Anda di halaman 1dari 28

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

DENGAN GANGGUAN IMOBILISASI

Diajukan sebagai salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Gerontik

Disusun oleh :

Meyda Nurhaida 211117040

Pratiwi Ichsani Aulia 2111170

Susi Jesika Rohimah 2111170

Yosef Agung Gumelar 2111170

Ferina Dwi Lestari 211117064

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (D-III)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Keperawatan Gerontik
dengan judul “Konsep Teori Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan
Alzaimer”.

Penulis menyadari dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih


banyak kekurangan, namun berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Cimahi, November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2


DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang ........................................................Error! Bookmark not defined.
B. Tujuan ......................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB II PEMBAHASAN .....................................................Error! Bookmark not defined.
A. Konsep Penyakit Alzheimer ...................................Error! Bookmark not defined.
1. Pengertian ............................................................Error! Bookmark not defined.
2. Etiologi .................................................................Error! Bookmark not defined.
3. Patofisiologi .........................................................Error! Bookmark not defined.
4. Pathway................................................................Error! Bookmark not defined.
5. Manifestasi klinis ................................................Error! Bookmark not defined.
6. Komplikasi ...........................................................Error! Bookmark not defined.
7. Penatalaksanaan medis.......................................Error! Bookmark not defined.
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ............Error! Bookmark not defined.
A. PENGKAJIAN ........................................................Error! Bookmark not defined.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ............................Error! Bookmark not defined.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN .........................Error! Bookmark not defined.
BAB IV PENUTUP .............................................................Error! Bookmark not defined.
A. Kesimpulan ..............................................................Error! Bookmark not defined.
B. Saran ........................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan


kemandirian bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai
tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas normal. Imobilitas dan
intoleran aktivitas sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian besar lansia
mengalami imobilitas dengan bermacam-macam penyebab. Seperti tingkat
aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas, intoleransi
aktivitas, dan sindrom dissue sering terjadi pada lansia. Diagnosis
keperawatan hambatan mobilitas fisik, potensial sindrom disuse, dan
intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilitas yang lebih luas.

Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang


digunakan untuk lansia mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik
adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul.
Prevalensi dari masalah ini meluas di luar institusi sampai melibatkan
seluruh lansia. Keletihan dan kelemahan penyebab paling umum kedua
yang paling sering terjadi yang menjadi keluhan pada lansia. Sekitar 43%
lansia telah didefinisikan memiliki gaya hidup kurang gerak. Akhirnya
sekitar 50% penurunan fungsional pada lansia telah dihubungkan dengan
desease. Penyebab imobilitas bermacam-maca,. Berbagai ancaman
imobilitas fisik dapat dikategorikan berhubungan dengan lingkungan
eksternal dan internal dengan kompetensi sumber-sumber eksternal dan
internal.

Awitan imobilitas atau intoleran aktivitas pada sebagian besar


orang tidak terjadi secara tiba-tiba. Awitannya bertahap dari mobilitas
penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi
berkembang secara perlahan dan tanpa disadari.
Seorang perawat harus memberikan intervensi yang tepat agar
dapat menghambat terjadinya ketergantungan fisik total. Intervensi yang
diarahkan pada pencegahan kearah konsekuensi-konsekuensi imobilitas
dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.

1.2.Rumusan masalah
1. Bagaimana gambaran umum mengenai masalah imobilisasi ?
2. Bagaimana pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada masalah
imobilisasi ?

1.3.Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai masalah imobilisasi.
2. Untuk mengetahui pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada
masalah imobilisasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu
keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalamni
keterbatasan gerak fisik. (Kim et al, 1995)

Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang


tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya.
(Hidayat, 2009)

Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan


instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak
fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi
rangka), pembebasan gerak volunter, atau kehilangan fungsi motorik.
(Potter & Perry, 2005)

A. Etiologi
 Penyebab

Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan


otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan
penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat
seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga
menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat
menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun dirumah sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).

