Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN

HALAMAN SAMPUL

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN RUPTUR URETRA DI RUANG


MAWAR RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh:
Uswatun Hasanah, S.Kep
NIM 192311101090

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Bedah yang disusun


oleh:

Nama : Uswatun Hasanah


NIM : 192311101090

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Oktober 2019

FAKULTAS KEPERAWATAN

Mengetahui,

Koordinator PJMK
Program Studi Pendidikan Profesi Ners

Ns. Erti Ikhtiarini D., M.Kep.S.Kep.J Ns.Mulia Hakam, M. Kep., Sp. Kep. MB
NIP. 19811028 200604 2 002 NIP. 19810319 201404 1 001

Menyetujui,
Wakil Dekan I

Ns. Wantiyah, M.Kep


NIP. 19810712 200604 2 001

iii
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

Laporan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:

Nama : Uswatun Hasanah

NIM : 192311101090

Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ruptur Uretra di


Ruang Mawar Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari :
Tanggal :

Jember, Oktober 2019

TIM PEMBIMBING

Mengetahui,

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

iv
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ruptur Uretra di


Ruang Mawar RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang Mawar RSD dr. Soebandi Jember

Jember, ………………… 2019

Mahasiswa

Uswatun Hasanah, S.Kep


NIM 192311101090

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Bedah Ruang Mawar
Fkep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Mulia Hakam, M.Kep, Sp.Kep. MB Ns. Suheriyono, S.Kep


NIP 19810319 201404 1 001 NIP 19750101 199803 1 008

v
6

A. KONSEP TEORI PENYAKIT RUPTUR URETRA

1. Review Anatomi dan Fisiologi Uretra


Uretra adalah tubulus muskular yang berdinding tipis yang menyalurkan urine
ke luar dari buli-buli melalui proses miksi. Uretra memanjang dari dasar kendung
kemih hingga meatus urinarius eksterna. Pada wanita uretra memanjang 3-5 cm,
dan meatus urinarius terletak di anterior hingga orifis vagina. Pada pria memiliki
panjang sekitar 20 cm yang berfungsi sebagai saluran semen serta urin (Lemone,
2015). Perbedaan panjang uretra antara laki-laki dan perempuan menyebabkan
keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria (Purnomo,
2003).

Gambar 1.1 Uretra pada laki-laki dan perempuan


Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Menurut Purnomo (2003) uretra posterior pada pria terdiri atas
uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat,
dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen uretra prostatika,
terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu
kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum,
sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang
tersebar di uretra prostatika seperti tampak pada gambar 1.2.
Pada pria, uretra berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-
7

buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi
sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing (Purnomo,
2003).

Gambar 1.2. Uretra Anterior dan Posterior


Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Seperti diperlihatkan pada gambar 1.2, uretra anterior terdiri atas (1) pars
bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna.
Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi
dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma
urogenitalis dan bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu
kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis (Purnomo, 2003).
8

Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di


bawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina (antara klitoris dan
vagina) dan uretra di sini hanya sebagai saluran eksresi (Nuari & Widayati, 2017).
Di dalam uretra bermuara kelenjar periuretra, di antaranya adalah kelenjar Skene.
Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri
atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani
berfungsi mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada saat
perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan
intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna
(Purnomo, 2003).

2. Definisi Ruptur Uretra


Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh
rudapaksa yang datang dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury) atau
dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra) (Purnomo, Daryanto, &
Seputra, 2010). Ruptur uretra merupakan trauma uretra yang terjadi karena jejas
yang mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial ataupun total. Ruptur uretra dibagi berdasarkan anatomi yaitu ruptur uretra
anterior dan ruptur uretra posterior dengan etiologi yang berbeda diantara
keduanya (Sjamjuhidajat & Wim De Jong, 2005).
Ruptur uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
karena faktor anatomis. Uretra pada laki-laki lebih panjang, sementara uretra
perempuan lebih pendek dan mobile tanpa perlekatan bermakna pada tulang pubis
(Martinez-Pineiro, 2007; Cummings, 2019).

