Anda di halaman 1dari 10

MANAGEMEN TINGKAH LAKU DESENSITISASI

PADA PASIEN ANAK YANG TAKUT DIRAWAT


GIGINYA

Jonathan Vincent Siahaan


180600085
Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Jalan Alumni No.2 Kampus USU Medan 20155
E-mail: jonathanvincent125@gmail.com

Pendahuluan
Setiap anak cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu
dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi
yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu dengan objek ancaman yang
tidak begitu jelas. Kecemasan terjadi karena individu tidak mampu mengadakan
penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar,1 Kecemasan pasien anak di praktik
dokter gigi adalah salah satu hambatan utama yang mencegah dokter menggunakan
layanan medis secara maksimal untuk pemeriksaan klinis rutin dan perawatan khusus
pada anak. Kecemasan juga mengurangi kepatuhan anak terhadap pengobatan yang
diberikan. Pasien yang cemas juga berpotensi untuk menghindari kedatangan ke dokter
gigi, bahkan jika mereka telah menjadwalkan janji sebelumnya. Mereka juga perlu
menghabiskan lebih banyak waktu di kursi dokter gigi untuk perawatan gigi dan
mulut.1
Dalam konteks kedokteran gigi, pasien anak adalah pasien yang memiliki
cara penanganan yang berbeda dari pasien biasanya. Hal ini disebabkan karena pasien
anak memiliki tingkah laku yang beraneka ragam saat dilakukan perawatan gigi. Ada
yang bertingkah positif dan tak jarang pasien anak bertingkah negatif.
Diperlukan strategi spesifik untuk mendekati pasien yang cemas untuk
menangani masalah yang dihadapinya . Banyak anak yang mungkin terlalu cemas
memiliki cara sendiri dalam menghadapi berbagai aspek perawatan gigi sehingga perlu
penanganan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, teori-teori tentang teknik pendekatan
terhadap anak dan karakter anak penting untuk dipahami agar dapat membantu dokter
gigi tidak hanya dalam memberikan perawatan segera yang dibutuhkan anak saja,
tetapi juga membantu membentuk sikap positif anak pada kunjungan dental
berikutnya2. Salah satu teknik yang dapat diterapkan pada anak untuk meningkatkan
manajemen tingkah laku adalah dengan dilakukannya teknik desensitisasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini akan mengulas informasi
tentang teknik desensitisasi pada pasien anak yang takut dirawat giginya. Adapun
tujuan dari penulisan ini adalah agar pembaca mengetahui pengertian desensitisasi
serta penatalaksanaan pasien anak dalam menggunakan teknik desensitisasi.

