Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

SEPSIS ec PNEUMONIA DALAM ANESTESIOLOGI

Disusun Oleh:
Febry Permata Sari Nasution 140100132
Dalminder Singh A/L Jaswant Singh 140100265
Nadiah Arina Binti Herman Syah 140100257

Pembimbing:
dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp. An, KAKV

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Sepsis”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Qadri Fauzi Tanjung, Sp. An, KAKV selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan
secaraoptimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, Oktober 2019

Penulis

i
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Pembuatan Makalah ....................................................................................2
1.3 Manfaat Pembuatan Makalah.............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1 Pneumonia……………………………………………………………………..3
2.1.1 Definisi……………………………………………………………………3
2.1.2 Epidemiologi……………………………………………………………...3
2.1.3 Etiologi……………………………………………………………………4
2.1.4 Patogenesis ................................................................................................. 4
2.1.5 Diagnosis .................................................................................................... 7
2.1.6 Klasifikasi ................................................................................................... 8
2.1.7 Diagnosis Banding...................................................................................... 8
2.1.8 Tatalaksana ................................................................................................. 9
2.1.4 Pencegahan ................................................................................................ 14
2.1.5 Komplikasi dan Prognosis ......................................................................... 14
2.2 Sepsis` .............................................................................................................. 15
2.2.1 Definisi ...................................................................................................... 15
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko......................................................................... 15
2.2.3 Patofisiologi ............................................................................................... 16
2.2.4 Kriteria Sepsis ........................................................................................... 19
2.2.5 Tatalaksana ................................................................................................ 21
BAB III STATUS ORANG SAKIT .................................................................... 26
3.1 Identitas Pasien ............................................................................................. 26
3.2 Alloanamnesis .............................................................................................. 26
3.3 Time Sequence ............................................................................................. 27
3.4 Primary Survey ............................................................................................. 28

ii
4

3.5 Secondary Survey .......................................................................................... 28


3.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 29
3.7 Diagnosis ....................................................................................................... 31
3.7 Tatalaksana .................................................................................................... 31
BAB IVFOLLOW UP .................................................................................... ..32
BAB V DISKUSI ................................................................................................... 38
BAB VIKESIMPULAN ........................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43

iii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis adalah respon inflamasi sistemik terhadap infeksi yang berat,


merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi yang ditentukan oleh dua atau
lebih gambaran peradangan sistemik yaitu: febris atau hipothermia, leukositosis
atau lekopenia, takikardia, dantakipnea atau ventilasi supranormal.Sepsis adalah
penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada negara maju, dan
insidensinya mengalami kenaikan.2
Berdasarkan hasil dari Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes,
penyakit infeksi utama yang ada di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia,
tuberkulosis, hepatitis, diare, malaria.3Dimana infeksi saluran pernafasan dan
tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab kematian di Indonesia.2
Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang
disebabkan oleh beberapa organisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit,
yang mengakibatkan inflamasi pada parenkim paru (alveolitis) dan akumulasi
eksudat inflamasi pada jalan nafas. Penyebaran infeksi pada interstisium sekitar
alveoli, akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas yang disebabkan
konsolidasi.1Pneumonia merupakan penyebab kematian tertinggi ke-6 di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian yang disebabkan penyakit infeksi. Angka
kejadian pneumonia di Amerika Serikat mencapai 4 juta/tahun dengan rata-rata
12/1000 orang. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180
pneumonia dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia menduduki
peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.1
Pneumonia merupakan lesi infeksi primer tersering pada pasien sepsis,
diikuti oleh infeksi pada abdomen, traktus genitourinarius, kulit dan jaringan
lunak, serta infeksi akibat peralatan medis. Sepsis merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi pada pneumonia,empiema, abses paru,
pneumotoraks, gagal napas.1
2

1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat

khususnya sepsis.


2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang

kedokteran. 


3. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Senior


Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 


1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan ini adalah


meningkatkan pemahaman terhadap kasus sepsis serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan primer.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah bentuk tersering yang dijumpai pada infeksi saluran
nafas bagian bawah akut (ISNBA). Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau
merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya perluasan
bronkiektasis yang terinfeksi. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. Pada perkembangannya, pneumonia
dikelompokan menjadi pneumonia komunitas (PK) yaitu pneumonia yang terjadi
akibat infeksi di luar rumah sakit, dan pneumonia nosokomial (PN) yaitu
pneumonia yang terjadi >48 jam setelah dirawat di rumah sakit.4

2.1.2 Epidemiologi
Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah
sakit/pusat perawatan (PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran
napas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.
Kejadian PN di ICU lebih sering daripada PN di ruangan umum, yaitu dijumpai
pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU. Pneumonia dapat terjadi pada orang
normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien
dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar
yang mengganggu daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada
orang lanjut usia dan sering tejadi pada penyakit paru obstuktif kronik (PPOK).
Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus
(DM), paya jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal,
penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik.4
4

2.1.3 Etiologi
Cara terjadi penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya
infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui slang
infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator
oleh Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter. Pada masa kini terjadi
perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA akibat adanya perubahan
keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi
lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan
perubahan karakteristik kuman. Terjadilah peningkatan patogenitas/jenis kuman,
terutama S.aureus, B.catarrhalis, H.influenzae, dan Enterobacteriacae. Etiologi
pneumonia berbeda-beda antar negara, tetapi Indonesia belum mempunyai data
mengenai pola kuman penyebab secara umum.4

2.1.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri diparu merupakan akibat ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan timbulnya sakit. Masuknya mikroorganisme ke
saluran napas dan paru dapat melalui berbagai cara 5:

a. Inhalasi langsung dari udara


b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada dinasofaring dan orofaring

c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain


d. Penyebaran secara hematogen


Patogen yang masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami
kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pemecahan inang berupa
daya tahan mekanik (epitel cilia dan mucus), humoral (antibodi dan komlemen)
dan selular (leukosit polinuklir, magrofag, limfosit dan sitokinnya). Kolonisasi
terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah di lakukan yaitu
adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-
5

obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain
andalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat
tindakan intubasi.
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam
stimulasi imunogen dari luar. inflamasi seungguhnya merupakan upaya tubuh
untuk menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan
teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi sangat komplek
karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama
lain.4
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri. Masih banyak
sitokin lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam pembentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu penyakit melibatkan macam-macam
komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat
proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1,
Interferon (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah
interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respons yang berlebihan. Apabila
keseimbangan kerja ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan
kerugian bagi tubuh.4
Penyebab sepsis dan dan syok septik yang paling banyak berasal dari
stimulasi toksin, baik dari endotoksin Gram (-) maupun eksotoksin Gram (+).
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi
dalam serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida Antibodi).
LPSab yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan magrofag
melalui TLRs4 (Toll Like Reseptor) sebagai reseptor transmembran dengan
perantaraan reseptor CD 14+ dan makrofag mengekspresikan imuno modulator,
hal ini hanya dapat terjadi pada Gram negatif yang mempunyai LPS dalam
dindingnya.4
Pada bakteri Gram positif eksitiksin dapat merangsang langsung terhadap
makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga
6

eksotoksin sebegai superantigen.4Eksotoksin, virus dan parasit yang dapat


berperan sebagai Antigen Processing Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang beraal dari Major Histocompatibility Complex (MCH).
Antigen yang bermuatan peptide MCH kelas II akan berikatan dengan CD4+
(limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor).4
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebegai imuno modulator yaitu :
IFN-g, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2
akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10, IFN- y merangsang magrofag
mengeluarkan IL-1B dan YNF-a, IFN-g, IL-1B dan TNF-α merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadan IL-1B
dan TNF-α serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis
tingkat IL-1B dan TNF-α berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian,
tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis
dapat pula merusak endotel pembuluh darah yang mekanisme nya sampai aat ini
belum jelas. IL- 1B sebagai imuno-regulator utama juga mempunyai efek pada sel
endothelial termasuk dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya
ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh granulocyte-
magrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi.4
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang
akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga
membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses
terebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjasi kerusakan endotel pembuluh
darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan
terjadinya gangguan vascular (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan
organ multiple. Kelainan organ multiple disebabkan karena trombosis dan
koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir
dengan kematian.4
7

2.1.5 Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),
diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut6:
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk
rumah sakit.
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

- Foto toraks : Terdapat infiltrat baru atau progresif 


- Ditambah 2 diantara kriteria berikut : -

o Suhu tubuh > 38 C 


o Sekret purulen

o Leukositosis 


Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut American Thoracic


Society7:

1. Dirawat di ruang rawat intensif 


2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 >

35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90% 


3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau

kaviti dan infiltrat paru 


4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan
atau disfungsi organ yaitu :

- Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolic < 60 mmHg) 


- Memerlukan vasopresor > 4 jam 


- Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam 


- Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis 



8

Pemeriksaan yang diperlukan adalah : 


1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum


atauaspirasi secret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti
memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman
secarasemikuantitatif atau kuatitatif dan dianggap bermakna jika

ditemukan > 106 CFU/ml dari sputum. 


2. Analisa gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit 


3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respon terhadap pengobatan


makadilakukan pemeriksaan secara invasive. Bahan kultur dapat diambil
melalui tindakan bronkoskopi denga cara bilasan, sikatan bronkus dengan
kateter ganda terlindung dan bronchial alveolar lavage (BAL). Tindakan

lain adalah aspirasi transtoraka. 


2.1.6 Klasifikasi Pneumonia


Menurut PAPDI klasifikasi pneumonia berdasarkan Inang dan
Lingkungan, yaitu4:

Pneumonia Komunitas Sporadis atau edemik ; muda atau orang tua


Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

2.1.7 Diagnosis Banding


Ada beberapa penyakit medis lain yang dapat menyerupai pneumonia8

- TB Paru 


- Tumor Paru 


- Bronkitis akut 


- Gagal Jantung Kongestif 



9

- PPOK eksasebasi 


- Asma Eksasebasi 


- Edema paru 


- Infark paru 


- Atelektasis 


2.1.8 Tatalaksana


Penatalaksanaan pneumonia dibagi menjadi 2, yaitu pneumonia komunitas


(PK) dan pneumonia nosokomial (PN). Pada dasarnya, dalam hal mengobati
penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat inap, dapat diobati di rumah (rawat jalan).
Namun, pada kasus yang berat, pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat
antibiotik parenteral. Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian
antibiotik tertentu terhadap bakteri tertentu pada suatu tipe dari ISNBA, dan
antibiotik ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhdap kuman penyebab

termaksud.8
 Pilihan antibiotik pada pneumonia komunitas dapat berupa

antibiotik tunggal dan kombinasi. Antibiotik tunggal diberikan pada pasien PK


yang awalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman
tertentu yang sensitif. Sedangkan kombinasi antibiotik diberikan dengan maksud
mencakup spektrum kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas
spektrum, dan pada infeksi jamak. Bila telah didapat hasil kultur dan tes kepekaan
maka hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk membedakan antibiotik yang

lebih terarah atau monoterapi (spesifik). 


Tata cara pengobatan Pneumonia Komuniti :


A. Rawat jalan :
- Tanpa faktor modifikasi : Golongan β-laktam atau β-laktam +anti β
laktamase
10

- Dengan faktor modifikasi : Golongan β-laktam + anti β-laktamase atau

fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin) 


- Bila dicurigai pneumonia atipikal : Makrolid baru (roksitromisin,

klaritromisin, azitromisin) 


B. Rawat inap :

- Tanpa faktor modifikasi : Golongan β-laktam + anti β-laktamase iv, 
 atau

Sefalosporin G2, G3 iv, atau Fluorokuinolon respirasi iv 


- Dengan faktor modifikasi : Sefalosporin G2, G3 iv, atau 
 Fluorokuinolon

respirasi iv
- Bila dicurigai pneumonia atipikal : Makrolid baru (roksitromisin,
klaritromisin, azitromisin)

C. Ruang rawat intensif :


- Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas : Sefalosporin G3 iv non

pseudomonas + makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi iv. 


- Ada faktor risiko infeksi pseudomonas : Sefalosporin anti pseudomonas iv


atau karbapenem iv + fluorokuinolon anti pseudomonas (ciprofloxacin) iv

atau aminoglikoksida iv 


- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipikal : Sefalosporin anti


pseudomonas iv atau carbapenem iv + aminoglikoksida iv + makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi iv.

Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik dengan spektrum luas, yang


kemudian sesuai hasil kultur diubah menjadi antibiotik spektrum sempit. Lama
pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau
bakteremia, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien.
Umumnya terapi diberikan selama 7-10 hari. Untuk infeksi M. pneumonia dan C.
11

pneumonia selama 10-14 hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroid
jangka panjang selama 14 hari atau lebih.

Tatacara pengobatan Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired


Pneumonia/Ventilator Associated Pneumonia).
Strategi terapi pada pneumonia nosokomial berdasarkan keadaan klinik
dan bakteriologik pasien. Beberapa pedoman dalam pengobatan nosokomial
adalah :

- Semua terapi awal antibiotik adalah empiris dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungkan juga pola resistensi setempat.
- Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang
maksimal. Pemberian terapi empiris harus intravena dengan switch
therapy pada pasien yang terseleksi, dengan respon klinis dan fungsi
saluran cerna yang baik.
- Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan

respons klinis. 


- Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan


terinfeksi kuman MDR.
- Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.
- Data mikroba dan sensitivitas dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empirisapabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi
pemberian antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak
akan mengubah mortalitas apabila terapi empiris telah memberikan hasil
yang memuaskan.
12

Gambar 2.1 Terapi Antibiotik Awal Secara Empiris Untuk HAP atau VAP.
13

Gambar 2.2 Ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP.


14

2.1.9 Pencegahan
Pencegahan yang dapat diakukan diantaranya adalah

- Pola hidup yang sehat seperti tidak merokok 



- Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) 
 Pemberian vaksin
tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,
penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang
terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.9


2.1.10 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi di antaranya adalah :

- Efusi pleura
- Empiema
- Abses paru
- Pneumotoraks
- Gagal napas
- Sepsis

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,


bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5%
pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka
kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I
0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2%
dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS
Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%,
tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -
35%.3
15

2.2Sepsis
2.2.1 Definisi
Saat ini sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi.Syok sepsis

merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi sirkulatorik dan disfungsi

seluler/metabolik yang terkait dengan risiko mortalitas yang tinggi. Definisi

Sepsis-3 juga mengusulkan kriteria klinis untuk mengoperasionalkan definisi

baru, tetapi dalam studi yang digunakan untuk menetapkan bukti untuk pedoman

ini, populasi pasien terutama ditandai dengan definisi sebelumnya dari sepsis,

sepsis berat, dan syok septik yang dinyatakan dalam dokumen konsensus 1991

dan 2001.10

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Insiden sepsis tergantung pada bagaimana disfungsi organ akut didefinisikan dan
apakah disfungsi itu disebabkan oleh infeksi yang mendasarinya.Disfungsi organ
sering dikarenakan oleh pemberian terapi suportif (misalnya pada ventilasi
mekanik). Sepsis terjadi sebagai akibat dari infeksi yang terkait dengan
community acquired infections dan healthcare-associated infections. Pneumonia
merupakan penyebab paling umum, terhitung sekitar setengah dari semua kasus,
diikuti oleh infeksi intraabdominal dan saluran kemih.Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae adalah isolat gram positif yang paling umum
ditemukan pada kultur darah penderita sepsis, sedangkan Escherichia coli,
Klebsiella sp., dan Pseudomonas aeruginosa mendominasi di antara isolat gram
negatif. 11
Faktor risiko untuk sepsis terkait dengan kecenderungan pasien untuk infeksi dan
kemungkinan disfungsi organ akut jika infeksi berkembang. Ada banyak faktor
risiko yang diketahui untuk infeksi yang paling sering memicu sepsis berat dan
syok septik, termasuk penyakit kronis (misalnya, sindrom defisiensi imun yang
16

didapat, penyakit paru obstruktif kronis, dan banyak kanker) dan penggunaan
agen imunosupresif.11

2.2.3 Patofisiologi Sepsis


Sepsis merupakan hasil dari respon host terhadap infeksi oleh mikroba
patogen, yang berarti bahwa agen antimikroba tidak cukup untuk pengobatan
penyakit infeksius ini. Sepsis secara tradisional dianggap sebagai hasil dari respon
inflamasi yang tidak terkontrol, "badai sitokin" yang menghasilkan syok atau
disfungsi organ.11
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal
dari respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi
pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan
menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan
kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau
syok.11,12
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil
yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon host yang berkepanjangan, di
mana mekanisme proinflamasi dan antiinflamasi dapat berkontribusi pada
pembersihan infeksi dan pemulihan jaringan di satu sisi dan cedera organ serta
infeksi sekunder di sisi lainnya. Respons spesifik pada setiap pasien bergantung
pada patogen penyebabnya (load and virulence) dan host (karakteristik genetik
dan penyakit yang hidup berdampingan), dengan respon diferensial di tingkat
lokal, regional, dan sistemik. Komposisi dan arah respon host mungkin berubah
seiring waktu sejalan dengan perjalanan klinis.12
Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil
dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial.Isi plasma ini meliputi sitokin-sitokin
seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin,
Reactive Oxygen Species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor,
17

dan eikosanoid. Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-


1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis, sedangkan protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis
dan menghambat proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai
koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular
merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya
akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal
ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini
memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan
global.12
Meskipun mekanisme yang mendasari kegagalan organ pada sepsis hanya
sebagian yang diketahui, gangguan oksigenasi jaringan memainkan peran
kunci.Beberapa faktor termasuk hipertensi, penurunan deformabilitas sel darah
merah, dan trombosis mikrovaskular berkontribusi terhadap berkurangnya
pengiriman oksigen pada syok septik.Inflamasi dapat menyebabkan disfungsi
endotel pembuluh darah, disertai dengan kematian sel dan hilangnya integritas
barier, sehingga menimbulkan edema subkutan dan rongga tubuh. Selain itu,
kerusakan mitokondria yang disebabkan oleh stres oksidatif dan mekanisme lain
merusak seluler penggunaan oksigen. Selain itu, mitokondria yang terluka
melepaskan alarmin ke lingkungan ekstraseluler, termasuk DNA mitokondria dan
formil peptida, yang dapat mengaktifkan neutrofil dan menyebabkan cedera
jaringan lebih lanjut.11,12
Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran,
takikardia, penurunan kesadaran, anuria.Syok merupakan manifestasi awal dari
keadaan patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis
yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai
penanganan awal.12
18

Gambar 2.3 Rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombolisis


dan fibrinolsis terhadap infeksi.12

2.2.4 Kriteria Sepsis


SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga
yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU
dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA
(Sequential Organ Failure Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan
menambahkan kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun
telah diberikan cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor pada keadaan
hipotensi.
19

Kriteria sepsis yang digunakan saat ini merupakan Sequential Organ


Failure Assessment Score (SOFA).Skor SOFA yang lebih sering dikaitkan dengan
peningkatan probabilitas mortalitas.Skor ini menilai kelainan berdasarkan sistem
organ dan memperhitungkan intervensi klinis.Namun, variabel laboratorium,
yaitu, PaO2, jumlah trombosit, kreatinin level, dan level bilirubin, diperlukan
untuk perhitungan penuh.13
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah
tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih,
temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh
terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya
respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan
pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.13
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2.Dan
istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini
adalah pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari
sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan
sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien
sepsis di luar ICU.13
20

Gambar 2.4 Skor SOFA.13

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan


skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan
dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat
membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera
memulai atau mengeskalasi terapi dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan
sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat
menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi
septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan
vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan
kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang
adekuat.13
21

Table 2.1 Kriteria qSOFA.13


Kriteria qSOFA Poin
Laju nafas > 22x/menit 1
Perubahan status mental 1
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 1

2.2.5 Tatalaksana Sepsis


Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh
SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari
penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik,
dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi,
diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi,
dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.12,14
Perubahan paling penting dalam revisi SSC bundle adalah bahwa bundle 3
jam dan 6 jam telah digabungkan menjadi satu "bundle 1 jam" dengan maksud
eksplisit untuk memulai resusitasi dan manajemen segera. Hal ini dipercaya
mencerminkan kenyataan klinis pada pasien dengan sepsis dan syok septic, bahwa
dokter segera memulai pengobatan, terutama pada pasien dengan hipotensi,
daripada menunggu atau memperluas tindakan resusitasi dalam periode yang lebih
lama.14

Gambar 2.5Hour-1 Surviving Sepsis Bundle Care.14


22

Mungkin diperlukan lebih dari 1 jam untuk resusitasi selesai, tetapi inisiasi
resusitasi dan pengobatan, seperti mendapatkan darah untuk mengukur laktat dan
kultur darah, pemberian cairan dan antibiotik, dan dalam kasus hipotensi yang
mengancam jiwa, inisiasi vasopressor terapi, semuanya dimulai segera.14

1. Pengukuran laktat
Peningkatan serum laktat dapat mewakili hipoksia jaringan, percepatan
glikolisis aerobik yang didorong oleh stimulasi beta-adrenergik berlebih,
atau penyebab lain yang terkait dengan hasil yang lebih buruk. Jika laktat
awal meningkat (> 2mmol / L), itu harus diukur kembali dalam waktu 2-4
jam untuk memandu resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien
dengan kadar laktat tinggi sebagai penanda hipoperfusi jaringan.14
2. Kultur Darah
Sterilisasi kultur dapat terjadi dalam beberapa menit dari dosis pertama
antimikroba yang sesuai, sehingga kultur harus diperoleh sebelum
pemberian antibiotik untuk mengoptimalkan identifikasi patogen dan
meningkatkan outcome. Kultur darah yang tepat termasuk setidaknya dua
set (aerob dan anaerob). Administrasi terapi antibiotik yang tepat tidak
boleh ditunda untuk mendapatkan kultur darah.14
3. Pemberian antibiotik spectrum luas
Terapi antibiotic empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antimikroba
intravena untuk mencakup semua kemungkinan patogen harus dimulai
segera untuk pasien dengan sepsis atau syok septik. Terapi antimikroba
empiris harus dipersempit setelah identifikasi dan sensitivitas patogen
ditetapkan, atau dihentikan jika keputusan dibuat bahwa pasien tidak
memiliki infeksi.Hubungan antara pemberian antibiotik awal untuk dugaan
infeksi dan penatalayanan antibiotik tetap merupakan aspek penting dari
manajemen sepsis berkualitas tinggi. Jika infeksi kemudian terbukti tidak
ada, maka antimikroba harus dihentikan.10
23

4. Pemberian cairan intravena


Resusitasi cairan dini yang efektif sangat penting untuk stabilisasi
hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis atau syok septik.Mengingat
keadaan darurat medis yang mendesak ini, resusitasi cairan awal harus
dimulai segera setelah mengenali pasien dengan sepsis dan / atau hipotensi
dan laktat yang meningkat, dan selesai dalam waktu 3 jam setelah
penegakan sepsis.Pedoman merekomendasikan ini harus terdiri dari
minimal 30 mL / kg cairan kristaloid intravena. Meskipun sedikit literatur
yang menyertakan data terkontrol untuk mendukung buku ini, studi
intervensi baru-baru ini menggambarkan ini sebagai praktik biasa pada
tahap awal resusitasi, dan bukti pengamatan mendukung.Tidak adanya
manfaat yang jelas setelah pemberian koloid dibandingkan dengan larutan
kristaloid dalam subkelompok gabungan sepsis, bersama dengan biaya
albumin, mendukung rekomendasi yang kuat untuk penggunaan larutan
kristaloid dalam resusitasi awal pasien dengan sepsis dan septik. syok.
Karena beberapa bukti menunjukkan bahwa keseimbangan cairan positif
yang berkelanjutan selama perawatan di ICU berbahaya, pemberian cairan
di luar resusitasi awal memerlukan penilaian yang cermat terhadap
kemungkinan bahwa pasien tetap responsif terhadap cairan.14
5. Pemberian Vasopresor
Perbaikan tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah bagian
penting dari resusitasi. Ini seharusnya tidak ditunda, jika tekanan darah
tidak dikembalikan setelah resusitasi cairan awal, maka vasopresor harus
dimulai dalam jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rerata (MAP)
dari ≥ 65 mm Hg. Efek fisiologis vasopresor dan pemilihan inotrop /
vasopresor kombinasi pada syok septik diuraikan dalam sejumlah besar
ulasan literatur.10
24

Gambar 2.6 Alur Identifikasi Pasien dengan Sepsis dan Syok Sepsis.13
25

Gambar 2.7 Tatalaksana sepsis.13


26

BAB III
STATUS PASIEN
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : NH
Jenis Kelamin : Laki laki
Umur : 82 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sundol Jae, Tapanuli Selatan
Tanggal Masuk : 17 Oktober 2019
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 162 cm

3.2 ALLOANAMNESIS
KU : Penurunan kesadaran
Telaah : Hal ini telah dialami oleh pasien sejak ± 4 jam lalu. Riwayat demam
sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 1 minggu
ini. Batuk disertai dahak berwarna kuning kehijauan. Batuk berdarah disangkal.
Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 1 minggu lalu. Sesak nafas tidak
dipengaruhi oleh aktivitas. Keluhan keringat malam disangkal. Penurunan berat
badan juga disangkal. Riwayat penyakit hipertensi dan DM disangkal.
RPT: tidak jelas

RPO: tidak jelas


27

• Pasien tiba di IGD RSUP Haji Adam Malik


Medan
17 Oktober 2019
(08.00)

• Pasien dikonsultasikan ke Departemen Anestesi


untuk perawatan HCU
17 Oktober 2019
(08.40)

• Pasien dirawat di HCU

17 Oktober 2019
(10.30)
28

3.4 Primary Survey (Tanggal 17/10/2019 pukul 08.00 di IGD)

A (Airway)
- Airway clear
- Snoring (-), gurgling (-), crowing (-).
B (Breathing)
- RR: 24 x/menit
- SaO2: 85%; 99% O2 via NRM 10 L/menit
C (Circulation)
- Tekanan darah: 90/60 mmHg
- Nadi: 66 x/menit, reguler, T/V cukup
- Akral hangat, dingin, dan kering
- CRT < 2”
- Terpasang IV line di tangan kanan
D (Disability)
- Sensorium: Somnolen, GCS 10 E3V2M5
- Pupil isokor, refleks cahaya +/+, diameter 3mm/3mm
E (Exposure)
- Temp: 38,1oC

3.5 Secondary Survey (Tanggal 17/10/2019 pukul 08.30 di IGD)

B1 : Airway clear; RR: 24x/i SpO2: 99% O2 via NRM 10 L/menit; SP:
(Breath) bronkial; ST: Rh (+/+), Wh (-/-); S/G/C: -/-/-
B2 : Akral: hangat/merah/kering; TD: 100/60 mmHg; HR: 63 x/menit,
(Blood) reguler, T/V cukup; CRT < 2 detik; Temperatur: 38°C,
sianosis (-)
B3 : Sensorium: Somnolen, GCS 10 E3V2M5 ; Pupil: isokor; Ø: ± 3
(Brain) mm/3 mm; RC +/+
B4 : Kateter terpasang, UOP (+), warna kuning jernih
(Bladder)
B5 : Abdomen: soepel; peristaltik (+) normal
(Bowel)
B6 : Fraktur (-); edema (-/-)
(Bone)
29

3.6 PemeriksaanPenunjang

3.6.1 Laboratorium

Laboratorium Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
- Hemoglobin 10 g/dL 12 – 16 g/dL
- Eritrosit 2,86 jt/µL 4,10– 5,10 jt/µL
- Leukosit 28.400/µL 4,000– 11,000/µL
- Hematokrit 30 % 36 – 47 %
- Trombosit 209.000/µL 150.000– 450.000/µL
KARBOHIDRAT
- KGD sewaktu 171 mg/dl < 200 mg/dl
AGDA
- pH 7,17 7,35-7,45
- PCO2 73 38-42
- PO2 133 85-100
- HCO3 26,6 22-26
- Total CO2 28,8 19-25
- BE +2,0 (-2) – (+2)
- Total saturasi O2 98 95-100
HATI
- Bilirubin total 0,3 0,2-1,2
- Bilirubin direct 0,2 <0,5
- ALP 35 40-150
- SGOT 19 5-34
- SGPT 8 0-55
FAAT HEMOSTATIS
- PT
-Pasien 18,9
-Kontrol 13
- INR 1,45 0,8-1,3
- APTT
-Pasien 26,4 27,39
-Kontrol 34
- TT
-Pasien 17,5
-Kontrol 16
GINJAL
- BUN 50 mg/dl 10 – 20 mg/dl
- Ureum 107 mg/dl 21 – 43 mg/dl
- Kreatinin 2,05 mg/dl 0,6– 1,1 mg/dl
ELEKTROLIT
- Natrium 137 135-145
- Kalium 5,2 3,6-5,5
- Chlorida 104 96-106
30

3.6.2 Radiologi

Hasil: Kardiomegali + Pneumonia DD TB Paru + Effusi Pleura Bilateral

3.7 Diagnosis

Sepsis ec Pneumonia
31

3.8 Tatalaksana IGD


-
Bed rest + head up 30o
- Oksigen 8 L/menit via NRM
- Pasang NGT
- Pasang kateter urin
-
IVFD RL
One Hour Bundle: 30cc/kgBB = 30x60 = 1800cc/jam = 600 gtt/i makro (cor)

- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam


- Drip Paracetamol 1gr/100 cc
32

BAB IV

FOLLOW UP

18 Oktober 2019 (HCU)


S Penurunan Kesadaran
O - Airway clear, RR: 22 x/i, TD: 90/70 mmHg, HR: 68 x/menit,T/V cukup,
Akral H/M/K; CRT < 2 s; Temp: 37,9oC
- Sensorium: Somnolen, RC: +/+, Pupil isokor
- Kateter terpasang, UOP (+), warna kuning
- Abdomen: soepel; peristaltik (+)
- Edema (-), fraktur (-)
A Sepsis ec Pneumonia
P - Bed rest + head up 30o
- Oksigen 8L/menit via NRM
- IVFD RL
40+20+40 = 100cc/jam = 33 gtt/i
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Drip Paracetamol 1gr/100 cc

R Cek kultur darah


33

19 Oktober 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway clear, RR: 20x/i;SP: bronkial, ST: Rhonkhi +/+, SaO2: 98%
- TD: 100/70 mmHg, HR: 65 x/menit, T/V cukup, Akral H/M/K; CRT <
2s; Temp: 36,8oC
- Sensorium: Apatis, RC: +/+, Pupil isokor
- Kateter terpasang, UOP (+), warna kuning
- Abdomen: soepel; peristaltik (+)
- Edema (-), fraktur (-)
A Sepsis ec Pneumonia
P - Bed rest + head up 30o
- Oksigen 8 L/menit via NRM
- IVFD RL
40+20+40 = 100cc/jam = 33 gtt/i
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam

20 Oktober 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway clear, RR: 22x/i;SP: bronkial, ST: Rhonkhi +/+, SaO2: 98%
- TD: 100/70 mmHg, HR: 68 x/menit, T/V cukup, Akral H/M/K; CRT <
2s; Temp: 36,8oC
- Sensorium: Apatis, RC: +/+, Pupil isokor
- Kateter terpasang, UOP (+), warna kuning
- Abdomen: soepel; peristaltik (+)
- Edema (-), fraktur (-)
A Sepsis ec Pneumonia
P - Bed rest + head up 30o
- Oksigen 8 L/menit via NRM
34

- IVFD RL
40+20+40 = 100cc/jam = 33 gtt/i
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam

R
35

BAB V

DISKUSI

Teori Kasus

Pneumonia menimbulkan gejala Pasien datang dengan keluhan


demam, batuk dengan sputum purulen, utama penurunan kesadaran sekitar 4
leukositosis, dan deoksigenasi. jam sebelum masuk rumah sakit.
Didapati adanya satu atau lebih Keluhan batuk dijumpai sejak 1 minggu
penyakit dasar yang mengganggu daya yang lalu disertai dahak berwarna
tahan tubuh kuning kehijauan. Pasien juga
- Semakin sering dijumpai pada mengeluhkan sesak nafas sejak 1
orang lanjut usia minggu yang lalu.
- Sering tejadi pada penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK)
- Dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit lain seperti diabetes
mellitus (DM), gagal jantung,
penyakit arteri koroner, keganasan,
insufisiensi renal, penyakit saraf
kronik, dan penyakit hati kronik.
Faktor risiko utama terjadinya Sumber infeksi yang mencetuskan
sepsis adalah menderita infeksi. sepsis pada pasien ini diduga berasal
Populasi yang memiliki risiko lebih dari paru.
tinggi untuk menderita sepsis setelah Pasien termasuk kategori lansia tua
menderita suatu infeksi termasuk yang (82 tahun) yang memiliki risiko tinggi
populasi berusia sangat muda (neonatus untuk mengalami sepsis.
dan bayi) dan sangat tua. Orang-orang
dengan penyakit kronis (diabetes,
kanker) dan mereka yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang terganggu
36

juga memiliki risiko lebih tinggi untuk


menderita sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di Dari anamnesis yang di dapatkan
bagian manapun dari tubuh. Daerah dan gejala klinis mengarahkan pasien
infeksi yang paling sering ke diagnosis infeksi saluran nafas yaitu
menyebabkan sepsis adalah paru-paru, pneumonia.
saluran kemih, perut, dan panggul.
Jenis infeksi yang sering dihubungkan
dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi kulit / soft tissue
2. Infeksi luka
3. Infeksi saluran napas atas /
bawah
4. Infeksi SSP
5. Infeksi gastrointestinal dan
organ intra abdominal
6. Infeksi saluran kemih
7. Infeksi tulang
Tidak terdapat tanda dan gejala Pasien datang dengan keluhan
spesifik untuk sepsis. Tanda dan gejala utama penurunan kesadaran sejak 4 jam
awal yang muncul dapat berupa sebelum masuk rumah sakit. Pasien
manifestasi dari sumber infeksi yang mengeluhkan batuk sekitar 1 minggu
mendasarinya. dan juga sesak. Batuk disertai dengan
Sistem skor SOFA (Sequential dahak berwarna kuning kehijauan.
Organ Failure Assessment Score) Riwayat batuk darah disangkal.
dugunakan untuk menentukan fungsi
organ pada pasien dengan penyakit Skor qSOFA: 3
kritis. Skor SOFA terdiri dari 6 - Penurunan kesadaran (1)
parameter yang menggambarkan fungsi - Respiratory rate: 24 x/i (1)
masing-masing organ yaitu; sistem - Tekanan darah sistolik 90
37

saraf pusat, sistem respiratori, sistem mmHg (1)


kardiovaskular, fungsi hati, sistem Skor QSOFA 3 dari 3 variabel pada
koagulasi, dan fungsi ginjal. Setiap pasien dengan infeksi dapat digunakan
parameter memiliki penilaian dari 0 sebagai langkah awal utuk
hingga +4, dimana semakin tinggi mengidentifikasi sepsis.
skornya maka semakin buruk fungsi
organ tersebut dan semakin tinggi
angka morbiditas dan mortalitasnya.
Skor qSOFA (quick SOFA) adalah
versi sederhana dari Skor SOFA dan
dapat digunakan sebagai cara awal
untuk mengidentifikasi pasien infeksi
yang berisiko tinggi. Skor qSOFA
menyederhanakan skor SOFA secara
drastis dengan hanya memasukkan 3
kriteria klinisnya yaitu; tekanan darah
sistolik ≤ 100 mmHg, laju pernapasan ≥
22 x/menit, dan perubahan status
mental (GCS ≤ 14).

Tata laksana dari sepsis Kultur darah telah dilakukan.


menggunakan protokol yang Tatalaksana awal yang diberikan ada
dikeluarkan oleh SCCM dan ESICM pasien ini adalah:
yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. - Bed rest + head up 30o
- Hour-1 Surviving Sepsis Bundle - Oksigen 8L/menit via NRM
Care - IVFD RL
o Pengukuran laktat One Hour Bundle: 30cc/kgBB =
o Kultur darah sebelum 30x60=1800cc = 600 gtt/i makro (cor)

pemberian antibiotik - Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam

o Pemberian antibiotik - Drip Paracetamol 1gr/100 cc


38

spektrum luas
o Resusitasi cairan dengan
30 ml/kgbb (Jika
hipotensi / laktat ≥ 4
mmol/L)
o Pemberian vasopresor
(MAP ≤ 65 mmHg)
39

BAB VI

KESIMPULAN

Tn. NH, 82 tahun dibawa oleh keluarga ke RSUP H. Adam Malik dengan
keluhan penurunan kesadaran. Hal ini dialami pasien sejak ± 4 jam yang lalu.
Riwayat demam sejak 2 hari sebelum masuk RS. Pasien juga mengeluhkan batuk
sejak 1 minggu ini. Batuk disertai dahak berwarna kuning kehijauan. Batuk berdarah
disangkal. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
keringat malam disangkal. Riwayat penyakit hipertensi dan DM disangkal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis dengan Sepsis ec Pneumonia dengan Skor qSOFA 3. Pasien dirawat inap
di HCU IGD. Dilakukan kultur darah dan diberikan tatalaksana berupa:
-
Bed rest + head up 30o
- Oksigen 8 L/menit via NRM
- Pasang NGT
- Pasang kateter urin
-
IVFD RL
One Hour Bundle: 30cc/kgBB = 30x60 = 1800cc/jam = 600 gtt/i makro (cor)

Maintenance: 40+20+40 = 100cc/jam = 33 gtt/i


- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Drip Paracetamol 1gr/100 cc
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Anna F, Jusuf W. 2010 “Manajemen Sepsis pada Pneumonia”. Surabaya.


Majalah Kedokteran Surabaya. 

2. World Health Organization. Indonesia.”Statistical Profile” 2015. Available
from:http:// www.who.int/gho/countries/idn.pdf.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset kesehatan dasar 2013. Hal. 65 

4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.”Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam‟. Interna Publishing. Jakarta, 2014 

5. Alcon A, Fabregas N, Torres A. “Pathophysiology of pneumonia” clinics in
chesr medicine, 2005.

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. “Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti di Indonesia”. 2003. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 

7. American Thoracic Society. Hospitas-acquired pneumonia in adults:
Diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive
strategies. Am J Respir Crit Care Med 1995; 153: 1711-25. 

8. PDPI, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia Pneumonia
Komuniti. 2003 Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and
paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62.
9. Broulette, J., Yu, H., Pyenson, B., Iwasaki, K., Sato, R. The incidence rate
and economic burden of community-acquired pneumonia in working-age
population. 2013. American Health and Drug Benefits 6(8): 494-503.
10. Rhodes A, Evans LE, Alhazzan W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R, et al.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidlines for Management of
Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med. 2017;1–74.
11. Angus DC, van der Poll T. Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med.
2013;369(9):1–12.
12. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan Tatalaksana Berdasar Guideline Terbaru. J
Anestesiol Indones. 2018;10(1):62–73.
13. Singer M, Deutschman C, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer
41

M, et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). J Am Med Assoc. 2016;315(801–810).
14. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle:
2018 Update. Intensive Care Med. 2018;44(1):925–8.

Anda mungkin juga menyukai