Bonus demografi pada tahun 2020-2030 mendatang menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Kesiapan Indonesia menghadapi jumlah usia produktif (15-64 tahun) yakni mencapai 70% merupakan hal yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mewadahi lonjatan penduduk dengan usia produktif. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda (usia <15 tahun) dan lanjut usia yang dinamakan usia Non-produktif diabaikan. Bonus demografi sendiri membawa angin segar yakni Penurunan angka ketergantungan yang akan terus terjadi karena semakin meningkatnya jumlah penduduk usia produktif yang diperkirakan sampai pada tahun 2030. Turunnya rasio ketergantungan pada suatu saat akan mencapai titik terendah dan berbalik meningkat kembali, pada saat menunjukkan angka yang paling terendah yang biasanya berada dibawah 50%, disebut dengan Jendela Kesempatan (The Window of Opportunity) dimana kesempatan tersebut sangat singkat hanya terjadi satu kali saja dalam satu dekade seluruh perjalanan kehidupan penduduk. Dengan pemanfaatan usia produktif dalam era bonus demografi yang begitu singkat ini maka dampak positif dari bonus demografi dapat terealisasi seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi, mobilisasi tabungan untuk investasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan akhirnya berdampak luas pada memakmurkan bangsa. Namun perlu diingat bahwa paska adanya bonus demografi, dampak negatif yang ada seperti peningkatan penduduk usia tua sementara transisi usia muda menjadi usia produktif belum sempurna. Hal ini harus diantisipasi karena beban ekonomi seperti jaminan sosial dan pensiunan otomatis akan melonjak naik.
3.2. Lansia di Era Bonus Demografi
3.2.1. Peran Lansia di Era Bonus Demografi Mengingat begitu besarnya peran penduduk lansia, kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus komperhensif bersinergi dengan kebijakan penduduk usia produktif. Momen ini juga harus dijadikan sebagai awal dari reformasi kebijakan pemerintah di sektor kependudukan. Terlalu lama pengelolaan kependudukan di Indonesia dijalankan dengan mekanisme asal-asalan. Padahal dengan kekuatan jumlah penduduk terbesar ke-3 di Dunia, Indonesia harus menaruh perhatian serius terhadap persoalan kependudukan ini. Kebijakan yang ada, sering kali bersifat populis jangka pendek. Padahal tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan, sama artinya dengan “menyengsarakan” generasi mendatang. Nantinya di 2050, satu dari empat penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita. Namun, perhatian terhadap penduduk lansia ini dianggap masih sangat kurang. Belum ada satupun kota di Indonesia yang memenuhi kriteria kota ramah lansia (Haryanto,JT.,2015) Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah jepang khususnya prefektur Fukoka terhadap kesejahteraan lansia. Penerapan regulasi seperti Shakai Hoken Coverage untuk pemotongan gaji karyawan 9,15 persen yang selanjutnya digunakan sebagai keperluan asuransi sosial, serta regulasi Kaigo Hoken mengharuskan mereka membayar tambahan 1,5 persern dari pendapatannya untuk alokasi program asuransi ketika mereka tidak lagi memasuki usia produktif. Implikasinya berupa fasilitas kesehatan masyarakat seperti MAIZURU-EN yang dapat diakses penduduk Fukoka tanpa biaya sepeserpun. Di MAIZURU- EN para lansia beraktivitas dan bersosialisasi layaknya siswa sekolah menegah pertama, ada kelas musik,kelas melukis, kelas tari,dan di tempat tersebut lansia difasilitasi untuk rajin berolah raga. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Jepang memiliki Indeks harapan hidup tertinggi di dunia. Dan belajar dari Fukoka, kita diajak untuk memanusiakan lansia, mulai dari keluarga terdekat, maupun diri kita sendiri dnegan meningkatkan kualitas hidup sebaik-baiknya sehingga keberadaan kita akan lebih berarti dimasa mendatang (Farhandhitya,A., 2019).
3.2.2. Ketergantungan Hidup Lansia
Kebanyakan orang beranggapan bahwa usia lansia secara ekonomi bukan lagi usia yang produktif baik dalam kehidupan sehari-harinya atau bersama dengan keluarganya. dan di Era Bonus Demografi ini, jumlah lansia akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan usia produktif. Jika dimisalkan ada 7 orang usia produktif maka akan menanggung beban dari 3 orang yang berusia non produktif salah satunya lansia. Perubahan struktur penduduk ikut mempengaruhi besarnya rasio ketergantungan lansia. Rasio ketergantungan lansia (old dependency ratio, ODR) merupakan perbandingan antara jumlah penduduk lansia terhadap jumlah penduduk produktif (15-59 tahun). Angka tersebut mencerminkan beban ekonomi yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai lansia dengan asumsi bahwa lansia tersebut secara ekonomi bukanlah lansia yang produktif. Selain itu, angka tersebut mencerminkan pula ketersediaan tenaga kerja produktif. Semakin tinggi angka ketergantungan lansia semakin langka tenaga kerja produktif. Peran pemerintah akan terasa sangat penting terutama dalam meregulasi beberapa kebijakan dan pengadaan fasilitas yang sekiranya selaras terhadap kesejahteraan para lansia di Indonesia. Disisi lain, peran aktif masyarakat juga dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran serta kepedulian terhadap eksistensi para lansia untuk dapat berkontribusi terhadap lingkungan sekitarnya. Memberdayakan lansia sebagai upaya revitalisasi kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, dapat dimulai dengan menginisiasi komuintas-komunitas ataupun gerakan-gerakan sosial yang relevan seperti sekolah Golden Ggeriatri Club di Yogyakarta, hingga pengadaan Taman Lansia yang ada di beberapa kota di Indonesia ini merupakan salah satu contoh implementasi upaya pemberdayaan lansia yang harus terus dilakukan .
Farhandhitya,A. (2019). Gerontologi & Bonus Demografi: Memanusiakan Lansia, untuk
Indonesia.https://kumparan.com/abyan-farhandhitya/gerontologi-and-bonus-demografi- memanusiakan-lansia-untuk-indonesia-1rknLyL3HD8 (diunduh pada 3 Desemberr 2019) Haryanto,JT. (2015). Penduduk Lansia dan Bonus Demografi Kedua. http://kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/penduduk-lansia-dan-bonus- demografi-kedua (diunduh pada 3 desember 2019)