Anda di halaman 1dari 84

PRESENTASI KASUS

LAKI-LAKI 48 TAHUN DENGAN COMBUSTIO LISTRIK GRADE II-III


51%

DISUSUN OLEH :
MUSTHOFA CHANDRA (G991903041) YOSEFINA SONIA C. (G99172161)
DANIELA RATNANI (G99172055) MENTARI M. SHOL (G9905040)
INDHAH MEILANI S (G99172091) M. YOSSAN Y (G991903038)
MADE V. LAKSITA (G99172106) NAVALDI ALDIN M. (G99172126)
DWI NUR ABADI (G99182005) M. FADHLY (G991903039)
NADYA NUR HALIMA (G991903042) TRISANDI ADI P (G991908022)
MAGHFIRA AYUNI S. (G991905037) ABDURRAHMAN A. (G99172021)
MASYOLA GUSTA A. (G991905039) ZAKI RAMADHANI R. (G991908023)
EMILLYA SARI (G99181024) M. FAIZUL FUAD (G991903040)
MOHAMAD ARIF F. (G991903037) MONIKA PUTRI G. (G991905041)
MARGARETH H. (G991905038) TUTI RATNASARI (G99182006)
SARAH AZZAHRO (G99182150)

Periode : 26 Agustus- 20 Oktober 2019

PEMBIMBING :
dr. DARMAWAN ISMAIL, Sp.BTKV.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

LAKI-LAKI 48 TAHUN DENGAN COMBUSTIO LISTRIK GRADE II-III


51%

Hari, tanggal: Kamis, 10 Oktober 2019

Oleh:
MUSTHOFA CHANDRA (G991903041) YOSEFINA SONIA C. (G99172161)
DANIELA RATNANI (G99172055) MENTARI M. SHOL (G9905040)
INDHAH MEILANI S (G99172091) M. YOSSAN Y (G991903038)
MADE V. LAKSITA (G99172106) NAVALDI ALDIN M. (G99172126)
DWI NUR ABADI (G99182005) M. FADHLY (G991903039)
NADYA NUR HALIMA (G991903042) TRISANDI ADI P (G991908022)
MAGHFIRA AYUNI S. (G991905037) ABDURRAHMAN A. (G99172021)
MASYOLA GUSTA A. (G991905039) ZAKI RAMADHANI R. (G991908023)
EMILLYA SARI (G99181024) M. FAIZUL FUAD (G991903040)
MOHAMAD ARIF F. (G991903037) MONIKA PUTRI G. (G991905041)
MARGARETH H. (G991905038) TUTI RATNASARI (G99182006)
SARAH AZZAHRO (G99182150)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV.


NIP. 19751213 200912 1 001

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN

Pada tubuh manusia, sistem integumen merupakan sistem yang terdiri


dari kulit serta struktur tambahannya, seperti rambut. kelenjar keringat,
dan jaringan subkutis. Dalam keadaan normal kulit dalam sistem ini
tersusun atas dua lapisan utama epidermis pada bagian luar dan dermis
pada bagian dalamnya dengan kontur permukaan yang rata serta warna
yang sama pada semua bagiannya. Sistem ini berperan dalam menutupi
seluruh permukaan tubuh untuk memisahkan tubuh dari lingkungan luar
serta mencegah masuknya berbagai macam zat yang dapat membahayakan
tubuh. Namun kulit memiliki sifat yang rentan terhadap berbagai macam
trauma salah satunya luka bakar / combustion.

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan


yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi. Luka bakar dapat dikelompokan menjadi
luka bakar termal, radiasi, atau kimia. Luka bakar juga diklasifikasikan
berdasarkan kedalaman dan luas daerah yang terbakar.

Luka listrik adalah luka yang disebabkan oleh trauma listrik,


merupakan jenis trauma yang disebabkan oleh adanya persentuhan dengan
benda yang memiliki arus listrik, sehingga dapat menimbulkan luka bakar
sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi energi panas. Umumnya
tanda utama trauma listrik adalah luka bakar pada kulit. Gambaran
makroskopis kerusakan kulit yang kontak langsung dengan sumber listrik
bertegangan rendah disebutelectrical mark. Luka listrik biasanya dapat
diamati di titik masuk (entry point) maupun titik keluar (exit point ).

3
BAB II
STATUS PASIEN

I. Anamnesis
A. Identitas pasien
Nama : Tn. P
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah
Pekerjaan : Karyawan swasta
No RM : 0147xxx
Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 21 September 2019
Tanggal Periksa : 28 September 2019

B. Keluhan Utama
Luka bakar karena listrik

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan luka bakar pada seluruh
tubuh pasien setelah pasien terkena sengatan arus listrik rumah saat
memperbaiki instalasi listrik dirumahnya 2 jam SMRS. Saat pasien
memperbaiki instalasi listrik dirumahnya tanpa menggunakan alas kaki
secara tidak sengaja menginjak kabel listrik yang ada di sekitarnya.
Sesaat setelah kejadian pasien tidak bisa diajak berkomunikasi. Keluhan
muntah disangkal, keluhan kejang disangkal. Oleh keluarga pasien
dibawa ke RSUD Ngipang. Di RSUD Ngipang pasien dibersihkan
lukanya dan diberikan injeksi obat-obatan, namun karena keterbatasan
sarana pasien dirujuk ke RS Dr. Moewardi.

4
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari dengan porsi cukup nasi lauk sayur.
Pasien merokok. Pasien tidak minum alkohol. Pasien jarang melakukan
olahraga.

G. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.

II. Primary dan Secondary Survey


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing : Pengembangan dada kanan = kiri
: RR 22x/menit, SDV (+/+)

5
3. Circulation : TD 120/80 HR 150x/menit (pulsasi teraba kuat),
Sp02 98%, CRT < 2 detik, akral dingin (-)
4. Disability : GCS E2V4M5
: Pupil isokor 3mm/3mm
: Refleks cahaya +/+
5. Exposure : T= 37.3oC

First Aid
1. Oksigen NRM 8 lpm SpO2 99%
2. Rehidrasi cairan
Rumus baxter RL (BB = 65kg)
Cairan yang dibutuhkan = 4 x kgBB x %TBSA
=4x65x51= 13.260 cc dalam
24 jam
(awal) 8 jam pertama 6630 cc
(maintenance) 16 jam selanjutnya 6630 cc
3. Analgesik: Metamizol 1000 mg/ 8 jam
4. Pasang DC kateter untuk evaluasi urine output  target urine
output 0,5cc/kgBB/jam = 0,5cc x 65 kg = 32.5 cc/jam
5. Pasang CVC
6. Cek Laboratorium

B. Secondary Survey
1. Kepala : hematom regio parietal sinistra
2. Mata : tak ada kelainan
3. Telinga : tak ada kelainan
4. Hidung : tak ada kelainan
5. Mulut : tak ada kelainan
6. Status Lokalis
a. R. Plantar pedis dextra
I : Combustio derajat III luas 1%

6
P : Nyeri tekan (+), passive stretch test (-)
b. R. Plantar pedis sinistra
I : Combustio derajat III, luas 1%
P : Nyeri tekan (+), passive stretch test (-)
c. R. Facialis
I : Combustio derajat II, A-B luas 2% bullae (-)
P : Nyeri tekan
d. R. Colli
I : Combustio derajat II, A-B luas 1% bullae (+)
P : Nyeri tekan
e. Regio Thoraks
I : Combustio grade II A-B luas 9%, bullae (-)
P : Nyeri tekan
f. R. Abdomen
I : Combustio grade II A-B luas 9% bullae (+)
P : Nyeri tekan
g. R. Manus Dextra
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (-)
h. R. Manus Sinistra
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (-)
i. R. Extremitas Inferior Dextra
I : Combustio grade II A-B luas 17% bullae (-)
j. R. Extremitas inferior sinistra
I : Combustio grade II A-B luas 8% bullae (+)
k. R. Genital
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK (6September 2019)


A. Keadaan Umum
1) Keadaan umum : Tampak sakit berat
2) Derajat kesadaran : Somnolen

7
3) Vital Sign : Laju Nadi : 134 kali/menit
Laju Nafas : 20 kali/menit
Temperatur : 36,9oC per aksiler
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
B. Status Generalis
1) Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2) Wajah : Lihat Status Lokalis
3) Mata : sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek
cahaya (+/+), konjungtiva pucat (-/-)
4) Telinga : normotia, sekret (-/-), darah (-/-)
5) Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
6) Mulut : mukosa basah (+)
7) Leher : Lihat status lokalis
8) Thorak : Lihat status lokalis
9) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :sulit dievaluasi
Auskultasi :sulit dievaluasi
10) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan
kiri.
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sulit dievaluasi
Auskultasi : sulit dievaluasi
11) Abdomen : lihat status lokalis
12) Ekstremitas : lihat status lokalis
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

8
C. Status Lokalis
a) R. Plantar pedis dextra
I : Combustio derajat III luas 1%
P : Nyeri tekan (+), passive stretch test (-)
b) R. Plantar pedis sinistra
I : Combustio derajat III, luas 1%
P : Nyeri tekan (+), passive stretch test (-)
c) R. Facialis
I : Combustio derajat II, A-B luas 2% bullae (-)
P : Nyeri tekan
d) R. Colli
I : Combustio derajat II, A-B luas 1% bullae (+)
P : Nyeri tekan
e) Regio Thoraks
I : Combustio grade II A-B luas 9%, bullae (-)
P : Nyeri tekan
f) R. Abdomen
I : Combustio grade II A-B luas 9% bullae (+)
P : Nyeri tekan
g) R. Manus Dextra
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (-)
h) R. Manus Sinistra
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (-)
i) R. Extremitas Inferior Dextra
I : Combustio grade II A-B luas 17% bullae (-)
j) R. Extremitas inferior sinistra
I : Combustio grade II A-B luas 8% bullae (+)
k) R. Genital
I : Combustio grade II A-B luas 1% bullae (+)

9
IV. Foto Klinis
Pre Op (22 September 2019)

Regio Extremitas Inferior

10
Regio Genitalia

Regio Thoraks- Abdomen

11
Regio Facialis

12
Post Medikasi (22 September 2019)

13
14
15
V. PemeriksaanPenunjang
1. Laboratorium darah dilakukan di IGD pada 21 September 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Metode


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 17 g/Dl 12.0-15.6
Hematokrit 55 % 33-45
Leukosit 16.2 ribu/µl 4.5-11.0
Trombosit 351 ribu/µl 150 - 450
Eritrosit 6.03 juta/µl 4.50-5.90
HEMOSTASIS
PT 11.2 Detik 10.0-15.0 SEMI AUTO
APTT 23.4 Deik 20.0-40.0 SEMI AUTO
INR 0.830 - SEMI AUTO
Golongan Darah B AGLUTINASI
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 146 mg/dl 60-140 HEXOKINASE
Sewaktu
Creatinine 1.1 mg/dl 0.9-1.3 ENZIMATIK
Ureum 30 mg/dl <50 ENZIMATIC
UV ASSAY
ELEKTROLIT
Natrium darah 140 mmol/L 136-145 DIREK ISE
Kalium darah 3.1 mmol/L 3.3-5.1 DIREK ISE
Kalium 100 mmol/L 98-106 DIREK ISE
SEROLOGI
HBsAg Non Non CMIA
reaktif reaktif

16
2. EKG di RS Dr. Moewardi Surakarta

Kesimpulan: sinus takikardi, HR 115 bpm, normoaksis.

3. Analisis Gas Darah

Analisis Gas Darah

pH 7.565 7.350 – 7.450

BE 2.7 mmol/L -2 - +3

PCO2 27.3 mmHg 27.0 – 41

PO2 156.6 mmHg 83.0 – 108.0

Hematokrit 43 % 37 -50

HCO3 25.0 mmol/L 21.0 – 28.0

Total CO2 25.8 mmol/L 19.0 – 24.0

O2 saturasi 99.3 % 94.0 – 98.0

Laktat

Laktat arteri 3.20 mmol/L 0.36 – 0.75

Kesimpulan: Alkalosis respiratorik

VI. Assessment
Combustio listrik grade II-III 51%

VII. Plan
1. Rawat HCU

17
2. Infus RL 2400 cc/24 jam
3. Diet TKTP 1500 kkal
4. Inj. Metamizole 1000 mg/8 jam
5. Inj. Ampicillin 1gram /8 jam
6. Infus Paracetamol 1 gram/8 jam
7. Pro debridement elektif
8. KSR 3 x 1 tab
9. Medikasi burnazin + kassa kering
10. Monitor produk urine dan balans cairan.

VIII. Follow Up

Laporan Tindakan medis-operasi (27 September 2019)

1. Pasien posisi supine dalam general anestesi, toilet medan operasi


persempit dengan doek steril berlubang.
2. Cuci luka dengan saflon dan bilas dengan NaCl 0.9
3. Bilas kembali dengan NaCl 0.9%
4. Eksisi tangensial pada ekstremitas inferior tangan
5. Tutup luka dengan prontosan, brunazin + tulle + kassa kering +
elastic perban
6. Operasi selesai

18
Follow up 23 September 2019

Tanggal S O A P
23 September Nyeri KU sedang, Bedah Bedah Plastik:
2019 (+) CM Plastik: Infus NaCl 0,9% =
Vital Sign : Combustio 100cc/jam
TD 130/85 listrik Pro koreksi elektrolit
mmHg 51% grade pasca stop manitol
HR 96x/menit II-III Diet lunak
RR 20x/menit KSR 3x1
T 37°C albumin oral 3x1
SpO2 100% rawat dengan
GCS E4V5M6 prontosan
Bedah Plastik:
Urin output:
400cc/6jam

Follow up 24 September 2019

Tanggal S O A P
24 September (-) KU sedang, CM Bedah Bedah Plastik:
2019 Vital Sign : Plastik: Infus NaCl 0,9%
TD Combustio 1300cc
130/100mmHg listrik 51 Inj metamizole 1 gr/8
HR 80x/menit % jam
RR 20x/menit Grade II- Ranitidine 50 mg/12
T 37°C III jam
SpO2 100% Transfusi octalbin
GCS E4V5M6 25%
Bedah Plastik: Diet TKTP extra telur
R. wajah&leher: Air peroral 2 liter/hari
Derajat 2AB 3%
R.thorak:
Derajat 2AB 9%

R. manus d/s:
Derajat 2AB 2%

19
Follow up 25 September 2019

Tanggal S O A P
25 September (-) KU sedang, CM Bedah Bedah Saraf :
2019 Vital Sign : Saraf : 1. O2 3 lpm
TD 100/70 COR GCS 2. Head up 30’
mmHg E4V5M6 3. Terapi TS
HR 86x/menit B.Plastik
RR 20x/menit Bedah
T 36,8°C Plastik: Bedah Plastik:
SpO2 100% Combustio Target oral 2 L drr
GCS E4V5M6 listrik 51 Inj. NaCl 0,9% 100
Bedah Plastik: % cc/ jam
R.leher s/d Inj. Ampicilin
wajah 2A 3% Sulbactam 1,5 g/ 8
R.Thorax 2A jam
9% VIP Albumin 3x1
R. Extremitas KSR 3x1
2AB 9% Diet TKTP
Luka di paha ditutup
Cek lab DR3, ur cr

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 September 2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 13.1 g/dl 13.5-17.5
Hematokrit 41 % 33-45
Leukosit 5.0 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 137 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.39 Juta/ul 4.50-5.90
Kimia Klinik
Creatinin 0.7 Mg/dl 6-1.1
Ureum 29 Mg/dl <50
Elektrolit
Natrium darah 130 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.2 Mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 96 Mmol/L 98-106

20
Follow up 26 September 2019

Tanggal S O A P
26 Demam KU sedang, Bedah Bedah Saraf :
September (-) CM Saraf : O2 3 lpm
2019 Vital Sign : COR GCS Head up 30’
TD 140/80 E4V5M6 Terapi TS B.Plastik
mmHg
HR Bedah Bedah Plastik:
100x/menit Plastik: Target K min. 3,5
RR 20x/menit Combustio Inj. NaCl 0,9% 100
T 37°C listrik 51 cc/ jam
SpO2 100% % Jum’at rencana naik
GCS ok, eksisi tangensial +
E4V5M6 medikasi
Bedah Plastik: Konsul jantung
R.leher Konsul anestesi
:maserasi (+) Post op cek albumin
R.Thorax 2A
9%
R. Extremitas
2AB 9%

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (26 September 2019)

Elektrolit
Natrium darah 133 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.0 Mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 103 Mmol/L 98-106
Calsium ion 1.08 Mmol/L 1.17-1.29

Jawaban Konsul Anestesi (26 September 2019)

Telah kami periksa pasien Tn Prayitno dengan kombusio listrik 51% pro medikasi
& eksisi tangensial, kami dapatkan:

TD : 164/102, N : 88. RR : 24, S : 25

Riwayat Ht +, Dm -, alergi –

SDV +/+, ST -/-, VES occasional, HT St 2

Hb : 134, Hct : 14, Na : 130, K 22, Cl : 96

21
Tindakan anestesi ASA II jika VES < 6x/menit

Saran : IV line, puasa 6 jam, informed consent, Post op HCU, sedia


darah, PRC

Jawaban Konsul Jantung (26 September 2019)

Telah kami periksa pasien Tn Prayitno dengan kombusio listrik 51% pro
medikasi & eksisi tangensial, kami dapatkan:

TD : 154/87, N : 100. HR:100/menit RR : 20

Sesak-, nyeri dada-, berdebar-

Riwayat Ht -, Dm -, alergi –, jantung-, stroke-

SDV +/+ ST -/- BJ I-II reguler Bising tambahan –

JVP 5+2 cm

HT st 1, EKG normogram dengan PVC occasional, acc raber

Saran : amlodipin 1x10 gr (post op ganti captopril1x10gr), Bisoprolol


1x1,25g, plan ecko, toleransi tindakan

Follow up 27 September 2019

Tanggal S O A P
27 (-) KU sedang, Bedah Bedah Plastik:
September CM Plastik: Medikasi+eksisi
2019 Vital Sign : Combustio tangensial kaki kanan
TD 130/80 listrik 51 hari ini
mmHg % NaCl 0,9% 100 cc/ jam
HR 76x/menit Elektrolit + KCl 25 meq/6jam ->
RR 20x/menit inbalance Lanjut NS 0,9% + KCl
T 37°C 25 meq
SpO2 100%
GCS E4V5M6
Bedah Plastik:
R.leher
:epitelisasi (+)
R.abdomen:
epitelisasi(-)
rembes(+)

22
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (27 September 2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.9 g/dl 13.5-17.5
Hematokrit 39 % 33-45
Leukosit 18.0 Ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 188 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.24 Juta/ul 4.50-5.90
Kimia Klinik
Albumin 2.0 g/dl 3.5-5.2
Elektrolit
Natrium darah 134 Mmol/L 136-145
Kalium darah 3.9 Mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 100 Mmol/L 98-106

Laporan Tindakan medis-operasi (27 September 2019)

1. Pasien posisi supine dalam GA, toilet medan operasi, persempit dengan
duk steril
2. Cuci dengan saflon, bilas NaCl 0,9%totol betadine encer  bilas NaCl
0,9%
3. Dilakukan eksisi tangensial pada ektremitas inferior kanan
4. Tutup luka dengan prontosan burnazin + tulle + kassa kering + elastic
bandage
5. Operasi selesai

23
Follow up 28 September 2019

Tanggal S O A P
28 (-) KU sedang, Bedah Bedah Plastik:
September CM Plastik: Infus D5% : RL = 2:1 =
2019 Vital Sign : Combustio 1500cc/24 jam
TD 110/70 listrik 51 % Inj metamizole 1 gr/8
mmHg Hipoalbumin jam
HR 86x/menit Ranitidine 50 mg/12 jam
RR 20x/menit Transfusi octalbin 25%
T 37°C Diet TKTP extra telur
SpO2 100% Air peroral 2 liter/hari
GCS
E4V5M6
Bedah Plastik:
R. leher:
epitelisasi (+)
R.abdomen:
epitelisasi(-)
rembes(-)
R. extremitas:
epitelisasi (-)
rembes (-)

Follow up 29 September 2019

Tanggal S O A P
29 (-) KU sedang, Bedah Bedah Plastik:
September CM Plastik: Infus D5% : RL = 2:1 =
2019 Vital Sign : Combustio 1500cc/24 jam
TD 120/80 listrik 51 % Inj metamizole 1 gr/8
mmHg Hipoalbumin jam
HR Ranitidine 50 mg/12 jam
80x/menit Transfusi octalbin 25%
RR Diet TKTP extra telur
20x/menit Air peroral 2 liter/hari
T 37°C
SpO2 100%
GCS
E4V5M6
Bedah

24
Plastik:
R. leher:
epitelisasi
(+)
R.abdomen:
epitelisasi(-)
rembes(-)
R.
extremitas:
epitelisasi (-
) rembes (-)

Follow up 30 September 2019

Tanggal S O A P
29 (-) KU sedang, Bedah Bedah Plastik:
September CM Plastik: Infus D5% : RL = 2:1 =
2019 Vital Sign : Combustio 1500cc/24 jam
TD 130/80 listrik 51 % Inj metamizole 1 gr/8 jam
mmHg Hipoalbumin Ranitidine 50 mg/12 jam
HR Transfusi octalbin 25%
90x/menit Diet TKTP extra telur
RR Air peroral 2 liter/hari
20x/menit
T 37°C
SpO2 100%
GCS
E4V5M6
Bedah
Plastik:
R. leher:
epitelisasi
(+)
R.abdomen:
epitelisasi(-
) rembes(-)
R.
extremitas:
epitelisasi
(-) rembes
(-)

25
Follow up 1 Oktober 2019

Tanggal S O A P
1 Oktober Rembes KU Bedah Saraf : Bedah Saraf :
2019 (+) sedang, COR GCS O2 3 lpm
CM E4V5M6 Head up 30’
TD : Terapi TS B.Plastik
126/80 Bedah Plastik:
mmHg : Combutio Bedah Plastik:
N: listrik grade 2- - Diet TKTP
90x/menit 3 51% - Infus Nacl : D5% = 2
Suhu : : 1 20tpm/24 jam
37.5SpO2 - Injeksi ranitidin 50
100% mg/12 jam
GCS - Injeksi metamizole 1
E4V5M6 g/8 jam
Bedah - air per oral 2
Plastik: liter/hari
R.leher - konsul KFR
:maserasi - vipalbumin 3 x 1
(+)
R.Thorax
2A 9%
R.
Extremitas
2AB 9%

Follow up 2 Oktober 2019

Tanggal S O A P
2 Oktober Rembes KU sedang, Bedah Saraf : Bedah Saraf :
2019 (+) CM COR GCS O2 3 lpm
TD : E4V5M6 Head up 30’
126/80 Terapi TS B.Plastik
mmHg Bedah
N: Plastik: Bedah Plastik:
90x/menit : Combutio - Diet TKTP
Suhu : listrik grade - Infus Nacl : D5% =
37.5SpO2 2-3 51% 2 : 1 20tpm/24 jam
100% - Injeksi ranitidin 50
GCS mg/12 jam
E4V5M6 - Injeksi metamizole
Bedah 1 g/8 jam

26
Plastik: - air per oral 2
R.leher liter/hari
:maserasi - konsul KFR
(+) - vipalbumin 3 x 1
R.Thorax - ACC pindah
2A 9% bangsal
R.
Extremitas
2AB 9%

Follow up 3 Oktober 2019

Tanggal S O A P
3 Oktober Rembes KU sedang, Bedah Saraf : Bedah Saraf :
2019 (+) CM COR GCS O2 3 lpm
TD : 126/80 E4V5M6 Head up 30’
mmHg Acc Pindah Bangsal
N: Bedah Plastik: Terapi TS B.Plastik
90x/menit : Combutio
Suhu : listrik grade 2- Bedah Plastik:
37.5SpO2 3 51% - Diet TKTP
100% - Infus Nacl : D5%
GCS = 2 : 1 20tpm/24
E4V5M6 jam
Bedah - Injeksi ranitidin
Plastik: 50 mg/12 jam
R.leher - Injeksi
:maserasi metamizole 1 g/8
(+) jam
R.Thorax - air per oral 2
2A 9% liter/hari
R. - konsul KFR
Extremitas - vipalbumin 3 x 1
2AB 9% - ACC pindah
bangsal

27
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. LUKA BAKAR
A. EPIDEMIOLOGI
Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka
morbiditas 96,1% lebih banyak terjadi pada wanita. Berdasarkan tempat kejadian,
69 % di rumah tangga dan 9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di rekreasi
atau olahraga 10% dan lain-lain.(5)
Jumlah kejadian cedera listrik diperkirakan menimbulkan 1000 kematian
pertahun dan sekitar 3000 orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat.
Diperkirakan 20% kejadian luka listrik terjadi pada anak-anak, jumlah terbanyak
pada usia balita.1 Luka bakar listrik kebanyakan terjadi pada anak-anak saat di
rumah. Pada orang dewasa, kebanyakan kecelakaan luka bakar terjadi di tempat
kerja dan menjadi tempat keempat tertinggi yang mengancam jiwa. Lebih dari 50
% pekerja elektrik mendapat luka dari kabel listrik, dan 25% berasal dari alat
elektrik. Rasio laki-laki dan perempuan sebanyak 9 : 1.3

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT


Kulit merupakan organ terbesar tubuh yang terdiri dari lapisan sel
dipermukaan. Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan dermis. Luas kulit
orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan
organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin dari kesehatan dan
kehidupan. Kulit juga sangat sangat kompleks, elastis, dan sensitif, bervariasi pada
keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.(7,8)
Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang utamanya disusun oleh sel-sel
epitel. Sel – sel yang terdapat dalam epidermis antara lain: keratinosit (sel
terbanyak pada lapisan epidermis), melanosit, sel merkel dan sel Langerhans.
Epidermis terdiri dari lima lapisan yang paling dalam yaitu stratum basale,
stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum dan stratum corneum.
(7,8)

28
Dermis merupakan lapisan yang kaya akan serabut saraf, pembuluh darah
dan pembuluh darah limfe. Selain itu, dermis juga tersusun atas kelenjar keringat,
kelenjar sebasea, dan folikel rambut. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
papillaris dan lapisan retikularis, sekitar 80% dari dermis adalah lapisan retikularis

Gambar 1. Anatomi kulit(7)

29
Secara fisiologis, kulit mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam terhadap gangguan fisis atau
mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya zat-
zat kimiawi terutama yang bersifat iritan, misalnya lisol, karbol, asam, dan
alkali. Gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra
violet; gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur.
2. fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda
padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang
larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antar sel menembus sel-sel epidermis atau melalui
muara saluran kelenjar.
3. fungsi ekskresi, kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak berguna lagi atau
sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, Urea, asam urat, dan amonia.
Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan ini selalu meminyaki
kulit jua menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi
kering.
4. fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan
ruffinidermis dan sukutis.
5. Fungsi termoregulasi(pengaturan suhu tubuh), kulit melakukan peranan ini
dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah kulit.
6. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di
lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan-tangan dendrit. Sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa
oleh sel melanofag.
7. Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai sel utama yaitu
keratinosit, sel langerhans, melanosis.

30
8. Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi
kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.

C. ETIOLOGI
Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat
kimia. Ketika kulit terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat
panas, durasi kontak panas pada kulit dan ketebalan kulit..(1,4,7, 10)
1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns)
Luka bakar termal disebabkan oleh air panas (scald), jilitan api ke tubuh
(flash), koboran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak dengan
objek-objek panas lainnya (misalnya plastik logam panas dan lain-lain). .(1,4,7,
10)

2. Luka Bakar Zat Kimia (Chemical Burns)


Luka bakar kimia biasanya disebabaka oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga. .(1,4,7, 10)
3. Luka Bakar Listrik (Electrical Burns)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada
pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan
sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik
kontak dengan sumber arus maupun ground. .(1,4,7, 10)
Trauma listrik terjadi saat seseorang menjadi bagian dari sebuah perputaran
aliran listrik atau bisa disebabkan pada saat berada dekat dengan sumber
listrik. Secara umum ada 2 jenis tenaga listrik, yaitu :4
1.Tenaga listrik alam, seperti petir
2.Tenaga listrik buatan, seperti arus listrik searah (DC) contohnya baterai dan
arus listrik bolak balik (AC) contohnya listrik PLN di rumah atau pabrik

31
4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe luka bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif untuk
keperluan terapeutik dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar
matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

Gambar 2. Tipe luka bakar

D. PATOFISIOLOGI
Respon Lokal
Terdapat 3 zona luka bakar menurut Jackson 1947 yaitu: (1)
1. Zona Koagulasi

32
Merupakan daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber
panas dan terjadi nekrosis dan kerusakan jaringan yang irevisibel disebabkan
oleh koagulasi constituent proteins.
2. Zona Stasis
Zona stasis berada sekitar zona koagulasi, di mana zona ini
mengalami kerusakan endotel pembuluh darah, trombosit, leukosit sehingga
penurunan perfusi jaringan diikuti perubahan permeabilitas kapiler(kebocoran
vaskuler) dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selam 12-24 jam
pasca cedera, dan mungkin berkakhir dengan nekrosis jaringan. (1)
3. Zona Hiperemia
Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya
masih viable. Proses penyembuhan berawal dari zona inikecuali jika terjadi
(1)
sepsi berat dan hipoperfusi yang berkepanjangan.

Gambar 3. Zona luka bakar Jackson 1947 dan efeknya terhadap resusitasi
adekuat dan inadekuat. (1)

Elektron mengalir dalam tubuh secara abnormal sehingga menghasilkan


cedera atau kematian melalui depolarisasi otot dan saraf, inisiasi abnormal irama
elektrik pada jantung dan otak atau menghasilkan luka bakar elektrik internal
maupun eksternal melalui panas dan pembentukan pori di membran sel.2,4

33
Arus yang melalui otak, baik voltase rendah maupun tinggi mengakibatkan
penurunan kesadaran segera karena depolarisasi saraf otak. Arus bolak balik (AC)
dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel jika jalurnya melalui dada.5 Aliran listrik
yang lama mengakibatkan kerusakan iskemik otak yang diikuti dengan gangguan
nafas.3,6

Cedera bisa berupa luka bakar ringan sampai kematian, tergantung kepada:
1. Jenis dan kekuatan arus listrik.
Secara umum, arus searah (DC) tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan
dengan arus bolak-balik (AC). Efek AC pada tubuh manusia sangat
tergantung kepada kecepatan berubahnya arus (frekuensi), yang diukur dalam
satuan siklus/detik (hertz). Arus frekuensi rendah (50-60 hertz) lebih
berbahaya dari arus frekuensi tinggi dan 3-5 kali lebih berbahaya dari DC
pada tegangan (voltase) dan kekuatan (ampere) yang sama.

DC cenderung menyebabkan kontraksi otot yang kuat, yang seringkali


mendorong jauh/melempar korbannya dari sumber arus. AC sebesar 60 hertz
menyebabkan otot terpaku pada posisinya, sehingga korban tidak dapat
melepaskan genggamannya pada sumber listrik. Akibatnya korban terkena
sengatan listrik lebih lama sehingga terjadi luka bakar yang berat.

Biasanya semakin tinggi tegangan dan kekuatannya, maka semakin besar


kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua jenis arus listrik tersebut. Kekuatan
arus listrik diukur dalam ampere. 1 miliampere (mA) sama dengan 1/1,000
ampere. Pada arus serendah 60-100 mA dengan tegangan rendah (110-220
volt), AC 60 hertz yang mengalir melalui dada dalam waktu sepersekian detik
bisa menyebabkan irama jantung yang tidak beraturan, yang bisa berakibat
fatal. Arus bolak-balik lebih dapat menyebabkan aritmia jantung dibanding
arus searah. Arus dari AC pada 100 mA dalam seperlima detik dapat
menyebabkan fibrilasi ventrikel dan henti jantung.

Efek yang sama ditimbulkan oleh DC sebesar 300-500 mA.


Jika arus langsung mengalir ke jantung, misalnya melalui sebuah pacemaker,

34
maka bisa terjadi gangguan irama jantung meskipun arus listriknya jauh lebih
rendah (kurang dari 1 mA).

2. Ketahanan tubuh terhadap arus listrik


Resistensi adalah kemampuan tubuh untuk menghentikan atau memperlambat
aliran arus listrik.

Resistensi jaringan, adalah sebagai berikut.

- Resistensi rendah: Saraf, Darah, Membran mukosa, Otot

- Resistensi sedang: Kulit kering, Tendon, Jaringan lemak

- Resistensi tinggi: Tulang

Kebanyakan resistensi tubuh terpusat pada kulit dan secara langsung


tergantung kepada keadaan kulit. Resistensi kulit yang kering dan sehat rata-
rata adalah 40 kali lebih besar dari resistensi kulit yang tipis dan lembab.2
Resistensi kulit yang tertusuk atau tergores atau resistensi selaput lendir yang
lembab (misalnya mulut, rektum atau vagina), hanya separuh dari resistensi
kulit utuh yang lembab. Resistensi dari kulit telapak tangan atau telapak kaki
yang tebal adalah 100 kali lebih besar dari kulit yang lebih tipis. Arus listrik
banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang dilepaskan di
permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan luka bakar yang luas
dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus, disertai dengan hangusnya
jaringan diantara titik masuk dan titik keluarnya arus listrik.(5)

3. Adanya hubungan dengan bumi


Sehubungan dengan faktor tahanan, maka orang yang berdiri pada tanah yang
basah tanpa alas kaki, akan lebih berbahaya daripada orang yang berdiri
dengan mengggunakan alas sepatu yang kering, karena pada keadaan pertama
tahanannya rendah.(1,2)

4. Lamanya waktu kontak dengan konduktor


Makin lama korban kontak dengan konduktor maka makin banyak jumlah
harus yang melalui tubuh sehingga kerusakan tubuh akan bertambah besar
dan luas. Dengan tegangan yang rendah akan terjadi spasme otot-otot

35
sehingga korban malah menggenggam konduktor. Akibatnya arus listrik akan
mengalir lebih lama sehingga korban jatuh dalam keadaan syok yang
mematikan Sedangkan pada tegangan tinggi, korban segera terlempar atau
melepaskan konduktor atau sumberlistrik yang tersentuh, karena akibat arus
listrik dengan tegangan tinggi tersebut dapat menyebabkan timbulnya
kontraksi otot, termasuk otot yang tersentuh aliran listrik tersebut.(1,2,5)

5. Aliran arus listrik


Adalah tempat-tempat pada tubuh yang dilalui oleh arus listrik sejak masuk
sampai meninggalkan tubuh. Arus listrik paling sering masuk melalui tangan,
kemudian kepala; dan paling sering keluar dari kaki.
Arus listrik yang mengalir dari lengan ke lengan atau dari lengan ke tungkai
bisa melewati jantung, karena itu lebih berbahaya daripada arus listrik yang
mengalir dari tungkai ke tanah. Letak titik masuk arus listrik (point of entry)
dan letak titik keluar bervariasi sehingga efek dari arus listrik tersebut
bervariasi dari ringan sampai berat. Arus listrik masuk dari sebelah kiri
bagian tubuh lebih berbahaya daripada jika masuk dari sebelah kanan. Bahaya
terbesar bisa timbul jika jantung atau otak berada dalam posisi aliran listrik
tersebut. Bumi dianggap sebagai kutub negatif. Orang yang tanpa alas kaki
lebih berbahaya kalau terkena aliran listrik,alas kaki dapat berfungsi sebagai
isolator, terutama yang terbuat dari karet.

E. KLASIFIKASI

Cedera listrik utama adalah luka bakar.1 cedera Sekunder akibat trauma tumpul
dari jatuh atau terlempar dari sumber listrik oleh kontraksi otot intens. Luka bakar
listrik dapat diklasifikasikan menjadi6

1. kontak langsung
pemanasan elektrothermal
2. kontak tidak langsung
bunga api listrik (arc)

36
nyala api listrik (flame)
kilatan listrik (flash)
Pemanasan jaringan sekunder untuk menyebabkan arus luka bakar
electrothermal. Biasanya luka bakar ini adalah hasil dari aliran listrik bertegangan
rendah pada daerah yang terbatas. Aliran yang terus-menerus saat ini dapat
menyebabkan luka bakar yang signifikan di mana saja di sepanjang jalan saat ini.
Biasanya lesi kulit luka bakar electrothermal yang berbatas tegas, deep- parsial
untuk luka bakar full-thickness . 6

Yang paling merusak dari cedera tidak langsung terjadi ketika korban terkena
dari percikan bunga listrik. Bunga api listrik adalah percikan yang terbentuk
antara dua benda bertegangan yang tidak bersentuhan satu sama lain, biasanya
merupakan sumber yang bertegangan tinggi dan tanah. Karena suhu bunga api
listrik adalah sekitar 2500 °C, menyebabkan luka bakar yang sangat mendalam
pada titik di mana terjadi kontak dengan kulit. Dalam keadaan lengkung, luka
bakar dapat disebabkan oleh panas dari busur itu sendiri, pemanas electrothermal
akibat arus aliran, atau dengan api yang dihasilkan dari pembakaran pakaian.2

Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan


.(1,4,7, 10).
berdasarkan kedalaman, luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar.
Berdasarkan luas permukaan luka bakar.
Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas permukaan
tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Untuk menghitung secara cepat
dipakai Rules of Nine atau Rules of Walles dari Walles. Perhitungan cara ini
hanya dapat diterapkan pada orang dewasa, karena anak-anak mempunyai
proporsi tubuh yang berbeda. Pada anak-anak dipakai modifikasi Rule of Nines
menurut Lund and Browder, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1
tahun. (1,2, 4,7,10)

37
Gambar 4. Wallence Rule of Nines(1)

1. Bedasarkan derajat ringan luka bakar menurut American Burn Association:


(1,4,7,10)

a. Luka Bakar Ringan


i. Luka bakar derajat II < 5%
ii. Luka bakar derajat II 10% pada anak
iii. Luka bakar derajat II < 2%(1,3.6, 8)
b. Luka Bakar Sedang
i. Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa
ii. Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak
iii. Luka bakar derajat III < 10%(1,3.6, 8)
c. Luka Bakar Berat
i. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
ii. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
iii. Luka bakar derajat III 10% atau lebih
iv. Luka bakar mengenai tangan, telinga, mata, kaki, dan
genitalia/perineum.

38
v. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma
lain. (1,4,7,10)

Gambar 5. Lund and Browder(1)

F. Gambaran kinis

Gejalanya tergantung kepada interaksi yang rumit dari semua sifat arus listrik.
Suatu kejutan dari sebuah arus listrik bisa mengejutkan korbannya sehingga dia
terjatuh atau menyebabkan terjadinya kontraksi otot yang kuat. Kedua hal tersebut
bisa mengakibatkan dislokasi, patah tulang dan cedera tumpul. Kesadaran bisa

39
menurun, pernafasan dan denyut jantung bisa lumpuh. Luka bakar listrik bisa
terlihat dengan jelas di kulit dan bisa meluas ke jaringan yang lebih dalam.8

1. Kepala dan Leher

Kepala adalah titik kontak utama untuk cedera tegangan tinggi, dan
pasienmungkin menunjukkan luka bakar serta kerusakan neurologis. Katarak
timbul di sekitar 6 % kasus cedera tegangan tinggi, terutama bila tersengat
listrikdi sekitar kepala. Meskipun katarak mungkin hadirlebih cepat atau
lambat setelah kecelakaan itu, katarak biasanya muncul beberapa bulansetelah
kejadian. Ketajaman visual dan pemeriksaan funduskopi harus dilakukanpada
kemudian hari. Pasien harus segera dirujuk ke dokter mata untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya katarak ini.8

2. Sistem kardiovaskular

Serangan jantung, baik dari detak jantung atau fibrilasi ventrikel, adalah
kondisi umum yang akan terjadi dalam kecelakaan listrik. Pada
Elektrokardiografi (EKG) ditemukan sinus takikardi, sementara elevasi
segmen ST, QT reversibelsegmen perpanjangan, kontraksi ventrikel
prematur, fibrilasi atrium, danbundel branch block. Infark miokard akut
dilaporkan tetapi relatif jarang. Kerusakan otot rangka dapat menghasilkan
peningkatan fraksi CPK-MB, mengarah pada diagnosis palsu infark miokard
dalam beberapa pengaturan.

3. Kulit

Selain serangan jantung, luka yang paling dahsyat yang terjadi saat cedera
listrik adalah kulit terbakar, yang paling parah pada luka masuk dan tubuh
yang kontak dengan tanah. Bagian tubuh yang paling sering dari terkena
kontak dengan sumber listrik ialah tangan dan tengkorak. Daerah yang paling
sering dari tanah adalah tumit. Seorang pasien mungkin memiliki beberapa
luka masuk dan titik kontak dengan tanah. Luka bakar di listrik yang parah
sering muncul keluhan seperti rasa sakit, depresi, kuning abu-abu, belang-
belang daerah dengan pusat nekrosis, atau daerah yang mengeras seperti

40
mumi. Arus tegangan tinggi seringmengalir pada internal tubuh dan dapat
membuat kerusakan otot besar. Jika kontak dalam singkat. Namun, arus
minimal mungkin terjadi dan kerusakan kulit terlihat mungkin mewakili
hampir semua kerusakan. Seseorang sebaiknya tidak mencoba untuk
memprediksi jumlah kerusakan jaringan di bawahnya dari jumlah keterlibatan
kulit. Cedera listrik yang paling umum terlihat pada anak-anak kurang dari 4
tahun adalah mulut luka bakar yang terjadi dari mengisap pada kabel ekstensi
listrik rumah tangga. Luka-luka bakar biasanya merupakan luka bakar busur
lokal, mungkin melibatkan orbicularis oris otot, dan sangat mengkhawatirkan
ketika komisura yang terlibat karena dari kemungkinan deformitas kosmetik.
Sebuah risiko yang signifikan pendarahan tertunda dari arteri labial ada ketika
memisahkan escar . Kerusakan pertumbuhan dilaporkan , dan biasanya
dirujuk ke bedah mulut.8

Pada kulit terjadi escar yang bisa menyebabkan timbulnya sindrom


kompartemen. Syndrom kompartemen adalah suatu kondiri dimana terjadi
peningkatan tekannan insterstitial pada kompartemen osteofasial yang
tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan
oksigen pada jaringan.

Gejala klinis yang umumnya ditemukan pada sindroa kompartemen


meliputi:
 Pain : nyeri pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena

 Pallor : kulit terasa dingin jika dipalpasi, warna kulit biasanya


pucat

 Parastesia : biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi

 Paralisis : diawali dengan ketidak mampuan untuk menggerakkan


sendi

 Pulselesness : berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya


gangguan perfusi arterial.

41
Dalam cedera tegangan tinggi, nekrosis otot dapat meluas ke tempat yang
jauh dari luka kulit yang terlihat, dan kompartemen sindrom terjadi sebagai
akibat dari pembuluh darahiskemia dan edema otot. Dekompresi fasciotomy
atau amputasi sering diperlukan karena kerusakan jaringan yang luas.

4. Ekstremitas

Pelepasan mioglobin yang banyakdari otot yang rusak dapat menyebabkan


kerusakan Myoglobinuria. Vascular ginjal dari energi listrik bisa menjadi
jelas setiap saat isi ulang kapiler harus dikaji dan didokumentasikan dalam
semua ekstremitas, dan pemeriksaan neurovaskular harus sering diulang.
Karena arteri adalah sistem high-flow, panas dapat hilang cukup baik dan
menyebabkan sedikit kerusakan awal jelas tapi hasilnya dalam kerusakan
berikutnya. Pembuluh darah, di sisi lain, adalah sistem aliran rendah, yang
memungkinkan energi panas untuk menyebabkan pemanasan lebih cepat dari
darah, dengan akibat trombosis . Akibatnya, ekstremitas mungkin muncul
pembengkakan pada awalnya. Dengan luka parah, seluruh ekstremitas
mungkin muncul pengerasan ketika semua elemen jaringan, termasuk arteri,
mengalami koagulasi nekrosis. Kerusakan pada dinding pembuluh pada saat
cedera juga dapat mengakibatkan tertundatrombosis dan perdarahan, terutama
dalam arteri kecil pada otot .

G. PENATALAKSANAAN
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di
tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah
membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan
keselamatan diri sendiri. Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak
bisa dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiriamkan ke atas luka dalam waktu
15 menit sejak kejadian, namun air dingin tidak dapat diberikan untuk
mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi. (1,2,4,7,10)
2. Burn Resusitasi

42
Burn shock akan berkembang menjadi hypovolemi dan penghancuran
jaringan selular. Karakteristik dari tipe shock ini adalah penurunan cardiac
output dan volume plasma dan terjadi peningkatan cairan ekstraseluler,
edema dan oligouria.
3. Resusitasi jalan nafas
Bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang adekuat. Pada
luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi dikerjakan
sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum
dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan dengan menggunakan face mask.
Intubasi bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas
pemeliharaan jalan napas (penghisapan sekret) dan broncoalveolar lavage.
Krikotiroidotomi masih menjadi perdebatan karena dianggap terlalu agresif
dan morbiditasnya lebih besar dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi
dilakukan pada kasus yang diperkirakan akan lama menggunakan ETT yaitu
lebih dari 2 minggu pada luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.
Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa
endotracheal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik
disaluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang meningkat pada
proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih mudah
dikeluarkan. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan
distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah,takipneu,
pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan dan stridor.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial
dan foto thorax.
4. Resusitasi cairan

Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:

 Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh


vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak
diperlukan.

43
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk
menjamin survival seluruh sel
 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a. Jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik
dan koloid:

Larutan kristaloid

Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah
Ringer Laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya
dalam plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma.
Pada keadaan normal, cairan ini tidak hanya dipertahankan di ruang
intravaskular karena cairan ini banyak keluar ke ruang interstisial.
Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan meningkatkan volume
intravaskuer 300 ml.

Larutan hipertonik

Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan


penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan
garam hiperonik tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%,
3%, 5 %, 7,5% dan 10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan
intraseluler sehingga cairan akan berpindah dari intraseluler ke
ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.

Larutan koloid

Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan Dextran.


Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran
kapiler, oleh karena itu sebagian akan tetap dipertahankan didalam ruang
intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi peningkatan

44
permeabilitas kapiler sehingga molekul akan berpindah ke ruang
interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium yang ada.
HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substitued amilopectin
sintetik, HES berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T ½
dalam plasma selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping
koagulopati namun umumnya tidak menyebabkan masalah klinis. HES
dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan cara menutup celah
interseluler pada lapisan endotel sehingga menghentikan kebocoran cairan,
elektrolit dan protein. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa HES
memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan lipid protein complex
yang dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas
kapiler. Efek antiinflamasi diharapkan dapat mencegah terjadinya SIRS.
(1,4,7,10)

b. Dasar pemilihan Cairan


Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah
efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas
kapiler, oksigen, PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi,
faktor keamanan, eliminasi praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk
resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus
diteliti. Sebagian orang berpendapat bahwa kristaloid adalah cairan yang
paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis
tertentu. Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal
ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki
kelebihan dan kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran di
kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam
pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid. (1,4,7,10)
c. Penentuan jumlah cairan
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga
sampai empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1 L cairan kristaloid akan
meningkatkan volume intravaskuler 300 ml. Kristaloid hanya sedikit
meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transpor oksigen.(1,4,7,10)

45
Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau
kasus luka bakar > 25-30% atau dijumpai keterlambatan > 2 jam. Dalam <4
jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak 3[25%(70%xBBkg)] ml.
70% adalah volume total cairan tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal
kehilangan cairan tubuh dapat menimbulkan gejala klinik sidrom syok. (1,4,7,10)
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas < 25-
30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan < 2 jam. Kebutuhan dihitung
berdasarkan rumus baxter 3-4 ml/kgBB/% LB. (1,4,7,10)
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum
digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini
mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat
diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu luas tanpa keterlambatan.
Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut:
 Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8
jampertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak
dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera
inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1% dari kebutuhan.
 Penggunaan zat vasoaktif (dopamin dan dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% jumlah
tetesan dibagi rata dalam 24 jam.
 Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral
(minimal 6-12cm H20) sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah
produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5- 1ml /kg BB/jam maka
jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya.
 Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis
dan sedimen).
 Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas
cairan lambung melaui pipa nasogastrik. Jika , 200ml tidak ada gangguan

46
pasase lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400 ml gangguan
berat. (1,4,7,10)

Penatalaksanaan 24 jam kedua


 Pemberian cairan yang menggunakan glukosa dan dibagi rata dalam 24
jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah glukosa5% atau 10% 1500-
2000 ml. Batasan ringer laktat dapat memperberat edema interstisial.
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah
produksi uin <1-2 ml/kgBB/jam,berikan vasoaktif samapi 5 mg/kgBB
 Pemantauan analisa gas darah, elektrolit(1,4,7,10)

Penatalaksanaan setelah 48 jam


 Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintanance
 Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4 ml/kgBB),
hemoglobin dan hematokrit. (1,4,7,10)

Rumus Baxter:
Pada dewasa:
 Hari I: 3-4 ml x kgBB x % luas luka bakar
 Hari II:Koloid: 200-2000 cc + glukosa 5%
Pemberian cairan ½ volume pada 8 jam pertama dan ½ volume diberikan
16jamberikutnya.

Pada anak:
 Hari I:
RL:dex 5% = 17:3
(2cc x kgBB x % luas luka bakar) + keb. faal
Kebutuhan Faal:
<1 thn = kgBB X 100cc
5-15 thn = kgBB X 75cc
>15 thn = kgBB X 50cc

47
 Hari II: sesuai kebutuhan faal

Formula Parkland:
 Hari I (24jam pertama):
8 jam pertama: [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA )] / 8 jam =cc/jam
16 jam kedua: [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam = cc/jam
 Penambahan cairan rumatan pada anak :
4 cc/kgBB/jam dalam 10 kg pertama
2 cc/kg BB/jam dalam 10 kg kedua (11-20kg)
1 cc/kgBB/jam untuk tiap >20kg

Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml


ditambah 1% dari kebutuhan.Pengawasan kecukupan cairan yang
diberikan dapat dilihat dari produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0
cc/kg/jam dan pada anak 1,0-1,5 cc/kg/jam. (1,4,7,10)

5. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas,
mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakukan. Tindakan meliputi
debridement secara alami, mekanik (nekrotomi) atau tindakan bedah (eksisi),
pencucian luka, wound dressing dan pemberian antibiotik topikal . Tujuan
perawatan luka adalah untuk menutup luka dengan mengupaya proses
reepiteliasasi, mencegah infeksi, mengurangi jaringan parut dan kontraktur
dan untuk menyamankan pasien. Debridement diusahakan sedini mungkin
untuk membuang jaringan mati dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan ini
dilakukan setelah keadaan penderita stabil, karena merupakan tindakan yang
cukup berat. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif sedangkan
untuk ukuran besar(>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapisan epidermis
diatasnya. (1,4,7,10)
Pengangkatan keropeng (eskar) atau eskarotomi dilakukan juga pada
luka bakar derajat III yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh sebab

48
pengerutan keropeng(eskar) da pembengkakan yang terus berlangsung dapat
mengakibatkan penjepitan (compartment syndrome) yang membahayakan
sirkulasi sehingga bahgian distal iskemik dan nekrosis(mati). Tanda dini
penjepitan (compartment syndrome) berupa nyeri kemudian kehilangan daya
rasa (sensibilitas) menjadi kebas pada ujung-ujung distal. Keaadan ini harus
cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang membuka keropeng
sampai penjepitan bebas. (1,4,7,10)
Pencucian luka dilakukan dengan hidroterapi yaitu memandikan
pasien atau dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka
dibalut dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembap.
Perawatan luka tertutup dengan occlusive dressing untuk mencegah
penguapan berlebihan. Penggunaan tulle (antibiotik dalam bentuk sediaan
kasa) berfungsi sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan
epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi
pada luka. (1,4,7,10)
6. Lain-lain
Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai
profilaksis infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Dalam3-5 hari
pertana populasi kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif
non-patogen.Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri Gram negative patogen.
Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril
sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik topikal yang dapat
digunakan adalah silver sulfadiazine 1%, silver nitrate dan mafenide
(sulfamylon) dan xerofom/bacitracin. Antasida diberikan untuk pencegahan
tukak beban (tukak stress/stress ulcer), antipiretik bila suhu tinggi dan
analgetik bila nyeri. (1,4,7,10)
Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan
keseimbnagan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu sebanyak
2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. Kalau perlu makanan
diberikan melalui enteral atau ditambah dengan nutrisi parenteral. Pemberian
nutrisi enteral dini melalui nasaogastik dalam 24 jam pertama pasca cedera

49
bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa usus. Pemberian enteral
dilakukan dengan aman bila Gastric Residual Volume (GRV) <150 ml/jam
yang menandakan pasase saluran cerna baik. (1,4,7,10)
Penderita yang sudah mulai stabil keadaannya perlu fisioterapi untuk
memperlancarkan peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Kalau
perlu sendi diistirahatkan dalam posisi fungsional degan bidai.Penderita luka
bakar luas harus dipantau terus menerus. Keberhasilan pemberian cairan
dapat dilihat dari diuresis normal yaitu 1ml/kgBB/jam. Yang penting juga
adalah sirkulasi normal atau tidak dengan menilai produksi urin,analisa gas
darah, elektrolit, hemoglobin dan hematokrit. (1,4,7,10)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan
grafting.Kompilkasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan
MODS.Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi,ss yaitu atrofi
mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa, motilitas usus menurun dan ileus. Pada
ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal menurun. Skin
graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh
hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat
terjadi jaringan parut pada kulit berupa jaringan parut hipertrofik., keloid dan
kontraktur.Kontraktur kulit dapat menganggu fungsi dan menyebabkan kekeauan
sendi. Kekakuan sendi memerlukan program fisioterapi yang intensif dan
kontraktur memerlukan tindakan bedah.

I. PROGNOSIS
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan
kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor ini dapat sembuh 5-10
hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14

50
hari dan mugkin dapat menimbulkan luka parut. Jaringan parut akan membatasi
gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan dapat diperlukan untuk
membuang jaringan parut.

II. SUBARACHNOID HEMORRHAGE

A. DEFINISI DAN ETIOLOGI


Perdarahan subarchnoid merupakan suatu keadaan terjadinya perdarahan
pada ruang diantara lapisan arachnoid dan piamater meninges (Ferri, 2016).
Gejala primer pasien dengan perdarahan subarchnoid adalah nyeri kepala
hebat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat didahului dengan mual muntah,
kejang, gangguan motorik, atau kehilangan kesadaran (Becske, 2018 ; Ferri,
2016). Etiologi dari perdarahan subarachnoid dikelompokkan dalam beberapa
kelompok, yaitu :
 Trauma, yang merupakan penyebab terbanyak terjadinya perdarahan
subarachnoid
 Idiopatik, pada kasus ini perdarahan subarachnoid terjadi namun tidak
ditemukan penyebabnya secara angiografik
 Spontan, biasanya disebabkan karena adanya ruptur aneurisma,
malformasi arteri-vena, angioma, dan trombosis kortikal

51
B. ANATOMI

Gambar 6. anatomi lapisan meninges


Meninges mempunyai 3 lapisan yang yaitu berurutan dari lapisan luar ke
dalam ada lapisan duramater (pachymeninx) lapisan keras, Arachnoid &
piamater (leptomeninx) lapisan halus.

52
C. FAKTOR RISIKO & PATOFISIOLOGI
1. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko terjadinya subarachnoid yang
bersifat dose-dependent. Penelitian yang dilakukan oleh Lindbhom et al.
(2016) menyebutkan bahwa konsumsi rokok 1-10 batang per hari dapat
dengan cepat meningkatkan risiko terjadinya SAH sebesar 1.5x lebih
tinggi daripada yang bukan perokok. Paparan terhadap asap rokok yang
mengandung banyak radikal bebas dapat menyebabkan perubahan yang
signifikan pada sistem imun serebral dan proses inflamasi. Mekanisme ini
berhubungan dengan kerusakan endotel pembuluh darah dan akan
mengarahkan pada pembentukan dan pecahnya aneurisma cerebri (Starke
et al., 2018)
2. Hipertensi
Hipertensi memiliki efek yang dapat merusak sirkulasi darah di
otak. Hipertensi dapat mengubah struktur pembuluh darah dengan
memproduksi vaskular hipertrofi dan remodeling sert memicu terjadinya
aterosklerosis pada arteri serebral besar dan lipohyalinosis dalam penetrasi
arteriol. Selain itu, hipertensi juga merusak relaksasi endotelium yang
bergantung dan mengubah autoregulasi serebrovaskular dan kopling
neurovaskular sehingga vaskular menjadi lebih kaku atau spasme. Dengan
pergantian fungsional dan struktural ini, hipertensi memfasilitasi oklusi
vaskular atau perubahan degeneratif yang mudah pecah, sehingga
menyebabkan stroke iskemik dan hemoragik. Hal ini terutama terjadi pada
pasien-pasien dengan aneurisma, dimana struktur dinding pembuluh darah
sudah menjadi lebih tipis
3. Penggunaan Amfetamin
Masalah cerebrovaskular sekunder akibat penggunaan
metamfetamin, termasuk perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid, dan infark serebral, telah banyak dilaporkan. Perdarahan
intraserebral terkait metamfetamin terjadi paling sering di ruang
supratentorial dan telah dilaporkan di semua lobus serebral, dengan

53
sebagian besar melibatkan lobus frontal. Etiologi perdarahan intraserebral
terkait metamfetamin tidak jelas. Metamfetamin adalah simpatomimetik
kuat yang menghasilkan pelepasan norepinefrin dan dopamin dari ujung
saraf sinaptik dan menyebabkan peningkatan denyut nadi dan tekanan
darah, yang menekankan dinding pembuluh darah. Penggunaan
metamfetamin kronis juga terbukti menyebabkan efek berbahaya sistemik
jangka panjang. Pembuluh darah yang terkena menjadi lemah dan mudah
pecah dan berdarah, terutama selama stres akut, seperti mengikuti
konsumsi metamfetamin. Dalam beberapa kasus, bukti patologis telah
ditemukan; misalnya, hubungan antara penyalahgunaan metamfetamin dan
angitis nekrotikans yang mengakibatkan perdarahan intraserebral telah
dilaporkan. Vaskulitis serebral adalah temuan histologis yang paling
umum digambarkan pada penyalahguna metamfetamin dengan stroke
hemoragik atau iskemik. Telah dipostulatkan bahwa metamfetamin dapat
menyebabkan perubahan inflamasi di dalam dinding pembuluh darah

D. STAGING
Klasifikasi SAH dengan memasukkan gambaran CT scan kepala dibagi
dalam tingkatan yang juga berkorelasi dengan prognosis pasien PSA.
Klasifikasi ini dikenal dengan Klasifikasi Fisher. Skor Fisher juga bisa
digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan
munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT scan.

 Grade 0, tanpa adanya gambaran PSA, tanpa adanya perdarahan


intraventrikuler
 Grade 1, gambaran PSA minimal, tanpa adanya perdarahan
intraventrikuler
 Grade 2, gambaran PSA minimal, adanya perdarahan intraventrikuler di
kedua sisi
 Grade 3, gambaran PSA luas, tanpa adanya perdarahan intraventrikuler

54
 Grade 4, gambaran PSA luas, adanya perdarahan intraventrikuler di kedua
sisi

Gambar 7. Klasifikasi SAH berdasarkan Fisher

Klasifikasi Perdarahan Subaraknoid terbagi atas:6


1. Perdarahan subaraknoidal spontan primer (spontan non-trauma dan
nonhipertensif), yakni perdarahan bukan akibat trauma atau dari perdarahan
intraserebral.
2. Perdarahan subaraknoidal sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari
luar subaraknoid, seperti dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak.

Menurut skala botterell dan hunt and hess, perdarahan subarakhnoid dapat
dibagi menjadi beberapa kelas (grade), yaitu:6
1. Kelas I Asimptomatik atau sakit kepala ringan
2. Kelas II Sakit kepala sedang atau berat atau occulomotor palsy
3. Kelas III Bingung, mengantuk atau gejala fokal ringan
4. Kelas IV Stupor (respon terhadap rangsangan nyeri)
5. Kelas V Koma (postural atau tidak respon terhadap nyeri)
Kelas I dan II memiliki prognosis yang baik, kelas III memiliki prognosis
yang menengah, kelas IV dan V memiliki prognosis yang buruk.

E. TANDA DAN GEJALA


Stroke subarachnoid memiliki tanda dan gejala yang mendadak seperti :
 Nyeri kepala hebat
 Kaku leher

55
 Mual & muntah
 Delirium
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Perdarahan intraokular
 Pupil anisokor
 Tekanan darah meningkat
 Paresis/kelumpuhan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT SCAN
Computer Tomography scan ( CT scan) CT Scan ( Computed
Tomography Scanner ) adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan
otak. Tujuan utama penggunaan ct scan adalah untuk pemeriksaan seluruh
organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang, tenggorokan,
rongga perut. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya
dugaan yang kuat suatu kelainan,yaitu : a. Gambaran lesi dari tumor,
hematoma dan abses. B. Perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya
vaskularisasi dan infark. C. Brain contusion. D. Brain atrofi. E.
Hydrocephalus f. Inflamasi. Bagian basilar dan posterior tidak begitu baik
diperlihatkan oleh Ct Scan. Ct Scan mulai dipergunakan sejak tahun 1970
dalam alat bantu dalam proses diagnosa dan pengobatan pada pasien
neurologis. Gambaran Ct Scan adalah hasil rekonstruksi komputer terhadap
gambar X-Ray. Gambaran dari berbagai lapisan secara multiple dilakukan
dengan cara mengukur densitas dari substansi yang dilalui oleh sinar X.
CT scan memiliki akurasi tinggi untuk mendeteksi SAH dan untuk
melihat perdarahan parenkim atau perdarahan lainnya. Perdarahan yang
dilihat di gambaran CT scan akan terlihat hiperdens, lebih putih dibanding
jaringan sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena Hounsfield Unit (HU) darah

56
lebih tinggi daripada jaringan parenkim otak. HU pada darah 60-75,
sedangkan HU pada jaringan parenkim 35-45.
Kemampuan mendeteksi CT scan terhadap perdarahan juga
ditentukan sesuai interval setelah onset, jumlah darah, resolusi pemindaian
dan keterampilan ahli radiologi. Sensitivitas CT scan mencapai 100% jika
pemeriksaan dilakukan sebelum 12 jam dari onset gejala. Sensitivitas
menurun mennjadi 82% setelah 12 jam durasi gejala. Menyingkirkan
perdarahan pada subaarachnoid melalui pemeriksaan CT scan perlu hasil
CT scan negatif dan diperlukan hasil pungsi lumbal negatif.

57
Gambar 8. CT scan

58
2. MRI (Magnetic resonance imaging)

Gambar 9. MRI

MRI sensitif terhadap perdarahan subarachnoid dan mampu


memvisualisasikannya dengan baik dalam 12 jam pertama, biasanya
tervisualisasi sebagai hiperintensitas pada ruang subarachnoid pada
FLAIR. Angiografi MR dan venografi MR juga dapat mendeteksi
penyebab aneurisma atau sumber perdarahan lain, meskipun secara umum
MRI lebih jarang ditemukan (dibandingkan CT), waktu pemindaian yang
lebih lama dan kesulitan yang lebih besar dalam mentransfer dan merawat
pasien yang sering tidak stabil dan diintubasi.
Pada perdarahan subaraknoid yang berhubungan dengan aneurisma,
pencitraan difus yang dapat menunjukkan perubahan iskemik dini (dalam
0-3 hari) pada lebih dari separuh pasien dengan SAH. Delayed iskemia
dapat terdeteksi dengan DWI, berhubungan dengan terjadinya vasospasme
dalam 4-21 hari setelah terjadinya perdarahan, dan dapat dialami pada
setengah dari total pasien dengan SAH.

59
3. CTA (Computed Tomography Angiography)
Angiografi adalah tes medis invasif minimal yang membantu
dalam mendiagnosis dan mengobati kondisi medis terkait vascular dalam
tubuh.. Angiografi menggunakan salah satu dari tiga teknologi pencitraan
dan, dalam banyak kasus, injeksi bahan kontras diperlukan untuk
menghasilkan gambar pembuluh darah dalam tubuh.
Angiografi dilakukan dengan menggunakan:
 sinar-x dengan kateter
 computed tomography (CT)
 magnetic resonance imaging (MRI)
Sedangkan CT itu sendiri adalah CT scan merupakan radio diagnostic
procedural dengan sinar X-Ray yang menangkap citra gambar cross sectional
dengan bantuan computer processing dan computer motorized. Gambar CT
lebih detail daripada X-RAY Conventional, dan dapat menampilkan
tulang, soft tisues, dan organ secara 2 dimensi dan dalam beberapa slices.
(MSCT : Multi Slices Computed Tomography)
CT angiografi menggunakan pemindai CT untuk menghasilkan
gambar terperinci dari pembuluh darah dan jaringan di berbagai bagian
tubuh. Selama tes, bahan kontras disuntikkan melalui kateter kecil yang
ditempatkan di pembuluh darah lengan. Seorang radiografer akan
menangkap gambar CT resolusi tinggi saat bahan kontras mengalir melalui
pembuluh darah.

60
Gambar 10. CTA

4. MRA (Magnetic Resonance Angiography)


MRA (Magnetic Resonance Angiography) adalah teknik
berdasarkan pada pencitraan resonansi magnetic (MRI) untuk pembuluh
darah. Digunakan untuk menghasilkan gambar dari arteri guna

61
mengevaluasi adanya sklerosis (pengerasan), stenosis (penyempitan
abnormal), oklusi (sumbatan) atau aneurisma (dilatasi dinding
pembuluh darah yang beresiko pecah) serta AVM (Arteriovenous
Malformation).
Pemeriksaan dengan MRA memungkinkan untuk melihat
pembuluh darah di bidang utama dari tubuh, termasuk otak, leher,
jantung, dada, perut (seperti empedu, ginjal dan hati), panggul, lengan,
dan kaki.
Peran Magnetic Resonance Angiography (MRA) dalam mendeteksi
SAH saat ini sedang diselidiki. Namun, banyak penulis percaya bahwa
MRA pada akhirnya akan menggantikan angiografi serebral
transfemoral konvensional. Mengingat keterbatasan MRA saat ini, yang
meliputi sensitivitas yang lebih rendah daripada angiografi serebral
dalam mendeteksi aneurisma kecil dan kegagalan untuk mendeteksi
arteri komunikan inferior posterior dan aneurisma arteri komunikan
anterior dalam satu seri, sebagian besar penulis merasa bahwa rasio
risiko/manfaat masih berpihak pada angiografi konvensional.
Magnetic Resonance Angiography (MRA) juga telah dievaluasi
untuk mendeteksi adanya aneurisma intrakranial yang tidak rusak
dengan hasil yang menguntungkan di 3 Tesla (3T) dan dengan akurasi
diagnostik yang sama seperti waktu terbang 3D (3D-TOF) dan
peningkatan kontras (CE-MRA) MRA. Namun, nilai MRA dalam
pemeriksaan diagnostik aneurisma yang telah pecah terbatas karena
kelayakan yang rendah selama fase akut perdarahan. Sensitivitas untuk
deteksi aneurisma baik untuk kedua teknik MRA, tetapi cenderung
lebih baik dengan CE-MRA.

62
Gambar 11. (MRA) Aneurisma di arteri komunis anterior kiri

Gambar 12. (MRA) Tidak ada vasospasme

63
Gambar 13 (MRA) SAH pada arteri vertebralis kanan

Gambar 14. (MRA) Tidak ada aneurisma

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada stroke hemorrhage SAH (Subarachnoid
hemorrhage) difouskan untuk menghentikan pendarahan, memperbaiki aliran
darah normal sehingga tidak terjadi stroke berulang, dan mencegah terjadinya
vasospasme.
1. Menurunkan tekanan darah intrakranial
2. Melakukan tindakan untuk memperbaiki pembuluh darah, terdapat 2
jenis tindakan yang dilakukan sesuai dengan kondisi perdarahan apabila
SAH yang terjadi adalah kasus pecahnya aneurisma. Kasus SAH yang

64
terjadi akibat aneurisma yang pecah sehingga terjadi perdarahan bisa
dilakukan 2 tipe perbaikan, yaitu:
a. Surgical clipping
Tindakan yang dilakukan berupa pemasangan klip logam
pada dasar aneursma yang menutup aliran darah ke tekanan yang
lebih rendah, sehingga mengakibatkan terjadinya gumpalan dan
ukuran aneurisma akan menyusut. Logam yang digunakan pada
metode ini aman untuk pemeriksaan MRI magnetik, sehingga
pemindaian dengan MRI magnetik bisa dilakukan dengan aman.

Gambar 15. Surgical clipping

b. Endovaskular coilling
Tindakan yang dilakukan dengan memasukkan kateter arteri
yang sangat kecil, elastis dan mempunyai gulungan plainum
kecil diujungnya. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga
aneurisma benar-benar terpenuhi oleh gumpalan platinum dan
menyebabkan penutupan aneurisma sehingga terjadi penyusutan
aneurisma.

65
Gambar 16. Endovaskular coilling

3. Mengontrol hidrosefalus
Penumpukan darah dan cairan yang membeku di ruang subaraknoid
harus dikeluarkan untuk mencegah terjadinya hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan darah diturunkan untuk
mengurangi perdarahan lebih lanjut dan untuk mengontrol tekanan
intrakranial. Kelebihan cairan serebrospinal (CSF) dan darah dapat
dihilangkan dengan kateter drain lumbar dimasukkan ke dalam ruang
drain ventrikel, yang dimasukkan ke ventrikel otak.

Gambar 17. Kateter drain lumbar

66
4. Mengontrol vasospasme
Untuk mengontrol vasospasme dapat dilakukan pemeriksaan CTA
Tes ini dapat menunjukkan arteri mana yang mengalami kejang dan
keparahan. Pencegahan vasospasme, pasien diberikan nimodipine saat
berada di rumah sakit. Selain itu, tekanan darah dan volume darah pasien
akan meningkat untuk memaksa darah melalui arteri yang menyempit.
Keadaan vasospasme parah, pasien mungkin memerlukan suntikan obat
langsung ke arteri agark rileks dan menghentikan kejang. Ini dilakukan
melalui kateter selama angiografi.

H. KOMPLIKASI
1. Cerebral Vasospasme
Definisi
Cerebral vasospasme merupakan keadaan dimana
terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri intracranial
berukuran besar dan sedang pasca perdarahan subarachnoid
aneurysma (Sobey CG, Faraci FM, 1998). Vasospasme paling
sering mempengaruhi sirkulasi anterior yang dipasok oleh arteri
karotis internal. Komplikasi utama dan sumber morbiditas pada
kasus Subarachnoid Haemorhage (SAH) adalah vasospasme
serebral yang mengarah ke iskemia serebral tertunda atau lebih
dikenal sebagai Delayed Cerebral Ischemia (DCI) (Vergouwen
MD et al., 2010).
Patofisiologi
Mekanisme vasospasme serebral pasca SAH masih belum
sepenuhnya dipahami, meski telah ada banyak teori yang
dikemukakan. Suatu penelitian menjelaskan bahwa terdapat
perubahan pada mekanisme fisiologis normal dan signaling
molecules yang mengatur diameter arteri serebral (Budohoski KP
et al., 2012). Perubahan proses pengaturan ini menghasilkan

67
vasokonstriksi arteri serebral yang berlebihan. Molekul yang
dimaksud dalam hal ini adalah nitrat oksida dan endotelin.
Nitric oxide, vasodilator yang diproduksi oleh sel endotel,
membantu menjaga pelebaran arteri serebral. Terdapat beberapa
bukti bahwa produk pemecahan sel darah merah mungkin
berbahaya bagi sel endotel, dan efek berbahaya ini dapat
membahayakan kemampuan sel-sel ini untuk menghasilkan
molekul vasodilatori seperti nitrat oksida (Sobey CG, Faraci FM,
1998). Endothelin, vasokonstriktor, telah ditemukan meningkat
dalam cairan serebrospinal (CSF) setelah aneurysma SAH dan
dapat berperan dalam vasospasme serebral dan DCI (Sobey CG,
Faraci FM, 1998; Zimmermann M, Seifert V, 1998; Cheng YW et
al., 2018). Upaya penelitian lebih lanjut masih berlangsung dengan
tujuan untuk lebih menjelaskan mekanisme vasospasme dengan
harapan mengembangkan perawatan yang lebih baik.
Anamnesis
Vasospasme serebral terjadi dalam keadaan pasca
perdarahan subarachnoid aneurysmal baru-baru ini (aSAH).
Vasospasme paling sering muncul dalam 3-7 hari setelah aSAH
tetapi dapat terjadi kapan saja dalam window periode 21 hari
setelah perdarahan awal. Vasospasme sering menyebabkan iskemia
serebral yang tertunda (DCI), yang dapat muncul secara klinis
dalam beberapa cara, tergantung pada keparahan vasospasme dan
pembuluh darah intrakranial apa yang paling terpengaruh.
Gejala klinis yang paling umum adalah penurunan
neurologis yang dimanifestasikan sebagai penurunan tingkat
kesadaran atau timbulnya defisit neurologis fokal baru. Pasien
mungkin mengeluh kelemahan, perubahan sensorik, sakit kepala
baru atau meningkat, defisit penglihatan, atau gejala neurologis
lainnya. Pada pasien tertentu misalnya mereka yang mengalami

68
perdarahan subaraknoid tingkat tinggi, vasospasme serebral
mungkin secara klinis tidak terlihat (silent).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan tanda dan gejala
vasospasme yang sedang berlangsung, tergantung pada keparahan
kondisi dan di mana pembuluh intrakranial yang paling
terpengaruh.
Gejala nonlokalisasi meliputi:
 Lesu
 Disorientasi
 Meningismus
 Sakit kepala baru atau meningkat
Defisit neurologis fokal terkait dengan pembuluh darah
tertentu yang terlibat, sebagai berikut:
 Distribusi arteri serebral anterior (ACA) - Disinhibisi,
kebingungan; sifat bisu; kelesuan, responsif tertunda, abulia;
kelemahan kaki; dengan keterlibatan arteri berulang Heubner
(perforator arteri serebral anterior besar), kelemahan
faciobrachial kontralateral tanpa temuan kortikal
 Distribusi arteri serebri media (MCA) - Hemiparesis,
kelemahan faciobrachial, monoparesis; aphasia, apractagnosia;
apatis
 Distribusi posterior cerebral artery (PCA) - Gangguan visual,
hemianopsia
Diagnosis
Penyebab peningkatan tekanan intrakranial atau
Intracranial Pressure (ICP), seperti perdarahan berulang,
hidrosefalus, atau edema serebral, dapat muncul serupa dengan
vasospasme. Hidrosefalus obstruktif dan komunikatif sering terjadi
setelah aSAH, seperti juga kejang kejang dan non-konvulsif, yang

69
telah terlihat pada sebanyak 90% pasien aSAH dan harus
dimasukkan dalam diagnosis banding dengan pemeriksaan
neurologis fokal yang memburuk. Banyak dari diagnosis ini harus
dikesampingkan secara bersamaan sebelum diagnosis definitif
vasospasme serebral dibuat.
Diferensial diagnosis dari vasospasme serebral meliputi
hydrocephalus, intracranial hemorrhage, ischemic stroke.
Pemeriksaan Penunjang
Berbagai modalitas pencitraan digunakan untuk
mendiagnosis vasospasme otak setelah perdarahan subarakhnoid
aneurysmal (aSAH). Transcranial Doppler (TCD) adalah teknik
pencitraan utama yang digunakan dalam skrining untuk Spasme
tanpa gejala. Computed tomography (CT), Digital subtraction
angiography (DSA), Magnetic resonance angiography (MRA)
merupakan teknik pencitraan lainnya secara rutin digunakan dalam
surveillance vasospasme.

Tatalaksana
Dari pilihan manajemen yang saat ini digunakan, strategi
augmentasi hemodinamik yang dikenal sebagai terapi triple H,
yang meliputi hipertensi, hemodilusi, dan hipervolemia, telah
menjadi komponen penting. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan perfusi serebral dengan meningkatkan rata-rata
tekanan arteri (MAP) dan mengurangi viskositas darah.
Satu studi menemukan bahwa sekitar 70% pasien dengan
vasospasme mengalami peningkatan gejala setelah mulai terapi
triple H. Namun, harus diingat bahwa terapi triple H dapat
memiliki komplikasi yang signifikan, seperti edema paru dan
hipoksemia berikutnya, yang dapat merusak otak hipoperfusi yang
berisiko. Sebuah studi tahun 2000 oleh Lennihan et al.,
menemukan bahwa terapi hipervolemik tidak memiliki keunggulan

70
signifikan dibandingkan terapi normovolemik sehubungan dengan
aliran darah otak setelah perdarahan subaraknoid dan kedua terapi
menghasilkan insidensi yang serupa untuk vasospasme simtomatik.
Prognosis
Prognosis untuk pasien yang menderita vasospasme
serebral dan DCI setelah aSAH paling erat kaitannya dengan
keparahan perdarahan awal dan kondisi klinis langsung dari pasien.
Faktor-faktor ini terkait erat dengan risiko vasospasme berat.

2. Hidrosefalus post SAH


Hydrocephalus (HCP) adalah komplikasi serius dan umum
dalam perjalanan klinis perdarahan subarachnoid (SAH) yang terus
samar sampai sekarang. Menurut berbagai latar belakang dan
keadaan klinis, berbagai kejadian HCP pada pasien SAH dari 6
hingga 67% telah dilaporkan; dalam studi terbaru persentase ini
adalah sekitar 20% - 30%.
HCP terjadi pada sekitar seperlima dari pasien dalam
perjalanan awal (akut dalam 3 hari pertama atau subakut dalam 4-
14 hari) dari SAH, sementara hidrosefalus kronis terjadi pada 10%
-20% pasien kemudian dalam perjalanan SAH (setelah 2 minggu).
Terlepas dari periode yang terjadi, HCP merusak fungsi neurologis
pasien dan menyebabkan penurunan hasil fungsional, terutama
dengan perdarahan intraventrikular (IVH), bahkan jika SAH primer
telah diobati. Sebaliknya, hasil yang lebih baik terjadi jika SAH
dideteksi sejak dini dan diobati.
Sekitar sepertiga dari pasien yang dirawat dengan SAH
memiliki pengalihan CSF permanen. Sebuah meta-analisis skala
besar melaporkan bahwa HCP yang tergantung shunt menyumbang
proporsi 17,4% . Pasien dengan perjalanan akut, komplikasi di
rumah sakit, IVH, status rawat inap yang buruk, rehemorrhage,

71
lokasi ruptur aneurisma, dan usia ≥ 60 melaporkan risiko yang
lebih tinggi dari ketergantungan terhadap shunt.
Kemajuan dalam mempelajari hidrosefali gagal
menjelaskan seluruh mekanisme HCP post SAH. Teori-teori yang
disebutkan di sini kira-kira melalui kerusakan granulasi arachnoid
(AG) serta jaringan otak. Mekanisme tampaknya terbentuk di
antara patogenesis HCP akut dan kronis. Secara umum, reaksi
inflamasi (baik kronis maupun akut) dan proses fibrosis yang
terjadi selanjutnya menghambat aliran CSF yang lancar ke arah
sinus, yang akhirnya berasal dari AG. Selain proliferasi sel
leptomeningeal (Gambar 18), penelitian saat ini terutama
menargetkan obstruksi patologis AG, termasuk penyumbatan
mekanis dan fibrosis AG. Para peneliti telah lama bekerja untuk
melemahkan patogenesis ini untuk menangani HCP.

Gambar 18. Post SAH, ruang subarachnoid diisi dengan sel-sel darah dan
produk. Leptomeninx terdeteksi menebal dengan deposit
hemosiderin, yang juga telah dikonfirmasi secara histologis.

72
Gambar 19. Granulasi Arachnoid, gambar ini menunjukkan mekanisme patologis
utama dalam granulasi arachnoid; yang atas menunjukkan pembekuan
darah dan produk-produk terkait yang menghalangi saluran keluarnya
CSF dan yang bawah menunjukkan fibrosis membran arachnoid.

Para peneliti sebagian besar berfokus pada patofisiologi


cedera otak post SAH, dan teori yang umum termasuk peradangan,
apoptosis, autophagy, dan stres oksidatif. Vasospasme arteri koroid
kemungkinan berasal dari HCP melalui stenosis saluran air dan
merusak sel ependymal post SAH. Devaskularisasi parenkim otak
kemungkinan hasil dari vasospasme SAH secara berurutan dan
menginduksi proliferasi sel induk saraf yang diarahkan oleh sel
glia. Gliosit, berbeda dari organ tubuh lainnya, memainkan peran
destruktif dan kuratif dan melepaskan banyak sitokin ketika otak
menderita berbagai lesi . Matriks metaloproteinase diyakini sebagai
peran yang penting dan serbaguna dalam menghancurkan sawar
darah-otak (BBB), dan penghambat jaringan matriks
metaloproteinase telah diverifikasi untuk memberi efek
perlindungan homolog dalam vasospasme post SAH untuk
integritas BBB pada pasien apoplektik. Selain itu, para peneliti
juga menemukan bahwa sistem saraf vegetatif memainkan peran
tambahan dalam respon inflamasi dan dapat berkontribusi pada
kerusakan BBB, yang terdiri dari sel glia baik secara struktural
maupun fungsional. Kadar protein faktor pertumbuhan endotel

73
pembuluh darah meningkat dan membatasi pertumbuhan pembuluh
darah abnormal. Selanjutnya, hipersekresi CSF memicu atau
memperburuk gangguan peredaran darahnya dan akhirnya
mengarah ke HCP.

Gambar 20. Patofisiogenesis hidrosefalus, gambar ini menunjukkan beberapa


molekul atau jalur yang diverifikasi secara luas terlibat dalam
patofisiogenesis hidrosefalus yang disebabkan oleh SAH.

HCP akut berkontribusi pada penyebab cedera otak dini,


biasanya dianggap sebagai tipe noncommunicating (atau
obstruktif), dan sebagian besar disebabkan oleh efek massa atau
gumpalan darah di dalam ventrikel dan saluran air yang mencegah
aliran CSF keluar dari kranial. Selain itu, peradangan diyakini
sebagai mekanisme biomolekuler penting yang menginduksi HCP
akut melalui gangguan BBB . Namun demikian, penelitian terbaru
menggambarkan kinerja yang serupa secara radiologis antara HCP
akut dan kronis, menunjukkan patogenesis yang serupa sebagian.
MRI fase-kontras menunjukkan bahwa HCP kronis ternyata
merupakan suatu bentuk komunikans; Namun, beberapa orang
masih mengembangkan HCP akut post SAH meskipun tidak ada
IVH atau bekuan darah di ventrikel. Parameter paralel aliran CSF
yang ditemukan dalam penelitian mereka juga menunjukkan bahwa
obstruksi mungkin bukan satu-satunya pemicu HCP akut. Selain
itu, Kanat et al. mengatakan bahwa pembekuan darah memainkan

74
peran awal dalam memicu hipersekresi CSF dan fibrosis granulasi
arachnoid, yang mengarah ke HCP komunikans jangka panjang
daripada hanya obstruksi saluran air atau stenosis. Apakah itu
komunikans, obstruktif, atau hibrida patofisiologis, itu dapat secara
langsung mempengaruhi keputusan pengobatan dan prognosis yang
sesuai dari pasien ini. Meskipun banyak penemuan dan kemajuan,
lebih banyak bukti diperlukan untuk mengungkap dan menjelaskan
etiologi HCP akut post perdarahan.
Sebaliknya, sejumlah besar pasien dengan HCP kronis tidak
memiliki peningkatan tekanan intrakranial (ICP) dan dengan
banyak bukti muncul di jalur fibrosis, ada konsensus umum bahwa
HCP kronis adalah tipe "komunikans", dikaitkan dengan fibrosis
dan adhesi, granulasi leptomeningeal dan arachnoid. Produk darah
dan transformasi faktor pertumbuhan telah lama memainkan peran
penting dalam proses patofisiologis post SAH, termasuk HCP
kronis. Zat besi yang diinjeksi secara intravena (ferrous chloride
atau ferric chloride) atau sel darah merah yang dilisiskan dapat
menyebabkan HCP pada tikus . Selain itu, Strahle et al. juga
mendeteksi kematian sel dalam model tikus neonatal melalui
bagian patologis , yang telah menunjukkan efek yang sangat
penting dalam mekanismenya. Selain itu, nekrosis sel-sel otak dan
gangguan BBB yang disebabkan oleh zat besi juga digambarkan
pada tikus , yang membuat pernyataan ini lebih kuat. Mengingat
semua penelitian sebelumnya, penelitian praklinis mendukung
gagasan bahwa oksidasi menyumbang mekanisme pasti
patogenesis yang disebabkan oleh zat besi, awalnya disebut
"ferroptosis" . Tetapi banyak bukti yang diperlukan untuk
mengungkap lebih lanjut proses dan hubungan antara "ferroptosis"
dan HCP, dan diperlukan uji klinis yang meyakinkan untuk
menyatakan apakah mengeluarkan bekuan darah atau

75
pengevakuasian darah subarachnoid pada tahap awal SAH akan
memiliki hasil positif yang pasti.
Dibandingkan dengan deteksi HCP kronis yang terjadi
selama atau post SAH, lebih sulit untuk mendiagnosis HCP akut
secara klinis, yang dapat menyesatkan atau disembunyikan oleh
SAH disertai dengan sakit kepala, mual, atau gangguan sadar.
Karena melibatkan pelebaran ventrikel secara anatomis,
pengenalannya terutama didasarkan pada teknik radiografi,
terutama CT scan. Indeks bicaudate (BCI) dan indeks bicaudate
relatif (RBCI) (dihitung, resp., dalam kelompok usia yang berbeda)
telah diterima secara umum dan diterapkan secara luas sebagai
pengukuran diagnostik sejak studi Gijn dan rekannya pada tahun
1980-an (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 21). Dan ditarik
kesimpulan bahwa jika tidak terdeteksi segera sebelum RBCI> 1.6,
upaya untuk memulai operasi drainase bisa sia-sia karena hasil
yang tidak ditingkatkan. Namun, ukuran dan bentuk ventrikel yang
melebar pada pasien banyak berbeda, dan lebih akurat untuk
mengukur volume ventrikel dan menghitung laju dilatasi.

Gambar 21. HCP akut, gambar ini menunjukkan kasus HCP akut yang
disebabkan oleh SAH aneurysmal, biasanya dengan IVH. Itu
terjadi segera setelah terjadinya SAH. (a) CT scan di atas
menunjukkan sulci luas hemoragik dan sisterna arachnoid
dengan dilatasi ventrikel lateral dan ketiga yang mengandung
darah. (b), (c), dan (d) Segera setelah CTA masuk
menempatkan aneurisma pada arteri komunikans anterior
(ditandai dengan panah hitam).

76
Gambar 22. BCI, gambar ini mensimulasikan bagaimana menghitung BCI,
yaitu rasio keparahan HCP. Segmen "a" adalah jarak antara inti
kaudat dan "b" pada tingkat yang sama dengan lebar otak. Rasio
"a/b" dari masing-masing kelompok usia, yaitu indeks kaudat
bilateral relatif juga diterima secara luas di antara para peneliti.

Kemajuan dalam studi pencitraan radiologis dan metode


yang berguna seperti difusi tensor image (DTI) dan gambar
kurtosis difusional (DKI) digunakan, tetapi CT masih merupakan
diagnostik tercepat dan paling efisien untuk HCP. Selain itu, MRI
memberikan lebih banyak detail mengenai apakah dan bagaimana
parenkim otak rusak oleh pelebaran ventrikel. Terlebih lagi, kita
dapat mengamati secara tepat morfologi saluran air dan dinamika
CSF dan kemudian tahu apakah itu diblokir atau stenosis.
Pemeriksaan lanjutan ini memberikan lebih banyak perincian pada
pasien daripada CT scan, yang cenderung memfasilitasi teori
etiologi dan patogenesis HCP. Satu studi menunjukkan perbaikan
dalam perubahan mikro dan pergerakan molekul air dalam akson
saraf dan ruang intra atau ekstraseluler pada pasien dengan
idiopatik tekanan normal hidrosefalus (iNPH) oleh DTI dan DKI.
Temuan ini mungkin berguna dalam mengevaluasi kerusakan otak
post SAH dan HCP .

77
DAFTAR PUSTAKA
(COMBUSTIO)

Ben-Sira L., N. Goder, H. Bassan et al., 2015 “Clinical benefits of diffusion


tensor imaging in hydrocephalus,” Journal of Neurosurgery. Pediatrics,
vol. 16, no. 2, pp. 195–202.

Benjamin C. Wedro. 2008. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com.

Budohoski KP, Czosnyka M, Smielewski P, Kasprowicz M, Helmy A, Bulters


D, et al. 2012. Impairment of cerebral autoregulation predicts delayed
cerebral ischemia after subarachnoid hemorrhage: a prospective
observational study. Stroke, (12):3230-7.

Carlson, Andrew P.; Yonas, Howard, 2009. Radiographic assessment of


vasospasm after aneurysmal subarachnoid hemorrhage: the physiological
perspective. Neurological Research volume 31, issue 6. DOI:
10.1179/174313209X455754.

Chen S., Q. Yang, G. Chen, and J. H. Zhang. 2014. “An update on


inflammation in the acute phase of intracerebral
hemorrhage,” Translational Stroke Research, vol. 6, no. 1, pp. 4–8.

Chen Q., J. Tang, L. Tan et al., 2015. “Intracerebral hematoma contributes to


hydrocephalus after intraventricular hemorrhage via aggravating iron
accumulation,” Stroke, vol. 46, no. 10, pp. 2902–2908.

Chen Q., J. Zhang, J. Guo et al. 2015 “Chronic hydrocephalus and


perihematomal tissue injury developed in a rat model of intracerebral
hemorrhage with ventricular extension,” Translational Stroke Research,
vol. 6, no. 2, pp. 125–132.

78
Cheng YW, Li WJ, Dou XJ, Jia R, Yang H, Liu XG, et al. 2008. Role of
endothelin-1 and its receptors in cerebral vasospasm following
subarachnoid hemorrhage. Mol Med Rep.

Dixon SJ., K. M. Lemberg, M. R. Lamprecht et al., 2012. “Ferroptosis: an


iron-dependent form of nonapoptotic cell death,” Cell, vol. 149, no. 5,
pp. 1060–1072.

Dupont S. and A. A. Rabinstein, 2013. “CT evaluation of lateral ventricular


dilatation after subarachnoid hemorrhage: baseline bicaudate index
balues,” Neurological Research, vol. 35, no. 2, pp. 103–106.

Dupont S. and A. A. Rabinstein. 2013. “Extent of acute hydrocephalus after


subarachnoid hemorrhage as a risk factor for poor functional
outcome,” Neurological Research, vol. 35, no. 2, pp. 107–110, 2013.

Erixon HO., A. Sorteberg, W. Sorteberg, and P. K. Eide, 2014. “Predictors of


shunt dependency after aneurysmal subarachnoid hemorrhage: results of
a single-center clinical trial,” Acta Neurochirurgica, vol. 156, no. 11, pp.
2059–2069.

Gao C., H. Du, Y. Hua, R. F. Keep, J. Strahle, and G. Xi. 2014 “Role of red
blood cell lysis and iron in hydrocephalus after intraventricular
hemorrhage,” Journal of Cerebral Blood Flow and Metabolism, vol. 34,
no. 6, pp. 1070–1075.

Garton T., R. F. Keep, D. A. Wilkinson et al. 2016. “Intraventricular


hemorrhage: the role of blood components in secondary injury and
hydrocephalus,” Translational Stroke Research, vol. 7, no. 6, pp. 447–
451.

Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12.


McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259.

79
Güresir E., P. Schuss, V. Borger, and H. Vatter. 2015. “Experimental
subarachnoid hemorrhage: double cisterna magna injection rat model—
assessment of delayed pathological effects of cerebral
vasospasm,” Translational Stroke Research, vol. 6, no. 3, pp. 242–251.

Hoediyanto.H, 2008. Trauma Listrik. Universitas Airlangga. Surabaya.

Hughes JD., R. Puffer, and A. A. Rabinstein. 2015. “Risk factors for


hydrocephalus requiring external ventricular drainage in patients with
intraventricular hemorrhage,” Journal of Neurosurgery, vol. 123, no. 6,
pp. 1439–1446.

Ito K., Y. Asano, Y. Ikegame, and J. Shinoda, 2016. “Differences in brain


metabolic impairment between chronic mild/moderate TBI patients with
and without visible brain lesions based on MRI,” BioMed Research
International, vol. 2016, Article ID 3794029

J. de Bresser, J. D. Schaafsma, M. J. A. Luitse, M. A. Viergever, G. J. E.


Rinkel, and G. J. Biessels, 2015. “Quantification of structural cerebral
abnormalities on MRI 18 months after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage in patients who received endovascular
treatment,” Neuroradiology, vol. 57, no. 3, pp. 269–274.

James M Becker. Essentials of Surgery. Edisi 1. Saunders Elsevier.


Philadelphia. p 118-129.

Jerome FX Naradzay. November 2006. Burns, Thermal.http: // www.


emedicine. com/ med/

Kallewaard NL., D. Corti, P. J. Collins et al. 2016. “Structure and function


analysis of an antibody recognizing all Influenza A subtypes,” Cell, vol.
166, no. 3, pp. 596–608.

80
Kanat A., O. Turkmenoglu, M. D. Aydin et al. 2013. “Toward changing of the
pathophysiologic basis of acute hydrocephalus after subarachnoid
hemorrhage: a preliminary experimental study,” World Neurosurgery,
vol. 80, no. 3-4, pp. 390–395.

Klein, MB. 2007. Thermal,chemical,and electrical injuries.In: Thorne CH et


all (editor’s) Grabb & Smit’s Plastic surgery. 6th Edition. US: Lippincott
Williams & Wilkins, Wolters Kluwer business.p 146-7.

Kurogi R., Y. Kikkawa, S. Matsuo, A. Nakamizo, M. Mizoguchi, and T.


Sasaki. 2015. “Upregulation of tissue inhibitor of metalloproteinase-1
contributes to restoration of the extracellular matrix in the rabbit basilar
artery during cerebral vasospasm after subarachnoid hemorrhage,” Brain
Research, vol. 1616, pp. 26–36.

Li H., R. Pan, H. Wang et al. 2013. “Clipping versus coiling for ruptured
intracranial aneurysms: a systematic review and meta-analysis,” Stroke,
vol. 44, no. 1, pp. 29–37.

Li MH. , Y.-D. Li, H.-Q. Tan, B.-X. Gu, Y.-C. Chen, W. Wang, S. W. Chen,
D.-J. Hu. 2014. Contrast-free MRA at 3.0 T for the detection of
intracranial aneurysms. Neurology, 77 (7) 667-676.

Mayo clinic staff. Januari 2008. Burns First Aids.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.

Nakanishi A., I. Fukunaga, M. Hori et al., 2013. “Microstructural changes of


the corticospinal tract in idiopathic normal pressure hydrocephalus: a
comparison of diffusion tensor and diffusional kurtosis
imaging,” Neuroradiology, vol. 55, no. 8, pp. 971–976.

Novitzky I., N. J. Marianayagam, S. Weiss et al. 2016. “Comparison of


neuroprotective effect of bevacizumab and sildenafil following induction

81
of stroke in a mouse model,” BioMed Research International, vol. 2016,
Article ID 3938523, 8 pages.

Pierot L, Portefaix C, Rodriguez-Régent C, Gallas S, Meder JF, Oppenheim


C. 2013. Role of MRA in the detection of intracranial aneurysm in the
acute phase of subarachnoid hemorrhage. J Neuroradiol, 40(3):204-10.
doi: 10.1016/j.neurad.2013.03.004. Epub 2013 May 9. PubMed PMID:
23664329.

Saliou G., G. Paradot, C. Gondry et al. 2012. “A phase-contrast mri study of


acute and chronic hydrodynamic alterations after hydrocephalus induced
by subarachnoid hemorrhage,” Journal of Neuroimaging, vol. 22, no. 4,
pp. 343–350.

Saliou G., O. Balédent, P. Lehmann et al. 2009. “Acute CSF changes in the
mesencephalon aqueduct after subarachnoid hemorrhage as measured by
PC-MRI,” Journal of Neuroradiology, vol. 36, no. 1, pp. 41–47.

Serulle Y., R. V. Pawar, J. Eubig et al., 2015. “Diffusional kurtosis imaging in


hydrocephalus,” Magnetic Resonance Imaging, vol. 33, no. 5, pp. 531–
536.

Singh D., S. K. Srivastava, T. K. Chaudhuri, and G. Upadhyay. 2015.


“Multifaceted role of matrix metalloproteinases (MMPs),” Frontiers in
Molecular Biosciences, vol. 2, article 19.

Strahle J., H. J. L. Garton, C. O. Maher, K. M. Muraszko, R. F. Keep, and G.


Xi. 2012. “Mechanisms of hydrocephalus after neonatal and adult
intraventricular hemorrhage,” Translational Stroke Research, vol. 3,
supplement 1, pp. 25–38.

82
Strahle JM, T. Garton, A. A. Bazzi et al. 2014 “Role of Hemoglobin and Iron
in hydrocephalus after neonatal intraventricular
hemorrhage,” Neurosurgery, vol. 75, no. 6, pp. 696–706.

Tan Q., Q. Chen, Z. Feng et al. 2017. “Cannabinoid receptor 2 activation


restricts fibrosis and alleviates hydrocephalus after intraventricular
hemorrhage,” Brain Research, vol. 1654, pp. 24–33.

Van Asch CJJ., I. C. Van Der Schaaf, and G. J. E. Rinkel, 2010. “Acute
hydrocephalus and cerebral perfusion after aneurysmal subarachnoid
hemorrhage,” American Journal of Neuroradiology, vol. 31, no. 1, pp.
67–70.

Vergouwen MD, Vermeulen M, van Gijn J, Rinkel GJ, Wijdicks EF,


Muizelaar JP, et al. 2014. Definition of delayed cerebral ischemia after
aneurysmal subarachnoid hemorrhage as an outcome event in clinical
trials and observational studies: proposal of a multidisciplinary research
group. Stroke, 41 (10):2391-5.

Wan F., H.-J. Bai, J.-Q. Liu et al. 2016. “Proliferation and glia-directed
differentiation of neural stem cells in the subventricular zone of the
lateral ventricle and the migratory pathway to the lesions after cortical
devascularization of adult rats,” BioMed Research International, vol.
2016, Article ID 3625959, 14 pages.

Wenz H, Ehrlich G, Wenz R, al Mahdi M-M, Scharf J, Groden C, et al. 2015.


MR Angiography Follow-Up 10 Years after Cryptogenic
Nonperimesencephalic Subarachnoid Hemorrhage. PLoS ONE 10(2):
e0117925. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117925.

Wilson C. D., S. Safavi-Abbasi, H. Sun et al. 2017. “Meta-analysis and


systematic review of risk factors for shunt dependency after aneurysmal

83
subarachnoid hemorrhage,” Journal of Neurosurgery, vol. 126, no. 2, pp.
586–595.

Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. EGC. Jakarta. p 66-88.

Yamada S., M. Ishikawa, K. Yamamoto, T. Ino, T. Kimura, and S. Kobayashi.


2015. “Aneurysm location and clipping versus coiling for development
of secondary normal-pressure hydrocephalus after aneurysmal
subarachnoid hemorrhage: Japanese Stroke DataBank,” Journal of
Neurosurgery, vol. 123, no. 6, pp. 1555–1561.

Yan H., Y. Chen, L. Li et al. 2016. “Decorin alleviated chronic hydrocephalus


via inhibiting TGF-β1/Smad/CTGF pathway after subarachnoid
hemorrhage in rats,” Brain Research, vol. 1630, pp. 241–253.

Yolas C., N. G. Ozdemir, A. Kanat et al. 2016. “Uncovering a new cause of


obstructive hydrocephalus following subarachnoid hemorrhage:
choroidal artery vasospasm-related ependymal cell degeneration and
aqueductal stenosis—first experimental study,” World Neurosurgery, vol.
90, pp. 484–491.

84

Anda mungkin juga menyukai