3. Epidemiologi
Ruptur uretra meliputi sekitar 4% dari seluruh trauma saluran kemih, namun
memiliki kemungkinan untuk menyebabkan morbiditas jangkan panjang termasuk
striktur, inkontinensia, impotensi, dan infertilitas. Saat uretra mengalami cedera,
65% diantaranya dalah dsirupsi komplit, sedangkan 35% sisanya adalah ruptur
parsial. Ruptur uretra lebih sering terjadi pada laki - laki daripada perempuan
9

(5:1), hal ini berhubungan dengan uretra laki - laki yang lebih panjang dan
mobilisasinya yang terbatas.
Ruptur uretra posterior yang berhubungan dengan fraktur pelvis adalah ruptur
uretra non-iaogenik yang paling sering terjadi, 4 kali lebih sering daripada ruptur
uretra anterior. Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra
posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi (Cummings, 2019).
Trauma tumpul pada uretra anterior terjadi sekitar 1/4 kali uretra posterior,
seringkali bersifat straddle type. Jenis trauma ini adalah sebagaib hasil dari trauma
langsung pada uretra dan seringkali mengakibatkan disrupsi parsial dan berujung
pada striktur. Uretra anterior dapat mengalami ruptur saat terjadi fraktur penis.
Ruptur uretra iatrogenik yang paling sering terjadi adalah sebagai akibat
pemasangan kateter foley. Dalam satu tahun, penelitian prospektif institusi tunggal
di UCSD mendapatkan angka kejadian cedera uretra anterior akibat pemasangan
kateter adalah sekitar 3.2 per 1000 pasien, namun setelah mengimplementasikan
edukasi mengenai pemasangan kateter foley pada petugas kesehatan, angka
kejadian dapat dikurangi hingga kurang dari 1 per 1000 pasien.

4. Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars membranasea,
sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada
uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena fals route
atau salah jalan; demikian pula tindakan operasi trans uretra dapat menimbulkan
cedera uretra iatrogenic (Purnomo, 2000).
Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera
traktus urogenitalia. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma
tumpul maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenik. Operasi endourologi
transureter (ureteroskopi atau ureterorenoskopi, ekstraksi batu dengan Dormia,
atau litotripsi batu ureter) dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah operasi
10

ginekologi, bedah digestif, atau bedah vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya


cedera ureter iatrogenik (Purnomo, 2003).
1. Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra.
2. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur
uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul paa selangkan atau
stratdle injuri dapat meyebabkan ruptur uretra pada bulbosa.
3. Pemasangan kateter pada uetra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan
robekan uretra karena salah jalan (falseroute).
4. Intervensi operasi trans uretra dapat menimbulkan cidera uretra iotrogan.
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan
trauma uretra posterior.
1. Anterior
a. Pemasangan tetap logam
b. Endoksopi biasanya rigid dan lurus
c. Trauma dikenal dengan straddle injury, yaitu daerah perineum
terbentur sehingga terdorong ke simpisis
d. Kecelakaan
2. Posterior
a. Trauma tidak langsung berupa fraktur, malposisi, dan disaligmen.
b. Trauma tulang pelvis
c. Trauma abdomen bawah yang mengenai simpisis pubis
d. Trauma panggul: retak os pubis ischii
e. Akibat trauma prostat yang diikuti oleh ligamen pubo prostatikum
tertarik (terjadi tarik menarik antara ligamen dengan uretra pars
prostatika), pars membranosa menderita sehingga terjadi ruptur uretra
posterior. (Nursalam, 2006).

