Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdirinya Bani Abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan Bani

Umaiyyah pada masa pemerintahan khalifah Hisyam Ibn Abdi Al-Malik muncul

kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah.

Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang dipelopori keturunan Al-

Abbas Ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari

golongan syiah dan kaum mawali yang merasa di kelas duakan oleh

pemerintahan Bani Umayyah. Pada waktu itu ada beberapa factor yang

menyebabkan dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran,

akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan

terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu

berdirilah kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah karena para

pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad

SAW, dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya

berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan

656 H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai

dengan perubahan politik, social dan budaya.

Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan menggulingkan

kekuasaan dinasti Umayyah. Terdapat beberapa faktor yang mendukung

keberhasilan pembentukan dinasti ini. Diantaranya adalah: meningkatnya

kekecewaan kelompok Mawalli terhadap dinasti Bani Umayyah, pecahnya

1
persatuan antarsuku-suku bangsa Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat

agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.

Kelompok Mawalli, yakni orang-orang non Arab yang telah memeluk agama

Islam, diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab

menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan dan

dalam kehidupan sosial, bahkan penguasa Arab selalu memperlihatkan sikap

permusuhan terhadap mereka. Sounders mencatat bahwa di Kufah antara orang

Arab dan masyarakat Mawalli masing-masing memiliki mesjid sendiri-sendiri dan

perkawinan antara mereka sangat dihindari. Selain itu masyarakat Mawalli ini

dikenakan beban pajak yang berat.

Sebelum berdirinya Daulah Abbasiyah terdapat tiga poros yang merupakan

pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri

dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar

paman Nabi SAW.

Dengan berdirinya kekuasaan dinasti Abbasiyah terjadilah beberapa

perubahan sosial politik. Perubahan yang menonjol adalah tampilnya kelompok

Mawalli, khususnya Persia-Irak. Mereka menduduki peran dan posisi penting

dalam pemerintahan menggantikan kedudukan bangsawan Arab. Pada waktu

zaman ekspansi, masyarakat Arab merupakan kelompok bangsawan yang

berkuasa dan merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan masyarakat

non-Arab yang dikuasainya. Posisi yang demikian ini hampir berkembang pada

seluruh aspek kehidupan sosial dan politik. Masyarakat

2
Factor-faktor tersebut di atas pada satu sisi mendukung jatuhnya kekuasaan

dinasti Umayyah, dan pada sisi lainnya sekaligus mendukung keberhasilan

gerakan pembentukan dinasti Abbasiyah.

B. Rumusan Masalah

a) Bagaimana masa pembentukan Bani Abbasiyah?

b) Bagaimana kemajuan Bani Abbasiyah terhadap Sejarah Peradaban Islam?

3
PEMBAHASAN

A. Masa Pembentukan Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium dari Dinasti Umayyah. Hasil besar

yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannya

telah di persiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya

Dinasti Abbasiyah berkedudukan di Bagdad. Secara turun temurun kurang

lebih tiga puluh tujuh khalifah pernah berkuasa di negeri ini. Pada dinasti ini

Islam mencapai puncak kejayaannya dalam segala bidang.

Pemerintahan Abbasiyyah adalah keturunan daripada al-Abbas, paman Nabi

SAW. Pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali

bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide

yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah SAW,

agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya

Kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan

kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang

waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama

dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai

dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola

pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia

pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki

pertama.

4
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih

dalam pemerintahan khilafah Abbasiyyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh

Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaandinasti Bani

Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyyah; biasanya disebut juga dengan

masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari

pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota

Bagdad.[3]

Dinasti Abbasiyah berkedudukan mencapai keberhasilannya disebabkan

dasar-dasarnya telah berakar semenjak Umayyah berkuasa. Ditinjau dari proses

pembentukkanya, Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:

1. Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul di dinasti

sebelumnya;

2. Dasar universal (bersifat universal), tidak terlandaskan atas kesukuan;

3. Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan;

4. Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;

5. Pemerintahan bersifat Muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai

salah satu bagian saja di antara ras-ras lain;

6. Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[4]

Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan

menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:

1. Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abi

Thalib;

5
2. Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah

dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land reform yang kurang adil;

3. Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;

4. Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Alquran

dan oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab;

5. Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan

Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar

al-harb, dan hanya golongan khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;

6. Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah

terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala;

7. Munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang Islam

Arab dengan non-Arab.[5]

Secara kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari Al-

Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan kedekatan

pertalian keluarga antara Bani Abbas dengan nabi. Itulah sebabnya kedua

keturunan ini sama-sama mengklaim bahwa jabatan Khalifah harus berada di

tangan mereka. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah

merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul.[6]

Perjuangan Bani Abbas secara intensif baru dimulai berkisar antara lima

tahun menjelang Revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah Muhammad bin

Ali Al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan yang telah

dialami oleh pengikut Ali (kaum Syiah)dalam melawan Dinasti Umayyah.

Kegagalan ini terjadi karena kurang terorganisasi dan kurangnya perencanaan.

Dari itulah Muhammad bin Ali Al-Abbas mengatur pergerakannya secara rapid an

6
terencana. Ia mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang

penting. Kemudian propaganda atau langkah itu berhasil membakar semangat api

kebencian umat Islam kepada Dinasti Umayyah.

Setelah Muhammad bin Ali meninggal tahun 734 M, perjuangan dilanjutkan

oleh saudaranya Ibrahim sampai tahun 749 M. Kemudian, sejak 749 M Ibrahim

menyerahkan pucuk pimpinan kepada keponakannya, Abdullah bin Muhammad.

Pada masa inilah revolusi Abbasiyah berlangsung.

Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai khalifah

pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang

disampaikan di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya dengan Al-Saffah (penumpah

darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan

yang kurang baik diawal berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung

kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.

Al-Saffah berusaha dengan berbagai cara untuk membasmi keluarga

Umayyah. Antara lain dengan kekuatan senjata. Ia mengumpulkan tentaranya dan

melantik pamannya sendiri Abdullaah bin Ali sebagai pimpinannya. Target utama

mereka adalah menyerang pusat kekuatan Dinasti Umayyah di Damaskus,

sekaligus untuk melenyapkan Khalifah Marwan (khalifah terakhir Bani

Umayyah). Pertempuran terjadi di lembah Sungai Az-zab (Tigris). Pada

pertempuran itu Marwan mengalami kekalahan dan mengundurkan diri ke Utara

Syria, Him, Damsyik, Palestina dan akhiirnya sampai ke Mesir. Pasukan Abdullah

bin Ali terus menyerangnya hingga terjadi lagi pertempuran di Mesir dan Marwan

pun tewas.

7
Usaha lain yang dilakukan Al-Saffah untuk memusnahkan keluarga Umayyah

adalah dengan cara mengundang lebih kurang 90 orang anggota keluarga

Umayyah untuk menghadiri suatu upacara perjamuan kemudian membunuh

mereka dengan cara yang kejam. Disamping itu agen-agen dan mata-mata

disebarkan ke seluruh imperium untuk memburu para pelarian seluruh anggota

keluarga Umayyah. Hanya satu orang saja yang berhasil melarikan diri kemudian

kelak mendirikan Dinasti Umayyah di Andalusia. Ia dikenal dengan sebutan

Abdurahman Ad-Dakhil.

Perlakuan kejam itu tidak hanya pada anggota keluarga yang masih hidup,

tetapi juga yang sudah meninggal. Kuburan-kuburan mereka dibongkar dan

jenazahnya dibakar. Ada dua kuburan saja yang selamat dari kekejamannya yaitu

kuburan Muawiyah bin Abu Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz . perlakuan-

perlakuan kejam itu tentu saja tentu saja telah menimbulkan kemarahan para

pendukung Dinasti Umayyah di Damaskus, tetapi mereka berhasil ditumpas oleh

Abbasiyah.

Abu Al-Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat

tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal

dalam sejarah pertama-tama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah.

Abu Abbas Al-Saffah meninggal tahun 754 M. dan digantikan oleh

saudaranya, Abu Jafar Al-Mansur dari tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang

dianggap sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan

Al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang menentang kekuasaannya,

termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri.

8
Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai seorang

politikus yang demoktratis, peemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah,

sederhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingaan

rakyat. Oleh karena itu, tidaklah mengerankan bahwa selama lebih kurang 20

tahun kekuasaannya, ia telah berhasil meletakkan landasan yang kuat dan kokoh

bagi kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu.[7]

B. Kemajuan Bani Abbasiyah

Umat Islam sesungguhnya banyak dipacu untuk dapat mengembangkan dan

memberikan motivasi, melakukan inovasi serta kreativitas dalam upaya membawa

umat kepada keutuhan dan kesempurnaan hidup.

Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbasiyah dalam sejarah

lebih banyak berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti umayyah

kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih

dari itu telah mengubah, menorah wajah Dunia Islam dalam refleksi kegiatan

ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbasiyahmerupakan iklim

pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.[8]

Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya Al-

Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong

bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul Hikmah dan dilengkapi

pula dengan lembaga untuk penerjemahan.[9]

1. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan

Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu bermuara

pada masjid. Masjid dijadikan centre of edication. Pada Dinasti Abbasiyah inilah

9
mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had.

Lembaga ini kita kenal dua tingkatan yaitu :

a. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak

mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar

dasar-dasar ilmu agama.

b. Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar

daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.

Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka madrasah-madrasah yang

dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga

inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Nizhamul

Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang

ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di

Bagdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan kota-kota lainnya.

Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi

segala bidang ilmu pengetahuan.

2. Corak Gerakan Keilmuan

Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik. Kajian

keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu

kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada Al-Qur’an dan Al-Hadis; sedang

astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari

Yunani.

10
3. Kemajuan dalam Bidang Agama

Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai berkembang

terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.

Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan,

pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini juga mulai

diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara

ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadis Shahih, Dhaif,

dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat

jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadis tersebut.

Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal,

seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767-

820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M).

Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena bahasa Arab yang

semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh. Ilmu bahasa

yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi, arudh dan insya.

Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah I di Damaskus.

4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi

Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa oleh ilmu

Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebsgai berikut.

a. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh

Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom Muslim pertama

yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di

11
samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-

Asturlabi, Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.

b. Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu Rabban Al-

Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah. Tokoh lainnya

adalah Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

c. Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M).

Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai

yang hidup pada abad ke-12 M.

d. Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H

adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari.

Kemudian, ahli ilmu bumi yang masyhur adalah ibnu Khurdazabah.

5. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi

Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam

benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu.

Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban

Islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.

Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M).

pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I

adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas

sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu masa

Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa

pada periode pertama, perkembangan di berbagai bidang masih menunjukkan

grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus

12
merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti

Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik

yang dikembangkan antara lain:

a. Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad

b. Memusnahkan keturunan Bani Umayyah

c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah

memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali

d. Menumpas pemberontakan-pemberontakan

e. Menghapus politik kasta

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam

program politiknya adalah:

a. Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima

perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali

b. Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat kegiatan

politik, ekonomi dan kebudayaan

c. Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai menurun dan

terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena negara-negara bagian

sudah tidak begitu mempedulikan lagi pemerintahan pusat, kecuali pengakuan

secara politis saja.

13
Dalam masa permulaan pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi

dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal Devisa negara

penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom

Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang

ekonomi dan keuangan negara.

Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas disegenap wilayah

negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah

pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.

Disektor perdagangan, kota Bagdad disamping sebagai kota politik agama

dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat

itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat

menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia.

Terjadinya kontrak perdagangan tingkat Internasional ini semenjak Khalifah Al-

Mansur.

Dalam bidang administrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak jauh

berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja pada masa ini telah mengalami

kemajuan-kemajuan, perbaikan dan penyemprunaan.

Secara umum, menurut Philip K. Hitti, kendali pemerintahan dipegang oleh

khalifah sendiri. Sementara itu, dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-

urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan

kepada qadi (hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir. [10]

14
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dinamakan Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasanya adalah

keturunan Al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan oleh

Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Abbas.

2. Kejayaan Bani Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan

anaknya Al-Makmun. Pada masanya berkembang Ilmu Pengetahuan, baik ilmu

pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Disamping itu berkembang

pula ilmu astronomi, kedokteran, kimia, geografi, politik dan ekonomi.

15

Anda mungkin juga menyukai