Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN PERITONITIS DAN CAPD


RUANG 27
RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR – MALANG
18 – 23 APRIL 2016

UNTUK MEMENUHI TUGAS PROFESI NERS


DEPARTEMEN MEDIKAL

DISUSUN OLEH :
AVIANA EKO WARDANI
150070300113022

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD)

A. KONSEP DASAR CAPD


A. DEFINISI CAPD
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah
dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah.
Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga
perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke
dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah
metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian
cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada,
2008).
Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm 2
berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan ke
dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum dan
creatinin yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan oleh
ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika produk
limbah mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke
daerah dengan konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui membrane
semipermeable (membrane peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15
hingga 20 ml/menit, sedangkan creatinin dikeluarkan lebih lambat.
B. TUJUAN CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan
cairan yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

C. INDIKASI CAPD
- Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
- Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
- Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
- Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
- Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
- Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
D. KONTRAINDIKASI CAPD
- Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
- Adhesi abdominal
- Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
- Pasien dengan imunosupresi

E. CARA KERJA CAPD


1. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga
perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut
dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana
sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter
“dineal”R61L” yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong
cairan dialysis 1 L. Dari pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan
yang menuju ke belakang, ini untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum.
Seluruh pipa harus terisi dengan cairan yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan
steril yang besar (paling sedikit volume 2 L) diikatkan pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar
atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas
luka pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah
lateral dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup
banyak (10-15 ml) dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan
mengetahui bahwa telah diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang
(seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi
peritoneum.

Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit
dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang
peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau
ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput
peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus
ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus
segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita,
minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini masuk, harus di “syphon
off” untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter
untuk menjamin bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol
dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci
harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan
elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang
menghubungkan kateter ke alat perangkat.

2. Pemasukan Cairan Dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-
6 jam. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah
akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian
disambungkan dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan
mengalir secepat mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan
dalam waktu 10 menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang
maksimal dan difusi –solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30
menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam
peritoneum), klem selang dibuka dan cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari
rongga peritoneum ke luar (ada kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan
lancar. Waktu drainase (waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat
dari rongga peritoneum) adalah 10-15 menit. Drainase yang pertama mungkin
berwarna merah muda karena trauma yang terjadi waktu memasang kateter
peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase sudah jernih dan tidak boleh ada
lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah cairan dikeluarkan dari rongga
peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang sudah
dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat
bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan
penutup yang steril.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat
penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

3. Proses Penggantian Cairan Dialisat


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (±
30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
 Pengeluaran Cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru.
Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

 Memasukkan Cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.
 Waktu Tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-
6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang
peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk
pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk
36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari
cairan yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24
jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal
secara permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap
akhir. Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4
kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

F. PRINSIP-PRINSIP CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari,
dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini
pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap
berada dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan
dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60
menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang
ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode
infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran
dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

G. EFEKTIFITAS, KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN


1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih
tersisa dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD
adalah cara penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui
rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke
dalam rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut.
Teknik ini memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan
darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan
dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30
menit, dilakukan di rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan
setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto,
2010).
2. Keuntungan CAPD dibanding HD
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
 Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui
sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di
samping untuk membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting
lainnya adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan
pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak
mematikan fungsi-fungsi tersebut.
 Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua
mempunyai usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama
penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama
atau relatif lebih tinggi.
 Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk
tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
 Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
 Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
 Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
 Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
 Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
 Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
 Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
 Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

3. Kelemahan CAPD
 Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
 Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
 Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
 BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
Tabel Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri
Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri (CAPD)
Segi Harus dilakukan di Rumah Sakit, lamanya Dapat dilakukan di
kepraktisan proses 4-5 jam rumah/tempat kerja, lamanya
proses 30 menit

Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu
bulannya akan mencapai akan mencapai sehari penggantian dialisat.
Rp. 4-5 juta Biaya per bulannya
mencapai Rp. 5,5 juta.