Penyebab secara umum:

 Kelainan postur
 Gangguan perkembangan otot
 Kerusakan system saraf pusat
 Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
 Kekakuan otot

F. Patofisiologi

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot,


skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur
gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang
bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan
isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot
memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau
kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya,
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak
menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat
harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan,
fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi
kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi paru
kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati
seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal.
Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan
aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.

Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang


bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh
dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.

Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal


adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang,
pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam
pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium,
berperan dalam pembentukan sel darah merah.

2.2.Manifestasi klinis
Terjadinya imobilisasi dalam tubuh dapat berpengaruh pada sistem
tubuh, seperti :
1. Perubahan metabolik

Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi


kelenjar, membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital
seperti :

1. respons terhadap stress dan cedera


2. pertumbuhan dan perkembangan
3. reproduksi
4. homeostasis ion
5. metabolisme energi.

Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan


proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses
imobilitas dapat juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan
peningkatan nitrogen. Pada umumnya keadaan ini dapat dijumpai
pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima dan
keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya
adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan
katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan
gangguan gastrointestinal.

2. Perubahan sistem respirasi

Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada


terjadinya komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling
umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis,
bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus
sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan
hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat
terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup.
Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya
sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama
menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan menambah
ketidaknyamanan klien

3. Perubahan sistem kardiovaskuler

Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien


imobilisasi terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :

1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik


25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari
posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien
imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan,
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan
respons otonom. Faktor- faktor tersebut mengakibatkan
penurunan aliran balik vena, diikuti oleh penurunan curah
jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance
and Huether, 1994).
2) peningkatan beban kerja jantung,
3) pembentukan trombus.

4. Perubahan sistem muskuloskeletal

Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi


gangguan imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi
mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan
massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari
keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sitem muskuloskeletal
adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilitas sendi.

Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami


massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu,
penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan
tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih,
maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan.
Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan
terhadap skelet, yaitu : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan
sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga
jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis
(Holm, 1989). Apabila ossteoporosis terjadi maka klien berisiko
terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak
menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi
Tulang juga menyebabkan kalisium terlepas ke dalam darah,
sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.

5. Perubahan sistem integumen


Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi
dan terjadinya inskemia, serta anoksia jaringan. Jaringan yang
tertekan, darah membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah
akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit,
sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati (ebersole
dan hess, 1994).

6. Perubahan eliminasi urine


Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau
datar, ginjal atau ureter membentuk garis datar seperti perawat ginjal
yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih
melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak
cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi
sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut stasis urine
dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal
(Perry & Potter, 2005). Batu ginjal dapat diakibatkan karena adanya
gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia.

Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi juga dapat


menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya pada lansia. Pada
umumnya lansia akan mengalami kehilangan total masaa tulang progresif.
Beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, meliputi
aktivitas fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual. Dampak dari
kehilangga massa tulang adalah tulang menjadi lebih lemah, tulang belakang lebih
lunak, dan tertekan, tulang panjang kurang resisten ketika membungkuk.

Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Lansia juga
membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka lebih dekat
bersamaan, yang mengurangi dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh
tidak stabil, dan mereka sangat berisiko jatuh dan cedera.

2.3.Jenis imobilisasi
1. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang
mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu
yang paling dicintai.
4. Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga
dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. (Hidayat,
2009)

