Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mutu pelayanan khususnya pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat dinilai
dari berbagai indikator, salah satunya melalui penilaian terhadap infeksi. Infeksi
silang yang berasal dari rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain
disebut healthcare associated infection/HAIs atau infeksi nosokomial (Kemenkes,
2011). Infeksi ini bisa datangnya dari tubuh pasien sendiri, kontak dengan petugas
kesehatan, peralatan medis yang terkontaminasi dan lingkungan (Saifuddin dkk,
2004).
Prevalensi di 55 rumah sakit dari 14 negara menunjukkan bahwa rata-rata 8,7%
pasien dari rumah sakit tersebut mengalami HAIs (World Health Organization/WHO,
2002). Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2011
memperkirakan setidaknya terdapat 722.000 pasien menderita infeksi nosokomial di
Amerika Serikat. Sekitar 75.000 pasien di antaranya meninggal dunia selama
perawatan di rumah sakit.
Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh
masyarakat, tuntutan pengelolaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) di rumah sakit semakin tinggi. Tenaga kerja di rumah sakit, pasien,
pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat disekitar rumah sakit
ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik
karena dampak kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan
prasarana di rumah sakit yang tidak standar.
Agar dapat tercipta sistem manajemen K3 yang baik, dibutuhkan sumber daya
manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula terutama untuk mendeteksi dan
menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk dapat mencapai
hal tersebut karyawan rumah sakit harus mengetahui jenis-jenis resiko bahaya di
rumah sakit dan cara pengendaliannya, sehingga rumah sakit yang aman bagi tenaga
kerja, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat di sekitar
rumah sakit dapat terwujud.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengenal resiko infeksi dan resiko bahaya yang ada di rumah
sakit.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi resiko infeksi dan bahaya yang ada di satuan
kerja masing-masing.
3. Mahasiswa mampu mengenal sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah
dilakukan di rumah sakit khususnya di satuan kerja masing-masing.
4. Mahasiwa mampu mengikuti prosedur pengendalian resiko bahaya dan
menerapkan kepada pengunjung, keluarga pasien dan peserta didik yang ada di
lingkungan rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR


2.1.1 Konsep Dasar Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI)
Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka
kejadian infeksi di rumah sakit. Proses terjadinya infeksi bergantung kepada
interaksi antara suseptibilitas pejamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan
dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor risiko pada pejamu dan
pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya
infeksi nosokomial/HAIs, baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
2.1.2 Konsep Dasar Pengendalian Resiko Bahaya
Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik,
kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi dapat menyebabkan penyakit dan
kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat
disekitar lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja
yang lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya tersebut
harus dikendalikan.
Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi
kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga
seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut. Dengan mengenal
resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang
ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko bahaya yang
sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.

2.2 RESIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT.


Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita tidak
dapat mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan micro
organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia. Akan
tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak dikendalikan, maka
dapat berdampak serius baik terhadap kesehatan maupun terhadap keselamatan
pekerja dan pengunjung serta masyarakat disekitar rumah sakit.
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5
kelompok sebagai berikut;
a. Resiko Bahaya Fisik
Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:
1) Resiko bahaya mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang
paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik /
jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko
bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut
terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular
penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska
tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di rumah
sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-
barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari brankart/
tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana
saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu
diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa.
Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko
untuk terjepit/tenggelam tersebut.
d) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain.
Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau
batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah ditandai
dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta
rambu peringatan “awas licin”.
e) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan
jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau
pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan
pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan
abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di
lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan
anak-anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
2) Resiko bahaya radiasi
Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang
mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di
rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan
energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau
radiasi gelombang mikro.
3) Resiko bahaya akibat kebisingan
Adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi
ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler, generator
listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat
kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar peraturan menteri
kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di
rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan
tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali. Di rumah sakit pemantauan ini
sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan yang tidak memenuhi
persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta
dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
4) Resiko bahaya akibat pencahayaan
Adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih.
Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah sakit juga telah dipantau dan
dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus
diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu pengganti
setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak
terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area tersebut.
5) Resiko bahaya listrik
Adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus listrik. Pengendalian
yang telah dilakukan adalah melakukan preventif maintenance seluruh
peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan
penggantian peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya
kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa peserta didik dan keluarga
pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada saat orientasi
dan untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien masuk rumah
sakit khususnya pasien rawat inap.
6) Resiko bahaya akibat iklim kerja
Adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan
kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi
lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah
dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak memenuhi
peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan
ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
7) Resiko bahaya akibat getaran
adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin
masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan
motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah tangga yang
menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).
b. Resiko Bahaya Biologi
1) Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS
(ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
2) Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik
dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
c. Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1) Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan
lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit
oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan
seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah pengadaan B3,
penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya.
Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan
Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang mengelola harus sudah
mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai prosedur penanganan
tumpahan B3.
Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas
palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS,
safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3
serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3.
Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang
kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan.
Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan
rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki
pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur
yang berlaku.
Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor yang
akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus
dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk selanjutnya
diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
d. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi
Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan:
angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan
ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala
oleh Unit K3.
e. Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan
hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan
pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

2.3 HIERARCHY PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA


Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5 hierarchy
sebagai berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat
desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia
dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain.
Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya
mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian,
penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di
eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.
b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi ataupun
peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan
pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem
ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem
otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan
operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya,
mengurangi kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat
yang menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.
c. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan pekerja
serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini terpasang
dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada
ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan
shield /sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan melakukan
pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan mematuhi,
memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara
aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar
operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal
kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-
lain.
e. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang
paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh
pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan
memperhatikan jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin
jauh dengan resiko bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga
semakin singkat kontak dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin
kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja
seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain,
alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang faham
terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan
dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan
dan penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD tersebut
tetap optimal.
Hierarchy pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Hierarchy pengendalian resiko bahaya.

2.4 PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA.


Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh
resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian
resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Resiko bahaya fisik
a. Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan
terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah
dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang
menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor dan
lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca film dan
stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan
sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari 2
meter, dan lain-lain.
b. Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi,
kedokteran nuklir, ruang cath lab dan beberapa kamar operasi yang memiliki
fluoroskopi / x-ray. Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan
rambu peringatan bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan
APD radiasi, pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan
paparan radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas
radiasi.
c. Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan
ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan
dengan alat-alat baru dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan
pelindung telinga dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh
Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d. Resiko bahaya pencahayaan: resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan
pekerjaan teliti seperti di kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang
sudah dilakukan adalah pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh
ISLRS dan hasil pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk
tindak lanjut ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi
persyaratan.
e. Resiko bahaya listrik: resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan
peralatan listrik harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus
dipasang oleh bagian IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di
RSUP dr Sardjito secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan
seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa
stiker warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker
merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan
IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang
perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.

2.5 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


1) Cuci tangan 6 langkah
2) Penggunaan alat pelindung diri (APD)
3) Pengendalian lingkungan rumah sakit
4) Penanganan limbah RS dan benda tajam
5) Penanganan linen dan laundry
6) Pemrosesan peralatan perawatan pasien (pembersihan, desinfeksi, sterilisasi)
7) Penempatan
8) Keselamatan karyawan
9) Etika batuk
10) Penyuntikan yang aman

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen, Kesehatan RI.
Cetakan kedua, 2008.
Keputuan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Anda mungkin juga menyukai