5. Klasifikasi
Ada dua jenis ruptur yang sering terjadi yaitu:
a. Ruptur Uretra Anterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur
11

tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea
karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen
fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra
terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
bulidan prostat terlepas ke kranial (Purnomo, 2012).
Klasifikasi ruptur uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan
Armenakas berdasarkan atas gambaran radiologi :
1. Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi
uretrografi retrograde normal.
2. Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi
masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras terlihat mengisi uretra
proksimal atau vesika urinaria.
3. Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak
ada kontras mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria. Kontinuitas
uretra seluruhnya terganggu.

b. Ruptur Uretra Posterior


Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:
Bulbous urethra, Pendulous urethra, Fossa navicularis. Namun, yang paling
sering terjadi adalah rupture uretra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh
Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis
dan benda yang menyebabkannya (Purnomo, 2012).
Goldman juga mengklasifikasikan ruptur uretra berdasarkan gambaran radiografi :
1. Tipe 1, ruptur ligament puboprostatic dan hematoma periprostatik
disekitarnyamenimbulkan peregangan uretra pars membranasea tanpa
adanya ruptur.
2. Tipe 2, ruptur parsial atau komplit dari uretra pasr membranasea diatas
membran perineal atau diafragma urogenital. Pada uretrografi, terlihat
ekstravasasi kontras diatas membran perineal kedalam pelvis.
3. Tipe 3, ruptur parsial atau komplit uretra pars membranasea dengan
disrupsidiafragma urogenital. Terlihat ekstravasasi kontras ke dalam pelvis
12

dan keluar menuju perineum.


4. Tipe 4, ruptur atau cedera pada leher kandung kemih yang memanjang ke
uretra. Tipe 4a, ruptur kandung kemih ekstraperitoneal pada dasar dasar
kandung kemih, dengan ekstravasasi periuretral.
5. Tipe 5, cedera uretra anterior murni.

6. Patofisiologi/Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck
dan fasia Colles.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar
dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat
hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,
ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat
menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu, robekan ini
memberikan gambaran seperti kupu- kupu sehingga disebut butterfly hematoma
atau hematoma kupu- kupu.
13

Gambar 3. Patologi straddle injury

7. Manifestasi Klinis
Menurut (Purnomo et al., 2010) gejala klinis dari trauma uretra yaitu:
a. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, ruptur uretra
posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).
b. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior maupun
posterior.
c. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi, sedangkan
pada ruptur uretra anterior didapatkan hematoma atau pembengkakan di
daerah kantong buah zakar, kadang-kadang disertai pula dengan
pembengkakan perineum dan batang penis, disebut sebagai hematoma kupu-
kupu.
d. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan besar
terjadi kerusakan organ ganda (multipel).

Menurut (Nursalam, 2006), gejala klinis dari trauma uretra yaitu:


14

1. Terdapat perdarahan peruretra yaitu darah yang keluar dari meatus uretra
eksternum seteah mengalami trauma (harus dibedakan dengan hematuri, yaitu
urine bercampur darah).
2. Pada trauma uretre yang berat, pasien tidak dapat miksi sehingga terjadi
retensi urine.
3. Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi engan memasukkan kontras
melalui uretra, sehingga dapat diketahui adanya ruptur uretra dan lokasinya.

Sedangkan menurut (Nursalam, 2006) klasifikasinya, dibagi menjadi 2, yaitu:


1. Anterior
a. Perdarahan uretra
b. Jika pars squamosa ruptur, maka darah yang tertimbun di perineum
terbentur sehingga terjadi pembengkakan perineum dan kerusakan
berlanjut.
c. Jika facin bun rusak dan “fenomena kupu – kupu” (butterfly phenomenom)
terbentuk akibat kerusakan seluruh komponen facia bun (FB), maka urine
tertampung pada skrotum, sehingga menimbulkan pembesaran, warna
kehitaman, mengkilat, dan jika ditekan akan membentuk lekukan sehingga
bagian sisinya berbentuk seperti kupu-kupu.
2. Posterior
a. Perdarahan ekstravesika (banyak pembuluh darah sehingga perdarahan
hebat)
b. Syok dan hemoragik, pucat, dan denyut nadi meningkat
c. Retensio urine total karena saluran putus
d. Jika terdapat fraktur tulang panggul, kemungkinan terjadi kerusakan organ
ganda
e. Pada rektaltouge, terdapat gejala seakan akan prostat ditarik ke atas/ posisi
prostat tinggi (prostat terdorong hematoma), uretra ruptur
f. Edema pada skrotum, penis daan anterior perineum pada ruptur uretra
anterior
g. Nyeri suprapubik dan mengeras
h. Hematuria
i. Tidak dapat berkemih
15

