Anda di halaman 1dari 15

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Kifosis
Penyakit Scheuermann adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
nyeri punggung dan adanya bonggol di punggung (kifosis).Kifosis adalah
suatu kelainan bentuk pada tulang belakang yang bisa terjadi akibat trauma,
gangguan perkembangan atau penyakit degeneratif. Kifosis pada masa
remaja juga disebut penyakit Scheuermann. Kifosis adalah salah satu bentuk
kelainan tulang punggung, di mana punggung yang seharusnya berbentuk
kurva dan simetris antara kiri dan kanan ternyata melengkung ke depan
melebihi batas normal, kelainan ini di masyarakat awam sering disebut
sebagai Bungkuk. (ZN.Helmi, 2010)
Kifosis adalah lengkungan ke depan pada punggung bagian atas
bungkuk, Biasanya pembungkukan ini terjadi secara berlebihan, yaitu lebih
dari 50 derajat sehingga punggung akan terlihat memiliki punuk daging yang
menonjol pada tengkuk. Kifosis adalah penyakit kelainan pada tulang
belakang yang menyebabkan tubuh penderita melengkung ke depan dan
melebihi batas normal atau bungkuk. (ZN.Helmi, 2010)

B. Etiologi.
Tulang tunggal (vertebra) yang membentuk tulang belakang yang
sehat terlihat seperti silinder yang bertumpuk dalam sebuah kolom. Kifosis
terjadi ketika tulang di punggung atas menjadi lebih berbentuk baji.
Deformitas ini dapat disebabkan oleh berbagai masalah, termasuk
(A.Muttaqin.2013) :
1. Osteoporosis. Gangguan pengeroposan tulang ini dapat mengakibatkan
tulang hancur (kompresi fraktur). Osteoporosis adalah yang paling umum
pada orang dewasa yang lebih tua, khususnya perempuan, dan pada orang
yang mengonsumsi kortikosteroid dalam dosis tinggi untuk jangka waktu
yang lama.

1
2. Degenerasi disk. Disk lembut yang melingkar berfungsi layaknya bantal
antara vertebra tulang belakang. Seiring dengan bertambahnya usia, disk
ini mengering dan menyusut, yang seringkali memperburuk kifosis.
3. Penyakit Scheuermann. Juga disebut kifosis Scheuermann, penyakit ini
biasanya dimulai selama lonjakan pertumbuhan yang terjadi sebelum
pubertas. Anak laki-laki lebih sering terkena penyakit ini daripada anak
perempuan. Lengkungan tulang belakang dapat berkembang semakin
buruk ketika masa pertumbuhan anak selesai.
4. Cacat lahir. Jika tulang belakang bayi tidak berkembang dengan baik di
dalam rahim, tulang belakang kemungkinan tidak terbentuk dengan benar,
dan kemudian menyebabkan kifosis.
5. Sindrom. Kifosis pada anak-anak juga dapat dikaitkan dengan sindrom
tertentu, seperti sindrom Marfan atau penyakit Prader-Willi.
6. Kanker dan pengobatan kanker. Kanker di tulang belakang dapat
melemahkan tulang dan membuatnya lebih rentan terhadap fraktur
kompresi, seperti halnya kemoterapi dan pengobatan radiasi untuk kanker.
7. Peningkatan lengkungan pada tulang belakang bagian atas juga dapat
disebabkan oleh posisi tubuh yang sering membungkuk. Disebut kifosis
postural, kondisi ini tidak diakibatkan oleh cacat pada tulang belakang.
Kondisi ini adalah yang paling umum pada remaja.lansia maupun anak-
anak dan remaja saat ini yang sangat mudah meremehkan kesehatan
mereka. Penyebab penyakit ini sangat perlu diketahui bagi semua
masyarakat, sebab dengan adanya pengetahuan tersebut, sangat membantu
untuk mencegah terjadinya kelainan tulang ini. Kondisi ini tentu sangat
tidak diinginkan dan agar tidak menyesal kedepannya di saat sudah
berlanjut ke usia lansia.

C. Patofisiologi
Kifosis juga bisa disebabkan ketika vertebra tidak tumbuh
berkembang dengan baik. Tulang dapat berbentuk segitiga, bukan persegi
panjang atau kotak seperti normalnya. Hal ini menyebabkan tulang belakang

2
berada di luar posisi dan dikenal sebagai kifosis Scheuermann. Pada kasus
kifosis Scheuermann, ligamen sekitar tulang belakang bisa lebih tebal dari
biasanya. Tidak diketahui apa penyebab pembentukan tulang belakang yang
tidak normal. Satu dugaan adalah suplai darah ke tulang belakang yang tidak
normal mempengaruhi pertumbuhan tulang belakang. (ZN.Helmi, 2008)

D. Manifestasi Klinik
Pria lebih rentan terkenan Kifosis ini. Terutama pria yang kurang aktif
dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk duduk. Pria manula juga
lebih berisiko terkena Kifosis ini.
1. Gejala: Sakit leher dan punggung adalah gejala yang paling sering
terjadi.
2. Pada Kifosis yang berat akan terjadi sesak napas karena paru-paru tidak
dapat mengembang sempurna.
3. Nyeri punggung seperti diremas-remas/ditarik disertai kekakuan.
4. Nyeri dan kaku terasa bila membungkuk ke depan.Kasus berat dapat
terjadi gangguan kardiopulmoner : sesak, fatik, berkurangnya toleransi
fisik untuk beraktivitas.
(A.Muttaqin, 2008)

E. Komplikasi
Kifosis dapat menyebabkan komplikasi berikut:
1. Masalah citra tubuh. Remaja terutama dapat mengembangkan citra tubuh
yang buruk karena lengkungan pada punggung atau akibat memakai
penjepit untuk memperbaiki kondisi tersebut.
2. Sakit punggung. Dalam beberapa kasus, penyelarasan tulang belakang
yang tidak tepat dapat menimbulkan rasa sakit, yang bisa menjadi
semakin parah dan bersifat melumpuhkan.
3. Nafsu makan menurun. Pada kifosis kasus parah, lengkungan tersebut
dapat menyebabkan perut terkompres dan menyebabkan penurunan nafsu
makan. (A.Muttaqin.2008)

3
F. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer agar tidak terkena Kifosis dan pencegahan sekunder
bertujuan agar Kifosis ditemukan sedini mungkin. Pencegahan primer dan
sekunder meliputi, (A.Muttaqin, 2013):
1. Duduk dengan posisi yang benar
2. Hilangkan kebiasaan bertopang dagu
3. Berolahraga teratur,
4. Diet yang cukup kalsium dan Vitamin D.

G. Penatalaksanaan
Pengobatan kifosis tergantung pada penyebab, kondisi, tanda, dan
gejala yang muncul. Salah satu pilihan pengobatan adalah dengan latihan
untuk memperkuat otot punggung. Atau untuk kondisi kifosis yang cukup
parah maka dapat juga dikoreksi dengan operasi. Pengobatan kifosis bawaan
umumnya dilakukan pada saat penderita masih balita. Hal ini karena kifosis
disebabkan oleh adanya kelainan pada tulang belakang saat bayi masih dalam
janin ibu. Pembedahan sebaiknya dilakukan seawal mungkin untuk
membantu mencegah kondisi kifosis bertambah parah. Terapi osteoporosis
diperlukan untuk mencegah terjadinya fraktur di kemudian hari pada kasus
kifosis yang disebabkan oleh osteoporosis. Terapi lain seperti olahraga,
pengaturan pola makan dan asupan nutrisi dengan mengkonsumsi susu
berkalsium tinggi dua kali sehari atau sesuai dengan jumlah harian yang
direkomendasikan setiap hari juga dapat memperlambat atau menghentikan
progresifitas osteoporosis. Namun untuk kasus kifosis yang parah,
pembedahan merupakan pilihan terapi. (A.Muttaqin.2013)

H. Pemeriksaan Fisik
1. Peningkatan kifosis torakal akan mengakibatkan pergeseran ke depan
(forward Displacement) kepala dan leher terhadap segmen vertebra

4
dibawahnya sehingga menyebabkan kompensasi berupa peningkatan
lordosis lumbal.
2. Nyeri tekan apabila dilakukan palpasi pada prosessus spinosus
3. Pemeriksaan neurologis bila ada keluhan kelemahan, gangguan
sensorik/keluhan pola jalan.
(A.Muttaqin, 2008)

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos torakolumbal AP dan lateral.
2. MRI dan CT Scan bila dicurigai etiologi spesifik
3. Setelah pemeriksaan dengan dokter, pasien biasanya perlu melakukan
beberapa pemeriksaan radiologi untuk mengetahui jenis penyakit yang di
derita oleh pasien misalnya :
a) Foto Rontge
b) MRI ( Magnetic Resonance Imagine)
c) EMG (Electro Myo Graphy)
4. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, baru dapat disimpulkan
diagnosanya dan kemudian ditentukan terapinya, apakah perlu dioperasi
atau tidak perlu operasi.
(A.Muttaqin, 2008)

5
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS
Ny.N usia 58 tahun datang ke RS dengan keluhan nyeri punggung tak tertahankan
seperti diremas - remas dan punggung terasa kaku. Keluhan dirasakan sejak 2
bulan terakhir. Skala nyeri 7 dan semakin parah saat beraktivitas. Klien mengeluh
kesulitan dalam bergerak, merasa lelah setelah beraktivitas, klien nampak susah
berjalan dan berjalan condong kedepan (bungkuk), tidak bisa menopang diri
sendiri tanpa bantuan orang lain. TD 130/80, Nadi 80x/m, RR 20x/m, Suhu 36,6.
Setelah dilakukan pengkajian, diketahui klien banyak beraktifitas duduk karena
dulu dirinya bekerja di perkantoran dan mempunyai riwayat osteoporosis. Klien
didiagnosa kifosis.

A. Pengkajian
Analisa Data
DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
DS : Deformitas Tulang, Posisi Nyeri akut
duduk lama yang tidak
- Klien mengeluh nyeri
tegak
punggung tak
tertahankan seperti Posisi tubuh
membungkuk
diremas – remas dan
punggung terasa kaku
Posisi pelvic ke posterior
DO:
- Pengkajian Nyeri : Kurva kifosis thorakal
P : Nyeri
KIFOSIS
Q : Seperti diremas-
remas
T. melengkung ke depan
R : Punggung
S : Skala 7 Ketegangan sendi
T : Semakin parah saat
Nyeri akut

6
beraktivitas
DS : Deformitas Tulang, Posisi Hambatan mobilitas fisik
duduk lama yang tidak
- Klien mengeluh
tegak
punggung terasa kaku
- Klien mengeluh Posisi tubuh
membungkuk
kesulitan dalam bergerak
- Klien mengatakan
Posisi pelvic ke posterior
merasa lelah setelah
beraktivitas Kurva kifosis thorakal
DO :
KIFOSIS
- Nampak susah berjalan
- Berjalan condong ke Posisi Tubuh
Membungkuk
depan (bungkuk)
- Tidak bisa menopang Keterbatasan Ruang
gerak normal
diri sendiri
- TTV : Hambatan mobilitas
fisik
TD 130/80
Nadi 80x/m
RR 20x/m
Suhu 36,6.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis (deformitas tulang)
2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan muskuloskeletal

C. Intervensi
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d. Setelah dilakukan tindakan 1. Manajemen Nyeri
agen cedera keperawatan 3x24 jam  Lakukan pengkajian nyeri

7
biologis diharapkan nyeri klien berkurang yang komprehensif
(deformitas dengan kriteria hasil: meliputi lokasi,
tulang) 1. Kontrol Nyeri karakteristik, onset/durasi,
Indikator Awal Akhir frekuensi, kualitas,
Melaporkan 2 4 intensitas atau beratnya
nyeri yang nyeri dan faktor pencetus
terkontrol  Gali bersama pasien faktor
- factor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
2. Tingkat Nyeri  Kendalikan faktor
Indikator Awal Akhir lingkungan yang dapat
Ekspresi 2 4 mempengaruhi respon
nyeri pasien terhadap
wajah ketidaknyamanan
(misalnya suhu,
pencahayaan, suara
bising)
 Ajarkan prinsip – prinsip
manajemen nyeri
 Ajarkan penggunaan
teknik non farmakologi
(seperti, relaksasi,
akupressur, dll)
 Dukung istirahat / tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri
2. Pemberian Analgesik
 Tentukan lokasi,

8
karakteristik, kualitas dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
 Cek perintah pengobatan
meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik
yang diresepkan
 Cek adanya riwayat alergi
obat
 Monitor tanda – tanda
vital sebelum dan setelah
memberikan analgesic
2. Hambatan Setelah dilakukan asuhan 1. Peningkatan mekanika tubu
mobilitas fisik keperawatan 3x24 jam  Kaji komitmen pasien
b.d gangguan diharapkan klien mampu untuk belajar dan
muskuloskeletal bergerak dan bermobilisasi, menggunakan postur
dengan kriteria hasil : tubuh yang benar
1. Pergerakan  Kolaborasikan dengan
Indikator Awal Akhir fisioterapis dalam
Bergerak 2 4 mengembangkan
dengan peningkatan mekanika
mudah tubuh sesuai indikasi
 Informasikan pada pasien
2. Ambulasi tentang struktur dan fungsi
Indikator Awal Akhir tulang belakang serta
Menopang 2 4 postur yang optimal untuk
berat bergerak dan
badan menggunakan tubuh
Berjalan 3 4  Edukasi pasien tentang
dengan pentingnya postur (tubuh)
yang benar.

9
pelan  Bantu untuk menghindari
duduk dalam posisi yang
sama dalam jangka waktu
yang lama
 Monitor perbaikan postur
(tubuh) / mekanika tubuh
pasien
2. Terapi Latihan : Ambulasi
 Konsultasikan pada ahli
terapi fisik mengenai
rencana ambulasi, sesuai
kebutuhan
 Bantu pasien dengan
ambulasi awal dan jika
dibutuhkan
 Bantu pasien untuk berdiri
dan ambulasi dengan jarak
tertentu
 Dorong ambulasi
independen dalam batas
aman

10
D. PENYIMPANGAN KDM

Trauma pada Infeksi Congenital Aktivitas/kebiasaan


tulang belakang Mycobacterium
Tuberculosis
Malformasi
Ketidaktepatan vertebra sejak Sering Posisi
saat pengobatan Menyerang di dalam Mengangkat duduk lama
tulang rahim beban berat yang tidak
belakang tegak
Penyambungan
tulang tidak
Posisi tubuh
sempurna Bakteri membungkuk
berkembang di
ujung
Deformitas Posisi pelvic
pembuluh
Tulang ke posterior
Menggerogoti
badan tulang Kurva
belakang Kurva
kifosis lordosis
thorakal Lumbal
Memicu tulang
belakang “jatuh”
kedepan

Saat inspirasi otot


KIFOSIS
intercostalis
tertekan

Perubahan Posisi Tubuh T. melengkung


penampilan Membungkuk ke depan Mobilitas sangkar
menjadi kurang thorax
menarik
Keterbatasan Ketegangan
Ruang gerak sendi Ekspansi paru
normal tidak adekuat
Gangguan Citra Nyeri akut
Tubuh Hambatan Resiko
mobilitas Ketidakefektifan
fisik Pola Nafas

11
BAB III
ANALISIS JURNAL

A. Judul Jurnal : Comparative Study Between Physical Therapy and Neuromuscular


Electrostimulation in the Recovery Khyposis and Khypotic Attitudes

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi 10 anak-anak berusia 15-18 tahun
yang memiliki masalah dengan statis vertebra, kyphosis dan sikap kyphotic. Penelitian
ini berupaya untuk mencari kekurangan dari dua prosedur berbeda: terapi fisik dan
elektrostimulasi neuromuskuler. Hasil dari kedua prosedur dibandingkan, sehingga
menentukan mana yang paling efektif untuk menangani kifosis.

C. Metode
Penelitian ini melibatkan 10 subjek, baik laki-laki dan perempuan, berusia 15-
18 tahun dengan 5 subjek dalam dua kelompok. Sampel terapi fisik untuk pelaksanaan
program latihan yang ditetapkan oleh peneliti (sepuluh latihan) dan model
elektrostimulasi untuk perangkat elektrostimulasi, empat elektroda (dua kiri dan dua
kanan). Pengukuran dilakukan pada daerah punggung, lebih tepatnya pada otot-otot
rhomboid, rhomboid besar dan kecil.
Subjek dari dua kelompok dievaluasi pada tiga waktu berbeda (pada awal
penelitian; Intermediate - setelah 10 hari; Final - setelah 20 hari) Pengukuran ini
dilakukan dengan menggunakan alat pengukur sudut tulang belakang dan skala untuk
mengukur jarak antara dinding dan akromion. Untuk mengukur sudut tulang
punggung, peniliti menggunakan inclinometer. Untuk mengukur jarak antara akromion
dan dinding peneliti menggunakan echer.

D. Hasil
Berdasarkan penelitian, sampel elektrostimulasi memperoleh rata-rata 50,4
pada tes awal, 47,6 pada tes menengah dan 43,4 pada tes akhir. Sedangkan, sampel
terapi fisik memperoleh rata-rata 53,6 pada tes awal, 50,2 pada tes menengah, dan 44,6
pada tes akhir. Dengan kata lain, untuk sudut dalam kasus terapi fisik menurun dari

12
tahap awal ke tahap akhir diamati 9,0 derajat dan untuk sampel elektrostimulasi
neuromuskuler hanya 7,0 derajat.
Jarak dinding dan acromium dapat dilihat bahwa sampel elektrostimulasi
neuromuskuler memperoleh rata-rata 13,8 dalam tes awal, 12,0 pada tes menengah dan
9, 8 pada tes akhir. Sedangkan, sampel terapi fisik memperoleh rata-rata 14,0 pada tes
awal, 11,6 pada tes menengah, dan 9,4 pada tes akhir. Dengan kata lain, untuk jarak
antara dinding - akromion, dalam kasus terapi fisik menurun dari titik awal ke titik 4,6
cm diamati, dan untuk sampel elektrostimulasi neuromuskuler hanya 4,0 cm.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk memperbaiki kekurangan ini,
terapi fisik (latihan korektif fisik dan statis yang dinamis) adalah prosedur terbaik, dan
elektrostimulasi neuromuskuler tetap hanya alternatif dengan hasil yang dekat dengan
terapi fisik dalam hal perubahan sudut tulang belakang dorsal dan penyimpangan
humerus skapula pada penelitian ini.

E. Saran
Setelah penelitian ini, diharapkan ada penelitian lebih lanjut yang dilakukan
untuk membandingkan elektrostimulasi neuromuskuler-umpan balik eudatif dan terapi
fisik-umpan balik eudatif. Nantinya, hasilnya akan dibandingkan dengan penelitian ini,
jadi akan dicari mana yang terbaik dan jelas dalam metode pemulihan yang paling
kompatibel untuk setiap subjek. Selain itu, kontribusi studi akhir bertujuan untuk
mengoptimalkan kualitas hidup, fungsi sosial dan pribadi subjek.

F. Kesimpulan
Khyposis terjadi sebagai akibat dari masalah perkembangan, penyakit
degeneratif seperti arthritis tulang belakang, osteoporosis dengan fraktur kompresi
tulang belakang atau trauma tulang belakang, pekerjaan kantor, belajar lama atau
duduk dengan posisi belakang yang buruk dapat menyebabkan munculnya kyphosis.
Penting untuk mengobati patologi ini karena dalam kasus yang parah, trombosit, saraf
dan jaringan atau organ lain dapat terpengaruh, menyebabkan gejala yang
menyakitkan atau masalah medis lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi 10 anak-anak berusia 15-18 tahun
yang memiliki masalah dengan statis vertebra, kyphosis dan sikap kyphotic. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui mana yang lebih efektif antara terapi fisik dan

13
elektrostimulasi neuromuskuler. Sampel terapi fisik untuk pelaksanaan program
latihan yang ditetapkan oleh peneliti (sepuluh latihan) dan model elektrostimulasi
untuk perangkat elektrostimulasi, empat elektroda (dua kiri dan dua kanan).
Pengukuran dilakukan pada daerah punggung, lebih tepatnya pada otot-otot rhomboid,
rhomboid besar dan kecil.
Subjek dari dua kelompok dievaluasi pada tiga waktu berbeda (pada awal
penelitian; Intermediate - setelah 10 hari; Final - setelah 20 hari). Berdasarkan
penelitian, sampel elektrostimulasi memperoleh rata-rata 50,4 pada tes awal, 47,6 pada
tes menengah dan 43,4 pada tes akhir. Sedangkan, sampel terapi fisik memperoleh
rata-rata 53,6 pada tes awal, 50,2 pada tes menengah, dan 44,6 pada tes akhir. Dengan
kata lain, untuk sudut dalam kasus terapi fisik menurun dari tahap awal ke tahap akhir
diamati 9,0 derajat dan untuk sampel elektrostimulasi neuromuskuler hanya 7,0
derajat.
Jarak dinding dan acromium dapat dilihat bahwa sampel elektrostimulasi
neuromuskuler memperoleh rata-rata 13,8 dalam tes awal, 12,0 pada tes menengah dan
9, 8 pada tes akhir. Sedangkan, sampel terapi fisik memperoleh rata-rata 14,0 pada tes
awal, 11,6 pada tes menengah, dan 9,4 pada tes akhir. Dengan kata lain, untuk jarak
antara dinding - akromion, dalam kasus terapi fisik menurun dari titik awal ke titik 4,6
cm diamati, dan untuk sampel elektrostimulasi neuromuskuler hanya 4,0 cm.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk memperbaiki kekurangan ini,
terapi fisik (latihan korektif fisik dan statis yang dinamis) adalah prosedur terbaik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Helmi, ZN. 2010. Buku Ajar gangguan muskuloskeletal . Jakarta: EGC

Herdman, T.Heather. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2018-2020, Ed.11. Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.

Muttaqin, A. 2013. Buku saku gangguan muskuloskeletal. Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta: EGC

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Nurjanah Intansari, Tumanggor Roxsana Devi. 2013. Nursing Interventions Classification


(NIC). Mocomedia : Indonesia

Nurjanah Intansari, Tumanggor Roxsana Devi. 2013. Pengukuran Outcomes Kesehatan


(NOC). Mocomedia : Indonesia

15

Anda mungkin juga menyukai