HALAMAN SAMPUL
oleh:
Uswatun Hasanah, S.Kep
NIM 192311101090
ii
LEMBAR PENGESAHAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
Mengetahui,
Koordinator PJMK
Program Studi Pendidikan Profesi Ners
Ns. Erti Ikhtiarini D., M.Kep.S.Kep.J Ns.Mulia Hakam, M. Kep., Sp. Kep. MB
NIP. 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 201404 1 001
Menyetujui,
Wakil Dekan I
iii
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
NIM : 192311101090
Hari :
Tanggal :
TIM PEMBIMBING
Mengetahui,
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Mahasiswa
v
6
buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi
sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing (Purnomo,
2003).
3. Epidemiologi
Ruptur uretra meliputi sekitar 4% dari seluruh trauma saluran kemih, namun
memiliki kemungkinan untuk menyebabkan morbiditas jangkan panjang termasuk
striktur, inkontinensia, impotensi, dan infertilitas. Saat uretra mengalami cedera,
65% diantaranya dalah dsirupsi komplit, sedangkan 35% sisanya adalah ruptur
parsial. Ruptur uretra lebih sering terjadi pada laki - laki daripada perempuan
9
(5:1), hal ini berhubungan dengan uretra laki - laki yang lebih panjang dan
mobilisasinya yang terbatas.
Ruptur uretra posterior yang berhubungan dengan fraktur pelvis adalah ruptur
uretra non-iaogenik yang paling sering terjadi, 4 kali lebih sering daripada ruptur
uretra anterior. Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra
posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi (Cummings, 2019).
Trauma tumpul pada uretra anterior terjadi sekitar 1/4 kali uretra posterior,
seringkali bersifat straddle type. Jenis trauma ini adalah sebagaib hasil dari trauma
langsung pada uretra dan seringkali mengakibatkan disrupsi parsial dan berujung
pada striktur. Uretra anterior dapat mengalami ruptur saat terjadi fraktur penis.
Ruptur uretra iatrogenik yang paling sering terjadi adalah sebagai akibat
pemasangan kateter foley. Dalam satu tahun, penelitian prospektif institusi tunggal
di UCSD mendapatkan angka kejadian cedera uretra anterior akibat pemasangan
kateter adalah sekitar 3.2 per 1000 pasien, namun setelah mengimplementasikan
edukasi mengenai pemasangan kateter foley pada petugas kesehatan, angka
kejadian dapat dikurangi hingga kurang dari 1 per 1000 pasien.
4. Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars membranasea,
sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada
uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena fals route
atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans uretra dapat menimbulkan
cedera uretra iatrogenic (Purnomo, 2000).
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera
traktus urogenitalia. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma
tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Operasi endourologi
transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan Dormia,
atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah operasi
10
5. Klasifikasi
Ada dua jenis ruptur yang sering terjadi yaitu:
a. Ruptur Uretra Anterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur
11
tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea
karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen
fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra
terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
bulidan prostat terlepas ke kranial (Purnomo, 2012).
Klasifikasi ruptur uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan
Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi :
1. Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi
uretrografi retrograde normal.
2. Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi
masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra
proksimal atau vesika urinaria.
3. Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak
ada kontras mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria. Kontinuitas
uretra seluruhnya terganggu.
6. Patofisiologi/Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck
dan fasia Colles.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar
dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat
hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,
ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat
menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu, robekan ini
memberikan gambaran seperti kupu- kupu sehingga disebut butterfly hematoma
atau hematoma kupu- kupu.
13
7. Manifestasi Klinis
Menurut (Purnomo et al., 2010) gejala klinis dari trauma uretra yaitu:
a. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, ruptur uretra
posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).
b. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior maupun
posterior.
c. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi, sedangkan
pada ruptur uretra anterior didapatkan hematoma atau pembengkakan di
daerah kantong buah zakar, kadang-kadang disertai pula dengan
pembengkakan perineum dan batang penis, disebut sebagai hematoma kupu-
kupu.
d. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan besar
terjadi kerusakan organ ganda (multipel).
1. Terdapat perdarahan peruretra yaitu darah yang keluar dari meatus uretra
eksternum seteah mengalami trauma (harus dibedakan dengan hematuri, yaitu
urine bercampur darah).
2. Pada trauma uretre yang berat, pasien tidak dapat miksi sehingga terjadi
retensi urine.
3. Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi engan memasukkan kontras
melalui uretra, sehingga dapat diketahui adanya ruptur uretra dan lokasinya.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga
trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan
posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan
hasil yang signifikan untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan
Ct-Scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana, dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih
bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera
uretra.Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum
dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera
uretra.Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis
dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).
16
9. Penatalaksanaan
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur uretra posterior
yang dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan syok karena perdarahan
yang banyak, maka penanganan awal adalah dengan resusitasi cairan untuk
kondisi hemodinamik stabil. Pada ruptur uretra anterior jarang mengakibatkan
syok. Selain resusitasi atasi nyeri yang dikeluhkan pasien dengan pemberian
analgetik.
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen maka
cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan
melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3
minggu. Apabila disertai dengan cedera organ lain, sehingga tidak memungkinkan
17
untuk dilakukan reparasi dalam waktu 2-3 hari, maka dilakukan pemasangan
kateter secara langsir (rail roading).
B. CLINICAL PATHWAY
Kerusakan uretra
Kerusakan
Cincin pelvis
Retensi urin
Gangguan
eliminasi
21
1. Pengkajian
a) Identitas klien
Berisi informasi mengenai nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,
alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian
diambil.
b) Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan yaitu nyeri tekan, memar atau hematoma, hematuri bila terjadi
rupture total uretra anuria.
c) Riwayat penyakit sekarang
Adanya nyeri atau keluar darah saat BAK sebelum MRS akibat adanya
trauma tumpul. Adanya luka memar pada daerah perineum.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kondisi yang berkaitan dengan adanya rupture uretra misalnya riwayat
jatuh dari tempat tinggi atau kecelakaan.
e) Riwayat penyakit keluarga
Ada tidaknya riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
f) Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Persepsi Kesehatan
Persepsi klien mengenai penyakitnya dan pemeliharaan kesehatan
sebelum sakit.
2) Nutrisi
Mengkaji adanya perubahan intake nutrisi sebelum dan sesudah masuk
RS.
3) Eliminasi
Terjadi gangguan pada proses miksi yaitu retensi urin atau hematuria.
4) Aktivitas
Terjadi gangguan mobilitas akibat pemasangan kateter sehingga
disarankan untuk bed rest.
5) Istirahat
22
Adanya gangguan rasa nyaman baik ketika tidur atau pun istirahat
akibat adanya rasa nyeri
6) Pola Kognitif
Fungsi kognitif dan memori pasien biasanya normal.
7) Pola Persepsi Diri
Kemungkinan adanya masalah yang berkaitan dengan rasa malu akibat
adanya penyakit, peran yang berubah dan tidak maksimal.
8) Pola Seksual dan Reproduksi
Adanya gangguan pada pemenuhan aktivitas seksual akibat dari adanya
rupture uretra
9) Pola Peran dan Hubungan
Biasanya hubungan antara pasien dengan keluarga atau teman tetap
berjalan dengan baik. Adanya kemungkinan peran yang berubah akibat
sakit.
10) Pola Manajemen koping-stres
Kemungkinan adanya rasa tertekan akibat rasa nyeri yang tak kunjung
hilang atau ansietas akibat penyakit yang diderita.
11) Sistem Nilai dan Kepercayaan
Biasanya normal.
g) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Terjadinya penurunan kesadaran akibat trauma/kecelakaan, atau pasien
dalam keadaan Compos Mentis.
Tanda – tanda vital : terjadinya perubahan tanda-tanda vital bila terjadi
syok. TD menurun, nadi meningkat, suhu menurun.
2) Sistem integument
Tidak tampak ikterus, permukaan kulit kering, tekstur kasar, perubahan
warna kulit; muka tampak pucat.
23
3) Kepala
Kaji melihat bentuk kepala kesimetrisannya, kondisi kulit kepala, lalu
dalam keadaan tegap dapat dimiringkan ke kiri atau ke kanan, dan tidak
terdapat luka bekas jahitan.
4) Muka
Mengkaji adanya kelainan bentuk atau adanya luka/nyeri.
5) Mata
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, central, reguler
dan isokor 3mm, mata keruh (-/-)Telinga
Secret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal
6) Hidung
Deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping
hidung tidak ada.
7) Mulut dan faring
Biasanya tidak ada luka atau gangguan
8) Leher
Simetris, tidak ada luka tidak ada JVP, tidak ada benjolan limphe nodul.
9) Thoraks
Gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-),
perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru, wheezing -/-, vocal
fremitus tidak teridentifikasi.
10) Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics
2 sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan.perkusi dullness. Bunyi S1
dan S2 tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-). capillary
refill </>2 detik .
11) Abdomen
Adanya jejas dan nyeri tekan pada abdomen bagian bawah.
12) Genitalia-Anus
Adanya jejas dan nyeri tekan pada daerah supra pubik dan perineum.
24
13) Ekstremitas
Akral hangat, kaji ada tidaknya edema, kaji kekuatan otot, capillary
refill, Perifer tampak pucat atau tidak. Kemungkinan adanya fraktur
pelvis.
h) Pemeriksaan penunjang
CT-Scan, USG, MRI
4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap melakukan tindakan yang terdiri dari
S: keluhan yang masih dirasakan oleh pasien
O: tanda-tanda vital atau perubahan-perubahan yang dapat dilihat dan dicatat oleh perawat
A: perkembangan masalah apakah sudah teratasi, teratasi sebagian atau belum teratasi
P: menghentikan atau melanjutkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah
30
D. DISCHARGE PLANNING
Discharge planning yang dapat diberikan pada pasien dengan rupture uretra
setelah keluar dari rumah sakit yaitu:
1. Menjaga asupan nutrisi untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka
pasca operasi
2. Membatasi aktivitas-aktivitas fisik yang berat
3. Menjaga kebersihan di area luka operasi agar terhindar dari bakteri penyebab
infeksi
4. Melatih teknik relaksasi untuk membantu meringankan nyeri
5. Meminum obat dengan rutin sesuai anjuran yang diberikan oleh tenaga
kesehatan
31
DAFTAR PUSTAKA
Goldman S.M., Sandler C.M., Corriere J.N., Jr, McGuire E.J. 1997. Blunt urethral
trauma: a unified, anatomical mechanical classification. J. Urol. p;157:85–
89
Lemone, P. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 (5th ed.).
Jakarta: EGC.
Nuari, N. A., & Widayati, D. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Jakarta: Deepublish.
Purnomo, B. B. 2003. Dasar Dasar Urologi (2nd ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Sjamsuhidajat R, Jong WM. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2.Jakarta : EGC