Tingkah Laku Anak Dalam Perawatan Gigi


Tingkah laku seorang anak jika berada di klinik dokter gigi atau pada saat
perawatan gigi dan mulut adalah sebagai berikut:3
1. Tipe yang bekerja sama (kooperatif)
Tipe ini adalah tingkah laku yang terbuka dan dapat mengerti tentang
dirinya sendiri. Pasien yang termasuk santai sehingga kunjungan menjadi
menyenangkan bagi pasien dan dokter gigi. Prosedur perawatan menjadi
sempurna dengan menggunakan metode TSD (tell show do). Anak juga akan
mudah mengikuti apa yang diinstruksikan oleh dokter gigi. Meskipun
kooperatif, pasien tipe ini harus tetap ditangani sebagaimana mestinya dengan
maksud bahwa dokter gigi menginginkan anak untuk tetap kooperatif dan
menikmati pengalaman berkunjung ke dokter gigi. Anak yang kooperatif
menunjukkan sikap yang tenang, rasa cemasnya relatif kecil dan mereka juga
tertarik terhadap cara-cara perawatan gigi
2. Tipe tidak bekerjasama (Tidak kooperatif)
Biasanya terdapat pada anak yang masih kecil kira-kira berusia 1-3
tahun, anak belum dapat diajak berkomunikasi secara langsung. Mc Donald
mengemukakan bahwa anak-anak tersebut berada dalam fase prakooperatif.
Hal ini hanya berlangsung sementara dalam masa perkembangan. Seperti
contoh, pasien yang cacat, dimana tidak mampu mengerti dan berkomunikasi
akibat cacatnya yang khusus. Kadangkala penanganan dapat diselesaikan
dengan penggunan anastesi umum yang telah terbukti menjadi satu-satunya
penangan yang paling berhasil bagi pasien tersebut.3
3. Tipe histerik (Tidak terkontrol)
Beberapa karakteristik akan dapat terlihat pada pasien dengan tingkah
laku yang tidak terkontrol. Pasien biasanya berumur 3-6 tahun dan ini
merupakan kunjungan yang pertama kali ke dokter gigi. Pada perawatan
tersebut akan ada tangisan yang nyaring, teriakan dan tabiat pemarah. Biasanya
hal ini akan timbul oleh karena tingkat kecemasan dan ketakutan yang tinggi.
Tipe ini dapat diatasi dengan mengevaluasi pasien di ruang tunggu dan
mengevaluasi kecemasannya pada saat sebelum masuk ke ruang kerja.3
4. Tipe keras kepala
Pasien yanq menentang atau keras kepala sering menjadi perusak. Ia
melawan orang dewasa dan dokter gigi itu sendiri. Dapat dijumpai pada anak-
anak semua umur, tetapi pada umumnya terdapat pada anak sekolah dasar.
Seringkali anak mengatakan tidak mau ketika akan dilakukan perawatan dan
biasanya sikap demikian ini sering dilakukan di rumahnya, dimana
kemungkinan orang tua kurang tegas sehingga semua kemauan anak dituruti.
Umumnya anak keras kepala, kadang-kadang menunjukkan keberanian untuk
melawan. Sikap melawan ini diperlihatkan dengan menutup mulutnya dengan
tangan ketika akan dilakukan pemeriksaan ke dalam mulutnya.
5. Tipe pemalu
Tingkah laku yang pemalu memerlukan penanganan yang serius. Anak
pemalu merupakan sikap yang paling ringan dari bentuk tingkah laku yang
negatif. Sikap pemalu biasanya ditunjukkan dengan mencari perlindungan dari
ibunya, menarik baju ibunya, mencari-cari alasan, ragu-ragu dan menangis,
walaupun tidak keras. Tipe dari perilaku.ini merupakan refleksi dari proteksi
orang tua yang berlebihan yang mengarahkan anak menjadi sangat tergantung
pada orang tua. Pasien yang pemalu sangat melibatkan diri dengan rasa
takutnya sehingga ia tidak mendengarkan sekitarnya. Dengan demikian,
seseorang diperlukan untuk mengulangi instruksi yang diberikan dan berulang-
ulang untuk menjelaskan kembali.
6. Tipe kooperatif tegang
Beberapa anak mempunyai tingkah laku pada batas antara positif atau
negatif. Tingkah lakunya dapat diketahui melalui gerakan-gerakan anggota
tubuhnya seperti matanya selalu mengikuti setiap perubahan gerak dokter gigi
atau asistennya. Suara bergetar, badannya gemetar, dahi dan telapak tangannya
berkeringat, tetapi mereka dapat mengontrol emosinya. Pada saat berhadapan
dengan anak ini, dokter harus membuat suasana senyaman mungkin bagi anak
itu, seperti tersenyum, mempertahankan kontak mata dengan anak, dan
menggunakan suara yang lembut agar anak bisa nyaman dan tidak gugup.4
Disamping itu dibutuhkan juga kemampuan untuk mengenali tipe pasien ini,
menghargai sikap tingkah lakunya dan menjauhkan atau menghindari
kemungkinan-kemungkinan adanya kebisingan atau perubahan pada tekanan
suara yang menjadi tinggi.
7. Tipe pasien cengeng
Pada umumnya anak disebut sebagai penangis atau pengadu, tetapi
mempunyai potensi untuk menjadi kooperatif. Tangisan anak merupakan
manifestasi dari rasa takut. Tangisannya tidak keras, emosinya konstan dan
jarang mengeluarkan air mata. Untuk mengatasi tingkah laku anak tersebut
diperlukan kesabaran yang cukup tinggi. Salah satu metode untuk menangani
metode ini adalah mengingatkan agar tetap tenang dan sabar. Dapat juga
diberikan keyakinan dan pengertian dengan mengatakan kepada pasien bahwa
prosedur perawatan akan segera berakhir dan ia dapat pulang kerumah.
Pengertian Desensitisasi
Desensitisasi merupakan terapi perilaku yang diperkenalkan oleh Joseph
Wolpe (1969) berdasarkan pemahaman bahwa relaksasi dan kecemasan tidak dapat
muncul pada waktu yang sama pada satu individu.2 Teknik terapi ini dirancang untuk
mengekspos anak pada peristiwa yang menimbulkan rasa takut, cemas, bahkan stress
guna membantu mereka mengatasi penghindaran mereka terhadap perawatan dokter
gigi.5 Rangsangan yang menghilangkan cemas sedikit demi sedikit ini disebut dengan
istilah “systemic desentisization” karena ada tiga tahap yaitu:
 Latih pasien untuk santai dan relaks.
 Susun secara berurutan hal-hal yang membuat pasien cemas dan takut (dari
yang paling menakutkan sampai yang tidak menakutkan).
 Rangsangan ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Menurut Willis (2004) desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk


mengurangi respon emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak
menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang
menakutkan itu. Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien
di latih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-
pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi. Tingkatan
stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus
penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus penghasil kecemasan dan
respon kecemasan itu akan terhapus.
Fokus utama dari teknik ini adalah mengubah pemikiran irrasional anak
tentang kedokteran gigi menjadi lebih adaptif dan membuat anak tidak segan untuk
kembali ke praktik dokter gigi apabila ada masalah yang berhubungan dengan gigi dan
mulut. Sehingga teknik ini cukup efektif untuk diterapkan kepada pasien anak.5
Klasifikasi Desensitisasi

Dalam pelaksanaannya, desensitisasi sistematik dibagi menjadi dua, yaitu


desensitisasi sistematik imajiner dan desensitisasi sistematik in vivo.5
 Desensitisasi sistematik imajiner adalah metode yang dilakukan dengan
hanya membayangkan sumber ketakutan dari seorang anak. Contohnya ,
seorang anak yang takut akan peralatan dokter gigi disuruh membayangkan
alat yang ditakutinya tanpa ada penghadapan dan tindakan langsung pada
benda yang ditakutinya tersebut.
 Desensitisasi sistematik in vivo adalah metode dalam meminimalisir gejala
ketakutan dengan langsung menghadapkan anak langsung pada situasi
tersebut. Contohnya, anak dihadapkan dengan alat yang ditakutinya oleh
dokter gigi dan diarahkan agar anak bisa menghadapi ketakutannya
terhadap benda tersebut dengan pemberian stimulus dan dilakukan dalam
keadan relaks. Dalam hal ini diharapkan mampu menyembuhkan ketakutan
dan perilaku menolak pada anak.

Penerapan desensitisasi sistematik in vivo akan lebih efektif dibandingkan


desensitisasi sistematik imajiner karena anak lebih mampu memahami stimulus konkrit
dibandingkan membayangkan stimulus yang ditakuti.5 Oleh karena anak berhadapan
langsung dengan stimulus yang menimbulkan rasa takut, maka efektivitas desensitisasi
sistematik in vivo lebih jelas.

Penatalaksanaan Teknik Desensitisasi pada Pasien Anak


Desensitisasi sistematik merupakan teknik behavioral yang memfokuskan
bantuan untuk menenangkan pasien anak dari ketegangan dan kecemasan yang dialami
dengan mengajarkan pasien secara bertahap.5
Namun, sebelum hal ini dilakukan, pasien diajarkan untuk relaks. Hanya
dalam keadaan relaks sajalah stimulus bisa diberikan, hal ini dilakukan dengan teknik
relaksasi sebelum desensitisasi yang sebenarnya dimulai.1
Pertama, pasien diajarkan teknik relaksasi otot dan latihan pernapasan.
Misalnya, kontrol dalam melakukan pernapasan, detensi otot atau meditasi. Langkah
ini sangat penting karena Hanya dalam keadaan relaks sajalah stimulus bisa diterima
oleh anak dan hanya dalam keadaan relaks saja para pasien bisa belajar bagaimana
menjadi akrab dengan dokter dan suasana.
Kedua, untuk menangani kecemasan anak, faktor-faktor yang dapat
merangsang ketakutan disusun, contohnya seperti ketika dokter gigi pertama kali
masuk ke ruangan, melihat alat kedokteran gigi yang sangat asing, aroma dan bau di
klinik dokter gigi, dll.). maka dari itu, pasien hendaknya menciptakan hierarki rasa
takut mulai dari rangsangan yang menciptakan kecemasan (ketakutan) yang paling
rendah dan dibangun secara bertahap hingga gambaran yang paling membangkitkan
rasa takut. Tahap ini sangat penting karena tahap ini membangun struktur tingkat
kecemasan anak.6

