DISUSUN OLEH:
ANUGRA M.
XII IPA 1
SMA NEGERI 17 MAKASSAR
a. Stabilitas Politik dan Kemananan sebagai Dasar Pembangunan
Dalam melakukan stabilitas politik pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto
membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968 dengan program pembangunan
yang dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan yang berisi:
Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan
ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai
Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu
1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%),
Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan
Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)
Trilogi Pembangunan
1) Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
b. Stabilitas Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan pemerintahan Orde Baru
melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideology Pancasila , dengan alasan
Pancasila telah menjadi consensus nasional, keseragaman dalam pemahaman
Pancasila perlu disosialisasikan. Presiden Soeharto mengajukan nama Eka
Prasetya Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang
teguh, kuat, konsisten dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita.
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya, pada 21
Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi TAP MPR No.II/MPR/1978. Setelah
disahkan, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang
dipimpin oleh DR. Roeslan Abdulgani dan Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksana P4 yang bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program
penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional. Tujuan
Penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi
Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional aan terbentuk dan terpelihara.
Pegawai Negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer
diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, dari sekolah
menengah sampai Perguruan Tinggi diharuskan mengikuti penataran P4 yang
dilakukan setiap awal tahun ajaran. Setelah P4 TAP MPR dilaksanakan,
selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam artian harus mau menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal sebagai
“asas tunggal”. Soeharto meneruskan gagasan ini ke MPR, kemudian disahkan
menjadi TAP MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januari 1985, pemerintah
dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No. 3/1985 yang
menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 8/1985 tentang ormas, yang
menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencatumkan
Pancasila sebagai asas tunggal mereka.
c. Penerapan Dwi fungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat
pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan laiinya,
memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang
hankam Negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan
tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Dwifungsi ABRI
diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan
militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Secara umum, interverensi
ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan
Dwifungsi ABRI ini salah satunya dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR,
serta DPD tingkat provinsi melalui fraksi Karya ABRI. Dimana perwira yang
aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota DPRD dan
bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang menjadi anggota
MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab kepada panglima ABRI.
ABRI memiliki posisi formal dan informal dalam pengendalian Golka serta
mengawaso penduduk melalui di seluruh daerah dengan gerakan AMD (ABRI
Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat
anti partai. Keterlibatan ABRI pada sector eksekutif dapat dilihat melalui Golkar
dimana jabatan Dewan Pengurus Pusat, Ketua Golkar Tingkat I dan Tingkat II
dipegang oleh perwira aktif. Pada masa Orde Baru, pelaksanaan Negara anyak
didominasi ABRI yang dapat dilihat dari: (a) Banyaknya jabatan pemerintah
mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, dan Duta Besar
diisi anggota ABRI. (b) Pembentukan fraksi ABRI di parlemen dan menyangga
keberadaan Golka sebagai partai politik yang berkuasa saat itu bersama dengan
Kopri. (c) ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk, diperkenankan
mempunyai dan menjalankan berbagai usaha dan lain sebagainya.
Sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984)
maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1)
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan
kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum
wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air;
dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
a. Pertanian
Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL)
PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi
pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan.
Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa
dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir
(kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu
program pembangunan pertanian Orde Baru yang
khas.Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari
Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi
Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan,
terutama beras
KUD (Koperasi Unit Desa)
Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari pembangunan
nasional. Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD melakukan
kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang
diperluas dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian
(pupuk, benih dan obat-obatan). Koperasi di pedesaan terus dipacu
untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir
guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. BUUD yang semula
hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor
pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit
Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus dikembangkan.
Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa
dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan
KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden
No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud),
pada akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD)
Menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan
membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah
Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari pembangunan
nasional.
BULOG (Badan Urusan Logistik)
Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan
sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan
Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras
dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan.
Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam
menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di
sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik
(BULOG).
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian)
Mengembangkan institusi penelitian seperti yang berkembang
untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang
pada masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal
adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).
b. Pendidikan
SD INPRES
SD Inpres bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar,
terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang
penduduknya berpenghasilan rendah. Pada 1973, Soeharto
mengeluarkan Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan
Pembangunan Gedung SD. Pelaksanaan tahap pertama program
SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD. Pada tahun-
tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD Inpres, hampir
setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum program
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968
sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal
Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000
gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan paling besar
terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru
dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD
Inpres telah dibangun.
c. Program wajib belajar 6 tahun
Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk
memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada
Sumber : Yayasan Lalita, 1979 Gambar 4.8 Pak Harto saat
mengunjungi kelas di salah satu SD Inpres Sejarah Indonesia
133 seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati
pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak
usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).