5. Komplikasi
a. Perubahan Metabolik
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme
secara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya
kecepatan metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu
fungsi metabolic normal antara lain laju metabolic: metabolisme
karbohidarat, lemak, dan protein, keseimbangan cairan dan
elektrolit, ketidakseimbangan kalsium, dan gangguan pencernaan.
Keberdaaan infeksius padaklien immobilisasi meningkatkan BMR
karena adanya demam dan penyembuhanluka yang membutuhkan
peningkatan kebutuhan oksgen selular.
b. Gangguan metabolic yang mungkin terjadi :
Defisensi kalori dan proterin merupakan karakteristik klien
yangmengalamianoreksia sekunder akibat mobilisasi. Immobilisasi
menyebabkan asam aminotidak digunakan dan akan diekskresikan.
Pemcahan asasm amino akan terusterjadi dan menghasilkan
nitrogen sehingga akumulasinya kan menyebbakankeseimbangan
nitrogen negative , kehilangan berat badan , penurnan massaotot,
dan kelemahan akibat katabolisme jarinagn. Kehilangan masa
otottertutama pada hati,jantung,paru-paru, saluran pencernaan, dan
imunitas.
Ekskresi kalssium dalam urin ditngkatkan melalui resorpsi
tulang. Hal initerjadi karena immobilisasi menyebabkan kerja
ginjal yang menyebabkanhiperkalsemia.
c. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi system metabolik dan
endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap
metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah
perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih
tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan
tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan ekskresinitrogen urin sehingga terjadi
hipoproteinemia.
d. Gannguan gastrointestinal terjadi akibta penurunan motilitas
usus. Konstipasi sebagai gejala umum , diare karena feces
yang cair melewati bagian tejpit dan menyebabkan masalah
serius berupa obstruksi usus mekanik bila tidak ditangani
karena adanya distensi dan peningkatan intraluminal yang
akan semakin parah bila terjadi dehidrasi, terhentinya
basorbsi, gannguan cairan dan elektrolit.
e. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai
dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan
protein menurun dan konsenstrasi protein serum berkurang
sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh.
Berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
f. Gangguan Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh
menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat
mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel
menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas metabolisme,
g. Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan
fungsi gastrointestinal, karena imobilitas dapat menurunkan
hasil makanan yang dicerna dan dapat menyebabkan
gangguan proses eliminasi.
h. Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem
pernapasan. Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun,
ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot,
i. Perubahan Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu
berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan
terjadinya pembentukan trombus.
j. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak
imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.
Gangguan Skeletal: adanya imobilitas juga dapat
menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi
kontraktur sendi dan osteoporosis.
k. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat
imobilitas.
l. Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan jumlah
urine.
m. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain
timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya
Penatalaksaan

Penatalaksanaan Medis

a. Terapi

1) Penatalaksana Umum

a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan


pramuwerdha.

b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu
pasien.

c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan


pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan
untuk mencapai target terapi.

d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan


dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi
penyetara lainnya.

e) Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat


menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentkan
bila memungkinkan.

f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang


mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.

g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis


terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif,
dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik, isometrik,
isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi terbatas.

h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu


berdiri dan ambulasi.

i) Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.

2) Tatalaksana Khusus

a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi

b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.


c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten.

d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang


mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas
yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen.

Pencegahan

Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsug sepanjang kehidupan dan


episodic. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan, moblilitas
dan aktivitas tergantung pada fungsi system musculoskeletal, kardiovaskuler,
pulmonal. Sebagai suatu proses episodic pencegahan primer diarahkan pada
pencegahan masalah-masalah yang dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak
aktifan.

§ Hambatan terhadap latihan

Berbagai hambatan mempengaruhi partisipasi lansia dalam latihan secara teratur.


Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi social yang terjadi ketika teman-
teman dan keluarga telah meninggal, perilaku gaya hidup tertentu (misalnya
merokok dan kebiasaan diet yang buruk) depresi gangguan tidur, kurangnya
transportasi dan kurangnya dukungan. Hambatan lingkungan termasuk kurangnya
tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.

§ Pengembangan program latihan

Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan mengalami


peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikn kesempatan pada klien
untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur dalam melakukan bentuk
aktif dari rekreasi santai yang dapat memberikan efek latihan.

Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang
factor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan
keterikatan dan meningkatkan pengalaman;

o Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan
setelah aktivitas diberikan)
o Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan khusus)

o Kesulitan yang dirasakan

o Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan

o Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan


berhasil)

§ Keamanan

Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien,
instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk
mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya
dengan memilih aktivitas yang tepat.

b. Pencegahan Sekunder

Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi
atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri
suatu pengertian tentang berbagai factor yang menyebabkan atau turut berperan
terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada
pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawaqtan
dihubungkan dengan poencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik

Selain itu, Upaya mencegahkan terjadinya masalah akibat kurangnya mobilisasi


antara lain:

1) Perbaikan status gisi


2) Memperbaiki kemampuan monilisasi
3) Melaksanakan latihan pasif dan aktif
4) Mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan bady aligmen
(Struktur tubuh).
5) Melakukan perubahan posisi tubuh secara periodik (mobilisasi untuk
menghindari terjadinya dekubitus / pressure area akibat tekanan yang
menetap pada bagian tubuh.

Pemeriksaan Penunjang

1) Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan


hubungan tulang.
2) CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau
cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau
penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang. Dll.
4) Pemeriksaan Laboratorium:
Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin
dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

5.1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur,
status perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.

b. Riwayat penyakit sekarang


Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti
adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat imobilitas, daerah
terganggunya karena imobilitas, dan lama terjadinya gangguan
mobilitas.

c. Riwayat penyakit yang pernah diderita

Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan


kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem
neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan
tekanan intrakranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera medula
spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark
miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem
muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit
sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan
lain-lain), riwayat pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan
sistem saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.

3. Pengkajian psiko, social, dam spiritual

a. Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah


bagaimana respons psikologis klien terhadap masalah
gangguan aktivitas yang dialaminya, mekanisme koping yang
digunakan klien dalam menghadapi gangguan aktivitas dan
lain-lain.
b. Aspek sosial kultural
Pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat gangguan
aktifitas yang dialami klien terhadap kehidupan sosialnya,
misalnya bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan, peran
diri baik dirumah, kantor maupun sosial dan lain-lain
c. Aspek spiritual
Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana
keyakinan dan nilai yang dianut klien dengan kondisi
kesehatan yang dialaminya sekarang, seperti apakah klien
menunjukan keputusasaannya? Bagaimana pelaksanaan
ibadah klien dengan keterbatasan kemampuan fisiknya? Dan
lain-lain (Asmadi, 2008).

d. Pemeriksaan fisik
 Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan
pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data
laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun
kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk
mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji asupan
makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan perubahan
fungsi gastrointestinal.
Pengukuran asupan dan haluaran membantu perawat untuk
menentukan apakah terjadi ketidakseimbnagan cairan. Dehidrasi
dan edema dapat meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien
imobilisasi. Pengukuran laboratorium terhadap kadar elektrolit
darah juga mengindikasikan ketidakseimbangan elektrolit.
Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka cepatan
penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke
jaringan. Kemajuan penyembuhan yang normal mengindikasikan
kebutuhan metabolik jaringan luka terpenuhi.
Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan
makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan
diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan.
Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila perawat mengkaji
pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan
imobilisasi.

 Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam
pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada
sistem respiratori meliputi :
- Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-
ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis,
gerakan dadanya menjadi asimetris.
- Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi
gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus
berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi
paru cenderung menumpuk di area bagian bawah.

 Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada
pasien imobilisasi, meliputi :
- memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur,
terutama jika berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau
berdiri akibat risiko terjadinya hipotensi ortostatik.
- mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam
posisi rekumben meningkatkan beban kerja jantung dan
mengakibatkan nadi meningkat. Pada beberapa klien, terutama
lansia, jantung tidak dapat mentoleransi peningkatan beban
kerja, dan berkembang menjadi gagal jantung. Suara jantung
ketiga yang terdengar di bagian apeks merupakan indikasi awal
gagal jantung kongestif. Memantau nadi perifer memungkinkan
perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa darah.
- observasi tanda-tanda adanya stasis vena (mis. edema dan
penyembuhan luka yang buruk), edema mengindikasikan
ketidakmampuan jantung menangani peningkatan beban kerja.
Karena edema bergerak di area tubuh yang menggantung,
pengkajian klien imobilisasi harus meliputi sakrum, tungkai
dan kaki. Jika jantung tidak mampu mentoleransi peningkatan
beban kerja, maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki,
hidung, dan daun telinga akan lebih dingin dari area pusat
tubuh. Terakhir, perawat mengkaji sistem vena karena
trombosis vena profunda merupakan bahaya dari keterbatasan
mobilisasi. Embolus adalah trombus yang terlepas, berjalan
mengikuti sistem sirkulasi ke paru-paru atau otak dan
menggangu sirkulasi. Emboli yang ke paru-paru ataupun otak
mengancam otak.

