Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus Diabetes Melitus

1. Identitas pasien
 Nama : Ny. A
 Usia : 35 tahun
 Alamat : Bantardawa 4/2
 Pekerjaan : tidak bekerja
 Status : Menikah
 Tanggal Periksa : 11 Oktober 2019

2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan utama

Pasien datang dengan keluhan pegal.


b. Riwayat Penyakit Sekarang

Ny. A datang ke Puskesman Langensari 1dengan keluhan pegal di kakinya. Pegal sudah
sering dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Pegal sering dirasakan setelah beraktifitas dan
menghilang saat istirahat. Selain pegal, pasien juga merasakan lemas pada seluruh badan
setelah beraktifitas.
Pasien juga mengeluhkan kesemutan pada telapak tangan serta baal pada jari kaki nya.
Kesemutan paling sering dirasakan di tangan kanan. Pasien mengaku dahulu sering
merasakan haus dan lapar terus menerus, sering BAK, saat pagi hari pasien merasa
lemas, dan pasien merasakan penglihatannya menurun seperti melihat asap. Saat ini
pasien sedang menjalani pengobatan DM sejak 5 tahun yang lalu. Jempol dan jari
tengah kaki kanan pasien diamputasi 2 tahun yang lalu akibat luka.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi dan DM disangkal


e. Riwayat Alergi

Riwayat alergi udang


f. Riwayat pengobatan

Pengobatan metformin dan novomix 30 UI injeksi


g. Riwayat Psikososial
 Pasien jarang berolah raga.
 Pasien makan 2-3 kali sehari dan tidak suka mengemil.
 Suami pasien perokok

3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 137/98 mmHg
Suhu : 36,6 C
Nadi : 80 x/menit, reguler
Pernapasan : 20 x/menit
Status Antropometri
BB : 66 kg
TB : 153 cm
IMT : 28,1 kg/m2 (Obesitas I)

Status Generalisata
Kepala : Nomorcephal, rambut hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+)
Hidung : sekret (-/-), epistaksis (-/-), napas cuping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-), perdarahan gusi (-), lidah kotor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thorax
Inspeksi : bentuk pergerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : vokal fremitus simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, lesi (-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas
Superior Inferior
Akral hangat (+/+) (+/+)
Edema (-/-) (-/-)
CRT < 2 detik (+/+) (+/+)
Parastesia (-/-) (+/+) digiti pedis
Reflex bisep (+/+)
Reflex Triseps (+/+)
Reflex patella (+/+)

Status Lokalis
Regio Pedis Dextra
Post amputatum pada digiti 1 dan 3, akral hangat (+), sensasi (-) pada ujung-ujung jari

4. Pemeriksaan Penunjang
27/10/2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
GDS 337 mg/dL < 200 mg/dL

 Glukosa darah puasa (GDP)


 Pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan
 Profil Lipid

5. Resume

Pasien datang ke Puskesmas Langensari 1 dengan keluhan pegal di kakinya. Pegal sudah
sering dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kesemutan pada telapak
tangan serta baal pada jari kaki nya. Pasien sedang menjalani pengobatan DM sejak 5 tahun
yang lalu. Jempol dan jari tengah kaki kanan pasien diamputasi 2 tahun yang lalu akibat
luka. Tekanan darah 137/98, tanda-tanda vital lain dalam batas normal, status antropometri
obesitas. Status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan sensoris didapatkan
parastesia pada jari kaki pasien.

6. Diagnosis Banding
- Diabetes mellitus tipe 1 + neuropati diabetik+ Post amputatum digiti I, III pedis dextra
- Sindrom metabolik + neuropati diabetik+ Post amputatum digiti I, III pedis dextra

7. Diagnosis Kerja
- Diabetes mellitus tipe 2
- Neuropati diabetik
- Post amputatum digiti I, III pedis dextra

8. Penatalaksanaan
a.Non farmakologi

 Olahraga aerobik dengan intensitas ringan/sedang (target nadi 220 – usia) seperti jalan
santai, bersepeda santai dan jogging. Dilakukan 3-5 kali per minggu selama sekitar
30-45 menit dengan total 150 menit per minggu
 Diet DM (terapi nutrisi medis) : Komposisi makanan Karbohidrat 45-65%, lemak
25%, protein 10-20% kebutuhan kalori, natrium <2300 gram perhari dan serat 20-
35 gram/hari.
- Berat badan ideal = (153-100)-10%(153-100) = 47,7 kg
- Kebutuhan kalori basal Perempuan = 47,7 x 25 = 1192,5 kkal
- Faktor aktivitas 1192,5 + (1192,5x10%) = 1311,7 kkal/hari
Bahan Makanan Dianjurkan Dibatasi Dihindari
Karbohidrat Semua sumber
karbohidrat dibatasi:
nasi, bubur, roti, mie,
kentang, singkong, ubi,
sagu, gandum, jagung,
ketan, dll
Protein hewani Ayam tanpa kulit, ikan, Kornet, sosis, sarden, Keju, abon,
putih telur, daging tidak otak, jeroan, kuning telur dendeng, susu full
berlemak cream
Protein nabati Tempe, tahu, kacang-
kacangan
Sayuran Sayur tinggi serat: Bayam, buncis, daun
kangkung, oyong, melinjo, labu siam, daun
ketimun, tomat, singkong, kacang
kembang kol, labu air, panjang, wortel, daun
lobak, sawi, selada, katuk
terong
Buah-buahan Jeruk, apel, papaya, Nanas, anggur, manga, Buah-buahan yang
jambu air, belimbing sirsak, pisang, alpukat diawetkan: nangka,
sawo, semangka, nangka durian, alpukat,
kurma, manisan
buah
Minuman Minuman yang
mengandung
alkohol, susu kental
manis, soda, es
krim, yoghurt, susu
Lain-lain Makanan yang digoreng Gula pasir, gula
dan yang menggunakan merah, gula batu,
santan, kecap, saus tiram madu, cake, kue-
kue manis, dodol,
sirup, selai, coklat,
permen, tape,
mayonaise

 Kurangi makanan dan minuman yang mengandung pemanis


 Melakukan perawatan kaki secara berkala, melakukan pemantauan glukosa darah
mandiri

b.Farmakologi
 Metformin 3x500 mg/hari
 Terapi insulin:
 Insulin harian total: 0,5 x BB (66 kg) = 33 UI
 Insulin premixed 2x/hari sebelum makan (16 U siang hari, 16 U malam hari)
 Natrium diklofenak : tablet 3x50 mg/hari, atau topikal (gel) oleskan 3-4 kali sehari

9. Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus
A. Definisi

Menurut WHO (2015) Diabetes Melitus (DM) adalah sebuah penyakit


kronik yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
adekuat atau ketika tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif. Gangguan sekresi atau kerja insulin menyebabkan gangguan
intake glukosa dari sirkulasi ke dalam sel target insulin untuk selanjutnya
dimetabolisme. Akibatnya, glukosa menumpuk di sirkulasi dalam jumlah yang
banyak. Penumpukan glukosa di dalam sirkulasi yang banyak inilah yang
menyebabkan munculnya gejala-gejala Diabetes Melitus.

B. Epidemiologi

Riskesdas 2013 menyebutkan sebanyak 1,5% penduduk Indonesia terdeteksi


menderita DM dari hasil anamnesis dan 2,1% terdeteksi DM tidak hanya dari
anamnesis namun adanya gejala atau tanda yang ditemukan. Kejadian DM
semakin meningkat seiring bertambahnya umur, namun prevalensi kejadian DM
menurun pada kelompok umur diatas 65 tahun.

C. Faktor Resiko

Faktor resiko diabetes mellitus bias dikelompokan menjadi faktor resiko


yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan
lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (kurang
dari 2500 gram). Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya
dengan perilaku hidup yang kurang sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas
sentral, kurangnya aktivias fisik, hipertensi, dyslipidemia, diet tidak sehat/tidak
seimbang, riwayat toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu,
dan merokok.
Faktor risiko DM Tipe II dikategorikan menjadi sosiodemografi, riwayat
kesehatan, pola hidup, dan kondisi klinis dan mental. Faktor sosiodemografi terdiri
dari umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Untuk faktor riwayat kesehatan
terdiri dari riwayat DM keluarga dan berat lahir. Faktor pola hidup terdiri dari
aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, terpapar asap rokok, dan konsumsi alkohol.
Sementara itu, faktor kondisi klinis dan mental terdiri dari indeks massa tubuh
(obesitas), lingkar perut (obesitas sentral), tekanan darah, kadar kolesterol, dan stres.

D. Klasifikasi

Tipe 1 Dekstruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut
- Autoimun

- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan retensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Karena hilangnya sekresi insulin secara progresif yang sering

terjadi oleh karena resistensi insulin.


Tipe lain - Defek genetik fungsi sel beta
- Defek genetik kerja insulin

- Penyakin eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis)

- Endokrinopati

- Karena obat atau zat kimia (seperti glukokortikoid, dalam


pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
- Infeksi

- Sebab imunologi yang jarang

- Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM


Diabetes Keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama
melitus masa kehamilan dan biasanya berlangsung hanya sementara.
gestasional Diabetes ini didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga yang

tidak jelas diabetesnya sesaat atau sebelum kemamilan.


E. Patomekanisme

- Diabetes Melitus Tipe I


DMT1 adalah tipe DM yang bersifat autoimun dan kronik. DMT1
berhubungan dengan adanya proses destruksi selektif sel B pankreas yang
memproduksi insulin. Onset dari DMT1 menggambarkan proses akhir dari
terjadinya destruksi sel B pankreas. Gambar 1 memperlihatkan bagan
patogenesis terjadinya DMT1. Al Homsi dan Lukic (1992) memberikan
gambaran karakteristik DMT1 sebagai sebuah penyakit autoimun sebagai
berikut:

1. Adanya sel-sel yang imunokompeten di pulau-pulau pankreas yang


terinfiltrasi.
2. Adanya autoantibodi spesifik sel-sel pulau langerhans.

3. Adanya perubahan imunoregulasi yang diperantarai sel T CD4+.

4. Adanya keterlibatan Sel TH1 yang memproduksi Interleukin pada proses


destruksi.
5. Adanya respon terhadap imunoterapi.

6. Pasien atau anggota keluarga pasien mengalami rekurensi penyakit


autoimun.
Penghancuran autoimun sel β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin
yang menyebabkan gangguan metabolik yang terkait dengan diabetes melitus tipe I.
Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel α pankreas juga abnormal dan adanya
sekresi glukagon yang berlebihan pada pasien diabetes melitus tipe I. Biasanya,
hiperglikemia menyebabkan berkurangnya sekresi glukagon, namun pada pasien
dengan DM tipe I, sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia.
Hasil berupa kadar glukagon yang tidak tepat akan memperburuk defek
metabolik karena kekurangan insulin. Meskipun defisiensi insulin adalah defek utama
pada DM tipe I, ada juga defek dalam pemberian insulin. Kekurangan insulin
menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan peningkatan kadar asam lemak bebas
di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot
rangka. Hal ini mengganggu pemanfaatan glukosa dan defisiensi insulin juga
menurunkan ekspresi sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target, untuk
merespons secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan transporter
glukosa GLUT 4 dalam jaringan adiposa menjelaskan bahwa gangguan metabolisme
utama, yang diakibatkannya. Dari kekurangan insulin pada DM tipe I metabolisme
glukosa, lipid dan protein terganggu.

Gambar 1. Patogenesis DMT1 Sumber: Ozougwu dkk, 2013

- Diabetes Melitus Tipe II

Pada patogenesis DMT2, 2 faktor utama penyebab terjadinya DM


adalah lingkungan dan genetik. Namun ternyata faktor genetik lebih
dominan dibandingkan faktor lingkungan dalam patogenesis DM. Kejadian
DMT2 pada kembar identik berkisar antara 70-90%. Jika kedua orang tua
memiliki DM maka kemungkinan anaknya menderita DM bisa mencapai
40%. Diduga keberadaan gen- gen tertentu menyebabkan perubahan fungsi
atau perkembangan atau sekresi insulin. Dikarenakan keterlibatan gen pada
proses patogenesis DMT2 masih dalam proses investigasi, maka masih
belum memungkinkan untuk memprediksi DMT2 hanya dengan loki gen
yang baru diketahui.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan


memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang


multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,


menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar


dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam


hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan
amylin.

