LP Capd Peritonitis PDF
LP Capd Peritonitis PDF
DISUSUN OLEH :
AVIANA EKO WARDANI
150070300113022
PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD)
C. INDIKASI CAPD
- Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
- Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
- Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
- Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
- Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
- Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
D. KONTRAINDIKASI CAPD
- Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
- Adhesi abdominal
- Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
- Pasien dengan imunosupresi
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit
dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang
peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau
ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput
peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus
ditembus sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus
segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita,
minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini masuk, harus di “syphon
off” untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter
untuk menjamin bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol
dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci
harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan
elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek yang
menghubungkan kateter ke alat perangkat.
Memasukkan Cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.
Waktu Tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-
6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang
peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk
pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk
36 jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari
cairan yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24
jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal
secara permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap
akhir. Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4
kali sehari), 7 hari dalam seminggu.
F. PRINSIP-PRINSIP CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari,
dan kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini
pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap
berada dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan
dapat tidur pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60
menit atau lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang
ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode
infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran
dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
3. Kelemahan CAPD
Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
Tabel Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri
Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri (CAPD)
Segi Harus dilakukan di Rumah Sakit, lamanya Dapat dilakukan di
kepraktisan proses 4-5 jam rumah/tempat kerja, lamanya
proses 30 menit
Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu
bulannya akan mencapai akan mencapai sehari penggantian dialisat.
Rp. 4-5 juta Biaya per bulannya
mencapai Rp. 5,5 juta.
Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras darah relatif aman karena
selama proses pencucian darah. Dengan tidak terganggu. Kadar Hb
pengeluaran darah, darah tidak cukup relativ lebih tinggi
aman dari resiko kontaminasi. Butuh dibandingkan dengan
terapi hormon eritropoetin untuk hemodialis, sehingga
mengimbangi penurunan kadar Hb dibutuhkan lebih sedikit
eritroprotein. Namun, CAPD
rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk
menjaga kebersihan
badannya
H. KOMPLIKASI CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
- Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
- Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
- Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
- Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
- Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter
dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut
berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk
menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-
faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen
yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran
melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi
spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang
dapat terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering
dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat
prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus
penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis
kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan
cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema
atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua
hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih
sering dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi
kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal,
diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat
juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Penyakit
c. Riwayat penyakit infeksi
d. Riwayat penykit batu/obstruksi
e. Riwayat pemakaian obat-obatan
f. Riwayat penyakit endokrin
g. Riwayat penyakit vaskuler
h. Riwayat penyakit jantung
i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)
j. Data interdialisis meliputi :
Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana klien
merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa melayang dan tidak
merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik, tidak anemis.
Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang – Berat badan
post hemodialisis yang lalu (Kg).
Kapan terakhir hemodialisis.
k. Keadaan umum klien
Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang – kadang
disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.
l. Pemeriksaan Fisik
Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang – kadang,
disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka tampak sembab,
bau mulut amoniak
Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,
Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi basah/kering,
Edema paru,
Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut pada
kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta
Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit kering dan
bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit
Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas atas/bawah)
Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler
System kardiovaskuler
Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak, berdarah/tidak.
Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah bernapas.
System pernapasan
Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat
beraktifitas.
Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.
Sistem pencernaan
Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa, cegukan,
diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.
Data objektif : cegukan, melena/tidak.
Sistem Neuromuskuler
Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi turun,
insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.
Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak menahan
nyeri.
Sistem genito – urinaria
Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas (pada
wanita).
Data objektif : edema pada system genital.
System psikososial
m. Integritas ego
Stressor : financial, hubungan dan komunikasi
Merasa tidak mampu dan lemah
Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung
n. Perubahan body image
o. Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif
p. Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan perawatannya,
kadang masih kurang.
q. Interaksi social
Denial, menarik diri dari lingkungan
r. Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
c. Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
d. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen
e. Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama pemasangan.
f. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma
Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume
caiaran.
Kriteria Hasil :
1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan negatif).
4. TTV dalam batas normal.
5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.
