Anda di halaman 1dari 34

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN

GANGGUAN IMOBILISASI

Diajukan sebagai salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Gerontik

Disusun oleh :

Meyda Nurhaida 211117040

Pratiwi Ichsani Aulia 211117050

Susi Jesika Rohimah 211117054

Yosef Agung Gumelar 211117058

Ferina Dwi Lestari 211117069

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (D-III)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Keperawatan Gerontik dengan
judul “Konsep Teori Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan
Imobilisasi”.

Penulis menyadari dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan, namun berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Cimahi, November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan


kemandirian bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai
tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas normal. Imobilitas dan intoleran
aktivitas sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian besar lansia mengalami
imobilitas dengan bermacam-macam penyebab. Seperti tingkat aktivitas
yang kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan
sindrom dissue sering terjadi pada lansia. Diagnosis keperawatan hambatan
mobilitas fisik, potensial sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas
memberikan definisi imobilitas yang lebih luas.

Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang digunakan


untuk lansia mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik adalah
diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul. Prevalensi dari
masalah ini meluas di luar institusi sampai melibatkan seluruh lansia.
Keletihan dan kelemahan penyebab paling umum kedua yang paling sering
terjadi yang menjadi keluhan pada lansia. Sekitar 43% lansia telah
didefinisikan memiliki gaya hidup kurang gerak. Akhirnya sekitar 50%
penurunan fungsional pada lansia telah dihubungkan dengan desease.
Penyebab imobilitas bermacam-maca,. Berbagai ancaman imobilitas fisik
dapat dikategorikan berhubungan dengan lingkungan eksternal dan internal
dengan kompetensi sumber-sumber eksternal dan internal.

Awitan imobilitas atau intoleran aktivitas pada sebagian besar orang


tidak terjadi secara tiba-tiba. Awitannya bertahap dari mobilitas penuh
sampai ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi berkembang
secara perlahan dan tanpa disadari.

Seorang perawat harus memberikan intervensi yang tepat agar dapat


menghambat terjadinya ketergantungan fisik total. Intervensi yang
diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan
ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana gambaran umum mengenai masalah imobilisasi ?
2. Bagaimana pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada masalah
imobilisasi ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai masalah imobilisasi.
2. Untuk mengetahui pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada
masalah imobilisasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North


American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan
ketika individu mengalami atau berisiko mengalamni keterbatasan gerak
fisik. (Kim et al, 1995)

Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang


tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera
otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya. (Hidayat, 2009)

Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan


instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak
fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka),
pembebasan gerak volunter, atau kehilangan fungsi motorik. (Potter &
Perry, 2005)

B. Etiologi

Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,


kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis
merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi
kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti
pada depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang
berlebihan dapat menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di
tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit (Setiati dan Roosheroe,
2007).

Penyebab secara umum:


1. Kelainan postur
2. Gangguan perkembangan otot
3. Kerusakan system saraf pusat
4. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
5. Kekakuan otot
C. Patofisiologi

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi


sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
Skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua
tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik,
peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi
isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien
untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi
isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan
otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus
mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan,
fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini
menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit
obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian
dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot
tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis,
dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan
otot yang seimbang.

Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan


relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan
posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.
Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.
Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang:
panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal
berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah.

D. Manifestasi klinis

Terjadinya imobilisasi dalam tubuh dapat berpengaruh pada sistem


tubuh, seperti :

1. Perubahan metabolik

Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar,


membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :

a. respons terhadap stress dan cedera


b. pertumbuhan dan perkembangan
c. reproduksi
d. homeostasis ion
e. metabolisme energi.

Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses


anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas dapat
juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Pada
umumnya keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami
imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan
metabolisme, diantaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi
kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan
gastrointestinal.

