Anda di halaman 1dari 7

ISSN

Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

RESILIENSI REMAJA BERPRESTASI DENGAN LATAR BELAKANG


ORANG TUA BERCERAI
STUDI KASUS PADA SISWA – SISWI BERPRESTASI DENGAN LATAR BELAKANG ORANG
TUA BERCERAI DI SMA NEGERI 1 MARGAHAYU

OLEH:
SALSABILA WAHYU HADIANTI1, R. NUNUNG NURWATI2, RUDI SAPRUDIN DARWIS3

1
Mahasiswa S1 Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Padjadjaran, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363.
2
Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,
Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363.
3
Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,
Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363.

Swhyhadianti02@gmail.com1,nngnurwati@yahoo.com2,rsdarwis@gmail.com3

ABSTRAK
Perceraian (divorce) dalam hal ini merupakan suatu kejadian yang tentunya tidak dikehendaki oleh suami –
istri, khususnya anak. Perceraian yang dialami oleh orang tua tentunya memberikan konsekuensi atau dampak
yang begitu besar pada kehidupan anak yakni seperti meliputi perasan sedih, ketakutan, depresi, marah,
maupun kebingungan. Dampak perceraian tersebut akan semakin dirasakan ketika anak sudah memasuki
tahap perkembangan remaja. Hal ini karena pada tahap remaja, anak mengalami perkembangan baik secara
kognisi maupun emosi. Selain itu, masa remaja juga dianggap sebagai masa transisi atau masa peralihan dari
masa kanak – kanak menuju masa dewasa. Masa transisi ini tentunya menimbulkan beragam kondisi stress
baik yang berasal dari internal maupun eksternal remaja bersangkutan. Dalam konteks remaja yang
mengalami orang tua bercerai, perceraian orang tua diartikan sebagai salah satu bentuk tekanan yang ditimbul
dari eksternal yang dapat menimbulkan stress bagi remaja. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa remaja
dengan latar belakang orang tua bercerai mengalami beban stress yang lebih besar dibandingkan dengan
remaja yang berasal dari keluarga yang utuh. Beragam tekanan serta dampak yang muncul akibat perceraian
orang tua tentunya memerlukan sebuah strategi yang disebut sebagai kemampuan resiliensi. Pada konteks
remaja berprestasi dengan latar belakang orang tua bercerai telah menunjukan bahwa remaja telah memiliki
kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, bahkan mengalihkan dampak – dampak yang
merugikan akibat perceraian kearah yang positif yakni dengan berprestasi.
Kata kunci : Perceraian, Remaja, Beprestasi, Resiliensi.

ABSTRAC
Divorce is an event which certainly isn’t desired by the husband – wife, especially for children. Divorce giving
the consequences or impact for child's life example like made children feelt sadness, fear, depression, anger,
or confusion. This impact will increasingly be felt when children have entered the stage of adolescents. Because
in this stage, children have experience for developing their cognition or emotion. In addition, adolescence is
also a transitional period. This transition period of course give some conditions of stress that comes from both
internal and external teenagers concerned. In the context of teens who are having divorced parents, divorce
is defined as one form of pressure from external which can cause stress for adolescents. The conclusion is,
that the teenager with a background of divorced parents suffered greater stress loads compared to teenagers
who come from families that are intact. Various pressures and impacts arising out of divorce parents surely
need requires a strategy referred to as the ability of resiliensi. In the context of adolescent overachievers
against a background of divorced parents have shown that teenagers already have the capacity to deal with,

223
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

prevent, minimize, even divert the impact – the impact of the adverse consequences of divorce towards
positive.

Keywoard : Divorce, Adolescene, Achievement, Resilience.