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis


DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu


yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

F. Manifestasi Klinik

1. Keluhan klasik DM:

- Poliuria

- Polidipsi

- Polifagia

- Penurunan BB

2. Keluhan lain

- Badan lemah
- Kesemutan

- Gatal

- Mata kabur

- Disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita

G. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glucometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glucosuria.
Diabetes dapat didiagnosa berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik glukosa
plasma puasa (FPG), glukosa plasma 2 jam setelah uji toleransi glukosa oral
(OGTT) dengan 75 gram glukosa atau kriteria A1C.

Tabel Kriteria Diagnosa untuk Diabetes


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa

didefinisikan sebbagai kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.


atau
Pemeriksaan glukosa puasa ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah TTGO. Tes ini sudah
dideskripsikan oleh WHO, dengan menggunakan beban yang kandungannya
setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air.
atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% (48mmol/mol.. Tes ini dilakukan di laboratorium
dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) untuk pengujian DCCT.

atau
Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
glukosa plasma acak atau sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Tabel Kriteria Diagnosa untuk Diabetes
Glukosa Plasma 2
Glukosa Darah
jam Setelah HbbA1c (%)
Puasa (mg/dl)
TTGO (mg/dl)

Normal < 100 < 140 < 5,7

Prediabbetes 100 - 125 140 - 199 5,7 – 6,4

Diabetes ≥ 126 ≥ 200 ≥ 6,5

Tabel Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)

Kriteria unutk pemeriksaan penyaring (screening) untuk diabetes melitus tipe II


dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi pada orang dewasa yang
asimptomatik, yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih atau obesitas (IMT ≥ 23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. A1C ≥ 5,7% (39mmol/mol)

b. Aktivitas fisik yang kurang.


c. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam
keluarga).

d. Kelompok ras/etnis tertentu, seperti Amerika, Afrika, Lain, Penduduk


Pulau Pasifik.
e. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
f. Hipertensi ( ≥ 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
g. HDL < 35 mg/dL (0,90 mmol/l) dan/atau trigliserida > 250 mg/dL (2,82
mmol/l).
h. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

i. Riwayat penyakit kardiovaskular.

j. Kondisi klinis lain yang berhubungan dengan resistensi insulin, seperti


abesitas berat, akantosis nigricans, riwayat predeiabetes).
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

3. Jika hasil pemeriksaan normal, pemeriksaan harus diulang minimal interval


3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1
tahun dan status risiko.

Pemeriksaan glukosa darah kapiler diperolehkan untuk patokan penyaring dan


diagnosis DM apabila keadaan tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
dengan pemeriksaan TTGO.

Tabel Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa untuk Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM
Belum Pasti DM
Bukan DM
DM
Kadar Plasma Vena < 100 100 – 199 ≥ 200
glukosa darah ≥ 200
Darah
sewaktu < 90 90 – 199
Kapiler
(mg/dl)
Kadar Plasma Vena < 100 100 – 125 ≥ 126
glukosa darah Darah ≥ 100
< 90 90 – 99
puasa (mg/dl)
Kapiler

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

4. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
5. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
6. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Penatalaksanaa diabetes melitus dimulai dengan pola hidup sehat dan bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan.

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistic.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya


keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang menurunkan glukosa darah
atau insulin.
3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara


teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan
total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat
bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai
komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan
masing-masing individu.
4. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan


latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan.

A. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi


5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin : Sulfonilurea dan Glinid

- Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan


sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
- Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
- Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi


glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Efek samping
yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti
halnya gejala dispepsia.

- Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome


Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma),
suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak

digunakan pada keadaan: GFR ≤ 30ml/min/1,73 m2, gangguan


faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus)
sehingga sering menimbulkan flatus.
4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim


DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
5) Pengambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes


oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter
glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Cara pemberian OHO, sebagai berikut:

- OHO diberikan mulai dengan dosisi kecil dan ditingkatkan secara


bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. OHO dapat
diberikan sampai dosis optimal.

- Sulfonilurea: 15-30 menit sebelum makan

- Rapaglinid, Netaglinid: sesaat sebelum makan

- Metformin: sebelum / pada saat / sesudah makan

- Penghambat glucosidase (arcabose): saat makan pada suapan pertama

- Tiazolidindion: tidak bbergangtung pada jadwal makan

- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan/atau sebelum


makan
Tabel profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
B. Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan


kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
1) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

 Penurunan berat badan yang cepat

 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

 Krisis Hiperglikemia

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard


akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

 Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)

 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)

 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah


dan kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin)
Tabel Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja (Time Course of
Action)
Jenis Insulin Awitan (Onset) Puncak Efek Lama Kerja Kemasan
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid Acting)
Insulin Lispro
Pen / Cartridge
(Humalog®)
5 – 15 menit 1 – 2 jam 4 – 6 jam Pen, vial
Insulin Aspart
Pen
(Novorapid®)
Insulin Glulisin

(Apidra®)
Insulin manusia kerja pendek = insulin regular (short acting)

Humulin® Vial, pen /


30 – 60 menit 2 – 4 jam 6 – 8 jam
cartridge
Ractrapid®
Insulin manusia kerja menengah = NPH (intermediate acting)
Humulin
Vial, pen /
1,5 – 4 jam 4 – 10 jam 8 – 12 jam
N® cartridge

Insulatard®
Insuman

Basal®
Insulin analog kerja panjang (long acting)
Insulin
Glargine Hamper tanpa
1 – 3 jam puncak 12 – 24 jam Pen
(Lantus®)
Insulin Detemir

(Levemir®)
Lantus 300
Insulin analog kerja ultra panjang (ultra long acting)
Degludec
Hamper tanpa
30 – 60 menit Sampai 48 jam
(Tresiba®) puncak
(belum tersedia
di Indonesia)

Insulin manusia campuran (human premixed)


70/30
Humulin®
(70% NPH,
30% reguler) 30 – 60 menit 3 – 12 jam
70/30
Mixtard®
(70% NPH,
30% reguler)
Insulin analog campuran (human premixed)
75/25

Humalogmix®
(75% protamin
lispro, 25%
lispro)
70/30 12 – 30 menit 1 – 4 jam

Novomix
® (70%

protamine
aspart, 30%
aspart)
50/50 Premix

NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat


disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.

Efek samping terapi insulin:

 Efek samping utama terapi insulin adalah hipoglikemia

 Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
C. Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun


fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dapat dianjurkan.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan
insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-
10 unit, kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat
antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.
Strategi Praktis Terapi Insulin

Sebagai regimen awal dapat digunakan insulin basal dengan dosis 0,1-0,2 unit/kg BB,
yang waktu pemberiannya disesuaikan dengan rutinitas pasien dan jenis insulin yang
digunakan.
Tabel peningkatan dosis

Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Dosis insulin basal


<90 atau terdapat gejala Turunkan dosis
hippoglikemia
90-130 atau sesuai dengan consensus Pertahankan dosis
perkeni terbaru
>130 Naikkan dosis 2-3 unit
setiap 3-7 hari

Jika sasaran kendali glikemik belum tercapai dengan kombinasi AHO dan
insulin basal sederhana, dapat diberikan regimen insulin yang lebih
kompleks, yaitu basal bolus atau premixed.
Prosedur Pemantauan
Sasaran Pengendalian DM

Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar glukosa, kadar


HbA1C, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali baik adalah apabila kadar
glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan, serta status
gizi maupun tekanan darah sesuai target yang ditentukan. Kriteria keberhasilan
pengendalian DM dapat dilihat pada Tabel.

Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23
Tekanan darah sistolik <140
(mmHg)
Tekanan darah diastolic <90
(mmHg)
Glukosa darah prepandial 80-130
kapiler (mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP <180
kapiler (mg/dl)
HbA1c (%) <7 (atau individual)
Kolestrol LDL (mg/dl) <100 (< 70 bila risiko KV
sangat tinggi)
Kolestrol HDL (mg/dl) Laki-laki : >40 ; Perempuan
: >50
Trigliserida (mg/dl) <150

H. Komplikasi

Diabetes adalah penyeba paling penting dalam kebutaan, gagal ginjal,


amputasi ekstremitas bawah dan dampak jangka panjang lainnya secara
signifikan berdampak pada kualitas hidup. DMT2 yang tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi yaitu komplikasi
akut dan komplikasi kronis. Komplikasi kronis dapat berupa komplikasi
mikrivaskular dan makrovaskular yang dapat menurunkan kualitas hidup
penderita. Penyebab utama kematian penderita DMT2 adalah komplikasi
makrovaskular.

Komplikasi Akut Komplikasi Kronik


 Hipoglikemia  Mikrovaskulat

 Krisis Hiperglikemia  Retinopati Diabetik

 Ketoasidosis Diabetes (DKA)  Nefropati Diaetik

 Status hiperglikemik  Neuropati diabetic


hiperosmolar
 makrovaskular

Komplikasi lain dan kondisi yang berhubungan


 Gangguan Pertumbuhan dan  Lipodistrofi (Lipoatrofi dan
perkembangan Lipohipertrofi)
 Berhubungan dengan kondisi  Necrobiosis Lipodica
autoimun Diabeticorum
 Hipertiroid  Penyakit perlemakan hati non
alkoholik
 Celiac Disease
 Infeksi pada pasien diabetes
 Vitiligo
 Pergerakan sendi terbatas
 Insufisiensi Adrenal Primer
(Addison’s Disease)  Edema

2. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah adanya gangguan baik klinis maupun subklinis, yang terjadi
pada diabetes mellitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan
neuropati ini termasuk manifestasi somatic dan atau autonomy dari system saraf
perifer. Neuropati diabetic merupakan salah satu komplikasi kronis paling seringg
ditemukan pada DM. risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah
infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh dan amputasi jari/kaki.
a. Patogenesis
ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan
aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosylation end products (AGEs),
pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C. aktivasi berbagai jalur
tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehngga aliran darah ke saraf menurun
dan bersama rendahnya mionositol dalam sel terjadilah ND.
 Faktor metabolik
Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu
terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukoda menjadi
sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehydrogenase menjadi
fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf dapat merusak sel
saraf menyebabkan keadaaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan
edema saraf.
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan
akan menyebabkan terbentuknya advance glycosylation end products (AGEs).
AGEs ini sangant toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf.
Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi Nitric oxide
(NO) akan menurun, yang berakibat vasodilatsi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mionositol dalam sel saraf, terjadilah ND.
 Kelainan vascular
Hiperglikemia persisten merangsang produks radikal bebas oksidatif yang
disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan
endotel vascular dan menetralisir NO, yang berefek menghalangi vasodilatssi
mikrovaskular.
 Peran nerve growth factor
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf.
Pada penyandang DM, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan
dengan derajat neuropati.

b. Klasifikasi

National Diabetes Information Clearinghouse tahun 2013 mengelompokkan


neuropati diabetik berdasar letak serabut saraf yang terkena lesi menjadi:
1) Neuropati Perifer
Neuropati Perifer merupakan kerusakan saraf pada lengan dan
tungkai. Biasanya terjadi terlebih dahulu pada kaki dan tungkai
dibandingkan pada tangan dan lengan. Gejala neuropati perifer
meliputi:
a) Mati rasa atau tidak sensitif terhadap nyeri atau suhu
b) Perasaan kesemutan, terbakar, atau tertusuk-tusuk
c) Nyeri yang tajam atau kram
d) Terlalu sensitif terhadap tekanan bahkan tekanan ringan
e) Kehilangan keseimbangan serta koordinasi

Gejala-gejala tersebut sering bertambah parah pada malam hari.

Neuropati perifer dapat menyebabkan kelemahan otot dan


hilangnya refleks, terutama pada pergelangan kaki. Hal itu
mengakibatkan perubahan cara berjalan dan perubahan bentuk kaki,
seperti hammertoes. Akibat adanya penekanan atau luka pada daerah
yang mengalami mati rasa, sering timbul ulkus pada kaki penderita
neuropati diabetik perifer. Jika tidak ditangani secara tepat, maka dapat
terjadi infeksi yang menyebar hingga ke tulang sehingga harus
diamputasi.

2) Neuropati Autonom
Neuropati autonom adalah kerusakan pada saraf yang
mengendalikan fungsi jantung, mengatur tekanan darah dan kadar gula
darah. Selain itu, neuropati autonom juga terjadi pada organ dalam lain
sehingga menyebabkan masalah pencernaan, fungsi pernapasan,
berkemih, respon seksual, dan penglihatan.

3) Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal dapat menyebabkan rasa nyeri di paha,
pinggul, pantat dan dapat menimbulkan kelemahan pada tungkai.

4) Neuropati Fokal
Neuropati fokal dapat menyebabkan kelemahan mendadak pada
satu atau sekelompok saraf, sehingga akan terjadi kelemahan pada otot
atau dapat pula menyebabkan rasa nyeri. Saraf manapun pada bagian
tubuh dapat terkena, contohnya pada mata, otot-otot wajah, telinga,
panggul dan pinggang bawah, paha, tungkai, dan kaki.

Subekti (2009) mengelompokkan neuropati diabetik menurut


perjalanan penyakitnya menjadi:
1) Neuropati Fungsional
Neuropati ini ditandai dengan gejala yang merupakan
manifestasi perubahan kimiawi. Pada fase ini belum ditemukan
kelainan patologik sehingga masih bersifat reversible.
2) Neuropati Struktural/ Klinis

pada fase ini gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut saraf dan
masih ada komponen yang reversible.
3) Kematian Neuron/ Tingkat Lanjut
Kematian neuron akan menyebabkan penurunan kepadatan
serabut saraf. Kerusakan serabut saraf biasanya dimulai dari bagian
distal menuju ke proksimal, sebaliknya pada proses perbaikan dimulai
dari bagian proksimal ke distal. Sehingga lesi paling banyak ditemukan
pada bagian distal, seperti pada polineuropati simetris distal. Pada fase
ini sudah bersifat irreversibel.

c. Gejala Klinis
Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat. Gejala bisa

tidak dijumpai pada beberapa orang. Kesemutan, tingling atau nyeri pada kaki sering

merupakan gejala pertama. Gejala bisa melibatkan sistem saraf sensoris, motorik

atau otonom. (Dyck & Windebank, 2002)

Tabel.1. Gejala khas pada neuropati diabetik

Nonpainful Painful
Thick Prickling
Stiff Tingling
Asleep Knife-
Pricklin like
g Electric shock-like
Tingling Squeezing
Constricting Hurting
Burning
Freezing
Throbbin
g
Allodynia, Hyperalgesia
d. Tatalaksana
1. Perawatan umum/kaki

Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki


2. Pengendalian glukosa darah

Monitoring HbA1c secara berkala


3. Terapi medikamentosa:

Pedoman pengendalian ND dengan nyeri yang dianjurkan adalah:


- NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari)
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramine
100mg/hari, nortriptilin 50-150mg malam hari, paroxetine 40mg/hari)
- Antikovulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari)
- Antiaritmia (mexilletin 10-450mg/hari)
- Topical: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari

3. Pencegahan
a. Pencegahan primer DM
 Program penurunan berat badan
 Diet sehat
 Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal
 Karbohidrat kompleks merupakah pilihan dan diberikan secara terbagi
dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa
darah yang tinggi setelah makan
 Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat
larut
 Latihan jasmani
 Latihan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan
latihan aerobic sedang (mencapai denyut jantung 50-70% maksimal)
atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat
 Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu
 Menghentikan kebiasaan merokok
 Pada kelompok dengan risiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis

b. Pencegahan sekunder komplikasi DM

Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar


glukosa sesuai target terapi serta pengendalian factor risiko penyulit lain
dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya
penyakit penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes


yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan
kesehatan komprehensif dan terintegrasi antar disiplin yag terkait, terutama di
rumah sakit rujukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PERKENI; 2015
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI; 2011
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar ilmu
Penyakit Dalam. 5th Ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013
5. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, etc.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill Companies Inc.;
2012.
6. Ozougwu JK, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The Pathogenesis
and Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. J. Physiol.
Pathophysiol. 2013 Sep; 4(4): 46-57.

Anda mungkin juga menyukai