Anda di halaman 1dari 19

Refarat

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya SMF


Radiologi Rumah Sakit Umum Yowari

Oleh:
Harani Roima Arum Pratiwi
0120840110

Pembimbing:
dr. Frans Sigala Sp. Rad

SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM YOWARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2018
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) / pembesaran prostat jinak


adalah suatu keadaan histologis yang dialami oleh kebanyakan pria lanjut
usia. Secara makroskopik ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat yang
secara histologis disebabkan oleh hiperplasia stroma dan kelenjar sel prostat
yang progresif. BPH adalah proses patologik yang berkontribusi terhadap
timbulnya Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pria lanjut usia.
Meskipun BPH tidak mengancam jiwa, manifestasi klinis sebagai LUTS
dapat menurunkan kualitas hidup pasien. LUTS terdiri dari gejala-gejala
yang mengganggu seperti, dysuria, frekuensi (berkemih lebih sering dari
normal), urgensi (perasaan berkemih yang sulit ditahan) ,serta nokturia
(terbangun untuk berkemih beberapa kali pada malam hari), dan
gejala-gejala obstruksi berkemih seperti, aliran lambat, keragu-raguan (sulit
untuk memulai proses berkemih), intermitten, mengedan saat berkemih, rasa
tidak puas berkemih, dan menetesnya urine di akhir berkemih. Masalah
seperti LUTS dapat terjadi pada lebih dari 30% pria diatas 65 tahun
(Sjamjuhidayat, 2005).
Dalam perkembangannya, BPH dapat berkembang menjadi benign
prostatic enlargement (BPE), benign prostatic obstruction (BPO), dan lower
urinary tract symptoms (LUTS) (Paterson , 2000).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. EPIDEMIOLOGI

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)/ pembesaran prostat jinak


merupakan penyakit yang sering dijumpai pada laki-laki usia diatas 50 tahun.
Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan
menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih.
Secara signifikan meningkat seiring meningkatnya usia. Pada pria berusia 50
tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%.
Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik
(Furqan, 2003).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih
dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka
harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan
diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau
lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta
lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih
kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang
menderita BPH (Furqan, 2003)
Di Amerika Serikat, hasil survei di kota Olmstead, pada sampel dari pria
Kaukasia berumur 40-79 tahun, memperlihatkan gejala moderat-berat yang
terjadi pada sekitar 13 % pada pria berumur 40-49 tahun, dan sekitar 28%, pada
pria yang berumur lebih dari 70 tahun (Rosette, 2006).

2.2. ETIOLOGI

Penyebab BPH masih belum diketahui. Tidak ada informasi pasti tentang
keterlibatan faktor resiko. Selama berabad-abad, telah diketahui bahwa BPH
terjadi terutama pada pria usia tua dan BPH tidak terjadi pada pria yang testisnya

3
telah diangkat sebelum pubertas. Berdasarkan alasan ini, para peneliti memahami
bahwa penuaan dan perkembangan testis merupakan faktor yang berhubungan
dengan terjadinya BPH. Diduga adanya ketidak seimbangan hormonal oleh
karena proses penuaan. Salah satu teori adalah teori Testosteron (T) yaitu T bebas
yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase (5AR)
yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor
DHT di dalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor
inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA
sehingga akan merangsang sintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat . Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α –
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo,
2007)

Gambar 1. Testosteron (T) berdifusi ke dalam sel epiteldan stroma prostat. T


dapat berinteraksi secara langsung dengan reseptor Androgen (streoid) yang
terikat pada daerah promotor gen androgen. Dalam sel stroma mayoritas T diubah

4
menjadi dihidrotestosteron (DHT) –androgen yang lebih potensial-yang dapat
bertinteraksi dengan cara autokrin dalam sel stroma atau dalam mode parakrin
dengan berdifusi ke dalam sel epitel . DHT diproduksi di perifer,terutama di kulit
dan hati, dapat berdifusike dalam prostat dari sirkulasi dan berinteraksi dengan
cara endokrin. Dalam beberapa kasus, sel basal dalam prostat dapat berfungsi
sebagai situs produksi DHT, mirip dengan sel stroma. Faktor pertumbuhan
autokrin dan parakrin juga mungkin terlibat dalam proses tergantung androgen
dalam prostat. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi
stroma-epitel, berkurangnya kematian sel prostat serta teori sel stem juga
dianggap sebagai pemicu terjadinya pembesaran prostat jinak.

