Oleh :
Preseptor :
PADANG
2019
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan dan contoh kasus infeksi saluran kemih pada anak
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
KLASIFIKASI
ISK
BERDASARKAN
BERDASARKAN BERDASARKAN
KELAINAN SAL.
GEJALA KLINIS LOKASI INFEKSI
KEMIH
Berdasarkan lokasi infeksinya ISK dibedakan menjadi ISK atas yaitu infeksi
yang menyerang parenkim ginjal (pielonefritis), dan ISK bawah yaitu infeksi saluran
kemih yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistisis, urethritis) dengan gejala utama
disuria, polasikuria, urgensi. Membedakan antara ISK atas dan ISK bawah adalah
tindakan yang pentik karena komplikasi pada pielonefritis dapat menimbulkan parut
ginjal, yang mana hal tersebut tidak terjadi pada ISK bawah.2
Untuk kepentingan klinik dan tatalaksana ISK dapat deibedakan menjadi ISK
simpleks dan ISK kompleks. ISK kompleks adalah ISK yang disertai dengan kelainan
anatomik dan atau fungsional saluran kemih, yang menyebabkan aliran urin statis atau
aliran balik (refluks). Dan yang dimaksud dengan ISK simpleks yaitu ISK tanpa
kelainan anatomis dan fungsional saluran kemih.2
7
Cara penularan infeksi pada anak ISK dapat berlangsung karena proses
hematogen, atau asending dari uretra eksterna ke kandung kemih kemudian ke ginjal.
Pada anak kecil, sumber infeksi ISK yang sering terjadi akibat bakteri dari tinjanya
sendiri yang berjalan secara asending ke saluran kemih. Bakteri uropatogenik tersebut
akan melekat pada sel uroepitel dan mempengaruhi kontraktilitas otot saluran kemih
dan mempengaruhi peristaltiknya. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel akan
meningkatkan virulensi bakteri tersebut.3
Mukosa pada kantong kemih mengandung glikoprotein musin layer yang
berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan ini menyebabkan bakteri dapat
membentuk kolonisasi dan terjadinya peradangan. Bakteri kandung kemih dapat naik
ke ureter dan ginjal. 3
Infeksi pada kantong kemih berulang dapat menyebabkan perubahan pada
dinding vesika dan inkompetensi katub vesikoureter. Akibatnya rusaknya katub ini urin
dapat refluks ke ureter terutama saat berkemih (kantong kemih berkontraksi),
kemudian menyebabkan ureter melebar dan kerusakan pielum dan parenkim ginjal.3
Apabila infeksi mengenai buli, infeksi tersebut menyababkan iritasi dan spasme
otot vesika urinaria sehingga muncul gejala rasa ingin miksi terus-menerus (urgensi),
miksi berulang (polisakaria), nyeri berkemih (disuria). Mukosa menjadi meradang dan
bila terjadi perdarahan dapat menyebabkan hematuria. 3
8
Bayi sampai usia 1 tahun gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat
badan, gagal tumbuh, napsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus,
dan distensi abdomen. Demam bisa sangat tinggi sampai kejang.2
Pada umur lebih tinggi sampai 4 tahun dapat terjadi demam tinggi disertai
kejang, muntah dan diare sampai menimbulkan dehidrasi. Sedangkan pada anak yang
besar, gejala klinik lebih ringan dan muncul gejala lokal saluran kemih seperti
polakisuria, disuria, urgensi, frekuensi, ngompol, sedangkan gejala sakit perut, sakit
pinggang dan pireksia jarang ditemukan.2
Berikut ini adalah hasil penelitian di RSCM Indonesia mengenai distribusi
gejala klinis ISK pada anak berdasarkan usia4
Tabel 2.1 distribusi gejala klinis ISK pada anak berdasarkan usia
Berdasarka tabel diatas dapat ditarik kesimpulan pada anak ISK akan memunculkan
klinis berupa demam, penurunan napsu makan, diare dan gejala lainnya yang tidak
spesifik. 4
9
2.7 Diagnosis ISK
Gejala klinis ISK bervariasi dan tidak khas terutama pada anak < 2-3 tahun,
sehingga untuk menegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan laboratorium dan
penunjang lainnya sebagai pendukung diagnostik. Pemeriksaan urin tidak hanya
dilakukan pada anak dengan klinis ISK saja, akan tetapi American Academy of
Paediatric (AAP) merekomendasikan agar klinisi melakukan pemeriksaan urin pada
anak dengan demam yang belum diketahui penyebabnya.5,6
