Gerntik 1
Gerntik 1
Keperawatan Gerontik
Disusun oleh :
2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Keperawatan Gerontik
dengan judul “Konsep Teori Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan
Alzaimer”.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penyusun
DAFTAR ISI
1.1.Latar belakang
1.2.Rumusan masalah
1. Bagaimana gambaran umum mengenai masalah imobilisasi ?
2. Bagaimana pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada masalah
imobilisasi ?
1.3.Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai masalah imobilisasi.
2. Untuk mengetahui pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada
masalah imobilisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu
keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalamni
keterbatasan gerak fisik. (Kim et al, 1995)
A. Etiologi
Penyebab
Kelainan postur
Gangguan perkembangan otot
Kerusakan system saraf pusat
Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
Kekakuan otot
F. Patofisiologi
2.2.Manifestasi klinis
Terjadinya imobilisasi dalam tubuh dapat berpengaruh pada sistem
tubuh, seperti :
1. Perubahan metabolik
Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Lansia juga
membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka lebih dekat
bersamaan, yang mengurangi dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh
tidak stabil, dan mereka sangat berisiko jatuh dan cedera.
2.3.Jenis imobilisasi
1. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang
mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu
yang paling dicintai.
4. Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga
dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. (Hidayat,
2009)
5. Komplikasi
a. Perubahan Metabolik
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme
secara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya
kecepatan metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu
fungsi metabolic normal antara lain laju metabolic: metabolisme
karbohidarat, lemak, dan protein, keseimbangan cairan dan
elektrolit, ketidakseimbangan kalsium, dan gangguan pencernaan.
Keberdaaan infeksius padaklien immobilisasi meningkatkan BMR
karena adanya demam dan penyembuhanluka yang membutuhkan
peningkatan kebutuhan oksgen selular.
b. Gangguan metabolic yang mungkin terjadi :
Defisensi kalori dan proterin merupakan karakteristik klien
yangmengalamianoreksia sekunder akibat mobilisasi. Immobilisasi
menyebabkan asam aminotidak digunakan dan akan diekskresikan.
Pemcahan asasm amino akan terusterjadi dan menghasilkan
nitrogen sehingga akumulasinya kan menyebbakankeseimbangan
nitrogen negative , kehilangan berat badan , penurnan massaotot,
dan kelemahan akibat katabolisme jarinagn. Kehilangan masa
otottertutama pada hati,jantung,paru-paru, saluran pencernaan, dan
imunitas.
Ekskresi kalssium dalam urin ditngkatkan melalui resorpsi
tulang. Hal initerjadi karena immobilisasi menyebabkan kerja
ginjal yang menyebabkanhiperkalsemia.
c. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi system metabolik dan
endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap
metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah
perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih
tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan
tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan ekskresinitrogen urin sehingga terjadi
hipoproteinemia.
d. Gannguan gastrointestinal terjadi akibta penurunan motilitas
usus. Konstipasi sebagai gejala umum , diare karena feces
yang cair melewati bagian tejpit dan menyebabkan masalah
serius berupa obstruksi usus mekanik bila tidak ditangani
karena adanya distensi dan peningkatan intraluminal yang
akan semakin parah bila terjadi dehidrasi, terhentinya
basorbsi, gannguan cairan dan elektrolit.
e. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai
dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan
protein menurun dan konsenstrasi protein serum berkurang
sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh.
Berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
f. Gangguan Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh
menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat
mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel
menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas metabolisme,
g. Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan
fungsi gastrointestinal, karena imobilitas dapat menurunkan
hasil makanan yang dicerna dan dapat menyebabkan
gangguan proses eliminasi.
h. Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem
pernapasan. Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun,
ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot,
i. Perubahan Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu
berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan
terjadinya pembentukan trombus.
j. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak
imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.
Gangguan Skeletal: adanya imobilitas juga dapat
menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi
kontraktur sendi dan osteoporosis.
k. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat
imobilitas.
l. Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan jumlah
urine.
m. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain
timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya
Penatalaksaan
Penatalaksanaan Medis
a. Terapi
1) Penatalaksana Umum
b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu
pasien.
2) Tatalaksana Khusus
Pencegahan
Pencegahan
a. Pencegahan primer
Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang
factor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan
keterikatan dan meningkatkan pengalaman;
o Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan
setelah aktivitas diberikan)
o Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan khusus)
§ Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien,
instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk
mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama pentingnya
dengan memilih aktivitas yang tepat.
b. Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi
atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri
suatu pengertian tentang berbagai factor yang menyebabkan atau turut berperan
terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan sekunder memfokuskan pada
pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawaqtan
dihubungkan dengan poencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik
Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur,
status perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.
d. Pemeriksaan fisik
Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan
pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data
laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun
kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk
mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji asupan
makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan perubahan
fungsi gastrointestinal.
