Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TASAWWUF IRFANI DAN TOKOH-TOKOHNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah : Akhlak Tasawwuf
Dosen Pengampu : Imam Anas Hadi, S.Pd.I., M.S.I

Disusun Oleh :
Muhammad Samsudin (17610004)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC CENTRE SUDIRMAN
GUPPI UNGARAN
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT.


yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya serta Taufik dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fikih ini dengan
baik.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah dan zaman tidak
berakhlaq kepada zaman yang berilmu pengetahuan dan berakhlaq mulia seperti
yang kita rasakan pada saat sekarang ini.
Pada makalah ini, kami akan menguraikan tentang Tasawwuf Irfani Dan
Tokoh-Tokohnya. Dan tentunya terdapat banyak definisi, kriteria, dan hal-hal
penting yang perlu kita ketahui perihal Tasawwuf Irfani. Semoga dengan adanya
makalah ini para pembaca dapat mengambil ilmu serta menjadikan makalah ini
sebagai rujukan atau referensi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan
Tasawwuf Irfani.
Akhir kata kami selaku penulis menyadari penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat kami harapkan.

Semarang, 8 Oktober 2018

PENULIS

i
Daftar Isi

Halaman Judul ..................................................................................................................... i


Kata Pengantar ..................................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawwuf Irfani ......................................................................................... 3
B. Tokoh-tokoh dalam paham tasawwuf irfani dan pemikiranya .................................... 4
B.1. Rabi’ah al-Adawiyah ............................................................................................ 4
B.2. Dzun Al-Nun Al-Mishri ....................................................................................... 7
B.3. Al Junaid .............................................................................................................. 9
B.4. Abu Yazid Al-Bustami ......................................................................................... 11
B.5. Al-Hallaj ............................................................................................................... 13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................................. 16
B. Saran ........................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan


terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi
sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga
dimensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya
akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola
hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.

Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan


spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa
sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan
akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha
Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan
memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa
senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.

Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak
dipakai manusia untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena
yang menarik perhatian sehingga tema-tema aktual yang paling menonjol
sekarang ini adalah tema-tema sufisme. Pada abad pertama orang belum mengenal
istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya saja, seperti munculnya istilah
“nussak”, “zuhhad”, dan “ubbad”. Nussak adalah orang-orang yang menyediakan
dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang yang
menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan
Ubbad adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-
mata kepada Allah. Pada abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal
dengan ajarannya khauf (takut kepada Allah, dan raja’(berharap atas kasih Allah).

Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti


kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf
akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di
sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan
dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang
paling tinggi.

Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya


Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu
An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid
Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu

1
Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa tokoh yang terkenal dalam paham tasawuf irfani dan bagaimana
pemikiran mereka?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2. Untuk mengetahui siapa saja yang terkenal dalam paham tasawuf irfani dan
pemikiran mereka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani

Secara etimologi, kata ‘irfan’ merupakan kata jadian (masdar) dari kata
‘arafa’ (mengenal atau pengenalan). Adapun secara terminologis ‘irfan
diidentikkan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang irfan atau ma’rifat adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyuf (ketersingkapan). Ahli
irfan adalah orang-orang yang berminat kepada Allah. Arif adalah orang yang
memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi
hati tertentu (ahwal).
Irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek
praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban
manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Bagian ini menyerupai etika. Praktis
juga dapat disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan,
serta alam semesta. Bagian ini menyerupai teosafi (filsafah ilahi) yang juga
memberikan penjelasan tentang wujud. Irfan mendasarkan diri dari ketersibakan
mistik yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.
Ramli Bihar Anwar mengatakan, Irfan muncul untuk pertama kalinya
sebagai reaksi atas praktik-praktik tasawuf tertentu dalam dunia Syiah yang
dianggap telah menyimpang dari syariat. Karena itu, di dalam ’irfan sangat
mementingkan syariat sebagai dasar bertasawuf. (C.Ramli Bihar Anwar:2002:hal
47)
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf
Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk
(riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk
pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan
afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani
adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki
derajat tinggi.
Para sufi adalah urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh
pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs
yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad
‘arafa rabbahu ).
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, kerangka irfani yaitu lingkup
perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di
kalangan sufi secara rasa (rohaniah). (Rosihan Anwar dan Mukhtar
Solihin:2000:hal 69)