Untuk mengkaji trombosis vena profunda, perawat melepas


stocking elastis klien dan/atau sequential compression devices
(SCDs) setiap 8 jam dan megobservasi betis terhadap
kemerahan, hangat, kelembekan. Tanda Homan (Homan’s
sign) atau nyeri betis pada kaki dorsifleksi, mengidentifikasi
kemungkinan adanya trombus, tetapi tanda ini tidak selalu ada
(Beare dan Myers, 1994). Ketika melakukan hal ini perawat
menandai sebuah titik di setiap betis 10 cm dari tengah patella.
Lingkar betis diukur setiap hari menggunakan tanda tersebut
untuk penempatan alat pengukur. Penigkatan satu bagian
diameter merupakan indikasi awal trombosis. Trombosis vena
profunda juga dapat terjadi di paha untuk itu pengukuran paha
harus dilakukan setiap hari apabila klien cenderung terjadi
trombosis. Pada beberapa klien, trombosis vena profunda dapat
di cegah dengan latihan aktif dan stoking elastis.

 Sistem Muskuloskeletal.
Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama
pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot,
dan kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik
mengidentifikasi kehilangan tonus dan massa otot.
Pengkajian rentang gerak adalah penting data dasar yang
mana hasil hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk
mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak di
ukur dengan menggunakan geniometer. Pengkajian rentang gerak
dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan
kaki.

 Sistem Integumen
Perawat harus terus menerus mengkaji kulit klien terhadap
tanda-tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien
bergerak, diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan
eliminasinya. Pengkajian minimal harus dilakukan 2 jam.

 Sistem Eliminasi
Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total
asupan dan haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus
menentukan bahwa klien menerima jumlah dan jenis cairan melalui
oral atau parenteral dengan benar.

Tidak adekuat asupan dan haluaran atau ketidakseimbangan cairan dan


elektrolit meningkatkan resiko gangguan sistem ginjal, bergeser dari infeksi
berulang menjadi gagal ginjal. Dehidrasi juga meningkatkan resiko kerusakan
kulit, pembentukan trombus, infeksi pernafasan, dan konstipasi. Pengkajian status
eliminasi juga meliputi frekuensi dan konsistensi pengeluaran feses.

Pengkajian fungsional klien


KATZ indek
Klien dengan gangguan mobilisasi termasuk kategori ketergantungan semua
fungsi seperti BAK , BAB , menggunakan pakaian , pergi ke toilet dan mandi
Barthel Indeks

No Kriteria Skor Keterangan


1. Makan 10
5 : bantuan
10 : mandiri
2. Minum 10
5 : bantuan
10 : mandiri
3. Berpindah dari kursi roda 15
ke tempat tidur/sebaliknya
10 : bantuan
15 : mandiri
4. Personal toilet (cuci muka, 5
menyisir rambut, gosok gigi)
0 : bantuan
5 : mandiri
5. Keluar masuk toilet 10
(mencuci pakaian, menyeka
tubuh dan menyiram)
5 : bantuan
10 : mandiri
6. Mandi 15
5 : bantuan
15 : mandiri
7. Jalan di permukaan datar 5
0 : bantuan
5 : mandiri
8. Naik turun tangga 10
5 : bantuan
10 : mandiri
9. Mengenakan pakaian 10
5 : bantuan
10 : mandiri
10. Kontrol Bowel (BAB) 10
5 : bantuan
10 : mandiri
11. Kontrol Bladder (BAK) 10
No Kriteria Skor Keterangan
5 : bantuan
10 : mandiri
12. Olahraga/latihan 10
5 : bantuan
10 : mandiri
13. Rekreasi/pemanfaatan 10
waktu luang
5 : bantuan
10 : mandiri