2. Perubahan sistem respirasi


Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada terjadinya
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi
tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus sistal karena udara yang
diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau
beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan
oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-
paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik,
keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan,
dan menambah ketidaknyamanan klien

3. Perubahan sistem kardiovaskuler

Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi
terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :

a. Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah


sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien
bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri.
Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume
cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan
penurunan respons otonom. Faktor- faktor tersebut
mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti oleh
penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan
tekanan darah (McCance and Huether, 1994).
b. peningkatan beban kerja jantung,
c. pembentukan trombus.
4. Perubahan sistem muskuloskeletal

Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi


gangguan imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi
otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan
penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang
mempengaruhi sitem muskuloskeletal adalah gangguan metabolisme
kalsium dan gangguan mobilitas sendi.

Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami massa


tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan massa
otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan.
Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika
imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terj adi penurunan
massa yang berkelanjutan.

Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap


skelet, yaitu : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena
imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi
kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989). Apabila ossteoporosis
terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan
aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi
tulang. Resorpsi Tulang juga menyebabkan kalisium terlepas ke dalam
darah, sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.

5. Perubahan sistem integumen

Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan


elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan
terjadinya inskemia, serta anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah
membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan
persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi selular
terganggu, dan sel menjadi mati (ebersole dan hess, 1994).

6. Perubahan eliminasi urine

Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau datar,


ginjal atau ureter membentuk garis datar seperti perawat ginjal yang
membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gravitasi.
Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya
gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter.
Kondisi ini disebut stasis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal (Perry & Potter, 2005). Batu ginjal dapat
diakibatkan karena adanya gangguan metabolisme kalsium dan akibat
hiperkalsemia.

Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi


juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya
pada lansia. Pada umumnya lansia akan mengalami kehilangan total masaa
tulang progresif. Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi
tersebut, meliputi aktivitas fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang
aktual. Dampak dari kehilangga massa tulang adalah tulang menjadi lebih
lemah, tulang belakang lebih lunak, dan tertekan, tulang panjang kurang
resisten ketika membungkuk.

Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi.


Lansia juga membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka
lebih dekat bersamaan, yang mengurangi dasar dukungan. Sehingga
keseimbangan tubuh tidak stabil, dan mereka sangat berisiko jatuh dan
cedera.

E. Jenis imobilisasi
1. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi
pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak
mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak
dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang
mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau
kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
4. Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga
dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. (Hidayat,
2009)
F. Komplikasi
1. Perubahan Metabolik

Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara


normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu fungsi metabolic
normal antara lain laju metabolic: metabolisme karbohidarat, lemak, dan
protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan
kalsium, dan gangguan pencernaan. Keberdaaan infeksius padaklien
immobilisasi meningkatkan BMR karena adanya demam dan
penyembuhanluka yang membutuhkan peningkatan kebutuhan oksgen
selular.

Gangguan metabolic yang mungkin terjadi :

a. Defisensi kalori dan proterin merupakan karakteristik klien


yangmengalamianoreksia sekunder akibat mobilisasi. Immobilisasi
menyebabkan asam aminotidak digunakan dan akan diekskresikan.
Pemcahan asasm amino akan terusterjadi dan menghasilkan
nitrogen sehingga akumulasinya kan menyebbakankeseimbangan
nitrogen negative , kehilangan berat badan , penurnan massaotot,
dan kelemahan akibat katabolisme jarinagn. Kehilangan masa
otottertutama pada hati,jantung,paru-paru, saluran pencernaan, dan
imunitas.
b. Ekskresi kalssium dalam urin ditngkatkan melalui resorpsi tulang.
Hal initerjadi karena immobilisasi menyebabkan kerja ginjal yang
menyebabkanhiperkalsemia.
c. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi system metabolik dan endokrin


yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat
gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein.
Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi
sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan
tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan
ekskresinitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia.

d. Gannguan gastrointestinal terjadi akibta penurunan motilitas usus.


