Anda di halaman 1dari 13

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELL’S PALSY DEXTRA

DENGAN MODALITAS INFRARED, ELECTRICAL STIMULATION


DAN MIRROR EXERCISE DI RSUD SALATIGA

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Diploma III

Pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:
HANIF KURNIAWAN
J100 140 019

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
HALAMAN PERSETUJUAI{
PENATALAKSANAAIY FISIOTERAPI PAI}A BELL'S PALSY DEXTRA
DENGAI{ MODALITAS INFRARED, ELECTRICAL STIMTTI.,ATION
DAN MIRROft EXERCISE DI RSUD SALATIGA

Maskun Pudjianto, SMPh., M.Kes


HALAMAN PENGESAHAN
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PAI}A BELL'S PALSY DEXTRA
DENGAF{ MODALITAS INFRARE D, ELEC TRICAL S TIMUL/ITI ON
DAN MIfiROR EXERCISE DI RSUD SALATIGA

PUBLIKASI ILMIAH
Oleh:
HANIF KURNIAWAN
Jl00140019

Telah dipertahankan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah SurakartapadaHari Kamis, 06 Juli 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan penguji :

1. Maskun Pudjianto, SMPH., M.Kes


2. Umi Budi Rahayu, S.Fis., M.Kes
3. Agus Widodo, S.Fis., M.Fis

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Surakarta
#uh€mmadiyah

SKM., M.Kes)
NrK.786/ NIDN. 0617 tl 7301
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak
terdapat karya yang permah diajukan untuk memperoleh gelar diploma di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kcuali secara tertulis

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.


Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,
maka akan saya pertanggung jawabkan sepenuhnya.

Surakarta,06 Juli 2017


Penulis,

&*
Hanif Kurniawan

111
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELL’S PALSY DEXTRA
DENGAN MODALITAS INFRARED, ELECTRICAL STIMULATION
DAN MIRROR EXERCISE DI RSUD SALATIGA

Abstrak
Latar Belakang: Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut yang terjadi pada bagian
saraf wajah yang tidak diketahui penyebabnya. Bell’s palsy ditandai dengan
timbulnya nyeri yang bevariasi di sekitar telinga ipsilateral yang diikuti dengan
adanya kelemahan pada otot-otot wajah dalam waktu beberapa jam atau hari.
Penyakit ini dapat berulang atau kambuh dan dapat menyebabkan kelemahan atau
paralisis. Modalitas fisioterapi yang digunakan yaitu infrared, electrical
stimulation dan mirror exercise.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian infrared dapat mengurangi spasme
pada wajah, mengetahui apakah pemberian electrical stimulation dapat membantu
meningkatkan kekuatan otot dan apakah pemberian mirror exercise dapat
meningkatkan kekuatan otot – otot wajah serta memperbaiki kemampuan
fungsional pasien.
Hasil: Setelah dilakukan 6 kali terapi diperoleh hasil (1) terlihat bahwa pada T1
terjadi spasme berat, lalu spasme pasien berkurang setelah dilakukan interfensi
terapi pada T4 dimana spasme otot wajah sebelah kiri mulai melunak (tidak
terlalu kaku), (2) terjadi peningkatan kekuatan otot pada otot M. Frontalis (T1=1 –
T6 =3) dan M. Nasalis (T1=1 – T6 = 3), (3) terjadi peningkatan kemampuan
fungsional otot tersenyum (T1= 9 – T6= 21).
Kesimpulan: Penatalaksanaan fisioterapi pada Bell’s Palsy dextra dengan
modalitas infrared, electrical stimulation dan mirror exercise di RSUD Salatiga
cukup mengalami perubahan, ditandai dengan adanya peningkatan pada beberapa
aspek (tersenyum, spasme, otot M. Frontalis dan M. Nasalis).
Kata Kunci: bell’s palsy, mirror exercise, spasme, electrical stimulation.

Abstract
Background: Bell’s pasly is an acute paralysis that occurs in the unknown part of
the facial nerve. Bell's palsy is characterized by the onset of pain that varies
around the ipsilateral ear followed by a weakness in the facial muscles within a
few hours or days. The disease can be recurrent or recurrent and may cause
weakness or paralysis. Physiotherapy modality used is infrared, electrical
stimulation and mirror exercise.
Purpose: To know if infrared can reduce facial spasm, to know whether electrical
stimulation can help increase muscle strength and whether giving mirror exercise
can improve facial muscle strength and improve patient functional ability.
Result: After 6 therapy result (1) showed that on T1 serious spasm happened, then
spasm of patient decreased after therapy intervention on T4 where left facial
muscle spasm started to soften, (2) some muscles are increase, M. Frontalis (T1 =
1 - T6 = 3) and M. Nasalis (T1 = 1 - T6 = 3), (3) muscle functional capacity (T1 =
9 - T6 = 21) is increased.
Conclusion: The management of physiotherapy in Bell's Palsy dextra with
modality of infrared, electrical stimulation and mirror exercise in RSUD Salatiga
51
is quite change, marked by an increase in some aspects (smile, spasm, muscle M.
Frontalis and M. Nasalis).
Keywords: bell's palsy, mirror exercise, spasm, electrical stimulation.

