Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang

dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi serta dampak demokrasi pada penegak

hukum

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan

terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki

makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya

untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Baturaja , 10 nov 2017


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..…………………...................................................................

Daftar Isi ….….……………….........................................................................

Bab I. Pendahuluan…….……..………............................................................

1.1. Latar Belakang………..…………………...................................................

Bab II. Tinjauan Pustaka………….………………………………………....

Bab III Pembahasan………………………………...........................................

Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi..…………...............

Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum………..........................

Bab IV Kesimpulan Dan Saran ........................................................................

A. Kesimpulan ................................................................................................

B. Saran ..............................................................................................……….
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari

sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih

berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab

korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah

faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari

aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku

misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong

seseorang untuk berperilaku korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi

misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas

politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen &

organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam

buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial

yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya

dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang

direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan

pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-

orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.

Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia

merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber
daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di

kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang

miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya

manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi

juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara

menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi

social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil

keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah

terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh

kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan

lainsebagainya di luar batas kewajaran.

Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di

seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu,

sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah

dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi

harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi

sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu

mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang

maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara

ke jurang kehancuran.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah

penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya

korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang

diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya

pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,

terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti

penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam

hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk

membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya

dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih

tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),

“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah

adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian.

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia,

adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”.

Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk

kepentingan sendiri dan sebagainya;


2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

sebagainya; dan;

3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi

adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan

korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut

jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena

pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan

ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie

adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah

korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang

berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang

kepentingan umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and

deliction injurious to the economy are often labeled corrupt”.

Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan

kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang

menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini

ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi

merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai

macam modus.

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur

bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna

yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan

kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari

kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara

dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan

hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang

dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan

pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan

bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari

seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang

menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan

hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim

menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang

pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang

yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.

BAB III

PEMBAHASAN

Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi

Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India

menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia.

Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda.

Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik

yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor

indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss,
Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi

dengan berkurangnya korupsi.

Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap

pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun

1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah

tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi

2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat

merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi

tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu

negara.

Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-

negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi

prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan

korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan

umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum

Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya

Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang

tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal

ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai

dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat


prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan

ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun

keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika

melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu

hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat.

Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap

lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001

sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah

dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah

lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka

diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut

dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah

menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai

pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-

undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan

politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun

1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara

terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi

dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum

tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-

pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk

mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang

korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan
pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga

banyak koruptor yang diseret BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap

kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan

keuntungan material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang

mencangkup penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme

Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran

terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara

dan publik.

4.2 Saran

Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat

memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar

kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang

intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.


DAFTAR PUSTAKA

MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi,
Korupsi Dan Nepotisme.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana.

ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

Anda mungkin juga menyukai