Konstipasi sebagai gejala umum , diare karena feces yang cair
melewati bagian tejpit dan menyebabkan masalah serius berupa
obstruksi usus mekanik bila tidak ditangani karena adanya distensi
dan peningkatan intraluminal yang akan semakin parah bila terjadi
dehidrasi, terhentinya basorbsi, gannguan cairan dan elektrolit.
e. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak


dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskular ke interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

f. Gangguan Pengubahan Zat Gizi

Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya


pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-
zat makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan
aktivitas metabolisme,

g. Gangguan Fungsi Gastrointestinal


Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal,
karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna
dan dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.

h. Perubahan Sistem Pernapasan

Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan.


Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru
menurun, dan terjadinya lemah otot,

i. Perubahan Kardiovaskular

Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu berupa


hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya
pembentukan trombus.

j. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak


imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.

k. Perubahan Sistem Integumen

Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan


elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas.

l. Perubahan Eliminasi

Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan jumlah urine.

m. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya


rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya

G. Penatalaksaan
Untuk mengatasi gangguan mobilisasi dapat dilakukan tindakan :
1. Body mekanik
Penggunaan organ secara efektif dan efisien sesuai fungsinya
2. Tindakan yang berhubungan dengan mobilisasi, misalnya :
a. Membantu merubah posisi
b. Melatih ROM
c. Membantu klien duduk di tempat tidur
3. Mencapai kemandirian penuh dalam aktifitas dalam perawatan diri
H. Pencegahan
1. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsug sepanjang


kehidupan dan episodic. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi system
musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodic
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang
dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.

a. Hambatan terhadap latihan

Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam


latihan secara teratur. Bahaya-bahaya interpersonal termasuk
isolasi social yang terjadi ketika teman-teman dan keluarga telah
meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan
kebiasaan diet yang buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya
transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan
termasuk kurangnya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi
iklim yang tidak mendukung.

b. Pengembangan program latihan

Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan,


dan mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk
memberikn kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu
kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk aktif dari
rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan.

2. Pencegahan Sekunder

Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas


dapat dkurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan
intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai factor yang
menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan.
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan
pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawaqtan dihubungkan dengan
poencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik

Selain itu, Upaya mencegahkan terjadinya masalah akibat kurangnya


mobilisasi antara lain:

a. Perbaikan status gisi


b. Melaksanakan latihan pasif dan aktif
c. Mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan bady
aligmen (Struktur tubuh).
d. Melakukan perubahan posisi tubuh secara periodik (mobilisasi
untuk menghindari terjadinya dekubitus / pressure area akibat
tekanan yang menetap pada bagian tubuh.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan
perubahan hubungan tulang.
2. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang
tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor
jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang
sulit dievaluasi.
3. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik
pencitraan khusus, noninvasive, yang menggunakan medan magnet,
gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan
abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak
melalui tulang. Dll.
4. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑,
kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas pasien

Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status


perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.