2.3. ANATOMI

Kelenjar prostat berukuran seperti kacang kenari dan mengelilingi bagian


leher vesika urinaria dan uretra (saluran yang membawa urine dari vesika
urinaria). Prostat terbentuk dari otot dan kelenjar, dengan saluran yang terbuka
menuju bagian prostat pada uretra. Prostat terdiri dari 3 lobus, yaitu lobus tengah
dan 2 lobus pada tiap sisinya.

Gambar 2. Prostat Gambar 3. Kelenjar Prostat


1: Vas deferens
2: Seminal vesicle
3: Base of the prostate
4: Apex of the prostate
5: Prostatic urethra
Kelenjar prostat normal memiliki volume sekitar 20 gram, panjang 3 cm,
lebar 4 cm, dan kedalaman 2 cm. Semakin bertambahnya usia pada pria, kelenjar

5
prostat akan memiliki ukuran yang bervariasi, yang dapat mengarah ke
pembesaran prostat jinak (BPH). Kelenjar prostat terletak pada posterior dari os
symphisis pubis, superior dari membran perineum, inferior dari vesika urinaria,
dan anterior rectum.
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior
dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar.
Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,
kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat
sel-sel kuboid.
Prostat ditutupi oleh kapsul yang tersusun atas kolagen, elastin, dan
sbagian besar otot polos. Prostat diselimuti oleh 3 lapisan fascia yang berbeda
pada aspek anterior, lateral, dan posterior.
Kapsul prostat,terdiri atas tiga kapsul, 2 normal dan 1 patologis.
1. Kapsul sejati (True Capsule) – Selubung fibrosa tipis yang
mengelilingi kelenjar
2. Kapsul palsu (False Capsule) – Fascia extraperitoneal terkondensasi
yang terus ke dalam fascia yang mengelilingi vesika urinaria dan
fascia denonvillier posterior. Antara lapisan 1 dan 2 yang terletak pada
pleksus vena prostat.
3. Kapsul patologik (Pathological Capsule) – Ketika hipertrofi prostat
jinak “adenomatous” terjadi, bagian perifer kelenjar normal akan
terkompresi dan membentuk kapsul disekeliling massa yang
membesar (gambar 4).

6
Gambar 4. Anatomi bedah dari prostatectomy. (a) Prostat normal pada bagian
vertikal. (b) detail prostatic uretra. (c) Prostatic adenoma (hipertrofi jinak)
menekan jaringan prostat normal ke false capsule.

2.4. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi BPH sangat kompleks (Gambar 5). Hiperplasia prostat


meningkatkan resistensi uretra, sehingga menyebabkan perubahan kompensasi
pada fungsi vesika urinaria. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Meskipun, peningkatan tekanan detrusor dibutuhkan untuk
mengatur aliran urine, sebagai kompensasi terhadap peningktan resistensi
aliran urine yang terjadi akibat perubahan fungsi penyimpanan vesika urinaria.
Obstruksi menginduksi perubahan pada fungsi detrusor, serta proses
degenerasi dan gangguan fungsi sistem saraf juga dapat menyebabkan
gangguan pada vesika urinaria , yang menimbulkan gangguan fekuensi,
urgensi, dan nokturia, yang menjadi keluhan utama pada BPH. Oleh karena itu,
untuk mengetahui patofisiologi BPH membutuhkan penjabaran bahwa
obstruksi dapat menginduksi disfungsi vesika urinaria.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak
hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior,
tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat,

7
kapsul prostat, dan otot polos pada leher vesika urinaria. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.

Gambar.5 Patofisilogi BPH mencakup interaksi yang kompleks antara obstruksi


uretra, fungsi detrusor, dan produksi urine.

2.5. GAMBARAN KLINIS

Ukuran prostat tidak selalu menggambarkan beratnya obstruksi atau


gejala yang akan timbul. Beberapa orang dengan pembesaran kelenjar yang
besar memiliki obstruksi yang kecil dan beberapa gejala saja, sedangkan orang
dengan pembesaran kelenjar yang kecil memiliki lebih besar blokade dan
permasalahan yang kompleks.
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi
kalau neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi
panjang (elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar.
Sebagian besar gejala BPH yang berasal dari obstruksi uretra dan
penurunan fungsi vesika urinaria, yang berefek pada pengosongan vesika
urinaria tidak sempurna. Gejala BPH sangat bervariasi, tetapi gejala yang
paling sering adalah masalah yang berhubungan dengan proses berkemih,
seperti;
 Hesitansi, interupsi, pancaran urine lemah
 Urgensi dan menetes setelah berkemih

8
 Peningkatan frekuensi berkemih, terutama saat malam (nokturi).
Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal:
1. Obstuksi.
2. Iritasi.
Gejala-gejala klinik ini dapat berupa:
• Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan
pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan
tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat,
sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk
dapat mengeluarkan urine.
• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode
laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika
yang cukup tinggi.
• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih,
jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi selama
berkemih, aliran urine dapat berhenti dan dribbling (urin menetes setelah
berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya
melakukan valsava manouver sewaktu berkemih.
• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal
mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam
kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan
sering berkemih malam hari (nocturia).
• Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan
menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem. Residual urine
juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.
• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan
pembuluh darahnya menjadi rapuh.
• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat
menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas
yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.

9
• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure)
dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah.

Gambar 6. Perjalanan pembesaran prostat.


Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS
(Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skor 0-7
penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat. Sistem
skoring IPPS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup
pasien. Setipa pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai
dari 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup
pasien diberi nilai dari 1 sampai dengan 7.
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi
prostat berdasarkan gambaran klinis: (Sjamsuhidajat,2003)
- Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas atas mudah diraba, dan
sisa volume urin <50 ml
- Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat jelas,batas atas dapat dicapai,
sisa volume urin 50-100 ml

10
- Derajat III : Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume
urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.
Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis). Tidak
jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

2.6. DIAGNOSIS

Evaluasi awal pada semua pasien dengan gejala protatism harus mencakup
riwayat berkemih, pemeriksaan fisis, urinalysis, pengukuran serum kreatinin, dan
pada banyak kasus, serum tes prostate-spesific antigen (PSA) untuk skrining
kanker prostat. Pemeriksaan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan meliputi
diagnosis pencitraan (imaging), cystoscopy, uroflowmetry, pengukuran urine sisa
post-berkemih, digital rectal examination (DRE) dan aliran tekanan.
a) Riwayat
Dokter harus menanyakan gejala obstruksi dan iritatif berkemih.
Biasanya pasien mengeluhkan menetesnya urin diakhir berkemih, pancaran
urin lemah, dan nokturia. Pasien sering mengeluhkan peningkatan frekuensi
berkemih, urgensi, perasaan tidak puas setelah berkemih, mengejan saat
berkemih, dan intermitten sebagai perlangsungan proses obstruksi.
Informasi tambahan yang dibutuhkan termasuk episode
inkontinensia urine, retensi urin, disuria, hematuria, infeksi saluran kemih,
batu kerikil yang keluar bersama urine, dan disfungsi erektil.
Riwayat pengobatan pasien juga penting, banyaknya resep
pengobatan, serta pengobatan tanpa resep mengandung anti kolinergik
(contohnya; tricyclic antidepressan) atau sympatomimetik (contohnya;
phenylephrine yang terdapat pada obat flu) yang memiliki efek samping.
b) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan abdomen meliputi palpasi dan perkusi, jika vesika
urinaria teraba menunjukkan kemungkinan adanya retensi urin. Stenosis

