Oleh:
Harani Roima Arum Pratiwi
0120840110
Pembimbing:
dr. Frans Sigala Sp. Rad
SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM YOWARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2018
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPIDEMIOLOGI
2.2. ETIOLOGI
Penyebab BPH masih belum diketahui. Tidak ada informasi pasti tentang
keterlibatan faktor resiko. Selama berabad-abad, telah diketahui bahwa BPH
terjadi terutama pada pria usia tua dan BPH tidak terjadi pada pria yang testisnya
3
telah diangkat sebelum pubertas. Berdasarkan alasan ini, para peneliti memahami
bahwa penuaan dan perkembangan testis merupakan faktor yang berhubungan
dengan terjadinya BPH. Diduga adanya ketidak seimbangan hormonal oleh
karena proses penuaan. Salah satu teori adalah teori Testosteron (T) yaitu T bebas
yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase (5AR)
yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor
DHT di dalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor
inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA
sehingga akan merangsang sintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat . Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo,
2007)
4
menjadi dihidrotestosteron (DHT) –androgen yang lebih potensial-yang dapat
bertinteraksi dengan cara autokrin dalam sel stroma atau dalam mode parakrin
dengan berdifusi ke dalam sel epitel . DHT diproduksi di perifer,terutama di kulit
dan hati, dapat berdifusike dalam prostat dari sirkulasi dan berinteraksi dengan
cara endokrin. Dalam beberapa kasus, sel basal dalam prostat dapat berfungsi
sebagai situs produksi DHT, mirip dengan sel stroma. Faktor pertumbuhan
autokrin dan parakrin juga mungkin terlibat dalam proses tergantung androgen
dalam prostat. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi
stroma-epitel, berkurangnya kematian sel prostat serta teori sel stem juga
dianggap sebagai pemicu terjadinya pembesaran prostat jinak.
2.3. ANATOMI
5
prostat akan memiliki ukuran yang bervariasi, yang dapat mengarah ke
pembesaran prostat jinak (BPH). Kelenjar prostat terletak pada posterior dari os
symphisis pubis, superior dari membran perineum, inferior dari vesika urinaria,
dan anterior rectum.
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,
kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat
sel-sel kuboid.
Prostat ditutupi oleh kapsul yang tersusun atas kolagen, elastin, dan
sbagian besar otot polos. Prostat diselimuti oleh 3 lapisan fascia yang berbeda
pada aspek anterior, lateral, dan posterior.
Kapsul prostat,terdiri atas tiga kapsul, 2 normal dan 1 patologis.
1. Kapsul sejati (True Capsule) – Selubung fibrosa tipis yang
mengelilingi kelenjar
2. Kapsul palsu (False Capsule) – Fascia extraperitoneal terkondensasi
yang terus ke dalam fascia yang mengelilingi vesika urinaria dan
fascia denonvillier posterior. Antara lapisan 1 dan 2 yang terletak pada
pleksus vena prostat.
3. Kapsul patologik (Pathological Capsule) – Ketika hipertrofi prostat
jinak “adenomatous” terjadi, bagian perifer kelenjar normal akan
terkompresi dan membentuk kapsul disekeliling massa yang
membesar (gambar 4).
6
Gambar 4. Anatomi bedah dari prostatectomy. (a) Prostat normal pada bagian
vertikal. (b) detail prostatic uretra. (c) Prostatic adenoma (hipertrofi jinak)
menekan jaringan prostat normal ke false capsule.
2.4. PATOFISIOLOGI
7
kapsul prostat, dan otot polos pada leher vesika urinaria. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
8
Peningkatan frekuensi berkemih, terutama saat malam (nokturi).
Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal:
1. Obstuksi.
2. Iritasi.
Gejala-gejala klinik ini dapat berupa:
• Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan
pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan
tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat,
sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk
dapat mengeluarkan urine.
• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode
laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika
yang cukup tinggi.
• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih,
jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi selama
berkemih, aliran urine dapat berhenti dan dribbling (urin menetes setelah
berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya
melakukan valsava manouver sewaktu berkemih.
• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal
mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam
kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan
sering berkemih malam hari (nocturia).
• Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem. Residual urine
juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.
• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan
pembuluh darahnya menjadi rapuh.
• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat
menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas
yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.
9
• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure)
dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah.
10
- Derajat III : Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume
urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.
Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis). Tidak
jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.
2.6. DIAGNOSIS
Evaluasi awal pada semua pasien dengan gejala protatism harus mencakup
riwayat berkemih, pemeriksaan fisis, urinalysis, pengukuran serum kreatinin, dan
pada banyak kasus, serum tes prostate-spesific antigen (PSA) untuk skrining
kanker prostat. Pemeriksaan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan meliputi
diagnosis pencitraan (imaging), cystoscopy, uroflowmetry, pengukuran urine sisa
post-berkemih, digital rectal examination (DRE) dan aliran tekanan.
a) Riwayat
Dokter harus menanyakan gejala obstruksi dan iritatif berkemih.
Biasanya pasien mengeluhkan menetesnya urin diakhir berkemih, pancaran
urin lemah, dan nokturia. Pasien sering mengeluhkan peningkatan frekuensi
berkemih, urgensi, perasaan tidak puas setelah berkemih, mengejan saat
berkemih, dan intermitten sebagai perlangsungan proses obstruksi.
Informasi tambahan yang dibutuhkan termasuk episode
inkontinensia urine, retensi urin, disuria, hematuria, infeksi saluran kemih,
batu kerikil yang keluar bersama urine, dan disfungsi erektil.
Riwayat pengobatan pasien juga penting, banyaknya resep
pengobatan, serta pengobatan tanpa resep mengandung anti kolinergik
(contohnya; tricyclic antidepressan) atau sympatomimetik (contohnya;
phenylephrine yang terdapat pada obat flu) yang memiliki efek samping.
b) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan abdomen meliputi palpasi dan perkusi, jika vesika
urinaria teraba menunjukkan kemungkinan adanya retensi urin. Stenosis
11
meatus dan massa uretra kadang-kadang ditemukan pada pemeriksaan
genital. Pemeriksaan colok dubur/ DRE dapat menggambarkan ukuran,
bentuk, simetris, dan konsostensi prostat
i. Direct Rectal Examination (DRE)/ Colok Dubur
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pertama kali. Dokter
memasukkan jarinya ke dalam rectum dan meraba prostat serta rectum.
Pemeriksaan ini memberikan gambaran kepada dokter mengenai
ukuran ,keadaan, dan konsistensi kelenjar prostat.
c) Prostate Spesific Antigen (PSA)
Skrining tes untuk menyingkarkan dugaan karsinoma prostat.
d) Pencitraan
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk
prostat, karsinoma, dan karakterisasi jaringan. Pilihan modalitas
pencitraan prostat dapat menggunakan;
Foto Polos Abdomen
Intravenous Pielogram
Transabdominal Ultrasound
TRUS (Transrectal Ultrasonography)
CT (Computed Tomography)
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pada praktek rutin, pencitraan untuk prostat yang paling sering
digunakan adalah TRUS dan transabdominal ultrasound
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak
di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan
buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensi urin.
Intravenous Pyelogram
Intravenous pyelogram (IVP) adalah pemeriksaan x-ray ginjal,
ureter dan kantung kemih yang menggunakan material kontras iodine
yang diinjeksi ke dalam vena.
12
Pembesaran signifikan dari kelenjar prostat dapat
menyebabkan dasar vesika urinaria elevasi dengan gambaran “J-ing”
atau “Fish hooking” pada ureter distal.
13
Gambar 9. (A) Longitudinal, (B) transversal. Gambaran Ultrasound dari
buli-buli yang memperlihatkan pembesaran prostat jinak lobulus moderat dengan
kalsifikasi.