2. Riwayat penyakit sekarang


Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti
adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat imobilitas, daerah
terganggunya karena imobilitas, dan lama terjadinya gangguan
mobilitas.
3. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem
neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan
tekanan intrakranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera medula
spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark
miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem
muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit sistem
pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-
lain), riwayat pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem
saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.
4. Pengkajian psiko, social, dam spiritual
a. Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah
bagaimana respons psikologis klien terhadap masalah gangguan
aktivitas yang dialaminya, mekanisme koping yang digunakan
klien dalam menghadapi gangguan aktivitas dan lain-lain.
b. Aspek sosial kultural
Pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas
yang dialami klien terhadap kehidupan sosialnya, misalnya
bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan, peran diri baik
dirumah, kantor maupun sosial dan lain-lain
c. Aspek spiritual
Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana
keyakinan dan nilai yang dianut klien dengan kondisi kesehatan
yang dialaminya sekarang, seperti apakah klien menunjukan
keputusasaannya? Bagaimana pelaksanaan ibadah klien dengan
keterbatasan kemampuan fisiknya? Dan lain-lain (Asmadi,
2008).
5. Pemeriksaan fisik
a. Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan
pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data
laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit
maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka
untuk mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji
asupan makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan
perubahan fungsi gastrointestinal.
Pengukuran asupan dan haluaran membantu perawat untuk
menentukan apakah terjadi ketidakseimbnagan cairan. Dehidrasi
dan edema dapat meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien
imobilisasi. Pengukuran laboratorium terhadap kadar elektrolit
darah juga mengindikasikan ketidakseimbangan elektrolit.
Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka cepatan
penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke
jaringan. Kemajuan penyembuhan yang normal
mengindikasikan kebutuhan metabolik jaringan luka terpenuhi.
Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan
makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan
diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan.
Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila perawat
mengkaji pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum
keadaan imobilisasi.
b. Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2
jam pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas.
Pengkajian pada sistem respiratori meliputi :
Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-
ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis, gerakan
dadanya menjadi asimetris.
Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi
gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus
berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi
paru cenderung menumpuk di area bagian bawah.
c. Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada
pasien imobilisasi, meliputi :
1) memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus
diukur, terutama jika berubah dari berbaring (rekumben)
ke duduk atau berdiri akibat risiko terjadinya hipotensi
ortostatik.
2) mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring
dalam posisi rekumben meningkatkan beban kerja
jantung dan mengakibatkan nadi meningkat. Pada
beberapa klien, terutama lansia, jantung tidak dapat
mentoleransi peningkatan beban kerja, dan berkembang
menjadi gagal jantung. Suara jantung ketiga yang
terdengar di bagian apeks merupakan indikasi awal gagal
jantung kongestif. Memantau nadi perifer
memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan
jantung memompa darah.
3) observasi tanda-tanda adanya stasis vena (mis. edema
dan penyembuhan luka yang buruk), edema
mengindikasikan ketidakmampuan jantung menangani
peningkatan beban kerja. Karena edema bergerak di area
tubuh yang menggantung, pengkajian klien imobilisasi
harus meliputi sakrum, tungkai dan kaki. Jika jantung
tidak mampu mentoleransi peningkatan beban kerja,
maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki, hidung, dan
daun telinga akan lebih dingin dari area pusat tubuh.
Terakhir, perawat mengkaji sistem vena karena
trombosis vena profunda merupakan bahaya dari
keterbatasan mobilisasi. Embolus adalah trombus yang
terlepas, berjalan mengikuti sistem sirkulasi ke paru-paru
atau otak dan menggangu sirkulasi. Emboli yang ke
paru-paru ataupun otak mengancam otak.
d. Sistem Muskuloskeletal.

Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama


pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot,
dan kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik
mengidentifikasi kehilangan tonus dan massa otot.

Pengkajian rentang gerak adalah penting data dasar yang mana


hasil hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk
mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak
di ukur dengan menggunakan geniometer. Pengkajian rentang
gerak dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul,
dan kaki.
e. Sistem Integumen

Perawat harus terus menerus mengkaji kulit klien terhadap tanda-


tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien bergerak,
diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya.
Pengkajian minimal harus dilakukan 2 jam.

f. Sistem Eliminasi

Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan
dan haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus menentukan
bahwa klien menerima jumlah dan jenis cairan melalui oral atau
parenteral dengan benar.

7. Pengkajian fungsional klien


a. KATZ indek

Dengan gangguan mobilisasi termasuk kategori ketergantungan


semua fungsi seperti BAK , BAB , menggunakan pakaian , pergi ke
toilet dan mandi

b. Barthel Indeks

No Kriteria Skor Keterangan

1. Makan 10

5 : bantuan

10 : mandiri

2. Minum 10

5 : bantuan

10 : mandiri
No Kriteria Skor Keterangan

3. Berpindah dari kursi roda ke 15


tempat tidur/sebaliknya

10 : bantuan

15 : mandiri

4. Personal toilet (cuci muka, 5


menyisir rambut, gosok gigi)

0 : bantuan

5 : mandiri

5. Keluar masuk toilet (mencuci 10


pakaian, menyeka tubuh dan
menyiram)

5 : bantuan

10 : mandiri

6. Mandi 15

5 : bantuan

15 : mandiri

7. Jalan di permukaan datar 5

0 : bantuan

5 : mandiri

8. Naik turun tangga 10

5 : bantuan
No Kriteria Skor Keterangan

10 : mandiri

9. Mengenakan pakaian 10

5 : bantuan

10 : mandiri

10. Kontrol Bowel (BAB) 10

5 : bantuan

10 : mandiri

11. Kontrol Bladder (BAK) 10

5 : bantuan

10 : mandiri

12. Olahraga/latihan 10

5 : bantuan

10 : mandiri

13. Rekreasi/pemanfaatan waktu 10


luang

5 : bantuan

10 : mandiri

Keterangan :

130 : Mandiri
65-125 : Ketergantungan sebagian

60 : Ketergantungan total

8. Pengkajian status mental


a. Identifikasi tingkat intelektual dengan SPMSQ (Short Portable
Mental Status Quesioner)

No. Pertanyaan Benar Salah Ket.

1. Tanggal berapa hari ini? Klien menjawab

2. Hari apa sekarang? Klien menjawab

3. Apa nama tempat ini? Klien menjawab

4. Dimana alamat anda? Klien menjawab

5. Berapa umur anda? Klien menjawab

6. Kapan anda lahir Klien menjawab


(minimal tahun lahir)?

7. Siapa presiden Klien menjawab


Indonesia sekarang?

8. Siapa presiden Klien menjawab


Indonesia sebelumnya?

9. Siapa nama ibu anda? Klien menjawab

10. Berapa 20-3? Tetap Klien menjawab


pengurangan 3 dari
setiap angka baru,
semua secara menurun
berurutan.
Jumlah

Interpretasi Hasil :

Salah 0-2 : Fungsi intelektual utuh

Salah 3-4 : Kerusakan intelektual ringan

Salah 5-7 : Kerusakan intelektual sedang

Salah 8-10 : Kerusakan intelektual berat

b. Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan


MMSE (Mini Mental Status Exam)

Aspek Nilai Nilai


No Kriteria
kognitif maks klien

1 Orientasi 5 Menyebutkan dengan


benar

□ Tahun

Musim

□ Tanggal

□ Hari

□ Bulan

Orientasi 5 5 Dimana kita sekarang

□ Negara

Provinsi

Kota
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien

PSTW

Wisma

2 Registrasi 3 Sebutkan 3 obyek (oleh


pemeriksa) 1 detik untuk
mengatakan masing-
masing obyek. Kemudian
tanyakan kepada klien
ketiga obyek tadi (untuk
disebutkan)

□ Obyek 1

□ Obyek 2

□ Obyek 3

3 Perhatian dan 5 Minta klien untuk memulai


kalkulasi dari angka 100 kemudian
dikurangi 7 sampai 5 kali

93

86

79

72

65

4 Mengingat 3 Minta klien untuk


mengulangi ketiga obyek
pada no 2 tadi, bila benar 1
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien

point untuk masing-masing


obyek

5 Bahasa 9 Tunjukkan pada klien


suatu benda dan tanyakan
namanya pada klien

Minta klien untuk


mengikuti perintah berikut
yang terdiri dari 3 langkah
: “Ambil kertas di tangan
anda. Lipat dua dan taruh
di lantai”

Perintahkan pada klien


untuk mengikuti arahan

□ sesuai perintah

”tutup mata anda”

Perintahkan pada klien


untuk menulis satu kalimat
dan menyalin gambar
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien

Total nilai

>23 : Aspek kognitif dari fungsi mental baik

18-22 : Kerusakan aspek fungsi mental ringan

≤ 17 : Terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat

B. Analisa Data

Data Etiologi Masalah keperawatan


DS : Proses menua Gangguan mobilitas fisik
-klien mengeluh sulit ↓
menggeakan ekstremitas Penurunan fungsi
persendian
DO : ↓
-nyeri saat bergerak Kesulitan gerak
-persendian terlihat kaku ↓
-gerakan terbatas Gangguan mobilitas fisik
-fisik lemah

DS : Proses menua Nyeri akut


-klien mengeluh nyeri ↓
saat bergerak Penurunan fungsi
DO : persendian
-klien tampak meringis ↓
saat bergerak Kesulitan bergerak
-gelisah ↓
-berfokus pada diri Nyeri saat ada
sendiri pergerakan

Nyeri akut

DS : - Proses menua Defisit perawatan diri


DO : ↓
-kuku tampak kotor , Penurunan fungsi
pamjang persendian
-rambut tampak ↓
berminyak kotordan Keterbatasan gerak
berketombe ↓
-kulit kusam Mobilitas menurun

Defisit perawatan diri

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskeletal
2. Nyeri akut b.d agen cedera fisik
3. Defisit perawatan diri b.d kelemahan
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi
fisik b.d gangguan tindakan keperawatan -Identifikasi adanya
muskuloskeletal selama 4 x 24 jam nyeri atau keluhan fisik
dengan kriteria hasil : lainya
-nyeri saat bergerak -fasilitasi aktifitas
berkurang mobilisasi dengan alat
-persendian mulai bias bantu
sedikit di gerakan
-gerakan tidak terbatas -fasilitasi melakukan
-fisik tidak lemah pergerakan
-ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (misalnya
duduk ditempat tidur ,
pindah dari tempat tidur
ke kursi)

2. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri :


cedera fisik tindakan keperawatan - Indentifikasi respon
selama 2 x 24jam diri nyeri non verbal
dengan kriteria hasil : - Indentifikasi faktor
- klien tidak meringis yang memperberat dan
saat bergerak memperingat nyeri
- klien tidak gelisah - Ajarkan Teknik
- tidak berfokus pada nonfarmakologi untuk
diri sendiri mngurangi rasa nyeri
- Berikan Teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri

3. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan Dukungan perawatan


b.d kelemahan tindakan keperawatan diri :
selama 2x24jam pola - Identifikasi kebutuhan
tidur klien teratasi alat bantu kebersihan
dengan kriteria hasil :
- kuku bersih dan diri, berpakaian,
tidak panjang berhias, dan makan.
-rambut bersih - Siapkan kerperluan
-kulit tidak kusam pribadi
- Dampingi dalam
melakukan perawatan
diri
- Fasilitasi kemandirian,
bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan
diri
- Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan

.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Imobilisasi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami


keterbatasan gerak yang dapat disebabkan karena adanya gangguan neurologis,
muskuloskeletal, dan sistem respirasi. Masalah imobilisasi ini dapat berakibat
pada perubahan metabolik, integumen, kardiovaskuler, dan sistem organ
lainnya. Pada penngkajian imobilisasi yang penting untuk dikaji adalah
kekuatan otot, rentang gerak pasien, dan seterusnya. Diagnosa yang dibuat oleh
seorang perawat harus sesuai dengan hasil pengkajian yang dilakukan.
Intervensi disusun secara sistemastis sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
telah dibuat.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan materi di atas diharapkan dapat menjadi


bahan masukan yang bermanfaat bagi mahasiswa untuk dapat diaplikasikan
dalam tindakan pelayanan keperawatan dan juga karena keterbatasan referensi
yang mendukung, untuk itu diharapkan kritik dan saran guna untuk
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba Medika.
Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan praktik. Edisi
4. Jakarta : EGC.
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku saku diagnosa keperawatan dengan intervensi NIC dan
kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.
Kushariyadi. 2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai