Anda di halaman 1dari 4

PLUS MINUS SERTIFIKASI PRANIKAH

Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang berlaku pada Departemen Agama, bahwa calon mempelai harus menyelesaikan
(membayar) biaya nikah dan rujuk sebesar Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah), di kantor
pos atau bank, terutama bagi calon mempelai yang tempat pelaksanaan akad nikahnya di luar
jam kerja dan atau di luar kantor (KUA), atau pada hari libur.

Bagi calon mempelai yang akan menikah di kantor (KUA), dan pada hari dan atau jam kerja,
dan atau berlatar belakang kurang mampu (secara ekonomi) dengan melampirkan surat
keterangan tidak mampu (SKTM) dari pihak kelurahan, tidak dipungut biaya alias gratis atau
Rp0,00.

Proses selanjutnya, calon mempelai harus mengikuti bimbingan perkawinan, atau Kursus
Calon Pengantin (Suscatin) tadi dan tentu saja mendapat sertifikat.

Dalam bimbingan perkawinan dipresentasikan materi-materi meliputi hukum


munkahat/hukum perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan, kiat-kiat membangun dan membentuk keluarga sakinah atau keluarga
bahagia, manajemen keuangan keluarga, kesehatan reproduksi dan kesehatan keluarga.

Bimbingan perkawinan atau pranikah dan sertifikat layak nikah/kawin ini ada plus minusnya.

Plusnya, calon mempelai mendapat bekal pengetahuan (secara kognitif) dalam memasuki
gerbang kehidupan rumah tangga. Sehingga mengurangi angka perceraian

Selain itu, sebagai upaya membentuk keluarga yang bahagia (keluarga sakinah). Juga
diharapkan sebagai upaya mencegah dan mengurangi angka perceraian yang tampaknya selalu
meningkat setiap tahun. dikarenakan sebelum menikah telah mendapatkan bimbingan tentang
bagaimana cara menghadapi permasalahan yang terjadi dalam suatu rumah tangga dan juga
bagaimana cara mendidik anak dengan baik agar anak dapat menjadi penerus bangsa yang
berkualitas.
Selain itu sebelum mereka menikah, mereka telah mendapatkan pemeriksaan oleh Puskesmas
kepada calon mempelai setelah melalui konseling dan pemeriksaan kesehatan secara umum (medical
check up), seperti cek tensi darah, tes urine (tes bebas narkoba), imunisasi vaksin Tetanus Toxoid (TT),
dan lain-lain. Sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit berbahaya di kalangan masyarakat.
Minusnya, bahwa prinsip pelayanan prima dan efektif, tidak berbelit-belit, cepat, dan
tidak menyulitkan publik, memangkas mata rantai pelayanan yang panjang dan bertele-tele,
mempermudah dan menyederhanakan pelayanan adalah percuma dan sia-sia, jika bimbingan
perkawinan memakan waktu yang panjang, apalagi sampai tiga bulan.
Parameternya apa, kalau menurut saya sekali lagi kalau tidak hati-hati bisa bikin gaduh juga

Karena selama ini pernah terjadi setengah hari pelaksanaannya dan sekarang menjadi dua hari
berturut-turut saja sudah menjadi kendala yang sangat menyulitkan dan memberatkan calon
mempelai.

Alasannya terbentur soal waktu dan pekerjaan. Mau tidak mau harus meninggalkan pekerjaan
atau minta izin dari tempat kerjanya. Efeknya banyak yang tidak bisa hadir mengikuti
bimbingan perkawinan ini.

Ditambah sebelum ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, tidak sedikit calon mempelai yang
mengeluh dan menceritakan keberatan atas kebijakan menjadikan serifikat layak nikah/kawin
dari Puskesmas sebagai syarat wajib untuk menikah.

Dihitung-hitung ternyata calon mempelai mendapatkan serifikat lebih dari satu sertifikat
sebelum menikah. Kebanyakan sertifikat jadinya.

Belum lagi menyangkut alokasi dana pelaksanaan bimbingan perkawinan ini. Berarti perlu
penambahan dalam penyerapan anggaran negara. Selama ini saja, dalam pelaksanaan
bimbingan perkawinan yang melulu menjadi kendala adalah soal klasik yang berkaitan dengan
alokasi dana.

Sebagai informasi bahwa alokasi dana untuk bimbingan perkawinan yang dilaksanakan di
KUA selama ini diambil dari dana APBN yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) nikah dan rujuk.

Tidak aneh kalau ada yang bilang, repot banget mau menikah saja. Calon mempelai bisa-bisa
stres duluan. Jangan sampai gara-gara kebijakan ini, calon mempelai gagal menikah, karena
tidak lulus dan diklaim belum atau tidak layak untuk menikah.
Padahal selama ini calon mempelai belum lagi direpotkan tetek bengek urusan yang berkaitan
dengan resepsi pernikahan.

Dari soal memesan tempat (gedung) resepsi, catering, busana pengantin, fotografi, rias
pengantin, pelaminan, dekorasi, dan seterusnya, yang juga perlu dipikirkan, terutama karena
soal dana atau biaya yang harus disiapkan.

Pertanyaannya, bagaimana proses dan teknis pelaksanaannya kalau bimbingan perkawinan


dilaksanakan selama tiga bulan? Dari segi waktu, apa itu tidak semakin merepotkan dan
mempersulit calon mempelai?

Bagaimana mengukur calon mempelai layak dan tidaknya menikah dengan hanya mengikuti
bimbingan perkawinan atau pranikah sehingga mendapat sertifikat?

Apakah bimbingan perkawinan yang selama ini dilaksanakan berpengaruh efektif dalam
mencegah dan mengurangi angka perceraian, sementara trennya semakin meningkat setiap
tahunnya? Ini tampaknya perlu penelitian untuk mengukur berhasil tidaknya bimbingan
perkawinan.

Bukankah dalam bahasa agama (Islam) ada prinsip yang mengajarkan bahwa pelayanan publik
itu mestinya, "Mudahkan, jangan dipersulit!" (Yassir wala tu'assir)? Jangan sampai terjadi lagi
prinsip yang sudah usang, "Kalau masih bisa dipersulit, kenapa tidak?"

Sebagai catatan kaki, bahwa kebijakan bimbingan perkawinan dan sertifikat layak nikah/kawin
menjadi syarat yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai adalah kebijakan yang baik dan perlu
mendapat apresiasi.

Tentu karena tujuannya juga adalah baik. Diharapkan berhasil guna, efektif dan signifikan
dalam membentuk keluarga bahagia, keluarga sakinah.

Namun, kebijakan ini perlu pertimbangan dan pemikiran yang matang. Jangan sampai terjadi
kontra produktif. Apalagi rencananya dilaksanakan dalam rentang waktu tiga bulan.

Kebijakan ini tidak boleh membebani dan mempersulit calon mempelai dalam pelayanan
pernikahan. Apalagi, sampai menuai protes publik.
Penting juga, alokasi dana, dan jangka waktu pelaksanaannya harus dipertimbangkan lagi.
Jangan sampai menjadi batu sandungan dalam pelayanan prima di Kantor Urusan Agama
(KUA) atau Kantor Catatan Sipil yang sudah berjalan baik selama ini. Jadi banyak yang harus
dipertimbangkan lagi tentang kebijakan ini.

Anda mungkin juga menyukai