Pengukuran asupan dan haluaran membantu perawat untuk
menentukan apakah terjadi ketidakseimbnagan cairan. Dehidrasi
dan edema dapat meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien
imobilisasi. Pengukuran laboratorium terhadap kadar elektrolit
darah juga mengindikasikan ketidakseimbangan elektrolit.
Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka cepatan
penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke
jaringan. Kemajuan penyembuhan yang normal mengindikasikan
kebutuhan metabolik jaringan luka terpenuhi.
Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan
makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan
diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan.
Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila perawat mengkaji
pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan
imobilisasi.
Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam
pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada
sistem respiratori meliputi :
- Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-
ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis,
gerakan dadanya menjadi asimetris.
- Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi
gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus
berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi
paru cenderung menumpuk di area bagian bawah.
Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada
pasien imobilisasi, meliputi :
- memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur,
terutama jika berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau
berdiri akibat risiko terjadinya hipotensi ortostatik.
- mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam
posisi rekumben meningkatkan beban kerja jantung dan
mengakibatkan nadi meningkat. Pada beberapa klien, terutama
lansia, jantung tidak dapat mentoleransi peningkatan beban
kerja, dan berkembang menjadi gagal jantung. Suara jantung
ketiga yang terdengar di bagian apeks merupakan indikasi awal
gagal jantung kongestif. Memantau nadi perifer memungkinkan
perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa darah.
- observasi tanda-tanda adanya stasis vena (mis. edema dan
penyembuhan luka yang buruk), edema mengindikasikan
ketidakmampuan jantung menangani peningkatan beban kerja.
Karena edema bergerak di area tubuh yang menggantung,
pengkajian klien imobilisasi harus meliputi sakrum, tungkai
dan kaki. Jika jantung tidak mampu mentoleransi peningkatan
beban kerja, maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki,
hidung, dan daun telinga akan lebih dingin dari area pusat
tubuh. Terakhir, perawat mengkaji sistem vena karena
trombosis vena profunda merupakan bahaya dari keterbatasan
mobilisasi. Embolus adalah trombus yang terlepas, berjalan
mengikuti sistem sirkulasi ke paru-paru atau otak dan
menggangu sirkulasi. Emboli yang ke paru-paru ataupun otak
mengancam otak.
Sistem Muskuloskeletal.
Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama
pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot,
dan kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik
mengidentifikasi kehilangan tonus dan massa otot.
Pengkajian rentang gerak adalah penting data dasar yang
mana hasil hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk
mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak di
ukur dengan menggunakan geniometer. Pengkajian rentang gerak
dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan
kaki.
Sistem Integumen
Perawat harus terus menerus mengkaji kulit klien terhadap
tanda-tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien
bergerak, diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan
eliminasinya. Pengkajian minimal harus dilakukan 2 jam.
Sistem Eliminasi
Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total
asupan dan haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus
menentukan bahwa klien menerima jumlah dan jenis cairan melalui
oral atau parenteral dengan benar.
Keterangan :
130 : Mandiri
65-125 : Ketergantungan sebagian
60 : Ketergantungan total
Interpretasi Hasil :
Salah 0-2 : Fungsi intelektual utuh
Salah 3-4 : Kerusakan intelektual ringan
Salah 5-7 : Kerusakan intelektual sedang
Salah 8-10 : Kerusakan intelektual berat
2. Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan MMSE (Mini
Mental Status Exam)
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien
1 Orientasi 5 Menyebutkan dengan benar
□ Tahun
Musim
□ Tanggal
□ Hari
□ Bulan
Orientasi 5 5 Dimana kita sekarang
□ Negara
Provinsi
Kota
PSTW
Wisma
2 Registrasi 3 Sebutkan 3 obyek (oleh
pemeriksa) 1 detik untuk
mengatakan masing-masing
obyek. Kemudian tanyakan
kepada klien ketiga obyek
tadi (untuk disebutkan)
□ Obyek 1
□ Obyek 2
□ Obyek 3
3 Perhatian dan 5 Minta klien untuk memulai
kalkulasi dari angka 100 kemudian
Aspek Nilai Nilai
No Kriteria
kognitif maks klien
dikurangi 7 sampai 5 kali
93
86
79
72
65
4 Mengingat 3 Minta klien untuk
mengulangi ketiga obyek
pada no 2 tadi, bila benar 1
point untuk masing-masing
obyek
5 Bahasa 9 Tunjukkan pada klien suatu
benda dan tanyakan
namanya pada klien
□
Minta klien untuk
mengikuti perintah berikut
yang terdiri dari 3 langkah :
“Ambil kertas di tangan
anda. Lipat dua dan taruh di
lantai”
□
Total nilai