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga
trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan
posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan
hasil yang signifikan untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan
Ct-Scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana, dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih
bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera
uretra.Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum
dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera
uretra.Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis
dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).
16

Gambar 2.1. Uretrografi retrograde

9. Penatalaksanaan
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur uretra posterior
yang dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan syok karena perdarahan
yang banyak, maka penanganan awal adalah dengan resusitasi cairan untuk
kondisi hemodinamik stabil. Pada ruptur uretra anterior jarang mengakibatkan
syok. Selain resusitasi atasi nyeri yang dikeluhkan pasien dengan pemberian
analgetik.
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen maka
cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan
melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3
minggu. Apabila disertai dengan cedera organ lain, sehingga tidak memungkinkan
17

untuk dilakukan reparasi dalam waktu 2-3 hari, maka dilakukan pemasangan
kateter secara langsir (rail roading).

Gambar 3.1 Tehnik kateterisasi railroading


Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon
selama 3 minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan
kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang
cedera.Kateter sistostomi dicabut apabila ketika kateter sistostomi di klem, pasien
bisa buang air kecil (Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2005).
Purnomo juga menjelaskan penatalaksanaan yang dapat dilakukan ketika
menangani pasien dengan ruptur uretra yaitu sebagai berikut:
1. Perdarahan diatasi dengan pemasangan infus dan pemberian cairan
elektrolit atau darah, tergantung derajat perdarahan yang ditemui
2. Pembedahan darurat; Pada ruptur uretra selalu dilakukan sistostomi untuk
mengalihkan aliran urin (diversion)
18

3. PER (Primary Endoscopy Realignment), selanjutnya dipasang kateter 16Fr


selama 2 minggu
4. Bila PER tidak berhasil, dilakukan sachse atau end to end anastomose 4 –
6 bulan sesudah trauma
5. Kateter sistostomi diganti tiap 2 minggu, sampai dkerjakan operasi
definitive.
6. Ureter saling disambungkan (anastomosis end to end)
7. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap
Boari, atau Psoas hitch)
8. Uretero-kutaneostomi
9. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi
yang lain)
10. Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefrektomi.

Menurut klasifikasi trauma uretra (Nursalam, 2006):


1. Anterior
Sistostomi dengan cara memasukkan selang secara operatif tertutup
melalui suprapubik Definitif:
a. Jika komponen uretra rusak, FB masih baik konservatif
b. Jika luka sembuh secara spontan, lakukan, sistostomi (indikasi
sistostomi sembuh adalah urine dapat keluar tanpa menimbulkan rasa
sakit).
c. Jika komponen uretra dan FB tidak bisa sembuh spontan, lakukan
reseksi dan anastomose
d. Insisi pada penis dan edema abdomen (Nursalam, 2006).
2. Posterior
a. Sistostomi pada retensi urine (pemasangan tetap kontraindikasi).
Setelah 14 hari sistostomi dan hematomi mengalami direabsi, kandung
kemih turun ke bawah dan daerah yang terputus tersambung lagi,
maka lakukan pengecekan dengan mengklem sistostomi dan monitor
kelancaran berkemih.
b. Jika berkemih tidak lancar, maka terjadi malposisi sambungan uretra
atau fraktur disalignment, untuk itu lakukan terapi operatif.
19

c. Deintif konservatif anatamosa


d. Penatalaksanaan syok dan perdarahan
e. Pembedahan
20

B. CLINICAL PATHWAY

Pemasangan kateter Trauma tumpul


Yang salah

Fraktur pelvis Cidera selangkangan

Ruptur uretra Ruptur uretra anterior


Posterior

Kerusakan uretra
Kerusakan
Cincin pelvis

Urin melewati Konstusio dinding


Robekan uretra
uretra uretra, suptur
parsial, dan ruptur
total dinding
Resiko infeksi Nyeri akut Perdarahan Ekstravisasi uretra
peruretra urin

