Anda di halaman 1dari 36

Pengalaman Belajar Lapangan

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh:
Nur Syafiqah Binti Mat Yusoff(1102005225)
dr. Ketut Suardamana SpPD-KAI

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP SANGLAH / FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rakhmatnya
maka Laporan Pengalaman Belajar Lapangan yang berjudul ”Demam Berdarah Dengue”
ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan Pengalaman Belajar Lapangan
ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing.
2. Pasien dan keluarga pasien yang telah memberikan informasi dan data-data yang
sangat penulis perlukan untuk penyelesaian laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga
saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ...... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ...... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ....... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ....... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
2.1 Definisi. ............................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi................................................................................ ....... 2
2.3 Etiologi dan Transmisi............ ............................................................ 2
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis................................................................ 3
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit.................................................. 7
2.6 Diagnosis .............................................................................................. 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 9
2.8 Diagnosis Banding ............................................................................... 11
2.9 Penatalaksnaan ..................................................................................... 13
2.10 Penyulit ............................................................................................... 16
2.11 Pencegahan ........................................................................................ 17
2.12 Prognosis ............................................................................................ 18
BAB III KASUS PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN............................... 21

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara tropis dan
subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.1 Kira-kira
50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan
penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap
nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan
mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan
kondisi geografis setempat.2,3

Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir. Sekitar 40
% dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis beresiko terkena DHF.1 Penyakit ini kini
menjadi penyakit yang endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap
tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia4. Sampai saat ini 200 kota
telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini3. Jumlah kasus
Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004 mencapai 64.000 (IR
29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang (CFR 1,1 %)5.

DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan umur di Indonesia
menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun.4
DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya
hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi
secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat5.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan
dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal1.

2.2 Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global. Di
seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus
DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari
15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian
dilaporkan setiap harinya6.

2.3 Etiologi dan Transmisi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus dengan
nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk
kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan
virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang
terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN
2, DEN 3, DEN 4.3

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor
lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan menyerang
manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet
dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya di
2
Bangladesh dan Thailand6. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina,
disamping pula Aedes albopictus betina7. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam
berdarah (nyamuk Aedes aegypti)8:

 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih


 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-lain.

Gambar 2.2 Aedes aegypti betina 8.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue
akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue
akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk
tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang
diisapnya tidak membeku2. Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan
kepada orang lain.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh virus
yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan

3
klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa
mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang
diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang
di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2
hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.5

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya


gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan DSS masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.2,4

Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika terdapat
antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang
tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.6 Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor
4
dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.4

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary


heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya
dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.4
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody response

Kompleks Virus-Antibody

Aktivasi Komplemen
Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin meningkat

Permeabilitas kapiler meningkat


Ht Meningkat
>30% pd kasus
syok 24-48 jam Perembesan Plasma Natrium Menurun
Cairan dalam
Hipovolemia rongga serosa

SYOK
Anoksia Asidosis
MENINGGAL

Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.4

5
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi
sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.4

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody respose


Kompleks Virus-Antibody
Agregasi Trombosit Aktivasi Koagulasi Aktivasi Komplemen
Pengeluaran
Penghancuran Platelet faktor III Aktivasi Faktor Hageman
Trombosit oleh RES
Anafilaktosin
Trombositopenia Koagulopati Sistem Kinin
konsumtif
Peningkatan
Gangguan fungsi Kinin
Permeabilitas
trombosit Penurunan faktor
kapiler
Pembekuan
FDP Meningkat
PERDARAHAN MASIF SYOK

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.4

6
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara
kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak
menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa
penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah
dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD).1 Namun, untuk alasan praktis,
infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2
kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.

Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue1.

2.6 Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan severe dengue
dapat dilihat pada Gambar 2.6.

7
Gambar 2.6 Klasifikasi Infeksi Dengue5

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif
dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Darah Lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan
leukopenia.5

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :6,7

8
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody
technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk
identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal.6,7

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)6,7


Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan
digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam uji HI ini :

a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik
digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum
akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif
infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )6,7
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain
cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )6,7
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT )
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih
cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

9
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai.
Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh
IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis
yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji
mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya sedikit
lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue
blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya,
hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap
titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).8

Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus
dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase
Chai Reaction (RTPCR).9,10 Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan
spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara
ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh
manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak
begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi
hasil dari PCR.9,10

10
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:

1. Dilatasi pembuluh darah paru


2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya,
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva
dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan
epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat

11
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.

2.9 Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke dalam 3
kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat
jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah
sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi
bersifat simptomatis dan suportif.

2.9.1 Grup A

Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali
dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan.
Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup
A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup,
serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang
warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit
jika timbul warning signs selama perawatan di rumah.5

2.9.2 Grup B

Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti
kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti
tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika
pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi
cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate

12
dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan
masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.5

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:

 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang
diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai
hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati,
dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

2.9.3 Grup C

Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat yang
menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai
kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara
gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status
hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.

13
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika
nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau
larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua,
kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan
pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:

 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus


diberikan dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1
jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit
sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya
perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan
nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua
selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin
penjelasan sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan
kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika
hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20
ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi
kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20
ml/kg/jam whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila :

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

14
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/µl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.

2.10 Penyulit

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan
juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut3.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat
disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila pada pasien syok
dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus
diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya.
Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-
hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis
pada analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.

Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum

15
teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang.
Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah
urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.

Oedema Paru

Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto
rontgen3.

2.11 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah
(Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini
merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat,
dengan cara sebagai berikut5:

1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat
minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE
ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini
setiap 2-3 bulan sekali

16
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan
1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu sendok
makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka8:

1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan
dan tetap aman bila air tersebut diminum

2.12 Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan, umur,
dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok
yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa
menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa
umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi
sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.

17
BAB III

KASUS PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : EYA

Umur : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Bali

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Tidak Memiliki Pekerjaan

Alamat : Jalan Tukad Petanu No 12 Sidakarya

Tanggal MRS : 24 Agustus 2015

Tanggal Pelaksanaan PBL : 29 Agustus 2015

II. KELUHAN UTAMA

Panas badan

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien ditemui di rumahnya dalam keadaan baik dan sehat tetapi pasien
mengatakan masih dalam keadaan lemas dan nafsu makan pasien belum kembali
seperti semula. Pasien pulang dari RSUP Sanglah pada tanggal 27 Agustus 2015.
Pasien dirawat di Rumah Sakit pada 24 Agustus 2015 dengan keluhan panas badan.
Keluhan panas badan dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan panas badan tersebut dirasakan muncul

18
mendadak tinggi dan dirasakan terus menerus oleh pasien. Pasien mengatakan
keluhan panas badan sempat hilang setelah pasien minum obat penurun panas sejak 2
hari SMRS namun kemudian timbul kembali beberapa jam setelah pasien minum
obat.

Pasien juga mengeluh nyeri sendi yang dirasakan di seluruh tubuh. Keluhan ini
muncul bersamaan dengan panas badan. Nyeri sendi dirasakan seperti tertusuk-tusuk
dan ngilu. Nyeri dirasakan memberat saat panas badan dirasakan meningkat dan
membaik jika panas badan dirasakan menurun. Pasien juga mengeluh mual yang
dirasakan sejak dua hari SMRS. Mual dirasakan sepanjang hari, tidak berkurang
meskipun pasien istirahat, dan menyebabkan nafsu makan pasien berkurang. Riwayat
nyeri kepala, mimisan, gusi berdarah, nyeri perut, muntah, menstruasi dan berak
kehitaman disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

Sebelumnya saat 3 hari SMRS pasien sempat berobat di seorang bidan dekat
rumahnya. Pada saat itu pasien diberikan obat penurun panas berupa parasetamol 3 x
500 gram. Obat tersebut diminum 3 kali dalam sehari, dikatakan setelah meminum
obat tersebut panas badan pasien menurun namun dalam beberapa jam timbul kembali
setelah efek obat tersebut hilang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan panas badan yang sama.
Riwayat penyakit demam berdarah disangkal oleh pasien.

Riwayat Keluarga

Sebelumnya keluarga pasien tidak ada yang mengalami demam dengan gejala
sama yang dikatakan oleh pasien.

Riwayat Sosial

Pasien tidak bekerja, Pasien hanya membantu kegiatan yang ada di lingkungan
keluarganya seperti mencuci, mengurus keponakan dan membersihkan lingkungan
rumahnya. Pasien merupakan anak kedua dari 3 orang bersaudara. Kakaknya yang
pertama sudah menikah dan mempunyai keluarga. Adik perempuan pasien masih

19
belum Menikah. Pasien tinggal dengan suami dan dua orang anaknya. Kehidupan
keluarga pasien bergantung pada pekerjaan suaminya yang bekerja sebagai buruh
bangunan bersama kakaknya. Di sekitar lingkungannya juga, dijelaskan oleh pasien
ada yang mengalami keluhan demam tinggi dan dikatakan mengidap penyakit demam
berdarah.

20
IV. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Temperatur : 36,8ºC

BB / TB : 59 kg / 152 cm

BMI : 25,53 kg/m2

Satus Gizi : Overweight

Status General

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema
palpebra (-/-)

THT : pendarahan gusi (-), epistaksis (-)

Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)

Thoraks : simetris

Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung parasternal line
dekstra, batas kiri jantung midclavicular line sinistra ICS V

21
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo: Inspeksi : Simetris statis & dinamis, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus N|N

N|N

N|N

Perkusi : sonor | sonor

sonor | sonor

sonor | sonor

Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|-

+|+, -|-, -|-

+|+, -|-, -|-

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-),

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
Ballottement (-)

Perkusi : Timpani, Troube Space : timpani

Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-

+|+ -|-

22
Petechie (+) pada tangan kiri pasien, Rumple Leede Test (+)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap

Parameter 24/8/2015 25/8/2015 26/8/2015 Rujukan

WBC 4,89 5,6 4,71 4,1 - 10,9

HGB 15,8 11,30 11,5 12,00 – 16,00

PLT 20,80 40,3 56,0 140 – 440

HCT 46,70 42,6 43,8 36,0 – 46,0

Serologi Dengue (26 Agustus 2015)

Parameter Hasil Rujukan

Ig G anti Dengue Positif Negatif

Ig M anti Dengue Positif Negatif

VI. DIAGNOSIS
Demam Berdarah Dengue (Hari ke-7)

VII. PLANNING
Terapi

 Bed Rest
 IVFD RL 10 tetes per menit
 Diet TKTP, 2100 kalori per hari, protein 44 gr/hari
 Paracetamol 3x500mg P.O. (k/p)
 Minum semampunya
Diagnostik

23
 -
Monitoring:

 Keluhan
 Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi
 DL Serial @24 jam
VIII. Prognosis
Dubius ad bonam

24
IX. PROBLEM LIST
 Pengetahuan pasien mengenai penyakit demam berdarah, baik itu gejala, faktor
resiko serta hal yang harus diwaspadai apabila terserang penyakit demam berdarah.
 Pasien dengan IMT 25,53 kg/m2 sehingga tergolong obese.
 Lingkungan rumah pasien yang merupakan kawasan padat penduduk dan Sanitasi
lingkungan yang kurang baik dari pasien dapat dilihat dari beberapa tempat
penampungan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan vektor.

X. ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN


Kebutuhan fisik biomedis:
 Kecukupan gizi
Asupan makanan sehari-hari pasien dapat dikatakan cukup. Pasien mengatakan
bahwa harinya pasien dapat makan 3 kali dalam sehari tapi lauk yang dapat
dikonsumsi hanya sayur dan tahu tempe hanya terkadang pasien dapat
mengkonsumsi ikan ataupun daging ayam. Hal ini suami yang berprofesi sebagai
buruh bangunan memperoleh hasil yang pas-pasan. Semenjak demam, nafsu makan
pasien juga berkurang sehingga pasien dalam satu hari cuma satu kali makan dan
mengakibatkan kondisi lemah dari tubuh pasien. Saat dilakukan kunjungan, kondisi
pasien sudah sehat dan nafsu makan pasien sudah kembali normal

 Akses pelayanan kesehatan


Pasien saat ini tinggal di Jalan Tukad Petanu No. 12 Sidakarya. Daerah rumah pasien
termasuk cukup strategis untuk memperoleh pelayanan kesehatan dimana jarak rumah
pasien cukup dekat ke RSUP Sanglah, ke puskesmas dan juga di dekat rumah pasien
ada bidan yang biasa didatangi oleh pasien jika ingin berobat. Namun pasien lebih
sering ke bidan dan jarang ke puskesmas ataupun rumah sakit. Lokasi yang cukup
strategis ini dalam akses pelayanan kesehatan sebenarnya sudah cukup baik bagi
kehidupan pasien hanya saja dana tetap menjadi hambatan dalam pasien untuk
pengelolaan berobat bagi pasien.

 Lingkungan (tempat tinggal)


Pasien tinggal di sebuah Rumah dengan lingkungan yang cukup padat. Hal ini tampak
pada jalan masuk kearah rumah pasien yang kecil dengan dalam satu gang buntu ini

25
berisikan 3 rumah yang hanya berbatasan tembok. Dalam rumah pasien terdapat 3
Ruang tidur, 1 Dapur, 1 kamar mandi, serta Bale bengong yang digunakan berkumpul.
Dalam rumah pasien banyak terdapat sampah plastik ataupun kaleng yang tergelatak
dalam pot tanaman pasien. Di rumah pasien juga berisikan banyak pot tanaman yang
bisa menjadi sumber genangan untuk tempat berkembang biak vektor nyamuk.
Banyak juga terdapat rumah burung yang tergantung dan jarang dibersihkan. Pasien
tinggal dalam satu kamar yang sering digunakan tidur bersama anaknya. Dalam kamar
tersebut dibelakang pintu terdapat gantungan baju yang tampak banyak tergantung
disana dengan suasana cukup lembab berisikan satu kipas angin. Selain itu di depan
rumah pasien terdapat got dengan genangan air yang cukup kotor dan tidak mengalir
dengan lancar.
 Analisis biopsikososial :
Lingkungan biologis
Berat badan pasien 59 kg dan tinggi badan pasien 152 cm sehingga berat badan ideal
pasien adalah BBI=90% (TB-100) = 46,8 kg. Kebutuhan kalori pasien per harinya
didapatkan 2100 kalori. Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan tidak
tentu, kadang 2 kali dalam sehari, kadang 3 kali, bahkan kadang 1 kali sehari.
Komposisi makanan pasien lebih sering berupa nasi dengan lauk tahu/tempe, pasien
jarang makan daging dan sayuran.
Tabel 1. Nutrisi Harian Pasien (Rata-Rata)

Jenis Jumlah Jadwal/hari

Karbohidrat

Nasi 1 prg (50-100 gr) 3 kali

Roti - -

Mie - -

Lainnya - -

Protein

Hewani - -

Nabati 2 potong (50-100 gr) 1 kali

Susu - -

26
Buah - -

Sayuran 50-75 gr 1 kali

Lainnya - -

Jus

 Faktor Psikososialekonomi
Hubungan pasien dengan suami beserta anaknya terlihat baik-baik saja dan cukup
harmonis. Hal ini dapat dilihat dari saat kami berkunjung disambut baik oleh seluruh
keluarga. Hubungan pasien dengan lingkungan sekitar tempat tinggal dan lingkungan
kerja juga dikatakan baik, pasien merupakan orang yang mudah bergaul dan memiliki
banyak teman. Keluarga pasien termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah
dimana pasien tidak memiliki penghasilan, sehari-hari kebutuhan pasien ditanggung
suami dan kakak laki-laki.

XI. SARAN-SARAN TERHADAP PROBLEM LIST, FISIK BIOMEDIS DAN BIO


PSIKOSOSIAL
Secara umum saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan pasien yang kami
dapatkan, yaitu:

 Pasien dianjurkan untuk makan dengan nutrisi seimbang selama sakit dan
melakukan latihan jasmani rutin untuk membantu menurunkan berat badan guna
mencapai berat badan ideal.
 Menyarankan pasien untuk selalu menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan
agar terhindar dari infeksi yang dapat mempengaruhi kondisi pasien.
 Menyarankan pasien untuk menggunakan proteksi untuk menghindari gigitan
nyamuk berupa penggunaan lotion anti nyamuk atau menggunakan baju lengan
panjang

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari kunjungan lapangan yang saya lakukan, permasalahan pasien yang kami
dapatkan berupa pemahaman pasien mengenai penyakit pasien yang hanya
mengetahui demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit yang cukup
berbahaya, sedangkan untuk pencegahan, faktor resiko, dan gejala yang dalam
kegawatdaruratan yang kurang diketahui. Kedua, permasalahan nutrisi dimana pasien
dengan BMI yang termasuk dalam kategori berat lebih. Ketiga, permasalahan
lingkungan terkait perkembangan vektor dan kontaknya dengan pasien.

Permasalahan pertama yaitu mengenai pengetahuan mengenai Penyakit demam


berdarah dengan memberikan penjelasan berupa:

1. Gejala dari demam berdarah dengue:


a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari dan biasanya bifasik
b. Ada minimal satu manifestasi perdarahan seperti (Bintik merah/
petekie, perdarahan gusi, perdarahan hidung, menstruasi pada wanita,
muntah darah, BAB berwarna hitam)
c. Gejala penyerta seperti : Nyeri kepala, nyeri retro orbital, Nyeri sendi
atau otot, dan Ruam kulit
2. Pencegahan yang dapat dilakukan berupa:
a. Host : Kondisi imunitas tubuh pasien, pencegahan dengan
menggunakan baju lengan panjang ataupun menggunakan obat anti
nyamuk, dan dapat menjaga nutrisi pasien dengan baik.
b. Vektor : Dapat menggunakan obat pembasmi nyamuk, menghilangkan
tempat perkembangbiakan vector, menggunakan obat abate untuk
mencegah perkembangbiakan telur vector pada air, serta menyadari
bahwa vektor dapat bertransportasi dari satu tempat ke tempat lain
dengan kemampuan terbang kurang lebih 100 meter.
c. Lingkungan : Dengan cara 3 M yaitu (menutup, mengubur dan
menguras), menjaga kebersihan lingkungan sekitar dan di dalam
rumah, kurangi menggantung baju serta membersihkan sampah secara

28
rutin yang dapat membuat genangan air yang bertahan lama.
3. Tanda bahaya pada penyakit demam berdarah dengue:
a. Mual yang menetap
b. Nyeri perut yang berat
c. Pasien merasakan lemas yang berkepanjanganLethargy and/or
restlessness, sudden behavioural changes.
d. Terjadi perdarahan, baik itu mimisan, BAB berwarna hitam, Muntah
darah, menstruasi.Bleeding: Epistaxis, black stool, haematemesis,
excessive menstrual bleeding, darkcoloured
e. Kencing berdarah (haemoglobinuria) or haematuria.
f. Giddiness.
g. Pucat dan dingin pada bagian ekstremitas pasienPale, cold and clammy
hands and feet.
h. Tidak kencing dalam waktu 4-6 jam Less/no urine output for 4–6
hours.

Permasalahan kedua, yaitu nutrisi yang lebih pada pasien. Kebutuhan nutrisi yang
lebih yang terkait dengan intake nutrisi yang lebih karena cara pemakanan yang tidak
seimbang dapat ditanggulangi dengan memberikan saran berupa :

1. Mengkonsumsi makanan seimbang dengan porsi karbohidrat, protein, dan lemak


yang sesuai untuk mencapai berat badan ideal.
2. Menyarankan untuk melakukan latihan jasmani secara teratur,
3. Sajikan makanan dalam keadaan higienis
Berat badan pasien 59 kg dan tinggi badan pasien 152 cm, dengan BMI pasien sebesar
25,53 kg/m2. Berat badan ideal pasien adalah BBI= 90% (TB-100)= 46,8 kg. Untuk
mencapai berat badan ideal, kebutuhan kalori pasien per harinya didapatkan 1170
kalori dengan komposisi karbohidrat 45-65% (175 gram), lemak 20-25% (26 gram),
protein 10-20% (60 gram).

Permasalahan lain yang ditemukan pada pasien adalah lingkungan rumah pasien yang
berpotensi sebagai tempat penampungan air tempat berkembang biak nyamuk, seperti
pot, sangkar burung, pohon pisang, serta kebiasaan pasien yang sering menggantung

29
baju di belakang pintu kamar. Beberapa kondisi tersebut akan turut berperan dalam
mempengaruhi pertumbuhan vektor dengue, sehingga disini perlu dilakukan
pengendalian terhadap vektor tersebut. Secara teori, cara pengendalian yang dapat
dilakukan sampai saat ini adalah dengan memberantas nyamuk penularnya, karena
vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi sampai saat ini belum ada. Pada
dasarnya pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan beberapa cara, pertama
yaitu dengan pengendalian lingkungan. Langkahnya terdiri dari pengendalian
terhadap nyamuk dewasa dan pradewasa. Pada prinsipnya pengelolaan lingkungan ini
adalah mengusahakan agar kondisi lingkungan tidak/kurang disenangi oleh nyamuk
sehingga umur nyamuk berkurang dan tidak mempunyai kesempatan untuk
menularkan penyakit atau mengusahakan agar kontak nyamuk dan manusia
berkurang. Pada pasien usaha untuk mengendalikan nyamuk dewasa dapat dilakukan
adalah dengan cara :

1. Menambah pencahayaan ruangan dalam rumah, lubang ventilasi, mengurangi


tanaman perdu,
2. Tidak membiasakan menggantungkan pakaian di kamar serta memasang kawat
kasa,
3. Menggunakan lotion anti nyamuk terutama saat siang hari atau memakai baju
lengan panjang baik di rumah kos ataupun di tempat kerja,
Kedua, adalah pengendalian terhadap nyamuk pradewasa. Pengelolaan lingkungan
tempat perindukan ini adalah usaha untuk menghalangi nyamuk meletakkan telurnya
atau menghalangi proses perkembangbiakan nyamuk. Cara yang dapat
dianjurkan/dilakukan adalah dengan melakukan prosedur “3M” yaitu :

1. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC) dan
mengganti tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali.
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti bak mandi, tampayan, drum,
dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Mengubur atau membuang barang-barang bekas pada tempatnya, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air
hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bambu,
tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya

30
4. Menaburkan bubuk ABATE ke dalam tempat-tempat penampungan air untuk
membunuh jentik-jentik nyamuk. Tindakan ini dapat diulangi setiap 2-3 bulan
sekali.

31
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/


DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfoadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan degue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan (syok)1 Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan
transmisi virus dengue yaitu: 1) vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan mengigit,
kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2)
pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan
penduduk 1

Saran dari kami yaitu perlu adanya pengarahan lengkap, efektif, dan efisien, yang
berupa sikap atau contoh gerakan bebas Demam Berdarah Dengue lebih lanjut tentang
demam Demam Berdarah Dengue dengan sasaran yang tepat dan perbaikan perilaku yang
lebih efisien terhadap komunitas. Adanya pengarahan terhadap pasien yang lebih ditekankan
pada aspek perubahan perilaku, di antaranya tentang tindakan pencegahan, 3M, penggunaan
abate, dan pengetahuan tentang fogging. Diharapkan dapat membantu pasien mencegah
penyebaran DHF di lingkungan pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. New Edition 2009.
6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis of
Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007;8:69-80.
8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and non-
structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of primary and
secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol 2006;10:622-30.
9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and
serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples by
using reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 2008;30:545-51.

33

Anda mungkin juga menyukai