3
B. Tokoh-Tokoh Dalam Paham Tasawwuf Irfani Dan Pemikiranya

B.1. Rabi’ah al-Adawiyah

Pemberian nama Rabi’ah dilatarbelakangi oleh sensibilitas keluarganya,


sebagai anak keempat dari empat bersaudara, disamping tiga orang putri lainnya,
dari keluarga miskin di Basrah. Sedemikian miskinnya hingga minyak lampu
untuk menerangi saat kelahirannya pun orang tuanya tidak punya.
Keadaan keluarganya yang miskin mnyebabkan rabi’ah menjadi hamba
sahaya dengan pengalaman penderitaan yang silih berganti. Kemampuannya
menggunakan alat musik dan menyanyi selalu dimanfaatkan oleh majikannya
untuk mencari harta dunia. Rabi’ah sadar betul dengan keadaannya yang
dieksploitasi oleh majikannya tersebut, sehingga selain terus menerus
mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang pembantu rumah tangga (Budak)
selalu memohon petunjuk dari Allah SWT. (Syahrin Harahap dan Hasan Bakti
Nasution : 2003 :hal. 347)
Rabi’ah Al-adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah,
dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta
(al-hubb) khas sufi ke dalam mistisisme dalam Islam. Sebagai seorang wanita
zahidah. Dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria salah.
Dalam salah satu riwayat dikatakan, dia adalah seorang hamba yang
kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat,
dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan yang diberikan orang lain kepadanya. Bahkan didalam Doa’anya ia tidak
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
kehidupan zubd dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan.
Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, diapun selalu
diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sya’rani, misalnya dalam Al-Tabaqat al-Kubro
menyatakan bahwa “dia sering menangis dan bersedih hati, jika ia diingatkan
tentang neraka, maka beberapa dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya
selalau basah oleh air matanya” dan diriwayatkan bahwa Rabi’ah terus-menerus
salat sepanjang malam setiap harinya.
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu masa adalah seorang
yang menyebut-nyebut azab siksa neraka dihadapan Rabi’ah, maka pingsanlah
beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan didalam menyebut-nyebut istighfaar
memohon ampunan Tuhan. Tiba-tiba setelah beliau siuman dari pingsannya dan
sadar akan dirinya, beliaupun berkata “saya mesti meminta ampun lagi dari pada
cara meminta ampun saya yang pertama. (Hamka:1994:hal. 73)
Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah merupakan aliran Muhabbah atau al-
hubb yang berhubungan tantang cinta. Beberapa karya yang diciptakan oleh
Rabi’ah al-Adawiyah baik berupa larik syair ataupun ucapannya yang
berhubungan tentang rasa cintanya kepada Allah memang sangat menunjukan dan
membuktikan bahwa cintanya hanya untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul
hidup dalam zuhd, diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhd adalah,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:

4
“suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada
Rabi’ah: “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah menjawab: “aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa
aku meminta hal itu kepada orang yang bukan pemiliknya.” (Asmaran: 2002:hal.
275)
Selain ucapannya diatas, dia juga pernah berucap tentang cintanya kepada
Allah, baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus
dicintai, adapun ucapannya adalah sebagai berilut:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka....
bukan pula karena ingin masuk surga... tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya. Tuhanku, jika ku puja Engkau, karena takut neraka, bakarlah aku
didalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku dari
padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah
sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku” (Asmaran:1994:hlm. 269)

Diantara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tentang konsep zuhd


yang dimotivasi rasa cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku,
berikanlah semua kepada musuh-mushMu. Dan apapun yang akan Engkau
berikan kepada ku kelak di akhirat, berikanlah semua kepada teman-temanMu.
Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup”.
Tampak jelas bahwa rasa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu
penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuat tidak sadarkan diri karena hadir
bersama Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku

Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah al-Adawiyah
terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:
Aku cinta Kau dengan dua model cinta
Cinta rindu dan cinta karena Kau layak dicinta
Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu,
Bukan selainMu
Adapun karena Kau layak dicinta, karena kau singkapkan
tirai sampai Kau nyata bagiku
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.
Selanjutnya, dalam larik syairnya yang lain, dia mengungkapkan isi hatinya
sebagai berukut:
Buah hatiku, cintaku hanya padaMu
Beri ampunlah para pembuat dosa yang datang ke hadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari diriMu (Asmaran:2002:hal. 278)