11
meatus dan massa uretra kadang-kadang ditemukan pada pemeriksaan
genital. Pemeriksaan colok dubur/ DRE dapat menggambarkan ukuran,
bentuk, simetris, dan konsostensi prostat
i. Direct Rectal Examination (DRE)/ Colok Dubur
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pertama kali. Dokter
memasukkan jarinya ke dalam rectum dan meraba prostat serta rectum.
Pemeriksaan ini memberikan gambaran kepada dokter mengenai
ukuran ,keadaan, dan konsistensi kelenjar prostat.
c) Prostate Spesific Antigen (PSA)
Skrining tes untuk menyingkarkan dugaan karsinoma prostat.
d) Pencitraan
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk
prostat, karsinoma, dan karakterisasi jaringan. Pilihan modalitas
pencitraan prostat dapat menggunakan;
 Foto Polos Abdomen
 Intravenous Pielogram
 Transabdominal Ultrasound
 TRUS (Transrectal Ultrasonography)
 CT (Computed Tomography)
 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pada praktek rutin, pencitraan untuk prostat yang paling sering
digunakan adalah TRUS dan transabdominal ultrasound
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak
di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan
buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensi urin.
Intravenous Pyelogram
Intravenous pyelogram (IVP) adalah pemeriksaan x-ray ginjal,
ureter dan kantung kemih yang menggunakan material kontras iodine
yang diinjeksi ke dalam vena.

12
Pembesaran signifikan dari kelenjar prostat dapat
menyebabkan dasar vesika urinaria elevasi dengan gambaran “J-ing”
atau “Fish hooking” pada ureter distal.

Gambar 7. Gambaran vesika urinaria yang mengalami peradangan (cystitis) akibat


retensi urin padapenderita BPH. (kiri) Gambar 8. Tampak gambaran “J-ing” atau
“fish hooking” pada ureter distal dan elevasi pada vesika urinaria (kanan)
Transabdominal Ultrasound(
 Area inhomogen dari echodenicity tinggi dan rendah pada bagian tengah
prostat
 Accoustic shadow mengindikasikan kalsifikasi
 Visualisasi terbatas pada anatomi zona prostat
 Penonjolan dari pembesaran kelenjar prostat pada bagian bawah vesika
urinaria

13
Gambar 9. (A) Longitudinal, (B) transversal. Gambaran Ultrasound dari
buli-buli yang memperlihatkan pembesaran prostat jinak lobulus moderat dengan
kalsifikasi.
Transrectal ultrasound (TRUS)
TRUS dapat menilai anatomi prostat, zona anatomy, dan perubahan internal.
Volume prostat dapat dengan mudah dinilai menggunakan TRUS. Secara umum,
TRUS tidak diindikasikan untuk pemeriksaan awal BPH. Pencitraan
menggunakan TRUS direkomendasikan pada beberapa pasien. Menyingkirkan
kanker prostat pada pasien dengan peningkatan PSA (>4 ng/mL) merupakan
indikasi pencitraan dengan TRUS untuk menentukan tindakan biopsi.

Gambar 10. Gambar TRUS prostat memperlihatkan batas antara zona transisi
dan zona perifer (Bidang cross-sectional). Gambar 11. Gambar transrectal
ultrasound prostat bidang axial, pada pasien berumur 64 thn. Pada kelenjar sentral,
nampak dua nodul besar hyperplasia prostat (panah putih).

Gambar 12. Transrectal ultrasound (gambar transversal) pada pasien dengan


pembesaran prostat jinak (BPH). (A) memperlihatkan tanda pembesaran prostat.

14
Kelenjar sentral memperlihatkan gambaran multinoduler dengan kista jinak
(panah) dan pembesaran yang nyata. Hal ini telah diganti dan kompresi lebih
echogenic pada zona perifer. (B) memperlihatkan penyakit yang lebih sederhana
dengan pembesaran kelenjar prostat yang kecil. Kista jinak (penunjuk panah)dan
nodul adenomatous (panah-panah) dapat teridentifikasi.
CT
Dengan CT, BPH nampak seperti area homogen yang luas dengan batas
tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam mengevaluasi BPH, sebab resolusi
jaringan interprostat rendah, yang berakibat tidak dapat mengevaluasi rasio
glandular ke jaringan stroma di dalam prostat. Volume prostat dapat diukur
dengan modalitas pencitraan ini. Gambaran BPH pada CT yaitu;
 Zona anatomi tidak nampak
 Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
 Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria
 Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat

Gambar 13. Bidang Axial CT setelah kontras intravena memperlihatkan area homogen
pada nodul pembesaran prostat jinak pada kelenjar sentral prostat (panah putih).
MRI(11)
 Zona anatomi tergambar jelas pada gambar T2
 Pembesaran Zona Transisional terlihat jelas
 Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi serta rendah
 Penampakan halus zona periferal

15
Gambar 14. T2-W bidang transversal prostat pada pria 63 tahun. Pada
kelenjar prostat sentral, tampak dua nodul besar benign prostatic hyperplasia
dengan intensitas sinyal rendah ke tinggi (panah putih). Catatan; intensitas
sinyal rendah pada area sebelah kiri zona perifer menunjukkan karsinoma
prostat (panah hitam).