Sampel urin yang diambil bisa dengan teknik non invasif dan dengan Teknik
invasif. Pengambilan sampel urin non invasif seperti mengambil urin porsi tengah
dengan teknik clean catch urine specimen sulit dilakukan oleh anak akan tetapi lebih
direkomendasikan oleh NICE guideline. Sebagai alternatif NICE guideline juga
memperbolehkan pengambilan sampel urin melalui kantong urin. Akan tetapi
pelaporan dari AAP menyatakan bahwa pengambilan sampel melalui kantong urin
mengakibatkan 85% dari hasil kultur urin positif palsu. Sedangkan teknik pengambilan
sampel urin invasive yang dapat dilakukan yaitu pemasangan kateter dan supra pubic
aspiration (SPA). Meskipun sebagian besar guideline internasional menyatakan bahwa
teknik non invasif lebih digemari dalam pengambilan sampel urin pasien suspek ISK,
AAP menyatakan hanya teknik invasive yang dapat mengkonfirmasi diagnosa ISK,
karena tingkat kontaminasi kuman mencapai 26% pada anak usia <24 bulan. AAP juga
menambahkan bahwa teknik invasif menggunakan kateterisasi lebih dianjurkan
daripada SPA. SPA memiliki skor nyeri yang lebih tinggi dan tingkat keberhasilan
yang lebih rendah dibandingkan kateterisasi. 5,6
Sampel urin yang dikumpulkan digunakan untuk pemeriksaan urinalisis dan
kultur urin dalam waktu bersamaan. Sampel yang digunakan untuk kultur urin harus
urin yang diambil dengan teknik kateterisasi atau SPA. Karena hasil kultur tidak dapat
diperoleh dalam 24 jam awal, dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk memprediksi
hasil kurtur dan dapat memulai terapi sebelum hasil kultur keluar. Sampel urin segar
digunakan untuk urinalisis yaitu < 1 jam atau < 4 jam apabila disimpan dalam lemari
pendingin. 5
10
Urinalisis dapat dilakukan dengan dipstick urin dan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan dipstick urin adalah pemeriksaan cepat untuk mendeteksi keberadaan
nitrit dan leukosit esterase di dalam urin. Keberadaan nitrit mewakili konversi diet
nitrat oleh bakteri gram negatif dan memiliki spesisifitas tinggi (98%) pada ISK.
Keterbatasannya adalah hasil akan negatif apabila ISK disebabkan oleh kuman gram
positif atau kantong kemih sering dikosongkan. Sedangkan pemeriksaan leukosit
esterase memiliki sensitifitas 84% dan spesisifitas 72%. Keunggulannya adalah hasil
pemeriksaan akan negatif apabila dilakukan pemeriksaan pada bakterinuria
asimtomatik (dapat membedakan antara bakterinuria asimtomatik dengan ISK).
Pemeriksaan dipstick tidak dapat dijadikan sebgai standar diagnosis untuk ISK. 5,6
Pemeriksaan mikroskopis pada urinalisis adalah memeriksa kemungkinan
terdapatnya leukosit dan atau bakteri di dalam urin. Leukosit di dalam urin digunakan
sebagai penanda terjadinya proses inflamasi yaitu apabila ditemukan lebih atau sama 5
leukosit per lapangan pandang besar pada urin disentrifugasi.6
Berikut ini adalah tabel AAP mengenai sensitifitas dan spesifisitas urinalisis
Tabel 2.2 Sensitifitas dan Spesifisitas Urinalisis
Idealnya sampel yang digunakan untuk kultur urin harus bebas kontaminasi.
Sampel urin akan dibiak dalam media agar darah dan media McConKey, beberapa
bakteri yang tidak lazim sebagai penyebab ISK tidak dapat tumbuh dalam media
tersebut sehingga membutuhkan media khusus.2
Interpretasi hasil kultur urin bergantung kepada cara pengambilan sampel,
waktu dan keadaan klinik. Pengambilan sampel dengan SPA semua literatur setuju
11
hasil positif apabila ditemukan berapapun jumlah kuman pada media. Namun,
pengambilan sampel dengan kateterisasi atau dengan urin pancar tengah memiliki
kriteria yang berbeda-beda. 2
Menurut pendapat AAP hasil kultur yang bermakna apabila dengan sampel
kateterisasi urin ditemukan 5 x 104 colony per unit (CFU). Dibawah ini merupakan
tabel distribusi perbedaan interpretasi kultur menurut beberapa pedoman internasional:
12
dapat diberikan selama 24-48 jam. Menurut AAP pengobatan antibiotik oral atau
parenteral (yang kemudian diubah menjadi oral) pada ISK diberikan selama 7-14 hari.
Akan tetapi didalam konsensus IDAI disampaikan bahwa ISK simpleks rata-rata
penggunaan antibioti selama 7 hari, namun berdasarkan penitilian pemberian antibiotik
dengan waktu yang lebih singkat (3-5 hari) efektifitasnya sama dengan pemberian 7
hari. 2,5
13
Berbagai antibiotik yang dapat digunakan untuk pengobatan ISK adalah :
Tabel 2.4 Pilihan antibiotic oral pada ISK2
14
Berikut ini adalah kesimpulan penatalaksanaan ISK menurut beberapa guideline
internasional6 :
Tabel 2.5 Penatalaksanaan ISK
15
BAB 3
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : An. B
Tanggal Lahir : 8 Juni 2017
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Komp Mega Mulia C/1 Kuranji, Padang
2. Anamnesa
Alloanamnesa : Ibu Pasien
Anak laki-laki berusia 1 tahun 7 bulan dibawa orangtua ke IGD RSUP
Dr. M Djamil Padang pada tanggal 24 Januari 2019 dengan
Keluhan Utama :
Demam yang semakin meningkat sejak 10 jam SMRS
16
menghabiskan porsi makanannya. Penurunan napsu makan semakin
bertembah sejak hari ini, anak hanya makan 1 kali dan tidak mampu
menghabiskan makanannya
Anak masih mendapatkan ASI frekuensi sesuai dengan permintaana
anak
Anak gelisah dan rewel sejak 10 jam SMRS
Mual muntah tidak ada
Sakit tenggorokan dan nyeri menelan tidak diketahui orang tua
Nyeri kepala tidak diketahui oleh orang tua
Riwayat perdarahan gusi, mukosa hidung dan saluran cerna tidak ada
Sesak napas dan kejang tidak ada
BAB 1 kali sehari, warna kecoklatan, konsistensi biasa
BAK frekuensi tidak diketahu pasti, anak masih menggunakan pampers
diganti 4x/hari, warna kuning pucat, jumlah biasa, nyeri ketika BAK
tidak diketahui, urgensi berkemih tidak diketahui
Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria tidak ada
Riwayat Persalinan
Anak lahir 42-43 minggu dibantu Sp. OG dengan SC ai induksi gagal,
persalinan tidak maju. BL 3400 gram dan PL 49 cm, saat lahir anak langsung menangis
kuat.
Kesan : Normal
17
Riwayat Makan dan Minuman
ASI : 0 bulan – sekarang
Susu Formula : 3 bulan – sekarang
Bubur : 4 bulan – 5 bulan
Nasi tim : 5 bulan – 7 bulan
Makanan biasa : 7 bulan – sekarang
Makan biasa 3 x 1 porsi, dengan lauk daging, ayam, ikan, telur, tempe dan tahu,
anak hanya mau sayur bayam, buah manga
Riwayat Imunisasi
Hb 0 0 bulan
BCG 2 bulan
Polio 2,3,4 bulan
DPT Hb Hib 2,3,4 bulan
Campak 9 bulan
Riwayat Perkembangan
Tertawa : 1 bulan
Miring : 2,5 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara : 13 bulan
18
Kesan : Riwayat perkembangan dalam batasan normal
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Rahmon Nizar Suci Ramadhani
Umur 30 tahun 22 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Wira Swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan Rp 2.000.000 -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak Ada
diderita
3. PEMERIKSAAN FISIK
19
Frekuensi Nadi : 112 x/menit TB/U : p 2 s/d 0
Frekuensi Napas : 26 x/menit BB/TB : p 2 s/d 0
Suhu : 41,2 ℃ Status Gizi : Gizi baik
Edema : Tidak ada Anemia : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada Sianosis : Tidak ada
Kulit : Dalam batas normal
Telinga : Bentuk telinga luar normal. Cairan dari liang telinga tidak ada
Tenggorok : Tonsil T2-T2 detritus tidak ada, faring dan tonsil hiperemis
Gigi dan mulut : Mukosa bibir, palatum dan buccal basah, karries tidak ada
Thoraks : Normochest
Paru
Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan
20
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SN Vesikuler Rh -/- Wh -/-
Jantung
Inspeksi : IC tidak terlihat
Palpasi : IC teraba 1 jari medial LMCS RIC 5
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : S1=S2, mur- mur tidak ada, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Supel. Nyeri tekan dan lepas tidak ada.