Pendahuluan Selanjutnya Nadeak (2014) menjelaskan


terkait data mengenai struktur keluarga anak nakal
Perceraian (divorce) merupakan suatu
menyebutkan bahwa lebih dari separuh anak nakal
kejadian yang tentunya tidak dikehendaki oleh
berasal dari keluarga yang single parent bahkan
suami – istri, khususnya anak. Dalam persepsi
19,5% berasal dari keluarga broken home. Dengan
anak, perceraian dianggap sebagai sebuah mimpi
banyaknya data – data yang menunjukan bahwa
buruk karena mereka menganggap bahwa
tindakan delikuen pada remaja dipengaruhi oleh
perceraian yang dialami oleh orang tuanya
faktor perceraian, membuat banyak masyarakat
merupakan sebuah tanda kematian bagi keutuhan
menggeneralisasikan bahwa anak dengan latar
keluarganya. Dalam hal ini, perceraian tentunya
belakang orang tua bercerai sudah pasti
menimbulkan konsekuensi yang harus mereka
melakukan tindakan yang menyimpang atau
hadapi yakni menerima kesedihan dan perasaan
dianggap sebagai pelaku kenakalan remaja.
kehilangan yang mendalam akibat perceraian yang
dialami oleh orang tua mereka. Brooks (2011) Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi
menjelaskan bahwa saat terjadinya perceraian adalah seringkali masyarakat memberikan stigma
orang tua, anak memberikan reaksi emosional atau pelabelan tanpa alasan yang jelas dan
yang mana hal ini biasa terjadi pada anak semua dilakukan secara generalisasi. Artinya, masyarakat
usia, mencakup kesedihan, ketakutan, depresi, dalam hal ini memperlakukan anak sesuai dengan
amarah, dan kebingungan. labelnya secara menyeluruh tanpa terkecuali
misalnya sebagaimana yang telah dikemukakan
Perceraian yang dialami oleh orang tua
pada paragraf sebelumnya bahwa masyarakat
tentunya membawa perubahan terhadap struktur
memberikan label kepada anak – anak dengan
dan relasi dalam keluarga. Salah satu perubahan
latar belakang orang tua bercerai sebagai anak
struktur keluarga yang diakibatkan oleh perceraian
yang nakal, padahal sebenarnya tidak semua anak
dan dirasakan oleh anak adalah kondisi dimana
dengan latar belakang orang tua bercerai adalah
anak tidak lagi tinggal bersama kedua orang
anak yang nakal.
tuanya pasca perceraian. Lebih lanjut Ihromi
(1999) menegaskan bahwa pada masa setelah Berangkat dari asumsi tersebut, sebenarnya
perceraian merupakan periode paling sulit bagi diperlukan sebuah pemahaman baru bahwa pada
anak. Kondisi tersebut tentunya menuntut anak kenyataannya tidak menutup kemungkinan
untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya perceraian dapat dipandang dari sisi yang lebih
agar dapat beradaptasi dengan situasi pasca positif. Perceraian yang dialami oleh orang tua
perceraian. dimasa lalu sebenarnya dapat dijadikan motivasi
bagi anak agar terhindar dari pengalaman buruk
Beragam macam persoalan dialami anak
yang dialami oleh orangtuanya dimasa yang akan
pasca terjadinya perceraian orang tua, salah satu
datang. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
permasalahan yang dialami anak pasca terjadinya
Amadea dkk (2015) yang menjelaskan bahwa pada
perceraian adalah stigma masyarakat terhadap
saat remaja dihadapkan oleh situasi kedua orang
anak - anak yang hidup dengan latar belakang
tuanya yang bercerai, maka hal tersebut dapat
orang bercerai. Hingga saat ini, masih banyak
dijadikan motivasi dalam dirinya agar kelak
ditemukan masyarakat yang dengan mudah
kehidupannya di masa depan tidak “gagal” seperti
memberikan stigma atau melakukan pelabelan
orang tuanya.
bahwa tindakan delikuen banyak diakibatkan oleh
anak dengan latar belakang orang tua bercerai. Amanto (2000) menjelaskan bahwa
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kartono perceraian dapat menjadi pengalaman yang
(2014) yang menjelaskan bahwa setiap perubahan memberikan kesempatan anak untuk
dalam relasi personal antara suami istri menjurus mendapatkan kebahagiaan dan menyelamatkan
pada arah konflik dan perceraian, maka perceraian dari lingkungan rumah yang disfungsional. Lebih
merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus lanjut, Baskoro (2008) menjelaskan terkait
– kasus neurotik, tingkah laku a-sosial dan perceraian dapat mendorong anak kearah positif
kebiasaan – kebiasaan delikuen. yakni dimana anak menjadi lebih optimis dalam

224
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

menghadapi masa depannya. Dalam hal ini, anak kesempatan. Pada masa ini anak juga merasakan
dapat memiliki prestasi yang bagus dalam bidang stress karena banyaknya perubahan.
akademiknya serta memiliki kemampuan dalam
Emery (1999) dalam Dewanti dan Suprapti
berorganisasi. Pendapat tersebut tentunya menjadi
mengungkapkan bahwa seiring peningkatan dari
bukti bahwa sebenarnya perceraian tidak selalu
waktu ke waktu setelah perceraian, masa remaja
memiliki dampak buruk bagi anak. Justru
merupakan masa yang paling sulit bagi anak –
sebaliknya, perceraian dapat menjadi dorongan
anak dari keluarga bercerai. Lebih dalam Dewanti
positif bagi anak salah satunya yakni untuk terus
& Suprapti (2014) menjelaskan bahwa ketika orang
berprestasi.
tua bercerai, remaja memiliki tugas yang berat
Barack Husein Obama dan Susilo Bambang untuk menyesuaikan perubahan saat menghadapi
Yudyohono (SBY) merupakan salah satu contoh perceraian orang tua. Sebagaimana telah
potret bagaimana seorang anak dengan latar dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa
belakang orang tua bercerai dapat bangkit dari perceraian dapat dikatakan sebagai situasi sulit
masa lalunya (Fitriana, 2012). Sebagai anak yang bagi seorang anak. Sehingga resiliensi pada remaja
tumbuh dan berkembang dari keluarga yang dengan latar belakang orang tua bercerai sangat
bercerai justru membentuk mereka menjadi pribadi diperlukan.
yang cerdas dan berprestasi sejak muda. Dari
Karakteristik remaja berprestasi dengan
perjalanan dua tokoh terkemuka ini dapat
latar belakang orang tua bercerai dipilih dalam
menunjukan bahwa perceraian yang dialami oleh
proses penelitian ini mengingat bahwa remaja
orang tuanya dimasa lalu tidak serta merta
berprestasi tentunya telah melakukan proses,
membuat mereka terpuruk secara berkepanjangan
mengembangkan kapasitas atau kemampuan
atau melakukan tindakan yang bersifat delikuen.
dalam dirinya untuk melakukan penyesuaian pasca
Kemampuan dua tokoh tersebut untuk dapat kejadian perceraian yang dialami oleh orang
bangkit dari keterpurukan dari situasi sulit akibat tuanya. Selain itu, hal tersebut juga telah
perceraian orang tua dapat disebut sebagai menunjukan bahwa anak memiliki kapasitas untuk
kemampuan resiliensi. Lebih lanjut Reivich & menghadapi, mencegah, meminimalkan, bahkan
Shatte dalam Dewanti & Suprapti (2012) mengalihkan dampak – dampak yang merugikan
menjelaskan bahwa resiliensi dapat diartikan yang diakibatkan oleh perceraian kearah yang lebih
sebagai kemampuan untuk mengatasi dan positif, yakni dengan cara berprestasi.
beradaptasi ketika menghadapi kejadian yang Sebagaimana yang dikemukakan oleh Linquanti
berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. dalam Masdianah (2010) menjelaskan bahwa
dengan adanya resiliensi walaupun anak
Kemampuan resiliensi dalam hal ini juga diperlukan
dihadapkan dengan kejadian – kejadian yang tidak
dalam mengatasi dampak perceraian orang tua,
menyenangkan ia tidak mengalami kegagalan
mengingat perceraian merupakan salah satu hal
dalam hal akademisnya. Keterkaitan antara
yang sulit diterima oleh anak. Hal yang sama juga
perceraian, resiliensi, dan kemampuan berprestasi
dikemukakan oleh Woolfolk (2008) yang
pada anak dengan latar belakang orang tua
menjelaskan bahwa perceraian adalah sesuatu
bercerai juga diungkapkan pada artikel yang ditulis
yang tidak mudah bagi anak khususnya bagi
oleh Octaria dkk. Octaria dkk (2007) menjelaskan
remaja. Untuk itu dengan adanya kemampuan
pada contoh anak yang orang tuanya bercerai
resiliensi seseorang diharapkan dapat melewati
sebanyak 75% dari mereka mampu bangkit dan
perubahan dan tekanan hidup yang dialaminya
berprestasi.
secara lebih efektif, termasuk dalam proses
melewati kondisi pasca perceraian orang tua.
Subjek penelitian yang dipilih dalam proses Perceraian
penelitian ini adalah remaja. Remaja dipilih
Perceraian dapat diartikan sebagai
menjadi subjek penelitian mengingat masa remaja
berakhirnya atau putusnya hubungan antara suami
merupakan masa transisi dimana anak mengalami
– istri. Perceraian dalam hal ini, merupakan pilihan
banyak perubahan dalam hidupnya. Pada masa ini
terakhir ketika konflik rumah tangga tidak dapat
anak dirasa sudah mampu menganalisis
ditangani oleh kedua belah pihak yakni suami –
pemikirannya sendiri, mengetahui perasaannya,
istri. Lembaga Demografi Universitas Indonesia
dan memberikan reaksi mereka terhadap orang
(1981:154-155) menjelaskan bahwa perceraian
lain. Brooks (2011) menjelaskan bahwa masa
banyak dipengaruhi oleh faktor demografi lainnya,
remaja merupakan periode kerentanan dan