Intervensi
- Catat volume cairan yang masuk, keluar dan kumulasi keseimbangan
caiaran.
- Berikan jadwal untuk pengaliran dialisat dari abdomen.
- Menimbang berat badan pasien sebelum dan sesudah menjalani dialisat.
- Awasi TD dan nadi. Perhatikan tingginya pulsasi jugular.
- Perhatikan keluhan pusing, mual, peningkatan rasa haus.
- Inspeksi kelembapan mukosa, turgor kulit, nadi perifer dan CRT.
Kolaborasi:
- Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi: natrium serum dan
kadar glukosa.
- Kadar kalium serum.
Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum
Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.
Intervensi
- Biarkan klien mengosonkan kandung kemih, usus untuk menghindari
penusukan organ interna
- Fiksasi keteter dengan plester. Tekankan pentingnya pasien menghindari
penarikan atau pendorongan kateter.
- Perhatikan adanya fekal dalam dialisat atau dorongan kuat untuk defikasi,
disertai diare berat.
- Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin berkemih, atau haluaran urine besar
menyertai berjalannya dialysis awal.
- Hentikan dialysis bila terjadi perforasi usus/kandung kemih. Biarkan
kateter dialysis pada tempatnya.
2. Anatomi Fisiologi
o Rongga mulut
Rongga mulut merupakan awal saluran pencernaan, proses pencernaan dimulai
dengan aktivitas mengunyah dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil dan
dicampur dengan enzim-enzim pencernaan. Di dalam mulut terdapat saliva yang
mengandung mukus yang fungsinya membantu melumasi makanan saat
dikunyah. Kemudian saat makanan ditelan epiglotis bergerak menutup lubang
trakea untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan ke paru-paru sehingga
mengakibatkan bolus makanan berjalan ke dalam esofagus.
o Esofagus
Esofagus memiliki panjang + 25 cm dan terletak di mediastinum rongga thorakal,
anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Otot
halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah
lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses
peristaltik esofagus, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus
makanan masuk ke lambung kemudian sfingter esofagus menutup dengan rapat
untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.
o Lambung
Lambung terletak di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh,
tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantong yang dapat
berdistensi dengan kapasitas + 1.500 ml. Lambung terdiri dari 4 bagian yaitu
kardia (jalan masuk), fundus, korpus, dan pilorus. Lambung mensekresi cairan
yang sangat asam, cairan ini mempunyai pH serendah 1 dan memperoleh
keasamannya dari asam hidrochlorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung.
Fungsi sekresi asam untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih
dapat diabsorbsi dan untuk membantu destruksi bakteri pencernaan. Lambung
dapat menghasilkan sekresi kira-kira 2,4 liter/hari.
o Usus halus
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal
pada pilorus dan berakhir pada sekum, memiliki panjang 2/3 dari panjang total
saluran pencernaan. Bagian permukaan usus halus untuk sekresi dan absorbsi.
Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Duodenum
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm
berbentuk sepatu kuda dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Saluran
empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang
yang disebut ampula hepatopankreatika 10 cm dari pilorus.
b. Yeyunum
Yeyunum menempati 2/5 sebelah atas dari usus halus.
c. Ileum
Ileum menempati 3/5 akhir dari usus halus. Dinding usus halus terdiri atas 4
lapisan yang sama dengan lambung yaitu
Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritoneum yang
membalut usus dengan erat.
Dinding lapisan berotot terdiri atas 2 lapisan serabut yaitu lapisan
luar terdiri atas serabut longitudinal, dan di bawahnya yaitu lapisan tebal
terdiri dari atas serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan serabut berotot
terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe dan plexus saraf.
Dinding sub mukosa, terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang
terdalam yang merupakan perbatasannya. Dinding sub mukosa ini terdiri
dari jaringan areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe,
kelenjar dan plexus saraf yang disebut plexus meissner. Di dalam
duodenum terdapat kelenjar bruner yang mengeluarkan sekret cairan
kental alkali yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari
pengaruh isi lambung yang asam.
Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorbsi khime dari lambung
isi duodenum yaitu alkali.
