALC14- ALC14- ALC14-
10B 17A 18A 29 122 124 125 131A
Kadar Air 26,68 28,70 28,73 23,37 25,70 27,67 25,96 27,73
Kadar Abu 10,54 2,36 2,84 7,88 2,11 2,15 2,55 2,39
Kadar Zat Terbang 34,43 35,78 39,98 34,30 38,92 38,86 41,65 37,01
Karbon Padat 37,47 40,56 41,16 39,84 46,89 46,39 43,22 41,87
Falue Ratio 1,08 1,13 1,02 1,16 1,20 1,19 1,03 1,13

Air yang terkandung dalam batubara dapat mempengaruhi sifat batubara ketika

digunakan dalam pembakaran, karena kadar air batubara akan mengurangi kalori

akibat adanya panas yang terbuang dalam penguapan air, mempengaruhi efisiensi

pembakaran, menghambat penyalaan. Kadar air pada sampel berkisar antara 23,37 –

28,73% hal ini menunjukan bahwa sampel termasuk dalam gologan batubara

subbituminous C, karena memiliki kadar air diatas 25 %. Selain berpengaruh pada

pembakaran, kadar air juga berpengaruh pada segi biaya sebab kadar air akan

menambah berat batubara pada saat sampling dilakukan sehingga menambah biaya

transportasi. Kapasitas pengerusan juga akan berkuran dengan jika semakin tingginya

kadar air dalam batubara.

Abu batubara merupakan bagian yang tersisa dari hasil pembakaran, unsur

penyusun abu batubara berasal dari mineral yang terikat kuat pada batubara seperti

aluminium oksida, oksida alkali, silika, dan ferri oksida. Kadar abu pada sampel

berkisar antara 2,11 – 10,54%, kadar abu pada batubara dapat mempengaruhi jumlah

bahan bakar yang dibutuhkan. Pengaruh abu juga kurang baik terhadap nilai kalor,

jika nilai kadar abunya semakin tinggi maka nilai kalor dari suatu batubara akan
72

semakin rendah, karena jumlah material organik (mineral) yang terkandung tinggi

sehingga pada saat proses pembakaran semua zat organik akan teroksidasi menjadi

zat- zat seperti CO2 dan H2O yang akan menghasilkan kalor, sedangkan mineral -

mineral tidak akan teroksidasi menjadi uap, mineral–mineral tersebut akan

mengendap sehingga tidak akan menghasilkan kalor.

Zat terbang sangat erat kaitannya dengan kelas batubara tersebut, semakin tinggi

kadar zat terbang maka kelasnya semakin rendah, karena kandungan zat terbang

dalam batubara semakin tinggi akan mempercepat terjadinya pembakaran, semakin

banyak kehilangan berat, dan kemungkinan terjadinya kebakaran (spontaneous

combustion) akan meningkat. Kadar zat terbang yang diperoleh pada sampel berkisar

antara 34,30 – 41,65%, hal ini menunjukan bahwa sampel termasuk dalam golongan

bituminous, karena memiliki kadar zat terbang labih dari 31%. Dalam pembakaran

batubara zat terbang yang tinggi dapat mempercepat pembakaran karbon padatnya

dan sebaliknya zat terbang yang rendah akan memperlambat proses pembakaran

karbon padatnya. Zat terbang terdiri dari gas SO2, CO2, CO, NOX, CH4, dan uap tar

yang berfungsi sebagai pemantik dalam pembakaran batubara sebelum karbonnya

terbakar. Kadar zat terbang yang tinggi di dalam batubara juga akan menyebabkan

asap yang lebih banyak sehingga menyulitkan proses pembakaran.

Fixed carbon merupakan material sisa, setelah berkurangnya ash, moisture, dan

volatile matter. Kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh nilai karbon padat,

karena nilai falue ratio semkin tinggi maka semakin banyak karbon yang tidak

terbakar. Nilai falue ratio dapat menunjukan golongan padat suatu batubara yang
73

ditentukan berdasarkan perbandingan nilai falue ratio pada sampel dan range nilai

pada standar dmmf. Kisaran nilai dari falue ratio berdasarkan dmmf yaitu

semibituminous berkisar 3 – 7, bituminous berkisar 0,5 – 3, semiantrasit 6 – 10,

antrasit berkisar 10 – 60. Semakin tinggi nilai falue ratio, karbon yang tidak terbakar

semakin banyak. Berdasarkan hasil analisis yang di sajikan pada tabel 5 diperoleh

nilai falue ratio adalah berkisar 1,02 – 1,20, bila dibandingkan nilai tersebut dengan

standar berdasarkan dmmf maka sampel batubara yang berasal dari kalimantan timur

menunjukan bahwa termasuk dalam golongan batubara bituminous.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Ketebalan batubara dengan seam yang sama, memiliki ketebalan yang tidak sama

2. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian berada padalingkungan

transitional lower delta plain.