225
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

seperti umur, kelompok etnik, asal daerah, kota, kapasitas resiliensi, dan karakteristik individu yang
desa dan sebagainya. Faktor yang menjadi resilien.
penunjang dari perkawinan dan perceraian antara
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan
lain kondisi ekonomi, pendidikan, dan faktor legal
pada paragraf sebelumnya, maka tujuan dari
atau tidaknya perkawinan dan perceraian. Faktor
penelitian ini yakni sebagai berikut :
lamanya perkawinan sangat penting dalam
menghitung potensi dan stabilitas perkawinannya. 1. Untuk menggambarkan bagaimana
sumber – sumber pembentukan resiliensi
pada remaja berprestasi dengan latar
Masa Remaja belakang orang tua bercerai;
Masa remaja merupakan masa transisi dari 2. Untuk mengambarkan bagaimana faktor –
masa kanak – kanak menuju masa dewasa. Pada faktor yang mempengaruhi resiliensi pada
masa ini terjadi perubahan pada diri anak meliputi remaja berprestasi dengan latar belakang
aspek biologis, psikologi, sosial, dan spiritual. orang tua bercerai;
Mengutip pendapat Hurlock (1991) dijelaskan
bahwa masa remaja (adolescene) memiliki makna
yang lebih luas mencakup kematangan mental, Metode
emosional, sosial dan fisik. Lebih lanjut mengutip
Metode yang digunakan dalam proses
pendapat Hill (Hill dalam Jatnika, 2016) dijelaskan
penelitian ini adalah studi literatur, yakni dalam
bahwa terdapat tiga hal yang membedakan remaja
proses penghimpunan data dan sumber – sumber
dari kelompok usia lainnya, diantaranya diawali
yang berhubungan dengan topik yang dikaji
dengan kemunculan pubertas, berkembangannya
didapat peneliti melalui berbagai sumber yakni
kemampuan berfikir, dan pergeseran menuju
seperti jurnal, buku dokumentasi, internet,
peran baru dalam masyarakat dimana perubahan
maupun pustaka.
dalam perkembangan seorang remaja merupakan
hasil dari proses biologis (fisik), kognitif dan sosial
yang saling terikat dan mempengaruhi.
Hasil dan Pembahasan
Ketika orang tua bercerai, anak seringkali
Resiliensi menjadi korban. Dampak yang ditimbulkan dari
perceraian orang tua tentunya berpengaruh pada
Resiliensi dalam hal ini dapat didefinisikan
kehidupan atau perkembangan anak dan dapat
sebagai kemampuan atau kapasitas, proses, serta
mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial
hasil adaptasi seseorang terhadap perubahan,
dan spiritual anak. Sebagaimana yang
tekanan, atau kekecewaan yang dialaminya
dikemukakan oleh Hutchinson dalam Apsari (2015)
dengan cara yang lebih positif. Resiliensi juga
terkait pengaruh perceraian merupakan salah satu
dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
faktor penghambat perkembangan anak :
dapat bangkit kembali setelah mengalami situasi
traumatis. Lebih lanjut Petranto (2005) “Selain orang tua, ada juga faktor lain yang
menjelaskan bahwa resiliensi adalah seberapa dapat menjadi faktor – faktor resiko yang
tinggi daya tahan seseorang dalam menghadapi dapat menghambat perkembangan anak,
stress dan kesengsaraan dan ketidakberuntungan. diantaranya adalah kemiskinan, disiplin yang
Sedangkan menurut Grotberg dalam Desmita tidak efektif, perceraian dan kekerasan.”
(2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah (Apsari, 2015 : 35)
kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki
Kemampuan resiliensi dalam hal ini sangat
seseorang, kelompok, atau masyarakat yang
diperlukan dalam mengatasi dampak perceraian
memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,
orang tua, mengingat perceraian merupakan salah
meminimalkan dan bahkan menghilangkan
satu hal yang sulit diterima oleh anak. Hal yang
dampak – dampak yang merugikan dari kondisi –
sama juga dikemukakan oleh Woolfolk (2008) yang
kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan
menjelaskan bahwa perceraian adalah sesuatu
mengubah kondisi kehidupan yang
yang tidak mudah bagi anak khususnya bagi
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar
remaja. Untuk itu dengan adanya kemampuan
untuk diatasi. Resiliensi dalam hal ini terbagi
resiliensi seseorang diharapkan dapat melewati
menjadi sumber – sumber pembentukan resiliensi,
perubahan dan tekanan hidup yang dialaminya
faktor – faktor yang mempengaruhi resiliensi,