Empedu
Empedu diperlukan untuk pencernaan lemak yang diemulsikan untuk
membantu kerja lipase. Sifatnya alkali dan membantu membuat makanan
yang keluar dari lambung yang asam menjadi netral. Garam Empedu
mengurangi tegangan permukaan isi usus dan membantu membentuk
emulsi dari lemak yang dimakan.
Pankreas
Getah pankreas berisi tiga jenis enzim pencernaan yang memecah atas 3
jenis makanan. Amilase, mencerna hidrat karbon, mengubah zat tepung
menjadi disakharida. Lipase, ialah enzim yang memecah lemak menjadi
gliserin dan asam lemak. Tripsin, merupakan enzim pembeku susu
mengubah protein menjadi pepton.
o Usus Besar
Usus besar atau kolon memiliki panjang kira-kira 1,5 meter. Refleks gastrokolik
terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltik di dalam usus
besar. Refleks ini menyebabkan defekasi atau pembuangan air besar. Dalam 4
jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis dan dengan
perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup ileosekal. Katup ini secara
normal tertutup, membantu mencegah isi colon mengalir kembali ke usus halus.
Populasi bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri membantu
menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu. Dua jenis sekresi
kolon ditambah pada materi sisa mukus dan larutan elektrolit. Larutan elektrolit
adalah larutan bikarbonat yang bekerja untuk menetralisasi. Prosedur akhir yang
terbentuk melalui kerja bakteri kolonik. Mukus ini melindungi mukosa colon dari isi
interluminal dan juga memberikan perlekatan untuk massa fekal. Aktifitas
peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang
saluran. Gelombang peristaltik kuat intermiten mendorong isi untuk jarak tertentu.
Hal ini terjadi secara umum setelah makanan lain dimakan, bila hormon
perangsang usus dilepaskan. Materi sisa dari makanan akhirnya mencapai dan
mengembangkan anus, biasanya dalam 12 jam. sebanyak seperempat dari materi
sisa dari makanan mungkin tetap berada di rektum selama 3 hari setelah makanan
dicerna.
o Rektum : Defekasi, Faeces dan Flatus
Rektum terletak 10 cm di bawah dari usus besar dimulai pada kolon sigmoideus
dan berakhir pada saluran anal. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga
oleh otot internal dan eksternal. Rektum serupa dengan kolon tetapi dindingnya
yang berotot lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan-lipatan
membujur yang disebut kolumna morgagni. Semua ini menyambung ke dalam
saluran anus. Di dalam saluran anus ini serabut otot sirkuler menebal membentuk
otot sfingter anus internal. Sel-sel yang melapisi saluran anus berubah sifatnya
epitelium bergaris menggantikan sel-sel silinder. Sfingter eksterna menjaga
saluran anus dan orifisium supaya tertutup. Rektum biasanya kosong sampai
menjelang defekasi.
3. ETIOLOGI
Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
4. Patofisiologi
WOC PERITONITIS
6. Klasifikasi
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini
dibagi menjadi dua yaitu:
Spesifik : Seperti Tuberculosa.
Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis. Factor yang
beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis
dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan
kimia. Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses
inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine(Andra & Yessie, 2013)
7. Tanda dan Gejala
Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut :
a. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
b. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
c. Mual dan muntah.
d. Abdomen yang kaku.
e. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot
terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis.
f. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah
putih dan takikardia.
g. Rasa sakit pada daerah abdomen
h. Dehidrasi
i. Lemas
j. Nyeri tekan pada daerah abdomen
k. Bising usus berkurang atau menghilang
l. Nafas dangkal
m. Tekanan darah menurun
n. Nadi kecil dan cepat
o. Berkeringat dingin
p. Pekak hati menghilang
8. Komplikasi
Menurut (Haryono, 2013) komplikasi potensial Peritonitis yang memerlukan
pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovelmia.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system.
d. Abses residual intraperitoneal
e. Eviserasi luka.
f. Obstruksi usus
g. Oliguri
9. Penatalaksanaan
Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
g. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal
10. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic
pada peritonitis adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang
lebih dari 20.000 /mm3.Sel darah merah mungkin meningkat
menunjukan hemokonsentrasi.
b. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan.
c. Amylase serum biasanya meningkat.
d. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada.
e. Kultur, organisme penyebab mungkin teridentifikasi dari darah,
eksudat/sekret atau cairan asites.
f. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum.