Darah dan urin


Kurangnya Hambatan Syok Pembengkakan keluar dari uretra
pengetahuan mobilitas fisik hipovolemik skrotum atau
terkait area inguinal
penyakitnya
Kekurangan Fasia buck, fasia
volume cairan colles
Ansietas Butterfly
hematome Hematoma penis

Retensi urin

Gangguan
eliminasi
21

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a) Identitas klien
Berisi informasi mengenai nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,
alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian
diambil.
b) Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan yaitu nyeri tekan, memar atau hematoma, hematuri bila terjadi
rupture total uretra anuria.
c) Riwayat penyakit sekarang
Adanya nyeri atau keluar darah saat BAK sebelum MRS akibat adanya
trauma tumpul. Adanya luka memar pada daerah perineum.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kondisi yang berkaitan dengan adanya rupture uretra misalnya riwayat
jatuh dari tempat tinggi atau kecelakaan.
e) Riwayat penyakit keluarga
Ada tidaknya riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
f) Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Persepsi Kesehatan
Persepsi klien mengenai penyakitnya dan pemeliharaan kesehatan
sebelum sakit.
2) Nutrisi
Mengkaji adanya perubahan intake nutrisi sebelum dan sesudah masuk
RS.
3) Eliminasi
Terjadi gangguan pada proses miksi yaitu retensi urin atau hematuria.
4) Aktivitas
Terjadi gangguan mobilitas akibat pemasangan kateter sehingga
disarankan untuk bed rest.
5) Istirahat
22

Adanya gangguan rasa nyaman baik ketika tidur atau pun istirahat
akibat adanya rasa nyeri
6) Pola Kognitif
Fungsi kognitif dan memori pasien biasanya normal.
7) Pola Persepsi Diri
Kemungkinan adanya masalah yang berkaitan dengan rasa malu akibat
adanya penyakit, peran yang berubah dan tidak maksimal.
8) Pola Seksual dan Reproduksi
Adanya gangguan pada pemenuhan aktivitas seksual akibat dari adanya
rupture uretra
9) Pola Peran dan Hubungan
Biasanya hubungan antara pasien dengan keluarga atau teman tetap
berjalan dengan baik. Adanya kemungkinan peran yang berubah akibat
sakit.
10) Pola Manajemen koping-stres
Kemungkinan adanya rasa tertekan akibat rasa nyeri yang tak kunjung
hilang atau ansietas akibat penyakit yang diderita.
11) Sistem Nilai dan Kepercayaan
Biasanya normal.

g) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Terjadinya penurunan kesadaran akibat trauma/kecelakaan, atau pasien
dalam keadaan Compos Mentis.
Tanda – tanda vital : terjadinya perubahan tanda-tanda vital bila terjadi
syok. TD menurun, nadi meningkat, suhu menurun.
2) Sistem integument
Tidak tampak ikterus, permukaan kulit kering, tekstur kasar, perubahan
warna kulit; muka tampak pucat.
23

3) Kepala
Kaji melihat bentuk kepala kesimetrisannya, kondisi kulit kepala, lalu
dalam keadaan tegap dapat dimiringkan ke kiri atau ke kanan, dan tidak
terdapat luka bekas jahitan.
4) Muka
Mengkaji adanya kelainan bentuk atau adanya luka/nyeri.
5) Mata
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, central, reguler
dan isokor 3mm, mata keruh (-/-)Telinga
Secret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal
6) Hidung
Deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping
hidung tidak ada.
7) Mulut dan faring
Biasanya tidak ada luka atau gangguan
8) Leher
Simetris, tidak ada luka tidak ada JVP, tidak ada benjolan limphe nodul.
9) Thoraks
Gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-),
perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru, wheezing -/-, vocal
fremitus tidak teridentifikasi.
10) Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics
2 sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan.perkusi dullness. Bunyi S1
dan S2 tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-). capillary
refill </>2 detik .
11) Abdomen
Adanya jejas dan nyeri tekan pada abdomen bagian bawah.
12) Genitalia-Anus
Adanya jejas dan nyeri tekan pada daerah supra pubik dan perineum.
24