5
Kata Muhabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, muhabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan muhabbah
adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci . Al-Muhabbah dapat
pula berarti al-wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-
Muhabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cinta sesorang yang sedang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, atau seorang
pekerja kepada pekerjaannya.
Menurut al-Qusyairi al-Muhabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa
yang mulia yang bentuknya, adalah disaksikannya (kemutlakannya) Allah SWT,
oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihinya-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta
dan cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution
mengatakan. Pengertian yang diberikan kepada muhabbah anatara lain sebagai
berikut:
1) Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci melawan kepadaNya.
2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3) Mengosongkan hati dan segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu
Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj, sebagai
dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang biasa, mahabah
orang shidiq, mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil
bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama Allahdan
memperoleh kesenangan dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
Mahabah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada
kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya dan lain-lain.
Dan mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Dengan uraian
tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang
dicintai Tuhan sepenuh hati masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya dalah
untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-katak,
tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Sementara itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah
satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah
adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh). (Abuddin
Nata:2011:hal. 207)

6
B.2. Dzun Al-Nun Al-Mishri
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun al-Nun
al-Misri al-Akhmini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Ada juga
pendapat yang mengatakan bahwa dia berasal Naubah suatu negeri yang terletak
anatara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang
diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. ( Suparta, H.M. Drs.: 2003:Hal. 91)
Dzun Nun al-Misri, memandang bahwa ulama- ulama Hadits dan Fiqh
memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik
keduniaan di samping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup
sensitive barangkali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan
menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seorang zindiq. (Anwar,
rosihon,DR,M.Ag, :2009:Hal. 115)
Tidak hanya sampai di situ, bahkan para fuqaha mengadukannya kepada
ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam
penganut mazhab Maliki. Dzu al-Nun Misri dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan
ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikannya, maka pimpinan
ulama itu menuduhnya sebagai seorang zindiq. Setelah itu Dzun al-Nun merasa
bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Untuk itu ia
memutuskan untuk sementara waktu berkelana ketempat lain. Setelah merantau
beberapa lama ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi
Laits, berpaham mazhab Hanafi sebagai pengganti Muhammad bin Abdul Hakam
yang meninggal. Di Mesir, ia dituduh orang banyak sebagai orang yang zindiq
dan demikian pula sikap penguasa waktu itu. Bahkan menyuruhnya pergi ke
Baghdad menemui khalifah untuk menerima hukuman penjara.
Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan di antara
mereka ada yang bekerja sebagai pegawai dilingkungan istana. Para sufi itu
berusaha agar khalifah al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun
al- Misri. Ternyata kemudian khalifa al-Mutawakkil bersedia menerima
kedatangan Dzu al-Nun al-Mishri serta menerima ajaran- ajaran yang
dikembangkannya. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir, khalifah
melepasnya dengan penghormatan. Sesampainya di Mesir, ia kembali menyebar
luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pulalah tasawuf berkembang dengan pesat
di kawasan Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan makamkan
di Qurafah shughra pada tahun 245 Hijriyah.
Jasa Dzu al-Nun al-Misri yang paling besar dan menonjol dalam dunia
tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju
Allah, yang disebut al-maqomat. Dia banyak memberikan petunjuk arah jalan
menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi. Karenanya, ia
juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad ketiga hijriyah. Adapun
pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah atau al-
maqomat dan al-ahwal. Di samping itu, al-Mishri adalah salah seorang pelopor
doktrin al-ma’rifah. Dalam hal ini dia membeda antara pengetahuan dan
keyakinan. Menurutnya pengetahuan adalah hasil pengamatan inderawi, yakni apa
yang dapat diterima melalui panca indra. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari

7
apa yang dipikirkan dan atau diperoleh melalui intuisi. Dalam hubungan ini, ia
menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu:
a) pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat
b) pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti- bukti dan
pendemontrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang- orang yang bijak,
pintar dan terpelajar, para mutakallim dan filosof
c) pengetahuan tentang sifat- sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik
orang-orang yang saleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan
mata hatinya, sehingga Allah menampakan diri kepada mereka dengan cara
yang ia tidak berikan kepada siapapun di dunia kecuali kepada aulia’.
Pengetahuan ini yang disebut ma’rifat yang diurai rinci oleh Dzu al-Nun al-
Mishri dalam dunia tasawuf, sesudah dicetuskan pertama kali oleh Ma’ruf al-
Kharki. (Isa, ahmad:2000: hal.. 35)
Ma’rifat, menurut al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Hanya terdapat pada para sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati nurani
mereka. Ma’rifat dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya
penuh dengan cahaya. Ketika ia ditanya bagaimana ia mencapai ma’rifat tentang
Tuhan, ia menjawab :
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan ,dan sekiranya tidak karena Tuhan aku
tidak akan tahu Tuhan”
(Rosihon Anwar:2009:hal.1442)

Ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu


saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia,
tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian
Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai
setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan
mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyah sebagai
pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadat. Ma’rifat juga dimasudkan
dengan komunikasi cahaya dari Tuhan ke dalam hati nurani seseorang. Orang-
orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi
mereka berada dalam dzat Tuhan. Mereka dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa
mata, tanpa penerangan, tanpa observasi, tanpa penghalang dan hijab. Semua
gerakan – gerakan mereka adalah di sebabkan oleh ALLAH. Kata –kata mereka
adalah kata-kata Allah yang di ucapkan melalui lidah mereka . Dan penglihatan
mereka adalah penglihan Tuhan yang telah masuk ke dalam mata mereka. Dengan
demikian , taraf tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi sesudah masanya Dzu al-
Nun al-Mishri ini adalah memperoleh pengetahuan super intelektual yang terkenal
dengan istilah al-ma’rifat.
Dzun Nun al Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang al
Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Keberhasilan itu ditandai dengan :
1. Dzun Nun al Mishri membedakan antara al ma’rifat sufiah yaitu
melaksanakan kegiatan sufi menggunakan pendekatan qalb atau hati dan
ma’rifat aqliah yaitu menggunakan pendekatan akal.

8
2. Al Ma’rifat menurut Dzun Nun al Mishri sebenarnya adalah musyahadah al
qalbiyah sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman
azali.
3. Teori-teori al ma’rifat Dzun Nun al Mishri menyerupai gnosisme ala Neo-
Platonik. Teori ini dianggap sebagai jembatan teori-teori wahdat ash shuhud
dan ittihad. Oleh karena itu dialah orang yang pertama mamasukkan unsur
falsafah ke dalam tasawuf.
Teori ini pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog sehingga Dzun
Nun al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq. Oleh karena itu ia ditangkap oleh
Khalifah Al Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah yang memerintah tahun 232 H/847
M – 247 H/861 M), namun akhirnya dibebaskan. Fenomena ini wajar karena kita
temui pandangan al ma’rifatnya yang pada mulanya cenderung antithesis terhadap
aqliyah dan kalam.
Berikut ini adalah pandangannya tentang al ma’rifat :
1. Sesungguhnya al ma’rifat yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan
Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh orang-orang mukmin. Ia juga bukan
ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin dan ahli balaghah.
Akan tetapi ia adalah ma’rifat terhadap Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan mata hatinya,
maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamaba-hamba yang
lain.
2. Al ma’rifat yang ia pahami adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya al ma’rifat yang murni, seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan
cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
terasa hilang dirinya, lebur (fana) dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba,
bicara dengan ilmu yang telah diletakkan oleh Allah pada lidah mereka, melihat
dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan perbuatan Allah. (Jumantoro,
totok:2001:Hal..197)

B.3. Al Junaid

Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)


memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu Imam al Junaid al
Baghdadi dan Imam al Ghazali. Namun dalam hal ini, penulis akan memaparkan
empat alasan mengapa aliran Aswaja mengambil konsep sufistik dari imam besar
al Junaid al Baghdadi yang dijuluki Syaikh at Tha’ifah as Sufiyyah wa Sayyiduha
(Tuan Guru dan pemimpin kaum sufi).

Nama lengkapnya adalah Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad bin al


Junaid al Khazzaz al Qawariri al Nahawandi al Baghdadi. Dari namanya bisa
diketahui bahwa Imam Junaid berasal dari Baghdad dan diketahui wafat pada 297
H/910 M. Dalam kesehariaannya Imam Junaid bekerja sebagai pedagang kain
sutera. Ia mendapat kedalaman ilmu di bidang tasawuf dari gurunya, yaitu Sari bin
al Mughallis al Saqathi (w. 253 H/876 M), seorang tokoh sufi terkemuka yang
juga saudara kandung dari ibunya, alias pamannya.

9
Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan jauh
sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi syukur,
secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat dengan nikmat
yang diberikan Tuhan.”

Menurut sejarawan, terdapat empat faktor mengapa madzhab sufi yang


dibangun Imam al Junaid dijadikan sebagai acuan dan standar dalam konsep
tasawuf ahlussunnah waljama’ah. Diantaranya (1) konsistensi terhadap Al Quran
dan as Sunnah (2) konsistensi terhadap syari’at (3) kebersihan dalam akidah (4)
ajaran tasawuf yang moderat.

Pertama, konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah. Kecerdasannya di


bidang studi ilmu Al Quran, hadis dan fikih memang tidak perlu diragukan lagi. Ia
membawa pengaruh positif terhadap perkembangan ilmu keagamaan pada saat itu.
Di antara perkataan al Junaid yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi
adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun dengan
pondasi al Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal Al Quran, belum
menulis hadis dan belum belajar ilmu agama secara mendalam, maka ia tidak bisa
dijadikan panutan dalam tasawuf.”

Kedua, konsistensi terhadap syari’at. al Junaid membangun konsep


tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syari’at yang selalu dipegang
teguh dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, tasawuf tidak bisa diikuti
sebagian saja sementara sebagian yang lain tidak. Tasawuf harus diikuti secara
komprehensif.

Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al Junaid. Abu


bakar al ‘Athawi berkata, “Al Junaid tidaklah berhenti shalat dan membaca Al
Qu’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga pada waktu beliau
menghembuskan nafas yang terakhir, telah dibacanya 70 ayat dari surat al
Baqarah sebagai ulangan membaca Al Quran kesekian kalianya dalam keadaan
sakit.”

Ketiga, kebersihan akidah. Imam al Junaid membangun madzhab di atas


pondasi akidah yang bersih, yakni akidah Ahlussunnah Waljama’ah. Tidak sedikit
orang pada masanya yang terjerumus pada akidah menyimpang seperti akidah
hululiyah (tuhan menempati makhluk-Nya), akidah mubahiyyah (membolehkan
semua larangan syari’at, yang luarnya Islam namun batinnya menyimpang dari
pokok-pokok agama).

Akidah yang diajarkan dalam tasawuf al Junaid merupakan ajaran akidah


yang simpel, mudah dicerna, dan bersih dari tajsim, tasybih, hulul dan ibahi. Salah
satu pernyataan al Junaid yang populer dalam soal akidah adalah salah satunya
ketika ditanya tentang tauhid, ia menjawab, “Tauhid ialah membedakan Dzat yang
tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru.” Jawaban
ini mengisyaratkan bahwa akidah Ahlussunnah Waljama’ah menganut tanzih

10
(menyucikan Tuhan dari menyerupai makhluk-Nya) dan jauh dari tajsyim dan
tasybih.

Keempat, Tasawufnya yang moderat. Tasawuf yang dibangunnya ialah


tasawuf moderat, yang merupakan ciri khas ajaran Ahlussunnah Waljama’ah.
Dalam hadis dikatakan, “Sebaik-baiknya perkara adalah yang moderat (khair al
umur ausathuha)”. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra juga mengatakan: “Ikutilah
kelompok yang bersikap moderat, yang dapat diikuti orang-orang dibelakangnya
dan menjadi rujukan orang-orang yang berlebihan (ekstrim).”

Berdasarkan keempat alasan tersebut, menunjukkan bahwa tasawuf


Aswaja dari tasawufnya Imam al Junaidtidak hanya berkonsentrasi pada perlakuan
syariat saja, namun juga berkontribusi aktif dalam memberikan kemanfaatan
kepada sesama manusia. (http://aswajaonline.com/2018/04/konsep-tasawuf-ala-
syaikh-junaid-al-baghdadi/)

B.4. Abu Yazid Al-Bustami


Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin
Syurusan al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam,
salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. (Ahmadi
Isa:2000:Hal.139)
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia
lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya
Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam
perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya. (Syekhu,Abu Yazid Al-
Bustami dengan Konsep Tasawufnya (Online),
(http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/abu-yazid-al-bustami-dengan-
konsep-tasawufnya/. Diakses tanggal 19 Oktober 2012))
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai
ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami
mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh
menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid
dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi. (Ahmadi Isa:2000:Hal.139)
Dalam perkembangan tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama
yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami.
(Ahmad Mustafa : 1997: hal. 261)

Sebagai pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa’
adalah:

ُ‫أَع ِْرفُهُ بِ ْى فَفَنِيْتُ ث ُ َّم ع ََر ْفتُهُ بِ ِه فَ َحيَيْت‬

11
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana’ (hancur), kemudian
aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (Ahmad
Mustafa:1997:Hal.261)

a. Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda
dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. (Darul Fikri,Konsep Abu
Yazid Al-Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-
yazid-al-bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-
nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat
lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-
sifat terpuji, hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. (Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-
Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-
bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))

Menurut Abu Yazid al-Bustami, fana’ berarti hilangnya kesadaran akan


eksistensi diri pribadi sehingga tidak lagi merasakan kehadiran tubuh
jasmaniahnya sebagai manusia, kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi
bukan dalam wujud Tuhan. (Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online).
http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-bustami.html (Diakses
tanggal 25 Oktober 2012))

b. Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’ yang secara harfiah berarti kekal,
sedangkan menurut para sufi, baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-
sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya sifat-sifat manusia. (Darul
Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online).
http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-bustami.html (Diakses
tanggal 25 Oktober 2012))
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari fana’ dan baqa’
adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan sehingga
yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya. (Darul Fikri,Konsep Abu Yazid
Al-Bustami. (Online). http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-
bustami.html (Diakses tanggal 25 Oktober 2012))

c. Ittihad

12
Selain pemikirannya mengenai fana’ dan baqa’, Abu Yazid Al-Bustami juga
dikenal sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf. (Ahmad
Mustafa:1997: Hal.270)
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi yang telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu. (Ahmad Mustafa:1997:Hal.269)

B.5. Al-Hallaj
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah
seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan
Baidhah, Iran tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang
keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya
memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling
terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang
membuatnya dieksekusi secara brutal. (abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302)
Bagi sebagian ulama Islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah,
sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu
dengan Allah dan karena Kebenaran Al-Haqq adalah salah satu nama Allah, maka
ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman
dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa
seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman
batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak
mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas
dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan
segenap kerahasiaan tersebut. (abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302)
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi
sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya atas
berbagai ajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya,
ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar”
yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa a.s, yang menyatakan
Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah,
tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu
kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syairnya, Matsnawi, Rumi mengatakan,
"Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur,
sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman. (Sayyid
husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi terj tim tim pustaka
sufi jogjakarta cet.1 2003 hal 161)
Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan
tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran Al-
Haqq. Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" dalam keadaan
ekstase.

13
Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk
menyaksikan cinta Allah pada manusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela
dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan
juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Dalam pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan naik tingkat
hidupnya dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu'min, salihin,
muqarrabin. Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman allah:

َ ‫ار َواأل ْفئِدَة‬


َ ‫ص‬ َّ ‫وح ِه َو َج َع َل لَ ُك ُم ال‬
َ ‫س ْم َع َواأل ْب‬ َ ‫ث ُ َّم‬
ِ ‫س َّواهُ َونَفَ َخ فِي ِه ِم ْن ُر‬
……..
Kemudian ia menyempurnakannyaa (penciptaan manusia) dan meniupkan
ruhNya, serta mrnjadikan pendengaran, penglihatan, dan perasaan atas
kalian…….
Sehingga ketika mencapai tingkat muqarrabin, menurut dia, sampailah di
puncak sehingga bersatu dengan Tuhan. Sifat persatuan itu antara lain diibaratkan
bagai persatuan khamar dengan air. Konsep ini bermuara pada Ana al-Haqq,
karena kebenaran itu salah satu asma Allah SWT. Al-Haqq sendiri dalam ilmu
tasawuf berarti Tuhan. Inilah penggalan syairnya:
‘Telah bercampur roh-Mu dan rohku Laksana bercampurnya khamar
dengan air yang jernih
Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah
Aku, dalam segala hal’.( Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn.
op.cit. Hal 466)
Hulul tak lepas dari konsep Hallaj yang lain, al-haqiqatu al-Muhammadiyah
atau Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu
pengetahuan, dan dengan seluruh perantaraaNyalah seluruh alam ini dijadikan.
Dia juga menyodorkan konsep tentang kesatuan segala agama.
Ajaran-ajaran Hallaj sangat berpengaruh terhadap tasawuf dan para sufi
yang hadir berikutnya. Susahlah untuk memisahkan ajaran tasawuf sesudah Hallaj
daripada faham wihdatul wujud (pantheisme). Hallaj pun disebutnya telah
memuluskan jalan bagi kedatangan Ibnu 'Arabi sang pengusung ajaran wihdatul
wujud, Ibnu Faridh, Jalaluddin Rumi, Al-Jami, Suhrawardy, dan Ibnu Sab'in.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena
tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami
oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan
Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana
pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj
senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa
yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya
menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang

14
sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu
yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’
dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.
Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk
sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di
lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam
itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara
tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu,
posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang
tenggelam. Allah menghijab mereka dengan nama, lantas mereka pun menjadi
hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan
hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
(Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. op.cit. Hal 302)

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran
atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau
pemikiran, tetapi melalui pemberian tuhan secara langsung. Adapun tokoh-tokoh
dari asawufirfani antara lain : Robi’ah Al-Adawiyah, Dzu An-Nur Al-Mishri, Abu
Yazid Al-Busthami, Abu Manshur Al-Hallaj.
Pemikiran dari masing-masing tokoh taswuf irfani berbeda-beda dilihat
dari cara pandang, latar belakang tokoh dan corak pemikirannya. Dari situlah kita
dapat mengkajinya untuk menambah ilmu pengetahuan.

B. Saran
Seyogyanya kita memperluas cakrawala pengetahuan kita tentang agama
islam. Terlebih perihal tasawuf, karena di dalamnya terdapat berbagai hikmah dan
merupakan intisari dari agama yang dapat kita ambil pelajaran sebagai bekal
hidup kita dalam menjalankan agama islam.

16
REFERENSI

C.Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif,


Jakarta: Penerbit IIMAN bekerjasama dengan Penerbit HIKMAH : 2002

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf , Bandung: CV.Pustaka


Setia : 2000

Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, “Ensiklopedi Aqidah Islam”,


Jakarta, kencana : 2003

Hamka, “Tasawuf. Perkembangan dan Pemurniannya”, Jakarta: PT Pustaka


Panjimas : 1994

Asmaran, “Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada : 2002

Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada : 2011

Suparta, H.M. Drs. “Biografi terkemuka”, PT.Toha Putra, Semarang : 2003

Isa, ahmad, tokoh-tokoh sufi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada : 2000

Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf , Bandung: pustaka setia: 2009

Jumantoro, totok,kamus ilmu tasawuf , PT. Toha Putra, Semarang. : 2001

(http://aswajaonline.com/2018/04/konsep-tasawuf-ala-syaikh-junaid-al-
baghdadi/)
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/27/abu-yazid-al-bustami-dengan-
konsep-tasawufnya/. Diakses tanggal 19 Oktober 2012))

Ahmad Mustafa, Akhlak –Tasawuf , Bandung : CV.Pustaka Setia:1997

(Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online).


http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-bustami.html
(Diakses tanggal 25 Oktober 2012))

(Darul Fikri,Konsep Abu Yazid Al-Bustami. (Online).


http://lafire77.blogspot.com/2011/09/konsep-abu-yazid-al-bustami.html
(Diakses tanggal 25 Oktober 2012))

17
(Ahmad Mustafa, Akhlak –Tasawuf ,( Bandung : CV.Pustaka Setia,1997),
Hal.270)

Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi tim


pustaka sufi Jogjakarta : 2003

abu Hamid al-Ghozali. catatan pingir ihya ulumu ad-Din oleh zabadi tobanah
juz 2 alhidayah surabaya

18
19

Anda mungkin juga menyukai