1. PENDAHULUAN
Kecantikan dan ketampanan adalah idaman setiap manusia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa hal tersebut dapat meningkatkan rasa percaya diri. Berbagai
cara dilakukan guna memperbaiki penampilan hal tersebut, seperti perawatan
di klinik, dokter dan operasi plastik. Anggaran yang besar pun tidak menjadi
masalah, asalkan penampilan mereka menjadi lebih menarik. Banyaknya
permasalahan untuk mempercantik diri menjadi tantangan bagi beberapa
pihak. Salah satunya ialah penyakit bell’s palsy.
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem
saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya (Lowis, 2012). Bell’s
palsy adalah kelumpuhan akut yang terjadi pada bagian saraf wajah yang tidak
diketahui penyebabnya. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang
menyebabkaan kelemahan atau paralisis, tidak simetrisnya kekuatan pada
kedua sisi wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini
sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri.
Wajah kelihatan tidak simetris karena mulut mencong, mata tidak bisa
berkedip, mata berair, dan lain – lain (Attaufiq, 2011).
Kelainan tersebut bisa terjadi akibat dari kelainan traumatis, infeksi,
tekanan, inflamasi atau kelainan metabolik yang menyerang saraf dibagian
wajah, predisposisi genetik, dan reaksi autoimun (Chintami, 2017). Penyakit
ini dapat berulang atau kambuh dan dapat menyebabkan kelemahan atau
paralisis.
Prevelensi bell’s palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data
yang dikumpulkan dari empat rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada
usia 21 – 50 tahun. Peluang untuk terjadinya pada wanita dan pria sama. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
62
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin
berlebihan (Annisilva, 2010).
Bell’s palsy ditandai dengan timbul nyeri yang bevariasi di sekitar
telinga ipsilateral yang diikuti dengan adanya kelemahan pada otot-otot wajah
dalam waktu beberapa jam atau hari. Dahi tidak dapat dikerutkan, mulut
tampak mencong terlebih pada saat tersenyum lebar atau meringis, kelopak
mata tidak dapat dipejamkan, dan saat pasien disuruh menutup kelopak
matanya maka bola mata tampak berputar keatas (tanda bell). Pasien tidak
dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar
melalui sisi mulut yang lumpuh (Harsono, 2007).
Peran seorang fisioterapi pada kasus bell’s palsy yakni mengurangi
spasme pada otot wajah, membantu meningkatkan kekuatan otot wajah dan
memperbaiki kemampuan fungsional pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa modalitas (interfensi fisioterapi), diantaranya infrared, electrical
stimulation dan mirror exercise.
Tujuan penatalaksanaan pada bell’s palsy dextra adalah untuk
mengetahui apakah pemberian infrared dapat mengurangi spasme pada wajah,
apakah pemberian electrical stimulation dapat membantu meningkatkan
kekuatan otot dan apakah pemberian terapi latihan (mirror exercise) dapat
meningkatkan kekuatan otot – otot wajah serta memperbaiki kemampuan
fungsional pasien.

2. METODE PENELITIAN
Penatalaksanaan fisioterapi dilakukan 6 kali terapi di RS Ortopedi Prof.
Dr Soeharso Surakarta dengan pasien atas nama Ny. S umur 75 tahun
diagnosa bell’s palsy dextra. Modalitas yang digunakan terapis adalah
infrared, electrical stimulation dan terapi latihan (mirror exercise).
Infrared adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang 7700 - 4 juta Amstrong. Infrared yang sering digunakan proses
terapi adalah infrared tipe non luminous, dimana lebih dominan dalam

73
memancarkan sinar infrared sehingga pengobatan jenis ini sering disebut
infrared radiation.
Efek-efek fisiologis yang dihasilkan oleh IR secara umum antara lain (1)
meningkatkan proses metabolisme, (2) vasodilatasi pembuluh darah, (3)
pigmentasi, (4) dapat mempengaruhi urat saraf sensoris, (5) mempengaruhi
jaringan otot, (6) dapat menyebabkan destruksi jaringan, (7) menaikkan
temperatur tubuh, (8) mengaktifkan kerja kelenjar keringat. Sedangkan efek
terapeutik yang dihasilkan dari pemberian IR antara lain (1) mengurangi atau
menghilangkan nyeri, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan suplai darah dan (4)
menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Sujatno, dkk, 2007).
Elektrical stimulation yang digunakan pada kasus ini menggunakan arus
faradik. Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetris yang
mempunyai durasi 0,01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik. Arus faradik
pada umumnya dimodifikasi ke dalam bentuk urged atau interuped (terputus –
putus), (Clayton, 1981).
Metode pelaksanaan terapi arus faradik dapat dilakukan melalui metode
stimulasi motor point. Keuntungan menggunakan metode motor point ini
bahwa masing – masing otot berkontraksi sendiri dan kontraksinya maksimal.
Sedangkan kerugian metode ini apabila otot yang dirangsang banyak, maka
sulit untuk mendapatkan jumlah kontraksi yang cukup untuk masing – masing
otot. Dosis terapi yang dianjurkan untuk stimulasi listrik pada otot adalah 30 –
90 kali kontraksi dengan istirahat tiap 30 kontraksi otot untuk menghindari
kelelahan otot (Utami, 1992).
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang
menggunakan cermin yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan
pada wajah baik secara aktif maupun pasif. Pada kondisi bell’s palsy, latihan
yang dilakukan di depan cermin akan memberikan biofeedback, yang
dimaksud dengan biofeedback adalah disini adalah mekanisme kontrol suatu
sistem biologis dengan memasukkan kembali keluaran yang dihasilkan dari
sistem biologis tersebut, dengan tujuan akhir untuk memperoleh keluaran baru
yang lebih menguntungkan sistem tersebut (Widowati, 1993).
84
Melalui latihan di depan cermin pasien dapat dengan mudah mengontrol
serta mengkoreksi gerakan yang dilakukan. Latihan yang dapat diberikan pada
pasien antara lain mengangkat alis, mengkerutkan dahi, menutup mata,
tersenyum, dan bersiul.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengurangan spasme dengan palpasi
Tabel 1. Hasil pemeriksaan pengurangan spasme
Terapi Palpasi
T1 2
T2 2 Keterangan : 2 : spasme berat
T3 1 1 : spasme sedang
T4 1 0 : spasme tidak ada
T5 1
T6 1
Dari data diatas terlihat bahwa pada T1= 2 terjadi spasme berat,
dimana terasa sekali spasme yang terjadi pada otot wajah sebelah kiri.
Tingkatan spasme pasien berkurang setelah dilakukan interfensi terapi
pada T4 = 1 dimana spasme otot wajah sebelah kiri mulai melunak (tidak
terlalu kaku).
Spasme otot terjadi karena proteksi karena adanya nyeri. Reaksi
proteksi lain adalah penderita berusaha menghindari gerakan yang
menyebabkan nyeri. (M Yusdiana, 2015). Menurut Singh (2012),
pengobatan infrared yang menghasilkan panas, memberi efek pada
superficial dermis dan epidermis, yang akan menghasilkan vasodilatasi
sehingga terjadi peningkatan sirkulasi darah. Dampak selanjutnya dari
hal ini adalah terjadi peningkatan supplay oksigen dan nutrisi yang lebih
pada daerah yang disinari. Dengan adanya pemberian infrared, maka
dapat meningkatkan proses metabolisme seperti yang telah dikemukakan
oleh hukum Van’t Hoff bahwa suatu reaksi kimia dapat dipercepat

95
dengan adanya panas atau adanya kenaikan temperatur akibat terjadinya
pemanasan (Merry, 2015)
3.2 Peningkatan Kekuatan Otot dengan MMT
Tabel 2. Hasil pemeriksaan peningkatan kekuatan otot
Nama Otot T1 T6
M. Frontalis 1 3
M. Corrugator supercili 1 1
M. Orbicularis oculli 3 3
M. Nasalis 1 3
M. Zigomaticum 3 3
M. Orbicularus oris 1 3
Dari data diatas didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan pada
otot M. Frontalis (T1=1 – T6 =3), M. Nasalis (T1=1 – T6 = 3). Pada M.
Currugator Supercili (T1=1 – T6=1), M. Orbicularis Oculi (T1=3 –
T6=3), M. zigomaticum (T1=3 – T6=3) dan M. Bucinator (T1=3 –
T6=3).
Menurut Singh (2005), Faradik (electrical stimulation) akan
menimbulkan efek terapiutik berupa fasilitasi kontraksi otot, melatih
kerja otot, dan melatih kerja otot baru. Hal ini sangat membantu
peningkatan kekuatan otot pada pasien bell’s palsy. Karena rangsangan
arus faradik yang berulang dapat melatih otot yang lemah guna
melakukan gerakan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan kontraksi
otot sesuai dengan fungsinya
3.3 Kemampuan Fungsional dengan Ugo Fisch
Tabel 3. Hasil pemeriksaan kemampuan fungsional otot
Kriteria T1 T6
Istirahat diam 70% x 20 = 14 70% x 20 = 14
Menggerakkan dahi 30% x 10 = 3 30% x 10 = 3
Menutup mata 30% x 30 = 9 30% x 30 = 9
Tersenyum 30% x 30 = 9 70% x 30 = 21