13) Ekstremitas
Akral hangat, kaji ada tidaknya edema, kaji kekuatan otot, capillary
refill, Perifer tampak pucat atau tidak. Kemungkinan adanya fraktur
pelvis.
h) Pemeriksaan penunjang
CT-Scan, USG, MRI

2. Diagnosa Keperawatan yang sering Muncul


a) Nyeri akut (00132) b/d trauma urethra
b) Resiko infeksi (00004) b/d pemasangan kateter yang salah sehingga terjadi
robekan uretra
c) Gangguan eliminasi urine (00016) b/d adanya hematoma dan ekstravasasi
25

3. Perencanaan/Nursing Care Plan :


NO. Diagnosa Noc Nic
1. Nyeri NOC : NIC :
Definisi :  Pain Level, Pain Management
Sensori yang tidak  Pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
menyenangkan dan pengalaman  Comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
emosional yang muncul secara Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
aktual atau potensial kerusakan 1.Mampu mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal dari
jaringan atau menggambarkan (tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
adanya kerusakan (Asosiasi Studi menggunakan tehnik 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
Nyeri Internasional): serangan nonfarmakologi untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
mendadak atau pelan mengurangi nyeri, mencari 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
intensitasnya dari ringan sampai bantuan) 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
berat yang dapat diantisipasi 2. Melaporkan bahwa nyeri 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
dengan akhir yang dapat berkurang dengan tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
diprediksi dan dengan durasi menggunakan manajemen lampau
kurang dari 6 bulan. nyeri 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
3. Mampu mengenali nyeri menemukan dukungan
Batasan karakteristik : (skala, intensitas, frekuensi 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
 Laporan secara verbal dan tanda nyeri) nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
atau non verbal 4. Menyatakan rasa nyaman kebisingan
 Fakta dari observasi setelah nyeri berkurang 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Posisi antalgic untuk 5. Tanda vital dalam rentang 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menghindari nyer normal (farmakologi, non farmakologi dan inter
 Gerakan melindungi personal)
 Tingkah laku berhati-hati 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
 Muka topeng intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Gangguan tidur (mata
13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
sayu, tampak capek, sulit
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
26

atau gerakan kacau, 15. Tingkatkan istirahat


menyeringai) 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
 Terfokus pada diri sendiri dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Fokus menyempit 17. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
(penurunan persepsi nyeri
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan Analgesic Administration
interaksi dengan orang 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
dan lingkungan) derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Tingkah laku distraksi, 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
contoh : jalan-jalan, dan frekuensi
menemui orang lain 3. Cek riwayat alergi
dan/atau aktivitas, 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi
aktivitas berulang-ulang) dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
 Respon autonom (seperti 5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
diaphoresis, perubahan beratnya nyeri
tekanan darah, perubahan 6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
nafas, nadi dan dilatasi dan dosis optimal
pupil) 7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
 Perubahan autonomic pengobatan nyeri secara teratur
dalam tonus otot 8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
(mungkin dalam rentang pemberian analgesik pertama kali
dari lemah ke kaku) 9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
 Tingkah laku ekspresif nyeri hebat
(contoh : gelisah, 10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
merintih, menangis, (efek samping)
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
 Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
27

Faktor yang berhubungan :


Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)

2. Eliminasi urine Setelah dilakukan tindakan Urinary Elimination Management (0590)


Definisi : Disfunsi dalam keperawatan selama proses 1. Pantau eliminasi urine termasuk frekuensi,
eliminasi urine perawatan, eliminasi urine
pasien optimal kembali konsistensi, bau, volume, dan warna
Kriteria hasil: 2. Pantau adanya tanda dan gejala retensi urin
3. Catat waktu eliminasi urine terakhir
Urinary Elimination (0503) 4. Anjurkan pasien / keluarga untuk mencatat output
Eliminasi urin optimal dilihat urin
dari indikator : Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila
1. Pola berkemih tiba-tiba dirasakan
2. Jumlah urin
3. Warna urin
4. Intake urin
Kejernihan urin
3. Resiko infeksi NOC : NIC :
1. Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
Definisi : Peningkatan resiko 2. Knowledge : Infection 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
masuknya organisme patogen control lain
3. Risk control 2. Pertahankan teknik isolasi
Faktor-faktor resiko : Kriteria Hasil : 3. Batasi pengunjung bila perlu
 Prosedur Infasif 1. Klien bebas dari tanda 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
 Ketidakcukupan dan gejala infeksi tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
pengetahuan untuk 2. Mendeskripsikan proses meninggalkan pasien
menghindari paparan penularan penyakit, 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
patogen factor yang 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
28