3. Kualitas batubara pada daerah penelitian termasuk dalam golongan batubara

bituminous.

B. SARAN

Saran dari penulis untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya data log yang digunakan pada penelitian selanjutnya ditambah agar

mencakup area yang lebih luas sehingga memberikan informasi keberadaan

batubara yang luas.

2. Untuk penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik batubara sebaiknya lebih

mempertajam antara diagenesis dan kualitas batubara melalui analisis petrografi.

74
75

DAFTAR PUSTAKA

Andrean. (2012). ANALISIS SAMPEL BATUBARA DARI SUMATERA SELATAN.


INSTITUT PERTANIAN BOGOR.
Aryadhi, M. . (2011). ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KUALITAS
BATUBARA DI PIT J, DAERAH PINANG, SANGATTA, KABUPATEN KUTAI
TIMUR, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. INSTITUT TEKNOLOGI
BANDUNG.
Budiman, A. A. dkk. (2018). Estimasi Sumberdaya Batubara Dengan Metode
Circular Usgs Pada Pt. Tuah Globe Mining Kalimantan Tengah. Jurnal
Geomine, 6(1), 2–5. https://doi.org/10.33536/jg.v6i1.179
Erihartanti dkk. (2015). Estimasi Sumberdaya Batubara Berdasarkan Data Well
Logging Dengan Metode Cross Section Di Pt . Telen Orbit Prima Desa Buhut
Kab . Kapuas Kalimantan Tengah. Jurnal Fisika FLUX, 12, 118–126.
Harsono, A. (1993). Pengantar_Evaluasi-Log_Adi_Harsono-Geoqu.pdf.
UNIVERSITAS GAJAH MADA.
Ismahesa, A. dkk. (2015). ANALISIS ELEKTROFASIES BERDASARKAN DATA
LOG SUMUR DI BLOK “X” FORMASI BATURAJA, CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN.
Khasanah, U. (2019). ANALISIS NILAI LOG GAMMA RAY DAN LOG DENSITY
TERHADAPVARIASI KECEPATAN PEREKAMAN METODE WELL LOGGING
“ ROBERTSON GEOLOGGING ( RG ).” 2.
Komariah, W. E. (2012). Peningkatan Kualitas Batubara Indonesia Peringkat
Rendah Melalui Penghilangan Moisture Dengan Pemanasa Gelombang Mikro.
Universitas Indonesia.
Ma’Arif, S. (2016). Syamsul ma’arifKARAKTERISASI DAN ANALISIS LAPISAN
BATUBARA DI LAPANGAN TAMBANG AIR LAYA (TAL) TANJUNG ENIM
MENGGUNAKAN DATA LOG DAN DATA CORE (RADIOAKTIF, TERMAL,
DAN GEOKIMIA. Universitas Lampung.
MA’Arif, S. (2012). KARAKTERISASI DAN ANALISIS LAPISAN BATUBARA DI
LAPANGAN TAMBANG AIR LAYA (TAL) TANJUNG ENIM MENGGUNAKAN
DATA LOG DAN DATA CORE (RADIOAKTIF, TERMAL, DAN GEOKIMIA).
66, 37–39.
Renaldo, Z. (2009). GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK RESERVOAR SERTA
PERHITUNGAN CADANGAN LAPISAN “Z-12” FORMASI BALIKPAPAN
LAPANGAN “KOBES” CEKUNGAN KUTAI KALIMANTAN TIMUR
BERDASARKAN DATA LOG SUMUR.
76

Resmawan, R. (2007). ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA


BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA
KALIMANTAN TIMUR. INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG.
Siddiqui, N. A. (2013). Depositional Environment of Shallow-Marine Sandstones
from Outcrop Gamma-Ray Department of Earth Sciences , Sultan Qaboos
University , Sultanate of Oman. Research Journal of Environmental and Earth
Science, 5(6), 305–324. https://doi.org/10.19026/rjees.5.5705
Wahida, R. (2017). INTERPRETASI POTENSI SEBARAN BATUBARA
MENGGUNAKAN METODE GPR ( GROUND PENETRATING RADAR ) (
STUDI KASUS DI DESA KEBO IRENG KECAMATAN BESUKI KABUPATEN
TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR ) SKRIPSI Oleh : ROHMATUL
WAHIDAH. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG.
World Coal Institute. (2005). Sumber Daya Batu Bara. 1–50. Retrieved from
https://www.worldcoal.org/file_validate.php?file=coal_resource_indonesian.pdf
YuniI Iswati. (2012). ANALISIS CORE DAN DEFLEKSI LOG UNTUK
MENGETAHUI LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN MENENTUKAN
CADANGAN BATUBARA DI BANKO BARAT PIT 1, SUMATERA SELATAN.
UNIVERSITAS LAMPUNG.
77

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta titik bor PT. EMAS

Anda mungkin juga menyukai