Gambar 1 Tingkatan Rasa Takut


https://www.slideshare.net/drpawnsinsinwar/ch
ild-behavior-management-techniques

Ketiga, anak diberikan stimulus sesuai susunan faktor tersebut, dimulai dari
stimulus yang memberikan ancaman paling rendah. Selanjutnya anak berusaha mencari
cara mengatasi stimulus tersebut, mulai dari rangsangan yang paling bisa ditoleransi
dan sambil mempraktikkan teknik relaksasi selagi mereka melakukannya. Ketika anak
merasa nyaman dengan ini (mereka tidak lagi takut) mereka beralih ke tahap berikutnya
dalam hirarki. Kemudian stimulus yang akan diberikan selanjutnya hanya bisa
berlanjut jika pasien merasa mampu.2,5 Jika anak menjadi marah, mereka dapat kembali
ke tahap awal dan mendapatkan kembali keadaan relaks mereka.
Metode desensitisasi sistematis berlangsung 5-10 sesi, sampai pasien percaya
bahwa representasi anxiogenik dapat ditoleransi. Di akhir setiap sesi, pasien diajak
untuk menghadapi kenyataan situasi dimana desensitisasi telah dilakukan dan
mengetahui bahwa ia telah berhasil mengatasi ketakutannya. Dengan melakukan teknik
ini dokter gigi dapat mengatasi rasa takut dari sang anak.

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa desensitisasi bisa menjadi teknik efektif
dalam berkomunikasi dan penatalaksanaan perawatan gigi kepada anak-anak dengan
tingkat kecemasan dan ketakutan yang tinggi . kebanyakan anak sudah bisa menerima
dan mengikuti instruksi pemeriksaan dan perawatan ke dokter gigi setelah dua sampai
lima kali kunjungan yang sebelumnya telah memakai teknik desensitisasi. Sebagai
tambahan, penelitian menunjukkan bahwa semakin lama teknik ini dilakukan, semakin
efektif juga hasilnya.6 Seperti yang diungkapkan oleh Durand dan Barlow (2006)
bahwa kecemasan dalam jumlah rendah akan mendorong dan memperkuat kinerja fisik
dan intelektual sehingga anak dapat sukses ketika diperiksa dan dirawat. Anak-anak
dengan karakteristik gangguan kepribadian dan gangguan mental seperti autisme yang
masih ringan juga lebih cenderung mendapat manfaat dari teknik desensitisasi karena
keterampilan sosial yang dimiliki oleh dokter gigi saat melakukan teknik ini dikaitkan
dengan peningkatan kepercayaan pasien dalam menerima pemeriksaan gigi.7
Para peneliti dalam studi masa depan harus fokus mempertahankan
desensitisasi dari waktu ke waktu agar keterampilan gigi tercapai melalui teknik
desensitisasi dan bisa efektif dalam mengajar pasien untuk menerima radiografi,
perawatan, pencegahan, serta pengobatan restoratif gigi.7
Daftar Pustaka
1. Valentina Neacsu, Ionela Ruxandra Sfeatcu, Nicoleta Maru, Mihaela Adina
Dumitrache. Relaxation and systematic desensitization in reducing dental
anxiety. Elsevier 2014; 127 (2014): 474 – 8.
2. Duggal M, Cameron A, Toumba J. At a glance Kedokteran Gigi Anak. Aryanto
M. Astikawati R. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014:15.
3. Herdiyati Y, Sasmita I. Pendekatan Ideal Pada Anak dalam Perawatan Gigi.
Dalam: Amalia, Kasim A, Usri K, Elih, Eds. Prosiding Temu Ilmiah Forum
Dies 55 Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD, Bandung, 2014 : 323-5.
4. Zeighamia R, Behnammoghadamb M , Moradic M, Bashti, S. Comparison of
the effect of eye movement desensitization reprocessing and cognitive
behavioral therapy on anxiety in patients with myocardialinfarction. The
European journal of psychiatry 2017;9:1-5.
5. Hanif M. Efektivitas Desensitisasi In Vivo Untuk Mengatasi School Refusal
Behavior pada Anak (The effectiveness of in vivo desensitization to overcome
school refusal behavior in children). Thesis. Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2016: 8-31.
6. McLeod S. Systematic Desensitization.
https://www.simplypsychology.org/Systematic-Desensitisation.html 10
Desember 2018.
7. Nelson T, Chim A, Sheller B, McKinney C, Scott J. Predicting successful dental
examinations for children with autism spectrum disorder in the context of a
dental desensitization program. J ADA 2017;3:1-8.
TUGAS INDIVIDUAL
ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
Managemen Tingkah Laku Desensitisasi pada Pasien Anak
Yang Takut Dirawat Giginya

Oleh:
Jonathan Vincent Siahaan
180600085

DOSEN PEMBIMBING
Essie Octiara, drg., Sp.KGA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Anda mungkin juga menyukai