Bila perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada
abdomen.
g. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma.
h. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah,
pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.
9) Sistem Integumen
Biasanya warnanya sawo matang, dan tidak ada gatal pada kulit
10) Sistem Neurologi
Biasanya tidak terjadi penurunan kesadaran
d. Data Pola Kebiasaan Sehari-hari
No Data Sehat Sakit
1 Nutrisi :
1. Pola Makan
a. Frekuensi Biasanya 3 x sehari Biasanya 3 x sehari
habis satu porsi habis ¼ porsi
b. Komposisi
Biasanya seperti Nasi, Biasanya seperti
daging, tempe, tahu, Nasi, sayuran,
sayur. bubur, ikan, buah-
c. Jenis buahan.
Biasanya bersifat
Biasanya bersifat
padat
lunak, rendah
d. Kebiasaan
garam dan protein.
Biasanya klien suka
Biasanya klien
mengkonsumsi yang
sering makan
mengandung protein
melebihi jumlah
tinggi seperti ; ayam,
kalori yang
daging, udang,
dibutuhkan.
mengkonsumsi
makanan yang
berlebihan garam,
2. Pola Minum
a. Frekuensi gorengan dan ngemil
seperti biskuit, keripik
b. Jenis kentang dan kue manis
lainnya.
Biasanya 4-
5(+1000-1500)/hari
c. Kebiasaan
Biasanya 6-7 gelas Biasanya air putih
(+1500-1750cc)/hari saja
2 Pola Eliminasi
1. Miksi
a. Frekuensi Biasanya 7-8 x/hari Melalui uretra 7-
(500-750cc)
8x/hari (+700-
800cc), melalui
nefrostomi ± 500-
b. Jenis Kuning jernih 700cc/hari
c. Kebiasaan Biasanya klien BAK Kuning keruh
Biasanya klien
teratur, 3-5 x/hari
hanya sedikit BAK
2. Defekasi dan kesulitan BAK
a. Frekuensi
1x sehari
b. Warna 1x sehari
Biasanya berwarna
Biasanya berwarna
kuning
kuning kecoklatan
c. Konsistensi Biasanya padat
Biasanya padat
d. Bau Biasanya berbau
Biasanya berbau
menyengat
e. Kebiasaan khas dan
Biasanya klien BAB
menyengat
2xsehari
Biasanya klien
susah BAB, seperti
mengalami diare,
konstipasi dan
pendarahan saluran
cerna.
3 Istirahat dan tidur
a. Siang Biasanya 1-2 jam Biasanya 1-2 jam
perhari perhari
b. Malam
Biasanya tidur nyenyak Biasanya susah
7-8 jam perhari tidur dan sering
c. Kebiasaan Biasanya klien tidak
terbangun
ada mengalami Biasanya klien
gangguan tidur mengalami
kelemahan, malaise,
kelelahan ektrem,
gangguan pola tidur,
gelisah atau
somnolen.
4 Aktivitas sehari-hari dan Biasanya dilakukan Biasanya klien
perawatan diri secara mandiri mengalami
ketidakmampuan
dalam beraktivitas
karena mengalami
gangguan pada
ekstremitas, otot,
dan saraf.
jarigan
control 3.Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah indakan
b. Risk control keperawatan Gunakan baju,
sarung tangan sebagai
kriteria hasil:
a) Klien bebas dari tanda alat pelindung
13.Dorong istirahat
d. Menyatakan rasa
g. Ajarkan tentang teknik non
nyaman setelah nyeri
farmakologi: napas dala,
berkurang
relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
e. Tanda vital dalam
rentang normal
h. Berikan analgetik untuk
f. Tidak mengalami mengurangi nyeri:
gangguan tidur
i. ingkatkan istirahat
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana tindakan yang telah
ditentukan, dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal. Tindakan
keperawatan dapat dilaksanakan sebagian oleh pasien itu sendiri, oleh perawat secara
mandiri atau dilakukan secara bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lain,
misalnya ahli gizi atau fisioterapi.