 Trauma mempengaruhi tindakan kperawtan


 Kerusakan jaringan dan penularan serta 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
peningkatan paparan penatalaksanaannya, pelindung
lingkungan 3. Menunjukkan 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
 Ruptur membran amnion kemampuan untuk pemasangan alat
 Agen farmasi mencegah timbulnya 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
(imunosupresan) infeksi dressing sesuai dengan petunjuk umum
 Malnutrisi 4. Jumlah leukosit dalam 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
 Peningkatan paparan batas normal infeksi kandung kencingTingktkan intake
lingkungan patoge 5. Menunjukkan perilaku nutrisi
hidup sehat 11. Berikan terapi antibiotik bila perlu
 Imonusupresi
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
 Ketidakadekuatan imum
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
buatan
lokal
 Tidak adekuat pertahanan 2. Monitor hitung granulosit, WBC
sekunder (penurunan Hb
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
sesuai resep
29

15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala


infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif

4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setiap melakukan tindakan yang terdiri dari
S: keluhan yang masih dirasakan oleh pasien
O: tanda-tanda vital atau perubahan-perubahan yang dapat dilihat dan dicatat oleh perawat
A: perkembangan masalah apakah sudah teratasi, teratasi sebagian atau belum teratasi
P: menghentikan atau melanjutkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah
30

D. DISCHARGE PLANNING

Discharge planning yang dapat diberikan pada pasien dengan rupture uretra
setelah keluar dari rumah sakit yaitu:
1. Menjaga asupan nutrisi untuk mempercepat proses penyembuhan pada luka
pasca operasi
2. Membatasi aktivitas-aktivitas fisik yang berat
3. Menjaga kebersihan di area luka operasi agar terhindar dari bakteri penyebab
infeksi
4. Melatih teknik relaksasi untuk membantu meringankan nyeri
5. Meminum obat dengan rutin sesuai anjuran yang diberikan oleh tenaga
kesehatan
31

DAFTAR PUSTAKA

Cummings JM. 2019. Urethral trauma. Medscape diakses melaluui


https://emedicine.medscape.com/article/451797-overview pada tanggal 6
Oktober 2019

Goldman S.M., Sandler C.M., Corriere J.N., Jr, McGuire E.J. 1997. Blunt urethral
trauma: a unified, anatomical mechanical classification. J. Urol. p;157:85–
89

Herdman, T. H. dan S. Kamitsuru. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan


Definisi Dan Klasifikasi. Edisi 11. Jakarta: EGC

Lemone, P. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 (5th ed.).
Jakarta: EGC.

Martinez-Pineiro L. Urethral trauma. Emergencies in Urology. Berlin; Springer:


2007. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-540-48605-
3_23#citeas.

Nuari, N. A., & Widayati, D. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Jakarta: Deepublish.

Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Pereira, Bruno. 2010. A review of ureteral injuries after external trauma. In


Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine

Purnomo, B. B. 2000. Dasar Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Purnomo, B. B. 2003. Dasar Dasar Urologi (2nd ed.). Jakarta: Sagung Seto.

Purnomo, B. B., Daryanto, B., & Seputra, K. P. 2010. PEDOMAN DIAGNOSIS


& TERAPI. Malang: RSU Dr. SAIFUL ANWAR FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Purnomo, Basuki. 2012. Dasar-Dasar Urologi.Edisi ketiga. Jakarta: Sagung Seto

Rosentein DI, Alsikafi NF. 2006 .Diagnosis and classification of urethral


injuries.In : McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north
america. Philadelpia : Elseivers Sanders.

Sjamsuhidajat R, Jong WM. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai