Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH

OKUPASI TERAPI PADA SEKSUALITAS

“SEKSUALITAS PADA ORANG DENGAN DOWN SYNDROME”

Disusun Oleh

Frulita Alisna P27228017

Gheumala Tiara R P27228017

Noviana Anggraini P27228017

Shanindita Berliana P27228017 162

Yuli Tri Aahma P27228017

PROGRAM STUDI DIII OKUPASI TERAPI POLITEKNIK KEMENTRIAN

KESEHATAN SURAKARTA
SEKSUALITAS PADA ORANG DENGAN DOWN SYNDROME

A. Definisi

Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan

fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan

kromosom. (Cuncha: 1992). Ahli pertama yang mengidentifikasikan gangguan ini

adalah John Langdon Down. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terjadi mutasi

gen pada kromosom 21, dimana terdapat tambahan bagian pada kromosom

tersebut. Jadi Down Syndrome adalah suatu keadaan fisik yang disebabkan oleh

mutasi gen ketika anak berada dalam kandungan.

Menurut (Chaplin, 1991), down syndrome adalah satu kerusakan atau

cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal, dan

retak-retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan matanya miring. Sedangkan

menurut (Kartono, 1987), down syndrome adalah suatu bentuk keterbelakangan

mental, disebabkan oleh satu kromosom tembahan. IQ anak down syndrome

biasanya dibawah 50, sifat-sifat atau ciri-ciri fisiknya adalah berbeda, ciri-ciri

jasmaniahnya sangat mencolok, salah satunya yang paling sering diamati adalah

matanya yang serong ke atas.

B. Klasifikasi

Down syndrome dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:


1. Down Sindrome Triplo-21 atau Trisomi 21, sehingga penderita memiliki 47

kromosom. Penderita laki-laki= 47,xy,+21, sedangkan perempuan= 47,xx,+21.

Kira-kira 92,5% dari semua kasus Down Sindrome tergolong dalam tipe ini,

2. Down Sindrome Translokasi, yaitu peristiwa terjadinya perubahan struktur

kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan

potongan kromosom lainnya yang bukan homolog-nya (Suryo, 2011).

Wiyani(2014)mencatat beberapa gejala yang muncul akibat down

syndrome. Disebutkan oleh Wiyani bahwa gejala tersebut dapat muncul bervariasi

dari mulai yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal, hingga muncul ciri-

ciri yang dapat diamati seperti berikut ini:

1. Penampilan fisik tampak melalui kepala yang relatif lebih kecil dari normal

(microchepaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.

2. Paras wajah yang mirip seperti orang Mongol, sela hidung datar, pangkal

hidung kemek.

3. Jarak antara dua mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran

mulutnya kecil, tetapi ukuran lidahnya besar dan menyebabkan lidah selalu

terjulur (macroglossia).

4. Pertumbuhan gigi penderita down syndrome lambat dan tidak teratur.

5. Paras telinga lebih rendah dan leher agak pendek.

6. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan

(epicanthol folds) sebesar 80%.


7. Penderita down syndrome mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan

bicara.

8. Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testis kecil), hypospadia, cryptorchism,

dan keterlambatan perkembangan pubertas.

9. Penderita down syndrome memiliki kulit lembut, kering, dan tipis. Sementara

itu, lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatologlyphics).

10. Tangannya pendek, ruas-ruas jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua

pendek, baik pada tangan maupun kaki melebar. Mereka juga mempunyai jari-jari

yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka

biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”.

11. Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu hari kaki dan jari kaki kedua agak

jauh terpisah.

12. Ototnya lemah sehingga mereka menjadi lembek dan menghadapi masalah

dalam perkembangan motorik kasar. Masalah-masalah yang berkaitan seperti

masalah kelaianan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus.

13. Tulang-tulang kecil di bagian lehernya tidak stabil sehingga menyebabkan

berlakunya penyakit lumpuh (atlantaoxial instability).

14. Sebagian kecil penderita berpotensi untuk mengalami kanker sel darah putih

atau leukimia.

15. Masalah perkembangan belajar penderita down syndrome secara keseluruhan

mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal. Pada tahap awal

perkembangannya, mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek


perkembangan, yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motor halus, dan

bercakap.

16. IQ penderita down syndrome ada di bawah 50.

17. Pada saat berusia 30 tahun, mereka kemungkinan dapat mengalami demensia

(hilang ingatan, penuruanan kecerdasan, dan perubahan kepribadian).

C. Prevalensi

Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology

(ICBB), Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down

syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia

diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008).

Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000

kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan

kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa

(Sobbrie, 2008).

Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh

besar terhadap munculnya Down Syndrome pada bayi yang dilahirkannya.

Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan DS adalah

1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah

1:400. Hal ini menunjukkan. Angka kemungkinan munculnya Down Syndrome

makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).

D. Etiologi
Pada Down Syndrome terdapat kelebihan salinan gen pada kromosom ke-

21. Hal ini menyebabkan gen-gen tersebut diekspresikan secara berkebihan.

Kromosom pada manusia normal terdiri dari 46 pasang kromosom, dengan

penulisan 46,XX pada wanita dan pada pria 46, XY. Down Syndrome memiliki

kelebihan 1 kromosom sehingga penulisan genetik kromosomnya adalah 47,

XX+21 atau 47,XY+21. Pada 1-2% pasien dapat terdapat sebagian sel tubuh

normal sementara sebagian sel memiliki kelebihan kromosom (46,XX/47,XX,

+21) yang disebut mosaic Down syndrome. (Sandjaja, 2014).

Sejak ditemukannya kelainan pada down syndrome tahun 1959, maka saat

ini perhatian lebih dipusatkan pada kejadian non-disjunctional sebagai

penyebabnya. Non-disjunctional merupakan kejadian dimana kromosom tidak

sesuai dengan jumlah semestinya. Kejanggalan terjadi kromosom ke-21 yang

seharusnya sepasang ada 2 namun berjumlah 3. Hal ini mengakibatkan

terjadinya down syndrome. Sampai saat ini penyebab non-disjunctional belum

diketahui, namun diduga penyebabnya adalah genetik, radiasi,

infeksi, autoimun, usia ibu, serta usia ayah (Soetjiningsih, 1995):

1. Genetik

Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjunctional.

Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil penelitian epidemiologi

yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga

terdapat anak dengan Down Syndrome.


2. Radiasi

Menurut Uchida (1981) yang dikutip kembali oleh Pueschel, menyatakan

bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome, pernah

mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan

peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan

penyimpangan kromosom.

3. Infeksi

Infeksi juga diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya Down

Syndrome. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa

virus dapat mengakibatkan non-disjunctional.

4. Autoimun

Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.

Penelitian Fialkow tahun 1966 yang dikutip kembali oleh Pueschel secara

konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodytiroid pada ibu yang

melahirkan anak dengan DS dengan ibu kontrol yang usianya sama.

5. Usia ibu
Usia ibu diatas 35 tahun, diperkirakan akan terjadi perubahan hormonal

yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom. Perubahan

endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar

hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan

konsentrasi reseptor hormon dan peningkatan secara tajam kadar Luteinizing

Hormon (LH) dan Follicular Stimulating Hormon (FSH) secara tiba – tiba

sebelum dan selamamenopause, dapat meningkatkan kemungkinan

terjadinya non-disjunctional.

6. Usia ayah

Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan DS mendapatkan

bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi

korelasinya tidak setinggi dengan usia ibu.

Faktor lain yang diperkirakan juga masih menjadi penyebab dari Down

Syndrome adalah gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia dan

frekuensi koitus (Soetjiningsih, 1995).

E. Gambaran Klinis

Kelainan yang tampak pada wajah anak dengan Down Syndrome adalah

bentuk kepala yang mendatar pada bagian depan (wajah) dan belakang, tulang

kepala lebih kecil dari ukuran normal, telinga yang letaknya lebih rendah, hidung
kecil, batang hidung tertekan ke dalam, lidah agak menjulur, lengkung langit-

langit mulut yang lebih tinggi, kelainan gigi, leher pendek dan lebar.

Perilaku anak dengan Down Syndrome umumnya cukup ramah, periang,

lembut, sabar, toleran, dan mempunyai spontanitas tinggi. Hanya sedikit penderita

menunjukkan kecemasan berlebihan dan keras kepala. Kebanyakan anak tidak

menderita kelainan kejiwaan atau tingkah laku. Hanya 18-38% disertau kelainan

kejiwaan atau tingkah laku. Kelainan tersebut antara lain gangguan pemusatan

perhatian, hiperaktivitas, gangguan perilaku seperti suka melawan, autisme,

depresi, obsesif-kompulsif, dan psikosis. (Sandjaja, 2014)

F. Prognosis

Kualitas hidup juga telah meningkat bagi banyak anak-anak dengan

Down Syndrome, tetapi hidup dengan kondisi ini bukannya tanpa kesulitan.

Umumnya, anak-anak dengan Down Syndrome dapat bersekolah. Apakah anak

ditempatkan di kelas reguler (arus utama) atau dalam pendidikan khusus sering

tergantung pada kemampuannya. Beberapa anak pergi ke ruang kelas umum

hanya untuk mata pelajaran tertentu. Banyak anak dengan Down Syndrome belajar

membaca dan menulis dan menikmati kegiatan yang sama seperti anak-anak lain

seusia mereka, seperti program olahraga, seni, dan musik. (Swierzewski, 2008)

Sebagai orang dewasa, orang dengan Down Syndrome dapat tinggal

bersama keluarga mereka atau di rumah kelompok masyarakat, di mana mereka

sering dapat mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mereka dapat bekerja di kantor,

panti jompo, hotel, restoran, dan tempat kerja lainnya. Orang yang menderita
Down Syndrome dapat menikah dan memiliki anak; Namun, wanita hamil dengan

kondisi ini berisiko tinggi mengalami keguguran.

G. Kondisi Down Syndrome

Anak penyandang Down Syndrome memiliki resiko tinggi akan masalah

kesehatan dibandingkan dengan anak-anak normal. Beberapa masalah yang erat

kaitannya dengan anak-anak ini adalah: kelainan jantung, kepekaan terhadap

infeksi pada mata maupun kelainan pada bentuk otak.

Cacat tambahan seperti usus pendek, tidak beranus/dubur, busung dada,

lemah otot maupun kerusakan syaraf adalah gambaran umum bagi penyandang

Down Sydrome, pada usia dewasa kemungkinan terserang penyakit Alzhaimer

(kehilangan sebagian besar memori lebih dari 25% dibanding dewasa normal yang

hanya 6%. Anak yang murni Down Syndrome pun belum tentu akan sehat

sempurna selamanya, suatu waktu akan akan terlihat jelas kemundurannya.

Beberapa masalah fisik yang mungkin akan dialami anak-anak dengan

Down Syndrome, walaupun tidak semuanya anak mengalami masalah yang sama

dengan derajat gangguan yang sama pula. Gangguan yang dapat dialami anak

Down Syndrome antara lain:


1. Gangguan pendengaran

2. Gangguan komunikasi, bicara dan bahasa

Ciri-ciri Down Syndrome

1. Lemah otot

2. Muka datar

3. Bentuk mata keatas

4. Bentuk kuping yang abnormal

5. Satu garis horisontal pada telapak tangan

6. Kelenturan yang berlebihan pada persendian

7. Jari kelingking hanya ada satu sendi

8. Lipatan pada dalam ujung mata

9. Jarak yang berlebihan antara jempol kaki dan telunjuk kaki

10. Lidah besar yang tidak sebanding dengan mulut

Sumber : Wardah. (2019). Down Syndrome Estrak 21 kromosom. Jakarta: Depkes RI

H. Problem

a. Problem pada laki-laki

 Biasanya anak dengan down syndrome disertai dengan ID yang

akan membuat ia kesulitan dalam memahami edukasi tentang

seksualitas yang diberikan kepada nya. Kurangnya pemahaman

tentang seksualitas atau making love membuat ia kesulitan untuk


membangun gairah atau membuat permainan sebelum melakukan

hubungan seksualitas sesungguhnya.

 Walaupun kesulitan dan tidak memahami tentang seksualitas

biasanya anak dengan down syndrome tetap memiliki hasrat dan

naluri untuk melakukan seksualitas atau hubungan seksualitas.

Anak dengan down syndrome yang belum menikah dan sudah

memasuki fase remaja biasanya akan melakukan mastrubasi atau

memaikan alat kelaminnya, tetapi ia tidak paham maksut dari

kegiatan

 Anak dengan down syndrome biasanya disertai dengan kurang

sempurnanya organ dalam tubuhnya seperti jantung, yang

mengakibatkan anak down syndrome akan memiliki endurance

yang sangat rendah akibatnya ketika melakukan hubungan

seksualitas ia akan cepat kelelehan dan kesulitan untuk melakukan

hubungan seksualitas secara sempurna

 Kelemahan tonus otot pada anak down syndrome akan

meyebabkan tidak maksimal dan kesulitan ketika melakukan

hubungan seksual. Anak dengan down syndrome juga kesulitan

untuk melakukan ereksi disebabkan oleh lemahnya fungsi otot.

Anak dengan down syndrome bisa saja terjadi disfungsi ereksi atau

juga dikenal sebagai impotensi terjadi ketika seorang pria tidak


mampu mencapai atau mempertahankan cukup ereksi selama

berhubungan seks..

 Kesulitan memusatkan perhatian, berkonsentrasi, dan

memecahkan masalah adalah salah satu ciri dari anak down

syndrome. Ciri tersebut akan membuat kesulitan untuk

berhubungan seksualitas karena ketika melakukan hubungan

seksualitas diperlukan 3 hal tersebut.

 anak down syndrome pasti mengalami mimpi basah tetapi ia tidak

paham apa yang terjadi pada tubuhnya, ia juga tidak tau apa yang

akan dilakukan setelah mimpi basah.

 Untuk mencapai klimaks dalam berhubungan seksualitas biasanya

tergantung tingkat keparahan down syndrome tersebut. Anak

dengan down syndrome ringan mungkin dapat mencapai klimaks

tapi membutuhkan waktu dan usaha yang sangat besar. Untuk anak

dengan down syndrome yang sangat berat mungkin tidak dapat

mecapai klimaksnya atau mungkin tidak dapat melakukan

hubungan seksualitas sekali pun.

 Menurut penelitian seorang laki-laki dengan down syndrome

sebagaian besar tidak subur dikarenakan gangguan perkembangan

sperma

b. Problem pada perempuan


I. Peran Okupasi Terapi

Peran Okupasi Terapi dalam aktivitas seksual orang dengan down

syndrome antara lain :

 Pendidikan seks yang sesuai untuk tingkat perkembangan dan

pencapaian intelektual individu dengan down syndrome

 Menambah kualitas hidup dengan menciptakan seksualitas yag

sehat

 Mengurangi resiko pelecehan seksual

 Menghindari kesalahpahaman seksual

 Mencegah penularan penyakit

 Mencegah kehamilan yang tidak diiginkan

 Mengurangi masalah yang berkaitan dengan fungsi seksual

a. Seks Edukasi untuk Down Syndrome

Agar efektif, edukasi harus bersifat individual dan dapat dipahami,

dengan fokus tidak hanya pada aspek reproduksi fisik, tetapi dengan perhatian

kuat pada pengambilan keputusan, norma budaya, termasuk ilmu parenting

nantinya.
b. Pengendalian Kelahiran

Sekitar 50% wanita dengan Down Syndrome adalah subur dan dapat

menggunakan metode kontrasepsi apa pun tanpa risiko medis tambahan. Metode

yang dipilih akan tergantung pada preferensi pribadi, kemampuan untuk

menggunakan kontrasepsi secara efektif dan kemungkinan efek samping. Ligasi

tuba (kontrol kelahiran permanen melalui operasi) juga dapat dilakukan tanpa

risiko tambahan untuk wanita dengan sindrom Down yang berada dalam kondisi

medis yang stabil. Banyak negara memiliki undang-undang yang mengontrol

ketersediaan prosedur ini untuk wanita yang memiliki cacat intelektual atau

perkembangan. Wanita dengan sindrom Down harus terlibat sebanyak mungkin

dalam pengambilan keputusan jika opsi ini dipertimbangkan.

c. Pencegahan pelecehan

Sangat direkomendasikan bahwa edukasi perlindungan diri dimulai di

masa kanak-kanak dan diperkuat sepanjang hidup orang dengan Down

Syndrome. Individu dengan Down Syndrome harus diajarkan batas-batas

interaksi fisik normal di lingkungan sosial, serta keterampilan penegasan diri

untuk meminta bantuan jika perlu.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber : Wardah. (2019). Down Syndrome Estrak 21 kromosom. Jakarta: Depkes RI


http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20down
%20syndrom%202019.pdf
https://www.ndss.org/resources/sexuality/

Anda mungkin juga menyukai