Keterangan :
130 : Mandiri
65-125 : Ketergantungan sebagian
60 : Ketergantungan total

Pengkajian status mental


1. Identifikasi tingkat intelektual dengan SPMSQ (Short Portable Mental Status
Quesioner)
No. Pertanyaan Benar Salah Ket.
1. Tanggal berapa hari ini? Klien menjawab
2. Hari apa sekarang? Klien menjawab
3. Apa nama tempat ini? Klien menjawab
4. Dimana alamat anda? Klien menjawab
5. Berapa umur anda? Klien menjawab
6. Kapan anda lahir Klien menjawab
(minimal tahun lahir)?
7. Siapa presiden Indonesia Klien menjawab
sekarang?
8. Siapa presiden Indonesia Klien menjawab
sebelumnya?
9. Siapa nama ibu anda? Klien menjawab
10. Berapa 20-3? Tetap Klien menjawab
pengurangan 3 dari
setiap angka baru, semua
secara menurun
berurutan.
Jumlah

Interpretasi Hasil :
Salah 0-2 : Fungsi intelektual utuh
Salah 3-4 : Kerusakan intelektual ringan
Salah 5-7 : Kerusakan intelektual sedang
Salah 8-10 : Kerusakan intelektual berat
2. Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan MMSE (Mini
Mental Status Exam)
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien
1 Orientasi 5 Menyebutkan dengan benar
□ Tahun
Musim
□ Tanggal
□ Hari
□ Bulan
Orientasi 5 5 Dimana kita sekarang
□ Negara
Provinsi
Kota
PSTW
Wisma
2 Registrasi 3 Sebutkan 3 obyek (oleh
pemeriksa) 1 detik untuk
mengatakan masing-masing
obyek. Kemudian tanyakan
kepada klien ketiga obyek
tadi (untuk disebutkan)
□ Obyek 1
□ Obyek 2
□ Obyek 3
3 Perhatian dan 5 Minta klien untuk memulai
kalkulasi dari angka 100 kemudian
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien
dikurangi 7 sampai 5 kali
93
86
79
72
65
4 Mengingat 3 Minta klien untuk
mengulangi ketiga obyek
pada no 2 tadi, bila benar 1
point untuk masing-masing
obyek
5 Bahasa 9 Tunjukkan pada klien suatu
benda dan tanyakan
namanya pada klien

Minta klien untuk
mengikuti perintah berikut
yang terdiri dari 3 langkah :
“Ambil kertas di tangan
anda. Lipat dua dan taruh di
lantai”

Perintahkan pada klien


untuk mengikuti arahan
□ sesuai perintah
”tutup mata anda”

Perintahkan pada klien


untuk menulis satu kalimat
dan menyalin gambar

Total nilai

>23 : Aspek kognitif dari fungsi mental baik


18-22 : Kerusakan aspek fungsi mental ringan
≤ 17 : Terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat
B. Analisa Data
Diagnosa keperawatan Etiologi Masalah keperawatan
DS : Proses menua Gangguan mobilitas fisik
-klien mengeluh sulit ↓
menggeakan ekstremitas Penurunan fungsi
persendian
DO : ↓
-nyeri saat bergerak
-persendian terlihat kaku ↓
-gerakan terbatas
-fisik lemah ↓

DS : osmotik diuresis defisien volume cairan


DO :
-Tanda-tanda vital tugor kulit menurun
- turgor kulit membran mukosa kering
- intake urine output
- membrane mukosa defisien volume cairan

DS : Proses menua Gangguan mobilitas fisik


-klien mengeluh sulit ↓
menggeakan ekstremitas Penurunan fungsi
persendian
DO : ↓
-nyeri saat bergerak
-persendian terlihat kaku ↓
-gerakan terbatas
-fisik lemah ↓

Anda mungkin juga menyukai