Pantangan Pantang beragam makanan terutama Tidak perlu diet ketat


yang tinggi protein

Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras darah relatif aman karena
selama proses pencucian darah. Dengan tidak terganggu. Kadar Hb
pengeluaran darah, darah tidak cukup relativ lebih tinggi
aman dari resiko kontaminasi. Butuh dibandingkan dengan
terapi hormon eritropoetin untuk hemodialis, sehingga
mengimbangi penurunan kadar Hb dibutuhkan lebih sedikit
eritroprotein. Namun, CAPD
rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk
menjaga kebersihan
badannya

H. KOMPLIKASI CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
- Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
- Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
- Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
- Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
- Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter
dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut
berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk
menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-
faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen
yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran
melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi
spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang
dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering
dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat
prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus
penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis
kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan
cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema
atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua
hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih
sering dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi
kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal,
diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat
juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.

6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia


Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD
7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun
bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra
tubuh dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang
dibadannya.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Penyakit
c. Riwayat penyakit infeksi
d. Riwayat penykit batu/obstruksi
e. Riwayat pemakaian obat-obatan
f. Riwayat penyakit endokrin
g. Riwayat penyakit vaskuler
h. Riwayat penyakit jantung
i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)
j. Data interdialisis meliputi :
 Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana klien
merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan tidak
merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.
 Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang – Berat badan
post hemodialisis yang lalu (Kg).
 Kapan terakhir hemodialisis.
k. Keadaan umum klien
 Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
 Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang – kadang
disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.

l. Pemeriksaan Fisik
 Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang – kadang,
disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak sembab,
bau mulut amoniak
 Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,
 Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi basah/kering,
Edema paru,
 Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut pada
kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta
 Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering dan
bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit
 Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)
 Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler
 System kardiovaskuler
Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak, berdarah/tidak.
Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah bernapas.
 System pernapasan
Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat
beraktifitas.
Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.
 Sistem pencernaan
Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa, cegukan,
diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.
Data objektif : cegukan, melena/tidak.
 Sistem Neuromuskuler
Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun,
insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.
Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak menahan
nyeri.
 Sistem genito – urinaria
Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada
wanita).
Data objektif : edema pada system genital.
 System psikososial
m. Integritas ego
Stressor : financial, hubungan dan komunikasi
Merasa tidak mampu dan lemah
Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung
n. Perubahan body image
o. Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif
p. Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan perawatannya,
kadang masih kurang.
q. Interaksi social
Denial, menarik diri dari lingkungan
r. Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
c. Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
d. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen
e. Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama pemasangan.
f. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma

3. Rencana Asuhan Keperawatan


Dx. 1 Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan volume caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan kongesti paru.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.
4. Tidak terjadi nyeri perut
Intervensi
- Catat volume cairan yang masuk, keluar dan kumulasi keseimbangan
caiaran.
- Menimbang berat badan pasien sebelum dan sesudah menjalani dialisat
- Kaji patensi kateter, kesulitan drainase, perhatikan adanya lembaran atau
plak fibrin.
- Tinggikan kepala tempat tidur, lakukan tekanan perlahan pada abdomen.
- Perhatikan adanya distensi abdomen sehubungan dengan penurunan
bising usus, perubahan konsistensi feses, keluhan konstipasi.
- Observati TTV, perhatikan adanya hipertensi berat, nadi kuat, distensi
JVD. edema perifer.
- Evaluasi adanya takipnea, dispnea, peningkatan upaya pernapasan.
- Kolaborasi:
- Perubahan program dialisat sesuai indikasi
- Awasi natrium serum
- Tambahkan heparin pada dialisat awal, bantu irigasi kateter dengan
garam faal heparinasi
- Pertahankan pembatasan cairan sesuai dengan indikasi

Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume
caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan negatif).
4. TTV dalam batas normal.
5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.
Intervensi
- Catat volume cairan yang masuk, keluar dan kumulasi keseimbangan
caiaran.
- Berikan jadwal untuk pengaliran dialisat dari abdomen.
- Menimbang berat badan pasien sebelum dan sesudah menjalani dialisat.
- Awasi TD dan nadi. Perhatikan tingginya pulsasi jugular.
- Perhatikan keluhan pusing, mual, peningkatan rasa haus.
- Inspeksi kelembapan mukosa, turgor kulit, nadi perifer dan CRT.
Kolaborasi:
- Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi: natrium serum dan
kadar glukosa.
- Kadar kalium serum.

Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum
Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.
Intervensi
- Biarkan klien mengosonkan kandung kemih, usus untuk menghindari
penusukan organ interna
- Fiksasi keteter dengan plester. Tekankan pentingnya pasien menghindari
penarikan atau pendorongan kateter.
- Perhatikan adanya fekal dalam dialisat atau dorongan kuat untuk defikasi,
disertai diare berat.
- Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin berkemih, atau haluaran urine besar
menyertai berjalannya dialysis awal.
- Hentikan dialysis bila terjadi perforasi usus/kandung kemih. Biarkan
kateter dialysis pada tempatnya.

B. KONSEP DASAR PERITONITIS


 Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang
melapisi rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masunya bakteri dari
saluran cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui
perforasi usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh
infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau pada
organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley, 2000).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya
disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering
dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan
sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis.
(Fauci et al, 2008).

Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada


selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. (Ratu dan Adwan,
2013).

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus


visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif
dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. ( Sibuea
dkk, 2009).

2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Gambar Anatomi Hati(Syaifuddin, 2011)

Saluran pencernaan di tubuh manusia dimulai dari rongga mulut, esofagus,


lambung, usus halus hingga anus. Sistem pencernaan meliputi :

o Rongga mulut
Rongga mulut merupakan awal saluran pencernaan, proses pencernaan dimulai
dengan aktivitas mengunyah dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil dan
dicampur dengan enzim-enzim pencernaan. Di dalam mulut terdapat saliva yang
mengandung mukus yang fungsinya membantu melumasi makanan saat
dikunyah. Kemudian saat makanan ditelan epiglotis bergerak menutup lubang
trakea untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan ke paru-paru sehingga
mengakibatkan bolus makanan berjalan ke dalam esofagus.
o Esofagus
Esofagus memiliki panjang + 25 cm dan terletak di mediastinum rongga thorakal,
anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Otot
halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah
lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses
peristaltik esofagus, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus
makanan masuk ke lambung kemudian sfingter esofagus menutup dengan rapat
untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.
o Lambung
Lambung terletak di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh,
tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantong yang dapat
berdistensi dengan kapasitas + 1.500 ml. Lambung terdiri dari 4 bagian yaitu
kardia (jalan masuk), fundus, korpus, dan pilorus. Lambung mensekresi cairan
yang sangat asam, cairan ini mempunyai pH serendah 1 dan memperoleh
keasamannya dari asam hidrochlorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung.
Fungsi sekresi asam untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih
dapat diabsorbsi dan untuk membantu destruksi bakteri pencernaan. Lambung
dapat menghasilkan sekresi kira-kira 2,4 liter/hari.
o Usus halus
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal
pada pilorus dan berakhir pada sekum, memiliki panjang 2/3 dari panjang total
saluran pencernaan. Bagian permukaan usus halus untuk sekresi dan absorbsi.
Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Duodenum
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm
berbentuk sepatu kuda dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Saluran
empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang
yang disebut ampula hepatopankreatika 10 cm dari pilorus.
b. Yeyunum
Yeyunum menempati 2/5 sebelah atas dari usus halus.
c. Ileum
Ileum menempati 3/5 akhir dari usus halus. Dinding usus halus terdiri atas 4
lapisan yang sama dengan lambung yaitu
 Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritoneum yang
membalut usus dengan erat.
 Dinding lapisan berotot terdiri atas 2 lapisan serabut yaitu lapisan
luar terdiri atas serabut longitudinal, dan di bawahnya yaitu lapisan tebal
terdiri dari atas serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan serabut berotot
terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe dan plexus saraf.
 Dinding sub mukosa, terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang
terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding sub mukosa ini terdiri
dari jaringan areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe,
kelenjar dan plexus saraf yang disebut plexus meissner. Di dalam
duodenum terdapat kelenjar bruner yang mengeluarkan sekret cairan
kental alkali yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari
pengaruh isi lambung yang asam.

Di dalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel termasuk banyak


leukosit juga terdapat beberapa nodula jaringan limfe yang disebut
kelenjar soliter. Di dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula,
membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisi 20-30 kelenjar
soliter yang panjangnya 1 cm sampai beberapa cm. Kelenjar-kelenjar ini
mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada
demam usus atau tifoid.

Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorbsi khime dari lambung
isi duodenum yaitu alkali.
 Empedu
Empedu diperlukan untuk pencernaan lemak yang diemulsikan untuk
membantu kerja lipase. Sifatnya alkali dan membantu membuat makanan
yang keluar dari lambung yang asam menjadi netral. Garam Empedu
mengurangi tegangan permukaan isi usus dan membantu membentuk
emulsi dari lemak yang dimakan.
 Pankreas
Getah pankreas berisi tiga jenis enzim pencernaan yang memecah atas 3
jenis makanan. Amilase, mencerna hidrat karbon, mengubah zat tepung
menjadi disakharida. Lipase, ialah enzim yang memecah lemak menjadi
gliserin dan asam lemak. Tripsin, merupakan enzim pembeku susu
mengubah protein menjadi pepton.
o Usus Besar
Usus besar atau kolon memiliki panjang kira-kira 1,5 meter. Refleks gastrokolik
terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltik di dalam usus
besar. Refleks ini menyebabkan defekasi atau pembuangan air besar. Dalam 4
jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis dan dengan
perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup ileosekal. Katup ini secara
normal tertutup, membantu mencegah isi colon mengalir kembali ke usus halus.
Populasi bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri membantu
menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu. Dua jenis sekresi
kolon ditambah pada materi sisa mukus dan larutan elektrolit. Larutan elektrolit
adalah larutan bikarbonat yang bekerja untuk menetralisasi. Prosedur akhir yang
terbentuk melalui kerja bakteri kolonik. Mukus ini melindungi mukosa colon dari isi
interluminal dan juga memberikan perlekatan untuk massa fekal. Aktifitas
peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang
saluran. Gelombang peristaltik kuat intermiten mendorong isi untuk jarak tertentu.
Hal ini terjadi secara umum setelah makanan lain dimakan, bila hormon
perangsang usus dilepaskan. Materi sisa dari makanan akhirnya mencapai dan
mengembangkan anus, biasanya dalam 12 jam. sebanyak seperempat dari materi
sisa dari makanan mungkin tetap berada di rektum selama 3 hari setelah makanan
dicerna.
o Rektum : Defekasi, Faeces dan Flatus
Rektum terletak 10 cm di bawah dari usus besar dimulai pada kolon sigmoideus
dan berakhir pada saluran anal. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga
oleh otot internal dan eksternal. Rektum serupa dengan kolon tetapi dindingnya
yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan-lipatan
membujur yang disebut kolumna morgagni. Semua ini menyambung ke dalam
saluran anus. Di dalam saluran anus ini serabut otot sirkuler menebal membentuk
otot sfingter anus internal. Sel-sel yang melapisi saluran anus berubah sifatnya
epitelium bergaris menggantikan sel-sel silinder. Sfingter eksterna menjaga
saluran anus dan orifisium supaya tertutup. Rektum biasanya kosong sampai
menjelang defekasi.
3. ETIOLOGI
 Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal

b. Appendisitis yang meradang dan perforasi

c. Tukak peptik (lambung / dudenum)


d. Tukak thypoid

e. Tukan disentri amuba / colitis

f. Tukak pada tumor

g. Salpingitis

h. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.

4. Patofisiologi

Disebabkan oleh kebocoren dari organ abdomen kedalam rongga abdomen


bisanya sebagai akibat dari inflamasi,infeksi,iskemia, trauma atau perforasi tumor.
Terjadi proliferasi bacterial, yang menimbulkan edema jaringan, dan dalam waktu yang
singkat terjadi eksudasi cairan. cairan dalam peritoneal menjadi keruh dengan
peningkatan protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respon segera dari
saluran usus adalah hipermotilitas, diikut oleh oleh ileus pralitik, disertai akumudasi
udara dan cairan dalam usus.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen
(meningkatkan aktivitas inhibitor activator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin dengan
adanya pembentukan jajaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme
terpenting dari system pertahanan tubuh, sengan cara ini akan terikat bakteri dalam
jumlah yang sangat banyak diantara matrika fibrin. Pembentukan abses pada peritonitis
pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh yang melibatkan substansi pembentuk
abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang steril.
Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu
mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan
membentuk kompartemen yang dikenal sebagai abses.
Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber.
Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit visceral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang
terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis juga terjadi karena virulensi kuman
yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan
neutrofil. Keadaan makin buruk jika infeksinya disertai dengan pertumbuhan bakteri lain
atau jamur (Clevo, 2012).

WOC PERITONITIS

6. Klasifikasi
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini
dibagi menjadi dua yaitu:
Spesifik : Seperti Tuberculosa.
Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis. Factor yang
beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis
dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan
kimia. Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses
inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine(Andra & Yessie, 2013)
7. Tanda dan Gejala
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut :
a. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
b. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
c. Mual dan muntah.
d. Abdomen yang kaku.
e. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
f. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah
putih dan takikardia.
g. Rasa sakit pada daerah abdomen
h. Dehidrasi
i. Lemas
j. Nyeri tekan pada daerah abdomen
k. Bising usus berkurang atau menghilang
l. Nafas dangkal
m. Tekanan darah menurun
n. Nadi kecil dan cepat
o. Berkeringat dingin
p. Pekak hati menghilang
8. Komplikasi
Menurut (Haryono, 2013) komplikasi potensial Peritonitis yang memerlukan
pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovelmia.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system.
d. Abses residual intraperitoneal
e. Eviserasi luka.
f. Obstruksi usus
g. Oliguri
9. Penatalaksanaan
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
g. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
10. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic
pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang
lebih dari 20.000 /mm3.Sel darah merah mungkin meningkat
menunjukan hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,
eksudat/sekret atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum.
Bila perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada
abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah,
pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.

A. Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan awal dalam proses keperawatan, meliputi identitas klien
(nama, alamat, no. MR, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, data penanggung
jawab dan lain lain (Muttaqin, 2011).
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh klien sebelum masuk ke
rumah sakit. Pada klien dengan peritonitis biasanya didapatkan keluhan utama yang
bervariasi, mulai dari nyeri di bagian perut dan di sertai dengan keluar keringat dingin
(Muttaqin, 2011).
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD)
Biasanya klien berkemungkinan memiliki riwayat pembedahan pada perut ,
memeiliki riwayat penyakit gastro intestinal seperti apendiksitis, memilki riwayat
tertusuk di bagian perut.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang (RKS)
Biasanya klien mengalami nyeri abdomen, mual dan muntah, abdomn
terasa kaku, biasanya di sertai dengan demam, terasa lemah, nyeri tekan pada
abdomen dan berkeringat dingin.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Biasanya klien tidak mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita
penyakit yang sama.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan TTV
a. Biasanya keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat.
b. Biasanya tingkat kesadaran klien composmentis
c. TTV : Biasanya RR meningkat, biasanya tekanan darah naik
2) Kepala
Mengamati bentuk kepala, tidak ada hematoma atau edema, perlukaan
(rincian luka, adanya jahitan, dan kondisi luka).
a) Mata : Biasanya simetris kiri dan kanan, konjungtiva tidak
anemis, dan sklera tidak ikterik
b) Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakan polip dan simetris
kiri dan kanan.
c) Bibir : Biasanya bibir pucat
d) Gigi : Biasanya tidak terdapat karies pada gigi.
e) Lidah : Biasanya klien tidak mengalami pendarahan lidah
3) Leher
Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tyroid atau kelenjar getah bening dan
pembesaran vena leher.
4) Dada / Thorak
1) Inspeksi : Biasanya simetris kiri dan kanan
2) Palpasi : Biasanya fremitus lemah kiri dan kanan
3) Perkusi : Biasanya terdengar sonor
4) Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi vesicular.
5) Jantung
1) Inspeksi : Biasanya letak ictus cordis normal yang berada
pada ICS 5 pada linea medio clavicularis sinistra
selebar 1 cm. Ictus cordis tidak terlihat.
2) Palpasi : Biasanya ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : Biasanya tidak ada nyeri
4) Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat
6) Perut / Abdomen
1) Inspeksi : Biasanya tidak ada pembesaran pada abdomen,
simetris kiri dan kanan
2) Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35
kali/menit.
3) Palpasi : Biasanya tidak adanyeri tekan, tidak ada pembesaan
hepar dan lien.
4) Perkusi : biasanya terdapat nyeri tekan.
7) Genitourinaria
Biasanya tidak terpasang kateter
8) Ekstremitas
Biasanya tidak ada gangguan pada ekstremitas

9) Sistem Integumen
Biasanya warnanya sawo matang, dan tidak ada gatal pada kulit
10) Sistem Neurologi
Biasanya tidak terjadi penurunan kesadaran
d. Data Pola Kebiasaan Sehari-hari
No Data Sehat Sakit
1 Nutrisi :
1. Pola Makan
a. Frekuensi Biasanya 3 x sehari Biasanya 3 x sehari
habis satu porsi habis ¼ porsi
b. Komposisi
Biasanya seperti Nasi, Biasanya seperti
daging, tempe, tahu, Nasi, sayuran,
sayur. bubur, ikan, buah-
c. Jenis buahan.
Biasanya bersifat
Biasanya bersifat
padat
lunak, rendah
d. Kebiasaan
garam dan protein.
Biasanya klien suka
Biasanya klien
mengkonsumsi yang
sering makan
mengandung protein
melebihi jumlah
tinggi seperti ; ayam,
kalori yang
daging, udang,
dibutuhkan.
mengkonsumsi
makanan yang
berlebihan garam,
2. Pola Minum
a. Frekuensi gorengan dan ngemil
seperti biskuit, keripik
b. Jenis kentang dan kue manis
lainnya.
Biasanya 4-
5(+1000-1500)/hari
c. Kebiasaan
Biasanya 6-7 gelas Biasanya air putih
(+1500-1750cc)/hari saja

Biasanya air putih, teh


Biasanya klien
manis dan minuman
hanya sedikit minum
bersoda.
akibat pembatasan
Biasanya klien suka
pemasukan cairan
minum teh manis dan
akibat dari
bersoda dibandingkan
penumpukan cairan
air putih.
dalam tubuh.

2 Pola Eliminasi
1. Miksi
a. Frekuensi Biasanya 7-8 x/hari Melalui uretra 7-
(500-750cc)
8x/hari (+700-
800cc), melalui
nefrostomi ± 500-
b. Jenis Kuning jernih 700cc/hari
c. Kebiasaan Biasanya klien BAK Kuning keruh
Biasanya klien
teratur, 3-5 x/hari
hanya sedikit BAK
2. Defekasi dan kesulitan BAK
a. Frekuensi
1x sehari
b. Warna 1x sehari
Biasanya berwarna
Biasanya berwarna
kuning
kuning kecoklatan
c. Konsistensi Biasanya padat
Biasanya padat
d. Bau Biasanya berbau
Biasanya berbau
menyengat
e. Kebiasaan khas dan
Biasanya klien BAB
menyengat
2xsehari
Biasanya klien
susah BAB, seperti
mengalami diare,
konstipasi dan
pendarahan saluran
cerna.
3 Istirahat dan tidur
a. Siang Biasanya 1-2 jam Biasanya 1-2 jam
perhari perhari
b. Malam
Biasanya tidur nyenyak Biasanya susah
7-8 jam perhari tidur dan sering
c. Kebiasaan Biasanya klien tidak
terbangun
ada mengalami Biasanya klien
gangguan tidur mengalami
kelemahan, malaise,
kelelahan ektrem,
gangguan pola tidur,
gelisah atau
somnolen.
4 Aktivitas sehari-hari dan Biasanya dilakukan Biasanya klien
perawatan diri secara mandiri mengalami
ketidakmampuan
dalam beraktivitas
karena mengalami
gangguan pada
ekstremitas, otot,
dan saraf.

e. Data Sosial Ekonomi


Biasanya klien tidak bisa menjalankan tugasnya sehari-hari karena perawatan
yang lama.
f. Data Psikososial
Biasanya klien mengalami faktor stress contoh: financial, hubungan dan
sebabnya, perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan, menolak,
ansietas, takut,marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian dan perilaku serta
perubahan proses kognitif.
g. Data Spritual
Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan kepercayaan.
h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-
kadang lebih dari 20.000 /mm3.Sel darah merah mungkin meningkat
menunjukan hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,
eksudat/sekret atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus
ileum. Bila perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan
ditemukan pada abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah,
pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.
(Padila, 2012)
2. Diagnosa Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian, data-data yang di dapatkan dalam pengkajian tersebut
dianalisa dan dapat ditegakkan diagnosa keperawatannya sesuai dengan masalah yang
sedang dihadapi klien, maka kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien
dengan peritonitis yaitu :
a) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jarigan
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
c) Devisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan kognitif

3. Rencana Asuhan Keperawatan


No Diagnosa NOC (NANDA,
NIC 2013)
Keperawatan
1 Resiko infeksi Immune Status 1. Pertahankan teknik aseptif
berhubungan
dengan trauma a. Knowledge : Infection 2. Batasi pengunjung bila perlu

jarigan
control 3.Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah indakan
b. Risk control keperawatan Gunakan baju,
sarung tangan sebagai
kriteria hasil:
a) Klien bebas dari tanda alat pelindung

dan gejala infeksi 4. Ganti letak IV perifer dan


dressing sesuai dengan
b) Menunjukkan petunjuk umum
kemampuan untuk
mencegah timbulnya 5. Gunakan kateter intermiten
nfeksi untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
c) Jumlah leukosit dalam
batas normal 6. Tingkatkan intake nutrisi

d) Menunjukkan perilaku 7. Berikan terapi


hidup sehat
8. Monitor tanda dan gejala
e) Status imun, infeksi sistemik dan lokal
gastrointestinal,
genitourinaria dalam 9. Pertahankan teknik isolasi
batas normal k/p

10. Inspeksi kulit dan membran


mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase

11. Monitor adanya luka

12. Dorong masukan cairan

13.Dorong istirahat

14. Ajarkan pasien dan


keluarga tanda dan gejala
infeksi

15. Kaji suhu badan pada


pasien neutropenia setiap 4
jam

2 Nyeri akut a. Pain Level, a. Lakukan pengkajian nyeri


berhubungan secara komprehensif
dengan agen b. pain control, termasuk lokasi,
cidera fisik karakteristik, durasi,
c. comfort level
frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Setelah dilakukan tinfakan

b. Observasi reaksi nonverbal


kriteria hasil:
dari ketidaknyamanan

a. Mampu mengontrol nyeri


c. Bantu pasien dan keluarga
(tahu penyebab nyeri,
untuk mencari dan
mampu menggunakan
menemukan dukungan
tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri,
d. Kontrol lingkungan yang
mencari bantuan)
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
b. Melaporkan bahwa nyeri
pencahayaan dan
berkurang dengan
kebisingan
menggunakan
manajemen nyeri
e. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas,
f. Kaji tipe dan sumber nyeri
frekuensi dan tanda
untuk menentukan
nyeri)
intervensi

d. Menyatakan rasa
g. Ajarkan tentang teknik non
nyaman setelah nyeri
farmakologi: napas dala,
berkurang
relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
e. Tanda vital dalam
rentang normal
h. Berikan analgetik untuk
f. Tidak mengalami mengurangi nyeri:
gangguan tidur
i. ingkatkan istirahat

j. Berikan informasi tentang


nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi ketidak
nyamanan

3 Devisit self care : Activity of Daily Self Care assistane : ADLs


perawatan diri Living (ADLs) a. Monitor kemempuan klien
berhubungan untuk perawatan diri yang
dengan kriteria hasil: mandiri.
gangguan
a. Klien terbebas dari bau b. Monitor kebutuhan klien
kognitif
untuk alatalat bantu untuk
badan
kebersihan diri, berpakaian,
berhias, toileting dan makan.
b. Menyatakan
kenyamanan terhadap
c. Sediakan bantuan sampai
kemampuan untuk
klien mampu secara utuh
melakukan ADLs
untuk melakukan self-care.

c. Dapat melakukan ADLS


d. Dorong klien untuk
dengan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari
yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.

e. Dorong untuk melakukan


secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak
mampu melakukannya.

f. Ajarkan klien/ keluarga


untuk mendorong kemandirian,
untuk memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.

g. Berikan aktivitas rutin


sehari- hari sesuai
kemampuan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang telah
ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal. Tindakan
keperawatan dapat dilaksanakan sebagian oleh pasien itu sendiri, oleh perawat secara
mandiri atau dilakukan secara bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lain,
misalnya ahli gizi atau fisioterapi.
Hal yang akan dilakukan ini sangat bergantung pada jenis tindakan, pada
kemampuan/ keterampilan dan keinginan pasien, serta pelaksanaan keperawatan
bukan semata-mata tugas perawat, tetapi melibatkan banyak pihak. Namun demikian,
yang memiliki tanggung jawab secara keseluruhan adalah tenaga perawat.
Dalam tindakan keperawatan terdiri atas langkah-langkah yang harus dilakukan,
yaitu langkah persiapan dan langkah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan.
a. Langkah persiapan
Pada langkah persiapan, tenaga perawat hendaknya :
a) Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan.
b) Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan.
c) Menyiapkan lingkungan teraupetik, sesuai dengan jenis tindakan yang akan
dilakukan.
b. Langkah pelaksanaan
Pada langkah pelaksanaan, tenaga perawat harus mengutamakan
keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Oleh karena itu, tenaga
perawat harus :
a) Menunjukkan sikap yang meyakinkan
b) Peka terhadap respons pasien dan efek samping dari tindakan keperawatan
yang dilakukan.
c) Melakukan sistematika kerja dengan tepat
d) Mempertimbangkan hukum dan etika
e) Bertanggung jawab dan tanggung gugat
f) Mencatat semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan
Pada waktu perawat memberikan asuhan keperawatan, proses
pengumpulan data dan analisis data berjalan terus menerus guna perubahan dan
penyesuaian tindakan keperawatan. Beberapa faktor dapat mempengaruhi
pelaksanaan kepearawatan, antara lain fasilitas dan alat yang ada,
pengorganisasian pekerjaan perawat, serta lingkungan fisik di mana asuhan
keperawatan dilakukan (Suarli, 2012).
1. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta pengkajian ulang
rencana keperawatan.
Evaluasi bertujuan untuk menentukan kemampuan pasien dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan dan menilai aktifitas rencana keperawatan dan strategi asuhan
keperawatan. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain :
a. Apakah asuhan keperawatan tersebut efektif.
b. Apakah tujuan keperawatan dapat dicapai pada tingkat tertentu.
c. Apakah perubahan pasien seperti yang diharapkan.
d. Strategi keperawatan manakah yang efektif.
Langkah-lagkah yang dilakukan dalam evaluasi adalah :
a. Mengumpulkan data perkembangan pasien.
b. Menafsirkan (menginterprestasikan) perkembangan pasien.
c. Membandingkan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan, dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
d. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang
berlaku.
Ada tiga simpulan dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan sama sekali tidak tercapai
Penilaian tentang perkembangan pasien dibuat melalui observasi, interaksi dan
pemeriksaan oleh tenaga keperawatan, pasien dan keluarga dan anggota tim
kesehatan lainnya.
Apakah kemajuan tidak tercapai sesuai dengan tujuan, tenaga keperawatan
mengkaji ulang dan memperbaiki rencana keperawatan. Evaluasi kemajuan pasien
dapat juga menunjukkan masalah sarana yang perlu dikaji dan direncanakan kembali.
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan, namun tidak berhenti sampai
disini. Evaluasi hanya menunjukkan masalah mana yang telah dapat dipecahkan dan
masalah mana yang perlu dikaji ulang, direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi
kembali. Jadi, proses keperawatan merupakan siklus yang dinamis dan berkelanjutan
(Suarli, 2012).
Istilah SOAP yang sering digunakan dalam evaluasi tersebut memilki pengertian
sebagai berikut :
S Subjektif : Keluhan-keluhan pasien (apa yang dikatakan
pasien)

O Objektif : Apa yang dilihat, dicium, diraba dan diukur oleh


perawat

A Assesment : Kesimpulan perawat tentang kondisi pasien

P Plan of care : Rencana tindakan keperawatan untuk


mengatasi masalah pasien

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC


Corwin, J Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Lintong, Poppy M. 2005. Ginjal Dan Saluran Kencing Bagian Bawah. Bagian Patologi Anatomi
FK UNSRAT, Manado
Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. EGC : Jakarta
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC).
the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Universitas Sumatera Utara. 2011. Bab 2 Tinjuan Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter%20II.pdf.
diakses pada tanggal 12 Desember 2015
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Steinberg
cancer. GD. Bladder
29april 2013
com/article/438262-
overview#aw2aab6b2b7

Anda mungkin juga menyukai