Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK

SEORANG LAKI-LAKI 38 TAHUN DENGAN


COMBUSTIO LISTRIK DERAJAT II-III DAN LUAS 31%

Oleh:
Trisna Rizki Prasetyo G99172017

Periode: 6 Mei – 30 Juni 2019

Pembimbing :

dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 38 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Surakarta
No RM : 01458846
Tanggal Masuk : 25 April 2019
Tanggal Pemeriksaan: 6 Mei 2019
Berat badan : 65 kg

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Luka bakar akibat sengatan listrik.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Satu hari sebelum masuk rumah sakit saat pasien sedang diteras lantai 2, tangan
pasien menyentuh bagian dari kabel listrik. Pasien kaget dan terjatuh dari lantai
2 dengan ketinggian kurang lebih 2 meter. Pasien terjatuh dengan posisi yang
tidak diketahui dan pasien pingsan. Setelah pasien sadar pasien merasakan nyeri
di seluruh tubuh, muntah (-), kejang (-). Pasien dibawa ke salah satu RS swasta
di Solo. Atas permintaan keluarga pasie

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

2
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Orang tua pasien bekerja sebagai pedagang bakso, pasien berobat tanpa
menggunakan asuransi kesehatan.

III. PRIMARY DAN SECONDARY SURVEY


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing : Pengembangan dada kanan = kiri
: RR 20x/menit
3. Circulation : TD 130/100 mmHg, HR 117x/menit
4. Disability : GCS E4V5M6
: Pupil isokor 3mm/3mm
: Refleks cahaya +/+
: Lateralisasi (-)
5. Exposure : T= 37.3oC

B. Secondary Survey
1. Kepala : tak ada kelainan
2. Mata : tak ada kelainan
3. Telinga : tak ada kelainan
4. Hidung : tak ada kelainan
5. Leher : tak ada kelainan
6. Thorak : tak ada kelainan
7. Abdomen: tak ada kelainan
8. Ektremitas: tak ada kelainan
9. Status lokalis:
a. R. Facial

3
I : Combustio derajat II, 4,5% bula (-)
P : Nyeri tekan
b. R. Colli
I : Combustio derajat II, 1% bula (-)
P : Nyeri tekan
c. R. Thoraks Posterior
I : Combustio derajat II-III, 9% bula (-)
P : Nyeri tekan
d. R. Humerus (D)
I : Combustio derajat II, 1% bula (-)
P : Nyeri tekan
e. R. Ekstremitas inferior
I : Combustio derajat II, 9% bula (-)
P : Nyeri tekan
f. R. Cruris
I : Combustio derajat II, 4,5% bula (-)
P : Nyeri tekan

C. Assesment
Combustio listrk grade II-III dengan luas 31%
D. Plan
1. Head up 30 derajad
2. O2 3 lpm
3. Infus RL 1500cc/24 jam
4. Inj. Metamizole 1000 mg/8 jam
5. Inj. Ranitidin 50mg
6. Cito debridement nekrotomi
7. Monitor produk urine dan balans cairan.

4
IV. PEMERIKSAAN FISIK (6 Mei 2019)
A. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Derajat kesadaran : Compos mentis
3. Vital Sign : Laju Nadi : 102 kali/menit
Laju Nafas : 20 kali/menit
Temperatur : 37,2oC per aksiler

B. Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2. Mata : sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+),
konjungtiva pucat (-/-)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-), darah (-/-)
4. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
5. Mulut : mukosa basah (+)
6. Leher : pembesaran limfonodi (-)
7. Thorak : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan normal
Auskultasi : BJ 1-2 reguler, intensitas cukup, murmur (-)
9. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)
10. Abdomen
Inspeksi : luka (-), edema (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

5
11. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

V. Status Lokalis
a. R. Facial
I : Combustio derajat II, 4,5% bula (-)
P : Nyeri tekan
b. R. Colli
I : Combustio derajat II, 1% bula (-)
P : Nyeri tekan
c. R. Thoraks Posterior
I : Combustio derajat II-III, 9% bula (-)
P : Nyeri tekan
d. R. Humerus (D)
I : Combustio derajat II, 1% bula (-)
P : Nyeri tekan
e. R. Ekstremitas inferior
I : Combustio derajat II, 9% bula (-)
P : Nyeri tekan
f. R. Cruris
I : Combustio derajat II, 4,5% bula (-)
P : Nyeri tekan

6
Foto Klinis

7
II. ASSESMENT
Luka bakar derajat II 38% post debridement.

III. PLAN
1. Head up 30 derajad
2. O2 3 lpm
3. Infus NaCl 0,9% 2700cc/24 jam
4. Infus paracetamol 1gr/8jam
5. Inj Ampisiln Sulbaktam 1,5gr/8jam
6. Inj. Metamizole 1000 mg/8 jam
7. Inj. Ranitidin 50mg
8. Pro debridement

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan
sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya,
radiasi dan friksi. Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang
berbeda tergantung jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan
komplikasi yang terjadi akibat luka tersebut (Rumpf et al 2018).
B. ETIOLOGI
Luka bakar dapat disebabkan oleh banyak hal:
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat.
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya.
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan
untuk keperluan rumah tangga.
3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran
listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah.
Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima,sehingga
menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi
kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun grown.
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury
ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia
kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat
menyebabkan luka bakar radiasi.

9
C. PATOFISIOLOGI
Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi
penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas
ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi, atau luka
bakar kimiawi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak
dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan mempengaruhi
kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Sheckter et al 2018).
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler
secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena hilangnya atau
rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment
intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap dalam sirkulasi dan
menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui
evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan.
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan
respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius
paralitik. Takikardia dan takipnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume
vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan
perubahan sistem. Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi
yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar akan
meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer dan
organ yang tidak vital (Avci dan Koca, 2017).
Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme dimana terjadi
peningkatan temperatur dan metabolisme. Hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik, ketidakseimbangan nitrogen oleh
karena status hipermetabolisme dan injury jaringan (Campos et al, 2017).
Kerusakan pada sel daerah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang
kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi.
Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada
penyembuhan jaringan yang rusak. Pembentukan edema karena adanya peningkatan

10
permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang
abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk kedalam
sel dan kalium keluar dari dalam sel. Dengan demikian mengakibatkan kekurangan
sodium dalam intravaskuler (Anderson et al, 2015).
D. LUAS LUKA BAKAR
Untuk mengetahui luas luka bakar pada anak digunakan rumus Lund dan Browder.
Luas luka bakar menurut Lund dan Browder :
Area luka bakar 0-1 1-4 5-9 10-14 15
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Kepala 19 17 13 11 9
Leher 2 2 2 2 2
Dada 13 13 13 13 13
Punggung 13 13 13 13 13
Lengan kanan atas 4 4 4 4 4
Lengan kiri atas 4 4 4 4 4
Lengan kanan
3 3 3 3 3
bawah
Lengan kiri bawah 3 3 3 3 3
Tangan kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Tangan kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Genetalia 1 1 1 1 1
Bokong kanan 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Bokong kiri 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Paha kanan 5,5 6,5 8 8,5 9
Paha kiri 5,5 6,5 8 8,5 9
Tungkai kanan 5 5 5,5 6 6,5
Tungkai kiri 5 5 5,5 6 6,5
Kaki kanan 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Kaki kiri 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
Tabel 1. Luas luka bakar menurut umur

11
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain:
1. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh
2. Kedalaman luka bakar
3. Anatomi/lokasi luka bakar
4. Umur penderita
5. Riwayat pengobatan yang lalu
6. Trauma yang menyertai atau bersama
(Dinesh et al, 2018).
E. DERAJAT LUKA BAKAR
a. Luka bakar derajat satu
Ditandai dengan luka bakar superfisial dengan kerusakan pada lapisan
epidermis. Tampak eritema. Penyebab tersering adalah sengatan sinar
matahari. Pada proses penyembuhan terjadi lapisan luar epidermis yang
mati akan terkelupas dan terjadi regenerasi lapisan epitel yang sempurna
dari epidermis yang utuh dibawahnya. Tidak terdapat bula, nyeri karena
ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Dapat sembuh spontan selama 5-10
hari (Divine et al, 2018).

Gambar 1. Luka bakar derajat satu


b. Luka bakar derajat dua
Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis dan sebagian dermis
dibawahnya, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi. Pada
luka bakar derajat dua ini ditandai dengan nyeri, bercak-bercak berwarna
merah muda dan basah serta pembentukan blister atau lepuh. Biasanya
disebabkan oleh tersambar petir, tersiram air panas. Dalam waktu 3-4 hari,

12
permukaan luka bakar mengering sehingga terbentuklah krusta tipis
berwarna kuning kecoklatan seperti kertas perkamen. Beberapa minggu
kemudian, krusta itu akan mengelupas karena timbul regenerasi epitel
yang baru tetapi lebih tipis dari organ epitel kulit yang tidak terbakar
didalamnya. Oleh karena itu biasanya dapat terdapat penyembuhan
spontan pada luka bakar superfisial atau partial thickness burn (Rumpf et
al, 2017).

Gambar 2. Bula pada telapak tangan, luka ini digolongkan ke dalam luka bakar derajat dua

Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 :


 Derajat II dangkal (superfisial)
 Kerusakan mengenai sebagian superfisial dari dermis
 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer
sebasea masih utuh
 Penyembuhan terjasi spontan dalam waktu 10-14 hari.
 Derajat II dalam (deep)
 Krusakan mengenai hampir saluruh bagian dermis
 Apendises kulit sperti folikel rambut, kelenjer keringat, kelenjer
sebasea sebagian masih utuh.
 Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang
tersisa. Biasanya terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

13
Gambar 3. luka bakar derajat dua dalam, luka berwarna merah muda, lunak pada penekanan,
dan tampak basah, sensasi nyeri sulit ditentukan pada anak.

c. Luka bakar derajat tiga


Terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan kulit. Meskipun tidak seluruh
tebal kulit rusak, tetapi bila semua organ kulit sekunder rusak dan tidak
ada kemampuan lagi untuk melakukan regenerasi kulit secara spontan/
reepitelisasi, maka luka bakar itu juga termasuk derajat tiga. Penyebabnya
adalah api, listrik, atau zat kimia. Mungkin akan tampak berwarna putih
dan biasnya tidak melepuh, tampak kering dan biasanya relatif
anestetik. Dalam beberapa hari, luka bakar semacam itu akan
membentuk eschar berwarna hitam, keras, tegang dan tebal.

Gambar 4. luka bakar derajat tiga pada anak, luka kering tidak kemerahan dan berwarna putih

14
Gambar 5. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman luka

Klasifikasi Penyebab Penampakan Sensasi Waktu Jaringan


luar penyembuhan parut
Luka bakar dangkal (superficial Sinar UV, Kering dan Nyeri 3–6 Tidak
burn) paparan merah; hari terjadi
nyala api memucat jaringan
dengan parut
penekanan
Luka bakar sebagian dangkal Cairan atau Gelembung Nyeri bila 7-20 hari Umumnya
(superficial partial-thickness burn) uap panas berisi cairan, terpapar tidak
(tumpahan berkeringat, udara dan terjadi
atau merah; panas jaringan
percikan), memucat parut;
paparan dengan potensial
nyala api penekanan untuk
perubahan
pigmen
Luka bakar sebagian dalam (deep Cairan atau Gelemb-text- Terasa >21 hari Hipertrofi,
partial-thickness uap panas color; border- dengan berisiko
burn) (tumpahan), style: none penekanan untuk
api, minyak solid solid saja kontraktur
panas none; border- (kekakuan
width: medium akibat
1pt 1ptung jaringan
berisi cairan

15
(rapuh); basah parut yang
atau kering berlebih)
berminyak,
berwarna dari
putih sampai
merah; tidak
memucat
dengan
penekanan
Luka bakar seluruh lapisan (full Cairan atau Putih Terasa Tidak dapat Risiko
thickness uap panas, berminyak hanya sembuh (jika sangat
burn) api, sampai abu- dengan luka bakar tinggi
minyak, abu dan penekanan mengenai >2% untuk
bahan kehitaman; yang kuat dari TBSA) terjadi
kimia, kering dan kontraktur
listrik tidak elastis;
tegangan tidak memucat
tinggi dengan
penekanan

4. Berdasarkan derajat keparahan1


Untuk pasien dewasa

Tabel 2. Derajat keparahan luka bakar untuk pasien dewasa

Tabel 1. Klasifikasi kedalaman luka bakar8

Untuk pasien usia < 10 tahun dan > 50 tahun

16
Tabel 3. Derajat keparahan luka bakar untuk pasien usia < 10 tahun dan > 50 tahun
F. PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama luka bakar di rumah:
 Prinsip pertama yang harus diingat orangtua apabila anak tersiram air panas
atau tanpa sengaja tersentuh api atau benda panas lainnya adalah jangan panik
dan segera jauhkan anak dari sumber panas.
 Dinginkan bagian tubuh yang terkena luka bakar dengan air mengalir selama
10-20 menit. Tidak dianjurkan menggunakan air es ataupun menambahkan
bahan lain seperti mentega atau kecap karena dapat mengiritasi kulit yang
terbakar dan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut.
 Lakukan penilaian jenis luka bakar. Apabila dalam penilaian dilihat luka
bakar tersebut tergolong ringan, lanjut dinginkan dengan air mengalir hingga
20 menit. Namun bila ditemukan bula pada luka bakar, segera bawa anak ke
rumah sakit untuk mendapatkan perawatan luka lebih lanjut.
 Berikan salep pelembab, seperti salep yang mengandung aloe vera pada luka
bakar ringan. Lakukan perawatan luka bakar secara terbuka, tidak perlu
ditutup kasa.
 Obat anti-nyeri seperti Parasetamol dapat diberikan pada anak apabila dalam
observasi di rumah anak mengeluh sakit dan rewel.
(Rumpf et al, 2017).
Tata laksana luka bakar di rumah sakit:
1. Mempertahankan Jalan Napas

17
Trauma jalan napas merupakan penyebab kematian terbanyak pada
pasien luka bakar. Cedera jalan napas akibat luka bakar dapat menyebabkan
obstruksi, hipoksia bahkan kematian. Telah dilaporkan bahwa trauma inhalasi
akan meningkatkan mortalitas pasien luka bakar sebanyak 20% yang
berpotensi menyebabkan pneumonia. Patogenesis terjadinya trauma inhalasi
adalah akibat cedera panas yang berlangsung 12 jam setelah terjadinya luka
bakar yang menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas. Berikut adalah
indikasi intubasi pada pasien luka bakar :
 Luka bakar di wajah
 Deposit karbon dan perubahan struktur akibat inflamasi di faring dan
rongga hidung
 Terdapat tumpukan karbon pada dahak
 Stridor dan suara parau
 Retraksi dan sesak napas
 Penurunan kesadaran
 Penyakit paru restriktif sekunder akibat luka bakar derajat berat
Pada pasien luka bakar pemberian O2 dan pembersihan jalan napas
merupakan komponen penting dalam tatalaksana jalan napas. Komponen lain
yang tidak kalah pentingnya antara lain adalah hisap lendir berkala dan
fisioterapi dada. Isap lendir berkala sebaiknya dilakukan setelah
memposisikan pasien 45o. Sebelumnya pasien dilakukan preoksigenasi
dengan O2 100%. Apabila belum dilakukan preoksigenasi, sebaiknya
dilakukan isap lendir berkala selama kurang lebih 15 detik. Namun yang
harus diwaspadai adalah stimulasi nervus vagus, terdapatnya iritasi mukosa
nasotrakea, trauma, dan bradikardi (Devine et al, 2018).
2. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal
penanganan luka bakar terutama pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang
adekuat akan mencegah syok yang disebabkan karena kehilangan cairan
berlebihan pada luka bakar.
Luka bakar dapat menyebabkan berbagai perubahan parameter anatomis,
imunologis bahkan fisiologis tubuh. Luka bakar dapat menyebabkan

18
hilangnya cairan intravaskular melalui luka atau jaringan yang tidak
mengalami cedera. Hilangnya cairan umumnya terjadi dalam 24 jam pertama
setelah cedera. Teknik resusitasi cairan pada luka bakar terus mengalami
perkembangan. Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada rumus
Parkland yaitu :
4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dalam ringer laktat yang
jumlahnya disesuaikan dengan berat badan :
≤10 Kg: 100 mL/kg
11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 mL
>20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL
Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam pertama
dan 50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara luas
sejak 40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka bakar selama 24 jam
pertama setelah trauma, namun penelitian terbaru mengatakan bahwa formula
Parkland tidak dapat memprediksi kehilangan cairan secara akurat khususnya
pada pasien dengan luka bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan
jumlah cairan lebih sedikit dibandingkan seharusnya. Protokol saat ini
melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan formulasi 2– 4
mL/kg /% LPT selama 24 jam pertama. Diberikan cairan kristaloid : koloid
selama 24 jam pada pasien anak. Setelah pemberian terapi cairan, dilakukan
pemantauan tanda kelebihan cairan yaitu terdapatnya gangguan hemodinamik
pasien seperti sesak napas, hepatomegali atau terdapatnya ronkhi basah halus
pada basal paru. Pemantauan ini kerap kali harus dilakukan karena pemberian
cairan berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema yang merupakan
komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi menimbulkan
kompikasi misalnya abdominal compartement syndrome dan edema paru
(Devine et al, 2018).

3. Dukungan Nutrisi
Pada keadaan luka bakar terlebih pada luka bakar derajat luas, terjadi
hipermetabolisme akibat respons stres berlebihan. Hal ini akan
mengakibatkan pasien akan mengalami keadaan malnutrisi, dan lambatnya

19
proses penyembuhan. Keadaan hipermetabolisme dapat bertahan sekitar 12
bulan setelah cedera. Keadaan ini berhubungan dengan luasnya luka bakar,
dan berkaitan dengan stres yang terjadi. Pada anak kebutuhan kalori
mencakup 60%-70% karbohidrat, 15%-20% lemak, sedangkan protein harus
terpenuhi 2,5-4gram/kgbb/hari. Apabila diberikan asupan berlebih dapat
menyebabkan peningkatan produksi CO2 yang dapat memperberat fungsi
paru dan dapat meperlambat proses penyapihan ventilator. Di samping itu
pemberian karbohidrat berlebihan akan menyebabkan disfungsi hepar,
hiperglikemia sehingga dapat memicu dehidrasi akibat meningkatnya
diuresis. Pemantauan proses metabolisme dilakukan melalui pemantauan
kadar gula darah, albumin, elektrolit, fungsi hati dan ginjal (Choi et al, 2018).

Tabel 4. Perhitungan kebutuhan kalori pada luka bakar

4. Antibiotika yang sesuai


Pasien luka bakar terutama luka bakar luas berpotensi mengalami infeksi
sekunder maupun sepsis sehingga berpotensi meningkatkan mortalitas.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat terhadap 175 pasien luka bakar
luas dikatakan bahwa infeksi berhubungan dengan disfungsi multiorgan yang
dapat menimbulkan kematian pada 36% pasien.
Infeksi sekunder pada luka bakar terutama disebabkan oleh bakteri gram
positif terutama stafilokokus yang berdomisili di kelenjar keringat dan folikel
rambut, perubahan kondisi akibat luka bakar akan mempercepat pertumbuhan
bakteri, sedangkan infeksi bakteri gram negatif umumnya disebabkan karena
translokasi dari kolon karena berkurangnya aliran darah mesenterika. Selain
itu kondisi pasien diperberat akibat penurunan respons limfosit T sitotoksik,
maturasi mieloid yang menyebabkan terganggunya aktivitas netrofil dan
makrofag. Tujuan penanganan luka adalah mempercepat epitelisasi sehingga

20
dapat mengurangi risiko infeksi sekunder. Sepsis seringkali menyertai luka
bakar (Huang et al, 2018).
5. Analgetika dan Sedatif
Luka bakar dapat menimbulkan rasa nyeri terlebih lagi pada luka bakar
luas. Nyeri tersebut akan sangat mengganggu proses emosi dan fisiologi anak.
Sehingga diperlukan analgetika dan sedatif yang dapat mengontrol nyeri agar
anak menjadi nyaman. Derajat luka bakar akan menentukan nyeri yang
ditimbulkannya. Pada luka bakar superfisial, persyarafaan masih utuh
sehingga pergerakan maupun sentuhan akan sangat memicu rasa nyeri.
Sedangkan luka bakar luas dan dalam (deep partial thickness) beberapa
persarafan bahkan hampir seluruh saraf mengalami kerusakan, akibatnya
pasien tidak begitu merasakan rangsangan nyeri. Namun hal yang harus
diperhatikan adalah apabila sekeliling luka mengalami kemerahan yang dapat
menimbulkan nyeri. Luka bakar jenis full thickness, seluruh persarafan telah
mengalami kerusakan, oleh sebab itu respons terhadap rasa nyeri sama sekali
tidak ada, namun daerah sekeliling luka masih berespons terhadap rangsang
nyeri (Thresh et al, 2018).
Seringkali anak yang mengalami luka bakar, rangsangan sekecil apapun
mampu menstimulasi pusat nyeri sehingga akan menimbulkan nyeri kronik
dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik terjadi sekunder akibat kerusakan
saraf. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya respons terhadap analgetika
sehingga dibutuhkan obat-obatan sedatif. Analgetika yang diberikan pada
anak yang mengalami nyeri akibat luka bakar adalah parasetamol dan anti
inflamasi non steroid (AINS). Namun bila dengan pengobatan oral masih
tidak berespons, dapat diberikan obat analgetika intravena (Barcellos et al,
2018).
Penanganan nyeri pada anak mencakup terapi farmakologik dan non
farmakologik. Terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian analgetika
spesifik yaitu pemberian parasetamol asetaminofen obat Parasetamol adalah
derivat paraaminofenol yang dapat bekerja secara sentral dan perifer untuk
mengatasi rasa nyeri. Morfin memiliki efek sekitar 10 –20 menit setelah
diberikan melalui jalur intravena dengan dosis 0,1mg/Kg. Dosis morfin yang

21
diberikan pada anak >5 tahun yaitu 20 mikrogram/Kg diberikan secara bolus
dilanjutkan dengan titrasi 4-8 mikrogram/kg/ jam. Pada saat diberikan morfin,
harus dilakukan pemantauan pernapasan dan saturasi O2 (Huang et al, 2018).
Oxycodone merupakan opioid semisintetis yang memiliki bioavailabilitas
lebih baik dibandingkan morfin. Oxycodone dapat diberikan dengan dosis
0,2mg/Kg secara per oral maupun intravena. Agonis a2 Adrenergic umumnya
diberikan pada anak yang tidak berespons terhadap pemberian analgetika.
Dalam hal ini dapat digunakan klonidin yang diberikan dengan cara
menghambat jalur korda spinalis. Dosis yang diberikan 1–3 mikrogram/Kg
diberikan 3 kali sehari secara oral atau intravena (Sheckter, et al, 2018).
6. Perawatan Luka
Perawatan luka merupakan salah satu tatalaksana yang perlu diperhatikan
dalam penanganan luka bakar. Karena tidak jarang luka yang tidak dibersihkan
dengan baik dapat memicu infeksi sekunder. Cleansing dan debridement
merupakan tindakan rutin yang harus dilakukan. Bilas luka dapat menggunakan
sabun dan air bersih atau clorhexidin atau NaCl 0,9%. Setelah dibersihkan,
diberikan antibiotika topikal yang kemudian menutup luka dengan kasa steril
untuk mengurangi risiko infeksi sekunder. Antibiotik topikal dapat diberikan
sehari 2 kali sambil dilakukan ganti balutan (Strobel dan Fey, 2018).
Tujuan utama perawatan luka adalah mencegah infeksi dan melindungi luka
terhadap terjadinya infeksi sekunder. Bula yang terbentuk apabila berukuran
<2cm dapat dibiarkan tetap utuh, sedangkan bula yang besar harus dipecahkan
kemudian dilakukan debridement. Pasien luka bakar yang dirawat umumnya
dilakukan skin graft dalam 1–5 hari setelah trauma. Tindakan ini terbukti dapat
mengurangi risiko sepsis (van Nierkek, at al., 2018).

22
DAFTAR PUSTAKA
Afnan, M.A.M., Saxena, A.K., 2018. Tissue repair in neonatal and paediatric
surgery: Analysis of infection in surgical implantation of synthetic
resorbable biomaterials. Biomed Mater Eng.

Anderson, K.T., Bartz-Kurycki, M.A., Garwood, G.M., Martin, R., Gutierrez, R.,
Supak, D.N., Wythe, S.N., Kawaguchi, A.L., Austin, M.T., Huzar, T.F.,
Tsao, K., 2018. Let the right one in: High admission rate for low-acuity
pediatric burns. Surgery.

Avci, V., Kocak, O.F., 2018. Treatment algorithm in 960 pediatric burn cases: A
review of etiology and epidemiology. Pak J Med Sci 34, 1185–1190.

Barcellos, L.G., Silva, A.P.P. da, Piva, J.P., Rech, L., Brondani, T.G., 2018.
Characteristics and outcome of burned children admitted to a pediatric
intensive care unit. Rev Bras Ter Intensiva 30, 333–337.

Choi, Y.M., Nederveld, C., Campbell, K., Moulton, S., 2018. A Soft Casting
echnique for Managing Pediatric Hand and Foot Burns. J Burn Care Res
39, 760–765.

Campos, J., Wong, Y., Hasty, B., McElligott, K. and Mosier, M. (2017). The
Effect of Socioeconomic Status and Parental Demographics on Activation
of Department of Child and Family Services in Pediatric Burn Injury.
Journal of Burn Care & Research, 38(4), pp.e722-e733.
Campos, J., Wong, Y., Hasty, B., McElligott, K. and Mosier, M. (2017). The
Effect of Socioeconomic Status and Parental Demographics on Activation
of Department of Child and Family Services in Pediatric Burn Injury.
Journal of Burn Care & Research, 38(4), pp.e722-e733.
Cox, R., Jacob, S., Andersen, C., Mlcak, R., Sousse, L., Zhu, Y., Cotto, C.,
Finnerty, C., Enkhbaatar, P., Herndon, D. and Hawkins, H. (2015).

23
Integrity of airway epithelium in pediatric burn autopsies: Association
with age and extent of burn injury. Burns, 41(7), pp.1435-1441.

Devine, R.A., Diltz, Z., Hall, M.W., Thakkar, R.K., 2018. The systemic immune
response to pediatric thermal injury. Int J Burns Trauma 8, 6–16.

Dinesh, A., Polanco, T., Khan, K., Ramcharan, A., Engdahl, R., 2018. Our Inner-
city Children Inflicted With Burns: A Retrospective Analysis of Pediatric
Burn Admissions at Harlem Hospital, NY. J Burn Care Res 39, 995–999.

Gonzalez, R. and Shanti, C. (2015). Overview of current pediatric burn care.


Seminars in Pediatric Surgery, 24(1), pp.47-49.
Huang, M., Chen, J.-F., Chen, L.-Y., Pan, L.-Q., Li, X.-J., Ye, J.-Y., Tan, H.-Y.,
(2018). A comparison of two different fluid resuscitation management
protocols for pediatric burn patients: A retrospective study. Burns 44, 82–
89.

Kemp, A., Jones, S., Lawson, Z. and Maguire, S. (2014). Patterns of burns and
scalds in children. Archives of Disease in Childhood, 99(4), pp.316-321.
Krishnamoorthy V, RamaiahR, BhanankerS. (2012). Pediatric burn
injuries.International Journal of Critical Illness and Injury Science, 2(3),
p.128.
Laitakari, E., Koljonen, V., Rintala, R., Pyörälä, S. and Gissler, M. (2015).
Incidence and risk factors of burn injuries among infants, Finland 1990–
2010. Journal of Pediatric Surgery, 50(4), pp.608-612.
Mathias E dan Srinivas M M. (2017). Pediatric Thermal Burns and Treatment: A
Review of Progress and Future Prospects. Medicines, 4(4), p.91.
Moehrlen, T., Szucs, T., Landolt, M., Meuli, M., Schiestl, C. and Moehrlen, U.
(2018). Trauma mechanisms and injury patterns in pediatric burn patients.
Burns, 44(2), pp.326-334.
Paul, M., Kamali, P., Ibrahim, A., Medin, C., Lee, B. and Lin, S. (2018). Initial
Assessment, Treatment, and Follow-Up of Minor Pediatric Burn Wounds

24
in Four Patients Remotely: A Preliminary Communication. Telemedicine
and e-Health, 24(5), pp.379-385.
Rumpf, R.W., Stewart, W.C.L., Martinez, S.K., Gerrard, C.Y., Adolphi, N.L.,
Thakkar, R., Coleman, A., Rajab, A., Ray, W.C., Fabia, R., 2018.
Comparison of the Lund and Browder table to computed tomography scan
three-dimensional surface area measurement for a pediatric cohort. J.
Surg. Res. 221, 275–284.

Sheckter, C.C., Kiwanuka, H., Maan, Z., Pirrotta, E., Curtin, C., Wang, N.E.,
2018. Increasing ambulatory treatment of pediatric minor burns-The
emerging paradigm for burn care in children. Burns.

Schwarz R. Management of postburn contractures of the upper extremity. Journal


of burn care and research. 2017; 28: 212-219

Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M


D. Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic
Med.(2012), Vol. 34, No. 4

Sterling P, Heimbach DM, Gibran NS. Management of the burn wound. ACS
surgey: principle and practice. 2010; 15: 89-96

Strobel, A. and Fey, R. (2018). Emergency Care of Pediatric Burns. Emergency


Medicine Clinics of North America, 36(2), pp.441-458.
Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. Burn injuries. The Journal of the
American Medical Association (2008).

Tresh, A., Baradaran, N., Gaither, T.W., Fergus, K.B., Liaw, A., Balakrishnan,
A., Hampson, L.A., Breyer, B.N., 2018. Genital burns in the United States:
Disproportionate prevalence in the pediatric population. Burns 44, 1366–
1371.

25
van Niekerk, G., Adams, S., Rode, H., 2018. Scalp as a donor site in children: Is
it really the best option? Burns 44, 1259–1268.

26

Anda mungkin juga menyukai