10
6
Bersiul 30% x 10 = 3 30% x 10 = 3
Jumlah 38 47
Dari data diatas didapatkan hasil dari tersenyum (T1= 9 – T6= 21).
Sedangkan pada posisi menggerakkan dahi (T1=3 – T6=3), istirahat diam
(T1=14 – T6=14), bersiul (T1=3 – T6=3). Hal tersebut terjadi
peningkatan kemampuan fungsional otot wajah karena diberikan
modalitas mirror exercise.
Mirror exercise merupakan latihan yang menggunakan cermin agar
dapat memberikan ”biofeedback” yang dilakukan dengan tenang agar
pasien bisa lebih berkonsentrasi dalam melakukan latihan gerakan pada
wajah (Raj, 2006). Pemberian mirror exercise yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan otot wajah dan melatih kembali gerakan
fungsional otot-otot wajah (Raj, 2006).

4. PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa setelah
pasien Ny. S berjenis kelamin perempuan dan berusia 75 tahun dengan
diagnosis bell’s palsy menjalani 6 kali terapi terdapat pengurangan spasme
otot, peningkatan kekuatan otot dan peningkatan kemampuan fungsional otot
– otot wajah. Dari data tersebut maka penulis menyarankan agar teman –
teman fisioterapis dapat mempertimbangkan untuk mengaplikasikan modalitas
infrared, electrical stimulation dan mirror exercise pada kasus bell’s palsy.

PERSANTUNAN
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang
telah memberikan kekuatan, kesehatan, dan kelancaran kepada saya dalam
mengerjakan karya tulis ilmiah ini. Karya Tulis ini saya persembahkan kepada
bapak ibu dan kakak adik saya, terima kasih atas semua dukungan, motivasi dan
doa yang tiada henti. Kepada dosen pembimbing saya bapak Maskun Pudjianto,
terima kasih karena telah sabar membimbing saya hingga proses akhir serta terima
kasih kepada seluruh dosen dan staf program studi Fisioterapi. Ucapan terima
11
7
kasih juga saya haturkan kepada teman – teman mahasiswa fisioterapi atas
dukungan semangat dan kebersamaannya selama ini.

DAFTAR PUSTAKA
Alvionita, Mery. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Bell’s Palsy
Dextra di RSUD Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Annsilva. 2010. Bell’s Palsy,


http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’spalsy-case-report/ (diakses
tanggal 10 Juni 2017)

Attaufiq M.H. 2011. Waspada Bell’s Palsy. http://livebeta.kaskus.us (diakses


tanggal 11 Juni 2017)

Best, T. M. R. Hunter, A. Wilcox and F. Haq. 2008. Effectiveness of massage for


recovery of skeletal muscle from strenuous exercise. Clinical Journal of
Medicine 18(5): 446

Clayton. 1981. Electroteraphy Theory and Practice eight edition. London :


Bailliere Tindal

Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada


University Press

Lowis, H dan Maulana N. G. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer. Journal Indonesian Medical Association Volume: 62
Nomor: 1, Januari 2012

Lumbantobing, S.M. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.


Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Nurkholbiah, Chintami dan Eli Halimah. 2017. Terapi untuk Bell’s Palsy
Berdasarkan Tingkat Keparahan. Farmaka Vol. 4 No. 4 Suplemen 1

Priguna, Sidharta. 1999. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian
Rakyat, hal. 398-403.

Raj, Glady Samuel. 2006. Physiotherapy in Neuro-conditions. Delhi : Jaypee


Brothers Medical Publishers

Sabirin, Jimmi, 1996. Gangguan Gerak. Semarang : Badan Penerbit Universitas


Diponegoro.

12
8
Singh, Jagmohan. 2012. Textbook of Electrotherapy Edisi ke-2. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers

Singh, Jagmohan. 2005. Textbook of Electrotherapy. Delhi : Jaypee Brothers


Medical Publishers

Utami, Setyowati B. 1992. Faktor – faktor yang berpengaruh pada penyembuhan


Penderita Bell’s Palsy yang mendapatkan Fisioterapi di UPF. Semarang :
Rehabilitasi Medik RS. Kariadi Semarang FK. UNDIP

Widowati, Trilastuti, 1993. Manfaat Stimulasi Listrik pada Penderita Bell’s


Palsy. Semarang : Program Studi Rehabilitasi FK UNDIP hal 1-73

Yusdiana, M dan Eko B.P. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi


Osteoarthritis Knee Dekstra dengan Modalitas Ultrasound dan Terapi
Latihan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Pekalongan : Universitas
Pekalongan

13
9

Anda mungkin juga menyukai