226
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

secara lebih efektif, termasuk dalam proses Faktor – Faktor yang Mempengaruhi
melewati kondisi pasca perceraian orang tua. Resiliensi
Penelitian ini mencoba mengkaji terkait Everal Robbin (2006) menjelaskan terdapat
bagaimana sumber – sumber resiliensi dan faktor tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yakni
– faktor yang mempengaruhi resiliensi yang dimiliki faktor individual, faktor keluarga, faktor komunitas.
anak berprestasi dengan latar belakang orang tua Masih mengambil contoh kasus yang sama yakni
bercerai. Pola – pola tersebut tentunya dapat BIART ketiga faktor tersebut digambarkan sebagai
menuntun kita untuk dapat memahami tentang berikut :
bagaimana seorang remaja dengan latar belakang
1. Faktor individual : dalam hal ini
orang tua bercerai dapat bangkit dari tekanan
BIART menunjukan bahwa dirinya telah
hidup yang ditimbulkan akibat perceraian,
kapasitas kemampuan untuk
meminimalkan dampak, bahkan mengalihkan
mengembangkan dirinya, selain itu dari
dampak – dampak yang merugikan akibat
hasil penelitian menunjukan bahwa BIART
perceraian dengan cara yang lebih positif yakni
memiliki kemampuan interpersonal yang
dengan berprestasi.
baik.
2. Faktor keluarga, pasca terjadinya
Sumber – Sumber Pembentukan Resiliensi perceraian orang tua BIART diasuh oleh
neneknya, selain itu hubungan yang
Sumber – sumber pembentukan resiliensi
antara BIART dan ayah ibunya terbangun
menurut Grotberg (1995) menjadi tiga bagian
dengan baik pasca terjadinya perceraian.
yakni I am, I have, dan I can. Dengan mengambil
contoh kasus seorang remaja dengan latar 3. Faktor komunitas, yakni dengan mengikuti
belakang orang tua bercerai, yakni berinisial BIART kegiatan komunitas yang bermanfaat.
dalam penelitian yang ditulis oleh Patrcia (2016)
peneliti mencoba menggambarkan tentang
bagaimana sumber – sumber pembentukan Simpulan/ Rekomendasi
resiliensi pada diri remaja dengan latar belakang
Resiliensi dalam hal ini memiliki fungsi bagi
orang tua bercerai yang selanjutnya dijelaskan
kehidupan manusia antara lain untuk mengatasi,
sebagai berikut :
melewati, serta bangkit dari situasi menekan;
1. I am : Yakin dengan kemampuan yang mengalihkan dampak negatif dari situasi yang
dimiliki; penuh harapan dan keinginan; menekan menjadi dampak yang positif; serta guna
selalu menganggap orang lain sebagai mencapai kehidupan yang lebih baik.
teman; yang terpenting adalah sikapnya
Resiliensi tentunya sangat diperlukan dan
terhadap orang lain; memiliki gambaran
perlu untuk dikembangkan ketika seorang anak
diri yang positif.
atau remaja dihadapkan pada kondisi perceraian
2. I have : Ada keterlibatan nenek; orang tua. Hal ini karena, dengan adanya resiliensi
lingkungan yang mendukung; memiliki dampak – dampak negatif yang ditimbulkan akibat
sumber dukungan lain seperti ibu, pacar, perceraian dapat terminimalisir, selain itu anak
dan teman; ada peraturan dari ibu dalam atau remaja dapat mengembangkan dirinya ke
bergaul dan beribadah; dukungan dari arah yang lebih positif.
pasangan; mengikuti komunitas yang
Kemampuan resiliensi pada remaja dengan
bermanfaat; sumber ekonomi dan akses
latar belakang orang tua bercerai tidak semata –
layanan kesehatan terpenuhi.
mata terbentuk secara tiba – tiba. Dalam hal ini
3. I can : Mampu secara akademik; diperlukan sistem sumber yang dapat mendukung
mampu beradaptasi; memiliki tujuan proses terbentuknya resiliensi, diantaranya yakni
dalam hidup; mampu memahami perasaan baik yang terbentuk dalam diri sendiri, lingkungan
dan mengatasinya; berupaya untuk keluarga, maupun lingkungan sosial. Maka
mengubah sesuatu; memiliki berbagai cara berdasarkan asumsi tersebut selanjutnya peneliti
untuk mengatasi masalah; dan mampu merekomendasikan beberapa hal yang bertujuan
menerima keadaan. untuk meningkatkan resiliensi pada remaja, yakni
sebagai berikut :