Gambar 15. SerialT2-W MRI Visualisasi zona anatomi prostat baik.


Zonatransisional ditandai dengan pembesaran dan penonjolan ke bagian dasar
vesika urinaria.

2.7. DIAGNOSIS BANDING

Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdapat pada BPH
kemungkinan berasal dari striktur uretra, kontraktur leher vesika urinaria (primer
atau sekunder untuk operasi prostat), meatal stenosis, karsinoma prostat lanjutan,
batu vesika urinaria, dan karsinoma vesika urinaria. Frekuensi dan urgensi

16
kemungkinan berasal dari infeksi saluran kemih, diabetes, execessive caffeine,
obat-obat diuretik, atau konsumsi alkohol.

2.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi
 Memperbaiki keluhan miksi
 Meningkatkan kualitas hidup
 Mengurangi obstruksi infravesika
 Mengembalikan fungsi ginjal
 Mengurangi volume residu urin setelah miksi
 Mencegah progressivitas penyakit
1. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu keluhan
ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien hanya diberikan
edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan
2. Medikamentosa
- Mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik α blocker
- Mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon
testosteron melalui penghambat 5α-reduktase.
Selain itu, masih ada terapi fitofarmaka yang masih belum jelas
mekanisme kerjanya.
3. Operasi
Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:
- Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
- Mengalami retensi urin
- Infeksi Saluran Kemih berulang
- Hematuri
- Gagal ginjal
- Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:
Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)

17
Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar
(±100 gram).
Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Urethral
Resection of the Prostat/TURP), Insisi (Trans Urethral Incision of the
Prostate/TUIP) atau evaporasi.

Gambar 12. Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP.

Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan


tindakan invasif minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi terhadap
pembedahan. Tindakan tersebut antara lain: termoterapi, Trans Urethral
Needle Ablation of the Prostat/TUNA, pemasangan stent, High Intensity
Focused Ultrasound/HIFU serta dilatasi dengan balon (Transuethral Ballon
Dilatation/TUBD).

2.9. PROGNOSIS

Prognosis secara umum baik jika dikelola dengan medikamentosa


maupun pembedahan. BPH yang tidak diobati dapat memicu timbulnya infeksi
saluran kemih, batu vesika urinaria, gagal ginjal, atau retensi urin yang
merupakan akibat dari obstruksi.

18
Daftar Pustaka

Furqan. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan


Kateter Menetap Pertama Kali dan Berulang. USU Digital Library.
2003; hal. 10-3
Paterson,R.F., Goldenberg,S.L., Benign Prostatic Hyperplasia.
In;Teichmen,M.H.,editor. 20 Common Problems in urology. New
York. McGraww-Hill Companies. 2000; p.185-197
Roehrborn,C,G., Mc.Connel,J,D., Benign prostatic Hyperplasia; etiology,
Pathophysiology, Epidemiology, and natural History. In; Wein.
A.J., Kavousii,L.R., Novick,A,C., Partin, A,W., Peters,C,A.,
editors. Campbell-
Rosette., Alivizatos., C.Madersbaher., Sanz,R., Nordling, J., emberton, M.,
Gravas,S., Michel., Oelke., Guidelines on Benign Prostatic
Hyperplasia. European Association of Urology. 2006; p. 5, 13-9,
30-9
Sjamjuhidayat ., De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005. hal.
782-6
Speakman,M.J., Lower Urinary Tract Symptoms Suggerstive of Benign
Prostatic Hyperplasia (LUTS/BPH) : More Than Treating
Symptoms. Eur Urol Suppl 2008;7:680-9
Walsh Urology 9th ed. Philadelphia. Sounders Elsevier. 2007. Chapter 86.
P.1-14.

19

Anda mungkin juga menyukai