Hal yang akan dilakukan ini sangat bergantung pada jenis tindakan, pada
kemampuan/ keterampilan dan keinginan pasien, serta pelaksanaan keperawatan
bukan semata-mata tugas perawat, tetapi melibatkan banyak pihak. Namun demikian,
yang memiliki tanggung jawab secara keseluruhan adalah tenaga perawat.
Dalam tindakan keperawatan terdiri atas langkah-langkah yang harus dilakukan,
yaitu langkah persiapan dan langkah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan.
a. Langkah persiapan
Pada langkah persiapan, tenaga perawat hendaknya :
a) Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan.
b) Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan.
c) Menyiapkan lingkungan teraupetik, sesuai dengan jenis tindakan yang akan
dilakukan.
b. Langkah pelaksanaan
Pada langkah pelaksanaan, tenaga perawat harus mengutamakan
keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Oleh karena itu, tenaga
perawat harus :
a) Menunjukkan sikap yang meyakinkan
b) Peka terhadap respons pasien dan efek samping dari tindakan keperawatan
yang dilakukan.
c) Melakukan sistematika kerja dengan tepat
d) Mempertimbangkan hukum dan etika
e) Bertanggung jawab dan tanggung gugat
f) Mencatat semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan
Pada waktu perawat memberikan asuhan keperawatan, proses
pengumpulan data dan analisis data berjalan terus menerus guna perubahan dan
penyesuaian tindakan keperawatan. Beberapa faktor dapat mempengaruhi
pelaksanaan kepearawatan, antara lain fasilitas dan alat yang ada,
pengorganisasian pekerjaan perawat, serta lingkungan fisik di mana asuhan
keperawatan dilakukan (Suarli, 2012).
1. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan serta pengkajian ulang
rencana keperawatan.
Evaluasi bertujuan untuk menentukan kemampuan pasien dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan dan menilai aktifitas rencana keperawatan dan strategi asuhan
keperawatan. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain :
a. Apakah asuhan keperawatan tersebut efektif.
b. Apakah tujuan keperawatan dapat dicapai pada tingkat tertentu.
c. Apakah perubahan pasien seperti yang diharapkan.
d. Strategi keperawatan manakah yang efektif.
Langkah-lagkah yang dilakukan dalam evaluasi adalah :
a. Mengumpulkan data perkembangan pasien.
b. Menafsirkan (menginterprestasikan) perkembangan pasien.
c. Membandingkan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan, dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
d. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang
berlaku.
Ada tiga simpulan dalam menafsirkan hasil evaluasi, yaitu :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan sama sekali tidak tercapai
Penilaian tentang perkembangan pasien dibuat melalui observasi, interaksi dan
pemeriksaan oleh tenaga keperawatan, pasien dan keluarga dan anggota tim
kesehatan lainnya.
Apakah kemajuan tidak tercapai sesuai dengan tujuan, tenaga keperawatan
mengkaji ulang dan memperbaiki rencana keperawatan. Evaluasi kemajuan pasien
dapat juga menunjukkan masalah sarana yang perlu dikaji dan direncanakan kembali.
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan, namun tidak berhenti sampai
disini. Evaluasi hanya menunjukkan masalah mana yang telah dapat dipecahkan dan
masalah mana yang perlu dikaji ulang, direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi
kembali. Jadi, proses keperawatan merupakan siklus yang dinamis dan berkelanjutan
(Suarli, 2012).
Istilah SOAP yang sering digunakan dalam evaluasi tersebut memilki pengertian
sebagai berikut :
S Subjektif : Keluhan-keluhan pasien (apa yang dikatakan
pasien)
DAFTAR PUSTAKA
Steinberg
cancer. GD. Bladder
29april 2013
com/article/438262-
overview#aw2aab6b2b7