227
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

1. Remaja dengan latar belakang orang tua 7. Dr. R. Nunung Nurwati., Dra., M.S selaku
bercerai harus meyakini bahwa terdapat dosen pembimbing yang senantiasa
potensi yang besar dalam dirinya untuk memberikan masukan dan semangat
dikembangkan. Dengan tergalinya penulis agar dapat menyelesaikan tugas ini
kemampuan resiliensi ini tentunya dapat dengan baik;
dijadikan sebagai kekuatan (strength)
8. Dr. Rudi Saprudin Darwis., S.Sos., M.Si
yang dapat mendorong peningkatan
selaku dosen pembimbing yang senantiasa
kualitas hidup dan menghindari anak
memberikan masukan dan semangat
dalam melakukan tindakan menarik diri
penulis agar dapat menyelesaikan tugas ini
dari lingkungannya maupun menyalahkan
dengan baik;
diri sendiri (self blaming) atas perceraian
yang terjadi pada orangtua yang berujung 9. Dosen Mata Kuliah Penelitian Pekerjaan
pada tindakan kenakalan remaja. Sosial;
2. Perlunya pemahaman pada orang tua 10. Teman-teman yang selalu setia membantu
tentang bagaimana cara meningkatkan dalam hal mengumpulkan data-data dalam
resiliensi pada anak. Karena dengan pembuatan artikel ini;
begitu, orang tua dapat memberikan
perhatian penuh kepada anak sebagai
bentuk dukungan sosial bagi anak ketika
anak mengalami hambatan atau
DAFTAR PUSTAKA
menghadapi tekanan – tekanan baik dari
lingkungan internal maupun eksternal Buku
yang disebabkan oleh dampak perceraian
Apsari, Nurliana Cipta. 2015. Hak Anak Perspektif
itu sendiri.
Pekerjaan Sosial. Sumedang: Unpad Press.
3. Diperlukannya layanan khusus yang
Baskoro, A.K. 2008. Hubungan Antara Persepsi
diberikan oleh guru konseling sekolah pada
Terhadap Perceraian Orang Tua Dengan
anak dengan latar belakang orang tua
Optimisme Masa Depan Pada Remaja Korban
bercerai. Pelayanan ini diakankan
Perceraian. Surakarta : Universitas
bertujuan untuk memberikan perhatian
Muhammadiyah.
penuh sebagai bentuk dukungan sosial
bagi anak ketika anak mengalami Brooks, Jane. 2011. The Process of Parenting.
hambatan atau menghadapi tekanan – Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
tekanan baik dari lingkungan internal
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung
maupun eksternal pasca terjadinya
: PT. Remaja Rosda Karya.
perceraian.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta
4. Diharapkan melalui penelitian ini
Didik. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
masyarakat tidak lagi melakukan proses
pelabelan atau generalisasi terhadap anak Fitriana, Rika. 2012. Skripsi: Memahami
dengan latar belakang orang tua bercerai, Pengalaman Komunikasi Remaja Broken Home
karena hal tersebut dapat mempengaruhi dengan Lingkungannya dalam Membentuk
kepribadian atau perkembangan anak – Konsep Diri. Semarang: Universitas
anak dengan latar belakang orang tua Diponegoro.
bercerai.
Grotberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience
in Children : Strengthening The Human Spirit.
America : Benard Van Leer Foundation.
UCAPAN TERIMAKASIH
Hurlock, E.B. 1990. Psikologi Perkembangan.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih
Jakarta : Erlangga.
kepada pihak – pihak yang membantu kelancaran
penyusunan artikel ini: Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi
Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
6. Orangtua penulis yang senantiasa
memberikan semangat dan dukungannya;

228
ISSN
Jurnal Penelitian & PKM Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
2442-448X (p), 2581-1126 (e)

Jatnika, Dyana C & dkk. 2016. Pekerjaan Sosial Amadea, Trizilvania Aziza dkk. (n,d).
Koreksional Kasus Proses Integrasi Anak Didik Perkembangan Perilaku Kepribadian Remaja
LPKA Ke Masyarakat. Bandung : Unpad Press. Dengan Latar Belakang Kedua Orang Tua
Bercerai. Jurnal Vol. 2 No.3 Hal. 301 – 444.
Kartono, Kartini. 2014. Patologi Sosial 2 Kenakalan
Remaja. Jakarta : PT. Grafindo Persada. Atmanto, P.R. 2000. The Consequences of Divorce
for Adults and Childrens. Journal of The
Lembaga Demografi UI. 1981. Dasar – Dasar
Marriage and The Family. Vol. 62, No. 4 p. 1269
Demografi. Jakarta : Fakultas Ekonomi UI.
– 1287.
Patricia. 2016. Skripsi : Resiliensi Remaja yang
Dewanti, Ayu., Veronika Suprapti. 2014. Resiliensi
Orang Tuanya Bercerai. Yogyakarta :
Remaja Putri Terhadap Problematika Pasca
Universitas Sanata Darma.
Orang Tua Bercerai. Jurnal Psikologi Pendidikan
Raharjo, ST. 2015. Assessment untuk Praktik dan Perkembangan Vol. 3 No.3 Desember 2014.
Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Hal 164 – 171.
Bandung: Unpad Press
Nadeak, Tiara Farita S., dkk. 2014. Fenomena
_________, 2015. Dasar Pengetahuan Pekerjaan
“Anak Nakal” di Rungkut Surabaya. Jurnal Vol.
Sosial. Bandung: Unpad Press.
02 No. 02 Tahun 2014.
_________, 2015. Keterampilan Pekerjaan Sosial:
Dasar-dasar. Bandung, Unpad Press.
Woolfolk, Anita. 2008. Educational Psychology. Artikel
USA: Pearson Education, Inc.
Octaria, Andini dkk. 2007. Gambaran Resiliensi dan
Faktor – Faktor Pendukung Resiliensi.
Jurnal

229

Anda mungkin juga menyukai