Hepar, lien, ginjal tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) 6x/menit
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Darah
Hb : 9,5 gr/dL
Leukosit : 9.650/mm3
Trombosit : 409.000/mm3
Hematokrit : 32 %
21
Hitung jenis leukosit : 0/1/1/74/16/8
Kesan : Anemia, neutrofilia relatife
Pemeriksaan Urin
Makroskopik
Warna : Kuning
Kekeruhan : Negatif
BJ : 1.050
pH : 6,0
Mikroskopis
Leukosit : 6-8/ LPB
Eritrosit : 0-1/ LPB
Silinder : Negatif
Kristal : Negatif
Epitel : Epitel gepeng (+)
Kimia
Protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : Positif
Kesan : Leukosituria
5. DAFTAR MASALAH
Demam dengan suhu 41,2 ℃
Batuk berdahak, pilek (+)
Penurunan napsu makan
Tonsil T2-T2, detritus tidak ada, hiperemis
22
Hasil laboratorium : Anemia, neutrofilia relatif, leukositoria
6. DIAGNOSIS KERJA
Infeksi saluran kemih dengan hiperpireksia + Tonsilofaringitis akut
7. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Nutrisi
ML 1200 kkal
ASI/SF OD
Tatalaksana Medikamentosa
Ceftriaxon 2 x 500 mg (IV)
Paracetamol 4 x 1,5 cth (PO)
Ambroxol 3 x ½ cth (PO)
Edukasi
- Usahakan anak tidur dan istirahat agar metabolisme anak turun
- Beri anak banyak minum
- Buka pakaian/ selimut tebal anak agar terjadi perpindahan panas secara
evaporasi dan radiasi
- Kompres dengan air hangat (tepping sponging) untuk melebarkan
pembuluh darah
- Bekali orang tua dengan diazepam per rektal 5 mg, sebagai tatalaksana
kejang apabila terjadi kejang pada anak akibat kenaikan suhu yang
signifikan
8. PROGNOSA
Bonam
23
9. FOLLOW UP
S/ Demam anak sudah mulai turun
Anak masih sulit makan
Anak tampak rewel dan cengeng
Mual muntah kejang tidak ada
BAB dan BAK dalam jumlah, warna dan konsistensi biasa
O/ ku : sakit sedang
Nd : 115x
Nf : 23x
S : 37,9℃
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : Retraksi dinding dada tidak ada, SN vesikuler rh -/- wh -/-
Jantung : S1=S2 mur-mur dan gallop tidak ada
Abd : Nyeri tekan dan lepas tidak ada
24
BAB 4
DISKUSI
Pasien anak laki laki usia 1 tahun 7 bulan datang ke IGD RSUP Dr M Djamil
Padang dengan keluhan utama demam yang semakin meningkat sejak 10 jam SMRS.
Demam merupakan salah satu gejala klinis yang sering terjadi pada anak. Menandakan
terjadinya perubahan set poin pengaturan panas di hipotalamus akibat infeksi atau
akibat ketidakseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas.
Anak yang datang dengan keluhan demam perlu ditinjau tipe demamnya seperti
apa. Karena, beberapa penyakit tertentu memiliki tipe demam yang khas yang
mengarahkan ke diagnosis. Akan tetapi, pada pasien ini demam sudah terjadi sejak 7
hari yang lalu dengan suhu yang tidak tinggi. Orang tua sudah memberikan obat
penurun panas kepada anak (parasetamol), sehingga sedikit sulit untuk menemukan
pola asli demam. Serangan demam pada anak mencapai suhu 41,2℃, keadaan suhu
tinggi pada anak dapat menimbulkan kerusakan jaringan terutama jaringan otak dan
otot. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak, kejang, koma
samoai kelumpuhan. Keadaan ini termasuk kegawatdaruratan anak.
Secara umum demam dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu demam
karena infeksi tanpa tanda lokal, demam karena infeksi disertai tanda lokal, demam
disertai ruam dan demam lama. Demam karena infeksi dengan ditandai tanda lokal
pada pemeriksaan fisik harus ditemukan fokus infeksinya. Pada anak ditemukan
pembesaran tonsil ukuran T2- T2 dengan hiperemis pada tonsil dan faringnya. Dengan
demikian anak dapat didiagnosa dengan tonsilofaringitis akut. Akan tetapi dari
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran KGB regional. Tonsilofaringitis
akut lebih sering disebabkan oleh virus, dan apabila dihubungkan dengan tidak ada
pembesaran KGB regional kecurigaan virus sebagai penyebabnya lebih besar.
Tonsilofaringitis akut akibat virus jarang menimbulkan klinis demam. Apalagi demam
pada anak sudah tergolong hiperpireksia (>40℃)
Demam pada anak sudah berlangsung selama 7 hari. Demam lebih dari 7 hari
sudah dapat dikatakan demam lama. Beberapa kemungkinan pengakit demam lama
25
yaitu Tb, demam tifoid, malaria, demam rematik akun. Akan tetapi untuk Tb anak tidak
kontak dengan pasien Tb, indikator gizi pada anak pun termasuk gizi baik. Pada demam
rematik akut penegakan diagnose sesuai dengan kriteria Jones yang tidak ada satupun
kriterianya terdapat pada pasien ini. Kemungkinan yang paling mungkin adalah demam
tifoid. Untuk mensuspek demam tifoid berdasarkan klinis yaitu apabila ditemukan
demam dan gangguan GIT. Pada anak gejala GIT yang ada hanya anoreksia. Kemudian
dilakukan pemeriksaan serologi TUBEX TF dengan hasil negatif, sehingga kecurigaan
terhadap demam tifoid dapat dihilangkan.
AAP menyatakan bahwa demam pada anak, khususnya pada < 24 bulan mesti
dilakukannya urinalisis untuk memeriksa kemungkinan ISK sebagai penyebab demam.
Hasil urinalisis pada anak didapatkan 6-8 leukosit / LPB. Hasil leukosituria
menandakan terjadinya proses inflamasi pada saluran kemih atau terjadinya infeksi
saluran kemih pada anak. Hasil urinalisis ini sebaiknya dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur. Akan tetapi hasil pemeriksaan kultur tidak dapat keluar dalam
waktu < 24 jam. Injeksi ceftriakson dipilih sebagai terapi akut penatalaksanaan
antibiotik bedasarkan empiris. Antibiotik parenteral dipilih karena pada anak saat ini
sulit untuk makan termasuk minum obat. Keakuratan antibiotic pilihan akan dinilai 48-
72 jam kedepan, apabila klinis membaik antibiotik tersebut dapat dilanjutkan.
Terapi antibiotik empiris tersebut lahir karena adanya pola kecenderungan
kuman. ISK yang terjadi pada anak terutama anak kecil sering terjadi karena kuman e
coli yang bersal dari tinja berjalan asending ke saluran kemih. Dari anamnesis diketahui
bahwa anak menggunakan pampers, kebiasaan tidak langsung menganti pempers
setelah bab dapat menjadi faktor presdisposisi kontaminasi e coli ke saluran kemih.
Selain terapi antibiotik pada anak juga diberikan terapi simtomatik yaitu
ambroxol dan parasetamol sebagai anti tusif dan antipiretik. Ibu diberikan edukasi
untuk melakukan hal-hal yang dapat memindahkan panas secara radiasi atau evaporasi
seperti tidak menggunakan pakaian tebal pada anak dan kompres hangat. Untuk
mencegah terjadinya dehidrasi akibat evaporasi yang berlebihan anak dianjurkan untuk
minum dan diberi terapi nutrisi berupa makanan lunak, melanjutkan ASI dan susu
formula.
26
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
ISK adalah bertumbuh dan berkembangbiaknya kuman dan mikroba pada
saluran kemih dalam jumlah yang bermakna
Patogen penyebab ISK yang paling banyak yaitu e coli. Cara penularan E coli
yang paling sering adalah secara asending ke saluran kemih melalui uretra,
vesikaurinaria, ureter kemudian mengenai ginjal
Gejala klinis ISK pada anak (terutama usia < 24 bulan) tidak khas.
Diperlukannya pemeriksaan urinalisis oleh praktik klinis apabila ditemukannya
pasien anak dengan demam namun penyebab demam belum diketahui pasti
Penegakan diagnosis ISK dengan urinalisis dan kultur urin
Penatalaksanaan ISK fase akut adalah memilih antibiotik empiris oral atau
parenteral
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Pardede SO. Infeksi ginjal dan saluran kemih anak : Manifestasi klinis dan
tatalaksana. Sari Pediatri. 2018 ; 19 (6) : 364-74
2. Pardede SO, d.k.k. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak. IDAI UKK
Nefrologi. 2011
3. Rusdidjas, Ramayanti R. Infeksi saluran kemih, dalam Buku Ajar Nefrologi
Anak Edisi 2. IDAI. 2002. 142-63
4. Miesien, Tambunan T, Munasir Z. Profil Klinis Saluran Kemih Pada Anak di
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2006 : 7 (4) 200-6
5. American Academy of Paediatric. Urinary Tract Infection : Clinical Practice
Guideline For the Diagnosis and Management of the Initial UTI in Febrile
Infant and Children 2 to 24 Months. AAP. 2011
6. Napiera MO, Washilewska A, Kuchar E. Urinary Trcat Infection in Children :
Diagnosis, treathment, imaging – comparison of current guideline. Jurnal of
Paediatric Urology. Elsevier : 2017.
28