Transrectal ultrasound (TRUS)
TRUS dapat menilai anatomi prostat, zona anatomy, dan perubahan internal.
Volume prostat dapat dengan mudah dinilai menggunakan TRUS. Secara umum,
TRUS tidak diindikasikan untuk pemeriksaan awal BPH. Pencitraan
menggunakan TRUS direkomendasikan pada beberapa pasien. Menyingkirkan
kanker prostat pada pasien dengan peningkatan PSA (>4 ng/mL) merupakan
indikasi pencitraan dengan TRUS untuk menentukan tindakan biopsi.
Gambar 10. Gambar TRUS prostat memperlihatkan batas antara zona transisi
dan zona perifer (Bidang cross-sectional). Gambar 11. Gambar transrectal
ultrasound prostat bidang axial, pada pasien berumur 64 thn. Pada kelenjar sentral,
nampak dua nodul besar hyperplasia prostat (panah putih).
14
Kelenjar sentral memperlihatkan gambaran multinoduler dengan kista jinak
(panah) dan pembesaran yang nyata. Hal ini telah diganti dan kompresi lebih
echogenic pada zona perifer. (B) memperlihatkan penyakit yang lebih sederhana
dengan pembesaran kelenjar prostat yang kecil. Kista jinak (penunjuk panah)dan
nodul adenomatous (panah-panah) dapat teridentifikasi.
CT
Dengan CT, BPH nampak seperti area homogen yang luas dengan batas
tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam mengevaluasi BPH, sebab resolusi
jaringan interprostat rendah, yang berakibat tidak dapat mengevaluasi rasio
glandular ke jaringan stroma di dalam prostat. Volume prostat dapat diukur
dengan modalitas pencitraan ini. Gambaran BPH pada CT yaitu;
Zona anatomi tidak nampak
Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria
Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat
Gambar 13. Bidang Axial CT setelah kontras intravena memperlihatkan area homogen
pada nodul pembesaran prostat jinak pada kelenjar sentral prostat (panah putih).
MRI(11)
Zona anatomi tergambar jelas pada gambar T2
Pembesaran Zona Transisional terlihat jelas
Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi serta rendah
Penampakan halus zona periferal
15
Gambar 14. T2-W bidang transversal prostat pada pria 63 tahun. Pada
kelenjar prostat sentral, tampak dua nodul besar benign prostatic hyperplasia
dengan intensitas sinyal rendah ke tinggi (panah putih). Catatan; intensitas
sinyal rendah pada area sebelah kiri zona perifer menunjukkan karsinoma
prostat (panah hitam).
Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdapat pada BPH
kemungkinan berasal dari striktur uretra, kontraktur leher vesika urinaria (primer
atau sekunder untuk operasi prostat), meatal stenosis, karsinoma prostat lanjutan,
batu vesika urinaria, dan karsinoma vesika urinaria. Frekuensi dan urgensi
16
kemungkinan berasal dari infeksi saluran kemih, diabetes, execessive caffeine,
obat-obat diuretik, atau konsumsi alkohol.
2.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi
Memperbaiki keluhan miksi
Meningkatkan kualitas hidup
Mengurangi obstruksi infravesika
Mengembalikan fungsi ginjal
Mengurangi volume residu urin setelah miksi
Mencegah progressivitas penyakit
1. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu keluhan
ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya diberikan
edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan
2. Medikamentosa
- Mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik α blocker
- Mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon
testosteron melalui penghambat 5α-reduktase.
Selain itu, masih ada terapi fitofarmaka yang masih belum jelas
mekanisme kerjanya.
3. Operasi
Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:
- Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
- Mengalami retensi urin
- Infeksi Saluran Kemih berulang
- Hematuri
- Gagal ginjal
- Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:
Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)
17
Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar
(±100 gram).
Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Urethral
Resection of the Prostat/TURP), Insisi (Trans Urethral Incision of the
Prostate/TUIP) atau evaporasi.
2.9. PROGNOSIS
18
Daftar Pustaka
19