Disusun Oleh :
Muhammad Samsudin (17610004)
PENULIS
i
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawwuf Irfani ......................................................................................... 3
B. Tokoh-tokoh dalam paham tasawwuf irfani dan pemikiranya .................................... 4
B.1. Rabi’ah al-Adawiyah ............................................................................................ 4
B.2. Dzun Al-Nun Al-Mishri ....................................................................................... 7
B.3. Al Junaid .............................................................................................................. 9
B.4. Abu Yazid Al-Bustami ......................................................................................... 11
B.5. Al-Hallaj ............................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak
dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena
yang menarik perhatian sehingga tema-tema aktual yang paling menonjol
sekarang ini adalah tema-tema sufisme. Pada abad pertama orang belum mengenal
istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah
“nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan
dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang
menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan
Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-
mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal
dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan raja’(berharap atas kasih Allah).
1
Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa tokoh yang terkenal dalam paham tasawuf irfani dan bagaimana
pemikiran mereka?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2. Untuk mengetahui siapa saja yang terkenal dalam paham tasawuf irfani dan
pemikiran mereka.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, kata ‘irfan’ merupakan kata jadian (masdar) dari kata
‘arafa’ (mengenal atau pengenalan). Adapun secara terminologis ‘irfan
diidentikkan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang irfan atau ma’rifat adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyuf (ketersingkapan). Ahli
irfan adalah orang-orang yang berminat kepada Allah. Arif adalah orang yang
memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi
hati tertentu (ahwal).
Irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek
praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban
manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Bagian ini menyerupai etika. Praktis
juga dapat disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan,
serta alam semesta. Bagian ini menyerupai teosafi (filsafah ilahi) yang juga
memberikan penjelasan tentang wujud. Irfan mendasarkan diri dari ketersibakan
mistik yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.
Ramli Bihar Anwar mengatakan, Irfan muncul untuk pertama kalinya
sebagai reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang
dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam ’irfan sangat
mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf. (C.Ramli Bihar Anwar:2002:hal
47)
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf
Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk
(riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk
pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan
afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani
adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki
derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh
pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs
yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad
‘arafa rabbahu ).
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, kerangka irfani yaitu lingkup
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di
kalangan sufi secara rasa (rohaniah). (Rosihan Anwar dan Mukhtar
Solihin:2000:hal 69)
3
B. Tokoh-Tokoh Dalam Paham Tasawwuf Irfani Dan Pemikiranya
4
“suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada
Rabi’ah: “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah menjawab: “aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa
aku meminta hal itu kepada orang yang bukan pemiliknya.” (Asmaran: 2002:hal.
275)
Selain ucapannya diatas, dia juga pernah berucap tentang cintanya kepada
Allah, baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus
dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai berilut:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka....
bukan pula karena ingin masuk surga... tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya. Tuhanku, jika ku puja Engkau, karena takut neraka, bakarlah aku
didalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku dari
padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah
sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku” (Asmaran:1994:hlm. 269)
Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah al-Adawiyah
terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:
Aku cinta Kau dengan dua model cinta
Cinta rindu dan cinta karena Kau layak dicinta
Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu,
Bukan selainMu
Adapun karena Kau layak dicinta, karena kau singkapkan
tirai sampai Kau nyata bagiku
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.
Selanjutnya, dalam larik syairnya yang lain, dia mengungkapkan isi hatinya
sebagai berukut:
Buah hatiku, cintaku hanya padaMu
Beri ampunlah para pembuat dosa yang datang ke hadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari diriMu (Asmaran:2002:hal. 278)
5
Kata Muhabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, muhabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan muhabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci . Al-Muhabbah dapat
pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-
Muhabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cinta sesorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau seorang
pekerja kepada pekerjaannya.
Menurut al-Qusyairi al-Muhabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa
yang mulia yang bentuknya, adalah disaksikannya (kemutlakannya) Allah SWT,
oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta
dan cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution
mengatakan. Pengertian yang diberikan kepada muhabbah anatara lain sebagai
berikut:
1) Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan kepadaNya.
2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3) Mengosongkan hati dan segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu
Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai
dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang biasa, mahabah
orang shidiq, mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil
bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama Allahdan
memperoleh kesenangan dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
Mahabah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada
kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya dan lain-lain.
Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Dengan uraian
tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang
dicintai Tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya dalah
untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-katak,
tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Sementara itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah
satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah
adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh). (Abuddin
Nata:2011:hal. 207)
6
B.2. Dzun Al-Nun Al-Mishri
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun al-Nun
al-Misri al-Akhmini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Ada juga
pendapat yang mengatakan bahwa dia berasal Naubah suatu negeri yang terletak
anatara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang
diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. ( Suparta, H.M. Drs.: 2003:Hal. 91)
Dzun Nun al-Misri, memandang bahwa ulama- ulama Hadits dan Fiqh
memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik
keduniaan di samping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup
sensitive barangkali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan
menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seorang zindiq. (Anwar,
rosihon,DR,M.Ag, :2009:Hal. 115)
Tidak hanya sampai di situ, bahkan para fuqaha mengadukannya kepada
ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam
penganut mazhab Maliki. Dzu al-Nun Misri dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan
ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikannya, maka pimpinan
ulama itu menuduhnya sebagai seorang zindiq. Setelah itu Dzun al-Nun merasa
bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Untuk itu ia
memutuskan untuk sementara waktu berkelana ketempat lain. Setelah merantau
beberapa lama ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi
Laits, berpaham mazhab Hanafi sebagai pengganti Muhammad bin Abdul Hakam
yang meninggal. Di Mesir, ia dituduh orang banyak sebagai orang yang zindiq
dan demikian pula sikap penguasa waktu itu. Bahkan menyuruhnya pergi ke
Baghdad menemui khalifah untuk menerima hukuman penjara.
Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan di antara
mereka ada yang bekerja sebagai pegawai dilingkungan istana. Para sufi itu
berusaha agar khalifah al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun
al- Misri. Ternyata kemudian khalifa al-Mutawakkil bersedia menerima
kedatangan Dzu al-Nun al-Mishri serta menerima ajaran- ajaran yang
dikembangkannya. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir, khalifah
melepasnya dengan penghormatan. Sesampainya di Mesir, ia kembali menyebar
luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pulalah tasawuf berkembang dengan pesat
di kawasan Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan makamkan
di Qurafah shughra pada tahun 245 Hijriyah.
Jasa Dzu al-Nun al-Misri yang paling besar dan menonjol dalam dunia
tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju
Allah, yang disebut al-maqomat. Dia banyak memberikan petunjuk arah jalan
menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi. Karenanya, ia
juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad ketiga hijriyah. Adapun
pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah atau al-
maqomat dan al-ahwal. Di samping itu, al-Mishri adalah salah seorang pelopor
doktrin al-ma’rifah. Dalam hal ini dia membeda antara pengetahuan dan
keyakinan. Menurutnya pengetahuan adalah hasil pengamatan inderawi, yakni apa
yang dapat diterima melalui panca indra. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari
7
apa yang dipikirkan dan atau diperoleh melalui intuisi. Dalam hubungan ini, ia
menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu:
a) pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat
b) pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti- bukti dan
pendemontrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang- orang yang bijak,
pintar dan terpelajar, para mutakallim dan filosof
c) pengetahuan tentang sifat- sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik
orang-orang yang saleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan
mata hatinya, sehingga Allah menampakan diri kepada mereka dengan cara
yang ia tidak berikan kepada siapapun di dunia kecuali kepada aulia’.
Pengetahuan ini yang disebut ma’rifat yang diurai rinci oleh Dzu al-Nun al-
Mishri dalam dunia tasawuf, sesudah dicetuskan pertama kali oleh Ma’ruf al-
Kharki. (Isa, ahmad:2000: hal.. 35)
Ma’rifat, menurut al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Hanya terdapat pada para sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati nurani
mereka. Ma’rifat dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya
penuh dengan cahaya. Ketika ia ditanya bagaimana ia mencapai ma’rifat tentang
Tuhan, ia menjawab :
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan ,dan sekiranya tidak karena Tuhan aku
tidak akan tahu Tuhan”
(Rosihon Anwar:2009:hal.1442)
8
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al
qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman
azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-
Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud
dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur
falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun
Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh
Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847
M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita
temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap
aqliyah dan kalam.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan
Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah.
Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya,
maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang
lain.
2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan
cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba,
bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat
dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah. (Jumantoro,
totok:2001:Hal..197)
B.3. Al Junaid
9
Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan jauh
sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi syukur,
secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat dengan nikmat
yang diberikan Tuhan.”
10
(menyucikan Tuhan dari menyerupai makhluk-Nya) dan jauh dari tajsyim dan
tasybih.
Sebagai pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa’
adalah:
11
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana’ (hancur), kemudian
aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (Ahmad
Mustafa:1997:Hal.261)
a. Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda
dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. (Darul Fikri,Konsep Abu
Yazid Al-Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-
yazid-al-bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-
nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat
lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-
sifat terpuji, hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. (Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-
Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-
bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))
b. Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’ yang secara harfiah berarti kekal,
sedangkan menurut para sufi, baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-
sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya sifat-sifat manusia. (Darul
Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online).
http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-bustami.html (Diakses
tanggal 25 Oktober 2012))
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari fana’ dan baqa’
adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan sehingga
yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya. (Darul Fikri,Konsep Abu Yazid
Al-Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-
bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))
c. Ittihad
12
Selain pemikirannya mengenai fana’ dan baqa’, Abu Yazid Al-Bustami juga
dikenal sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf. (Ahmad
Mustafa:1997: Hal.270)
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi yang telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu. (Ahmad Mustafa:1997:Hal.269)
B.5. Al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah
seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan
Baidhah, Iran tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang
keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya
memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling
terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang
membuatnya dieksekusi secara brutal. (abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302)
Bagi sebagian ulama Islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah,
sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu
dengan Allah dan karena Kebenaran Al-Haqq adalah salah satu nama Allah, maka
ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman
dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa
seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman
batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak
mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas
dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan
segenap kerahasiaan tersebut. (abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302)
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi
sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya atas
berbagai ajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya,
ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar”
yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa a.s, yang menyatakan
Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah,
tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu
kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syairnya, Matsnawi, Rumi mengatakan,
"Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur,
sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman. (Sayyid
husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi terj tim tim pustaka
sufi jogjakarta cet.1 2003 hal 161)
Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan
tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran Al-
Haqq. Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" dalam keadaan
ekstase.
13
Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk
menyaksikan cinta Allah pada manusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela
dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan
juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Dalam pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan naik tingkat
hidupnya dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu'min, salihin,
muqarrabin. Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman allah:
14
sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu
yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’
dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk
sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di
lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam
itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara
tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu,
posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang
tenggelam. Allah menghijab mereka dengan nama, lantas mereka pun menjadi
hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan
hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
(Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. op.cit. Hal 302)
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran
atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau
pemikiran, tetapi melalui pemberian tuhan secara langsung. Adapun tokoh-tokoh
dari asawufirfani antara lain : Robi’ah Al-Adawiyah, Dzu An-Nur Al-Mishri, Abu
Yazid Al-Busthami, Abu Manshur Al-Hallaj.
Pemikiran dari masing-masing tokoh taswuf irfani berbeda-beda dilihat
dari cara pandang, latar belakang tokoh dan corak pemikirannya. Dari situlah kita
dapat mengkajinya untuk menambah ilmu pengetahuan.
B. Saran
Seyogyanya kita memperluas cakrawala pengetahuan kita tentang agama
islam. Terlebih perihal tasawuf, karena di dalamnya terdapat berbagai hikmah dan
merupakan intisari dari agama yang dapat kita ambil pelajaran sebagai bekal
hidup kita dalam menjalankan agama islam.
16
REFERENSI
Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada : 2011
Isa, ahmad, tokoh-tokoh sufi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada : 2000
(http://aswajaonline.com/2018/04/konsep-tasawuf-ala-syaikh-junaid-al-
baghdadi/)
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/abu-yazid-al-bustami-dengan-
konsep-tasawufnya/. Diakses tanggal 19 Oktober 2012))
17
(Ahmad Mustafa, Akhlak –Tasawuf ,( Bandung : CV.Pustaka Setia,1997),
Hal.270)
abu Hamid al-Ghozali. catatan pingir ihya ulumu ad-Din oleh zabadi tobanah
juz 2 alhidayah surabaya
18
19