Program ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki
unsur paksaan dan sanksi bagi yang tidak melaksankannya.
Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya
yang berusia 7-12 tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab
terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang
dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping
tenaga pengajarnya. Meski program wajib belajar tidak diikuti oleh
kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga
kurang mampu, pemerintah waktu itu beruapya mengatasinya melalui
program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul program Gerakan
Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).
Program Wajib belajar 9 Tahun
Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan
menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam
pendidikan hingga tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar
9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada
Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei
1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres
Nomor 1 Tahun 1994.
Kelompok Belajar
Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia
sekolah, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah
pemberantasan buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf. Dalam upaya
meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru
mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Cara
yang ditempuh adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau
”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka
bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun.
Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah masyarakat yang
telah dapat membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan
minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan
dalam setiap kejar disesuaikan dengan kondisi setiap tempat.
6. Pelaksanaan Demokrasi
Berdasarkan pengalaman di masa orde lama, pemerintahan orde baru
berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan untuk menjalankan
pemerintahannya. Orde baru menganggap bahwa penyimpangan terhadap
Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 adalah sebab utama kegagalan dari
pemerintahan sebelumnya. Orde baru merupakan tatatan perikehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila
dan UUD RI Tahun 1945 secara murni dan konsekuen. Demokrasi yang
dijalankan dinamakan demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan
demokrasi yang didasarkan atas nilai-nilai dari sila-sila yang terdapat pada
Pancasila.
Namun, pada praktiknya, cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk menjadi
negara yang demokratis tersebut justru runtuh dikarenakan penyalahgunaan
kekuasaan pemerintah, terutama oleh presiden. Pada masa orde baru, bangsa
Indonesia seakan-akan malah terjatuh menjadi negara yang totaliter.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena beberapa hal berikut.
a. Hak-hak politik rakyat sangat dibatasi
Sejak tahun 1973, jumlah partai politik di Indonesia dibatasi hanya ada
tiga. Pegawai pemerintahan dan ABRI diharuskan mendukung partai
penguasa. Pertemuan-pertemuan politik harus mendapatkan izin dari
penguasa. Para pengkritik pemerintah dikucilkan secara politik, bahkan ada
yang disingkirkan secara paksa. Meskipun pers dinyatakan bebas, pada
kenyataannya pemerintah dapat memberangus/membreidel penerbitan pers
yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Di samping itu, ada
perlakuan diskriminatif terhadap anak keturunan orang yang dianggap terlibat
G30S/PKI.
b. Pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Meskipun pada masa orde baru kekuasaan negara dibagi menjadi
berbagai lembaga negara yang formal (MPR, DPR, DPA, MA, dan
sebagainya), pada praktiknya lembaga-lembaga tinggi negara tersebut
dikendalikan oleh presiden.
c. Pemilu yang tidak demokratis
Pada masa orde baru, pemilu memang dilaksanakan setiap lima tahun
sekali. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemilu tersebut tidak berlangsung
secara demokratis. Partai penguasa melakukan berbagai cara agar dapat
memenangkan pemilu.
d. Pembentukan lembaga ekstrakonstitusional
Pemerintah membentuk Kopkamtib (Komando Pengendalian
Keamanan dan Ketertiban), yang berfungsi untuk mengamankan pihak-pihak
yang potensial menjadi oposisi penguasa dengan segala
cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
e. Diskriminatif terhadap etnis tertentu
Pada masa orde baru juga terjadi diskriminatif terhadap etnis tertentu.
Misalnya saja, warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun
1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Pemerintah orde baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang
lebih lima juta dari keseluruhan rakyat Indonesia, dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di tanah air. Padahal,
pada kenyataannya, kebanyakan dari keturunan Tionghoa berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan.
f. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merajalela
Pelaksanaan pemerintahan negara yang terlalu sentralistik pada masa
orde baru berakibat merajalelanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) di segala bidang. Hal ini mengakibatkan rakyat semakin sengsara,
hingga timbul sebuah istilah yang mengatakan bahwa yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin.