Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN

Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera


kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan
otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi.
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2010).
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera
kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan ataupembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK (Oman, 2008).

ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI


Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a.Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2.Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3.Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

D. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur
objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa

mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.


Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra
kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya
bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang
terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

Pathway
KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala addalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat
tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk
memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.

2. Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah
yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen
tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
j. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif
untuk mengatasi kejang.

PENETALAKSAANAN
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
PENGKAJIAN FOKUS
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah
dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus
otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan
aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive
dan depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon
terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan
pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi),
kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
28
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus
otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi
temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang

Diagnosa Keperawatan:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.

2. Intervensi dan Rasional:


a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
1) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
3) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kesadaran.
R/ Mengetahui kestabilan klien.
2. Pantau status neurologis
secara teratur, catat adanya
nyeri kepala, pusing.
R/ Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan resiko TIK meningkat.
3. Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat
R/ Untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
4. Pantau TTV, TD, suhu, nadi,
input dan output, lalu catat hasilnya.
R/ Peningkatan tekanan darah sistemik yang di ikuti dengan penurunan tekanan darah
diastolik serta nafas yang tidak teratur merupakan tanda peningkatan TIK.
5. Kolaborasi pemberian Oksigen
R/ Mengurangi keadaan hipoksia.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,


neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
1) Klien tidak mengatakan sesak nafas
2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot
dinding dada.
3) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
4) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
5) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman,
frekuensi, irama nafas,
adanya sianosis. Kaji suara
nafas tambahan (rongki,
mengi, krekels).
R/ Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/ atelektasi atau pneumonia (
komplikasi yang terjadi).
2. Atur posisi klien dengan
posisi semi fowler 30o
Berikan posisi semi prone
lateral/ miring, jika tak ada
kejang selama 4 jam pertama
rubah posisi miring atau
terlentang tiap 2 jam.
R/ Meningkatkan Ventilasi dan mengurangi resiko komplikasi.
3. Anjurkan pasien untuk
minum hangat (minimal 2000 ml/hari).
R/
4. Kolaborasi terapi oksigen
sesui indikasi.
5. Lakukan section dengan
hati-hati (takanan, irama,
lama) selama 10-15 detik,
Hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi/atelektasi
atau pneumonia (komplikasi yang
sering terjadi).
Meningkatkan ventilasi semua
bagian paru, mobilisasi serkret
mengurangi resiko komplikasi,
posisi tengkulup mengurangi
kapasitas vital paru, dicurigai dapat
menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya gagal nafas.
Membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret/
sebagai ekspektoran.
Memaksimalkan bernafas dan
menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan
tertekan. Biasanya dengan
menggunakan ventilator mekanis.
Penghisapan yang rutin, beresiko
terjadi hipoksia, bradikardi (karena
respons vagal), trauma jaringan oleh
catat, sifat, warna dan bau
sekret
6. Kolaborasi dengan
pemeriksaan AGD, tekanan
oksimetri.
karenanya kebutuhan penghisapan
didasarkan pada adanya
ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret.
Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi
(PaO2 rendah/ PaCO2 mengingkat)
atau adanya komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi
dengan
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan membran mukosa lembab
2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda klinis dehidrasi Deteksi dini dan intervensi dapat
36
atau kelebihan cairan.
2. Catat masukan dan haluaran,
hitung keseimbangan cairan,
ukur berat jenis urine.
3. Berikan air tambahan sesuai
indikasi
4. Kolaborasi pemeriksaan lab.
kalium/fosfor serum, Ht dan
albumin serum.
mencegah kekurangan/kelebihan
fluktuasi keseimbangan cairan.
Kehilangan urinarius dapat
menunjukan terjadinya dehidrasi
dan berat jenis urine adalah
indikator hidrasi dan fungsi renal.
Dengan formula kalori lebih tinggi,
tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
Hipokalimia/fofatemia dapat terjadi
karena perpindahan intraselluler
selama pemberian makan awal dan
menurunkan fungsi jantung bila
tidak diatasi.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan
perawatan selama 3 x 24 jam dengan
Kiteria Hasil:
1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam
rentang normal.
2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
37
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien
untuk mengunyah dan
menelan, batuk dan
mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus, catat
adanya penurunan/hilangnya
atau suara hiperaktif.
3. Jaga keamanan saat
memberikan makan pada
pasien, seperti meninggikan
kepala selama makan atatu
selama pemberian makan
lewat NGT.
4. Berikan makan dalam porsi
kecil dan sering dengan
teratur.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Faktor ini menentukan terhadap
jenis makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi.
Bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan
atau berkembangnya komplikasi
seperti paralitik ileus.
Menurunkan regurgitasi dan
terjadinya aspirasi.
Meningkatkan proses pencernaan
dan toleransi pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama pasien saat
makan
Metode yang efektif untuk
memberikan kebutuhan kalori..
38
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi.
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa
nyeri dapat berkurang/ hilang dengan
Kriteria Hasil:
1) Sekala nyeri berkurang 3-1
2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien
rileks
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Teliti keluhan nyeri, catat
intensitasnya, lokasinya dan
lamanya.
2. Catat kemungkinan
patofisiologi yang khas,
misalnya adanya infeksi,
trauma servikal.
3. Berikan tindakan
kenyamanan, misal pedoman
imajinasi, visualisasi, latihan
nafas dalam, berikan
aktivitas hiburan, kompres
4. Kolaborasi dengan
Mengidentifikasi karakteristik nyeri
merupakan faktor yang penting
untuk menentukan terapi yang
cocok serta mengevaluasi
keefektifan dari terapi.
Pemahaman terhadap penyakit yang
mendasarinya membantu dalam
memilih intervensi yang sesuai.
Menfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol dan
dapat meningkatkan koping.
Tindakan alternatif mengontrol
nyeri
Dibutuhkan untuk menghilangkan
39
pemberian obat anti nyeri,
sesuai indikasi misal,
dentren (dantrium)
analgesik; antiansietas misal
diazepam (valium).
spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan ansietas dan
meningkatkan istirahat.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat
perawatan dengan
Kriteri Hasil :
1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan
dan keadaan secara
fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
2. Berikan bantu untuk latihan
Mengidentifikasi kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan
dilakukan.
Mempertahankan mobilitas dan
40
rentang gerak
3. Bantu pasien dalam program
latihan dan penggunaan alat
mobilisasi. Tingkatkan
aktivitas dan partisipasi
dalam merawat diri sendiri
sesuai kemampuan
fungsi sendi/ posisi normal
ekstrimitas dan menurunkan
terjadinya vena statis.
Proses penyembuhan yang lambat
seringakli menyertai trauma kepala
dan pemulihan fisik merupakan
bagian yang sangat penting.
Keterlibatan pasien dalam program
latihan sangat penting untuk
meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran,
peningkatan tekanan intra kranial.
Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan
perawatan selama 3x 24 jam
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
2) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji kesadaran
sensori dengan sentuhan,
panas/ dingin, benda
Semua sistem sensori dapat
terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan
41
tajam/tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan.
2. Evaluasi secara teratur
perubahan orientasi,
kemampuan berbicara, alam
perasaan, sensori dan proses
pikir.
3. Bicara dengan suara yang
lembut dan pelan. Gunakan
kalimat pendek dan
sederhana. Pertahankan
kontak mata.
4. Berikan lingkungan
terstruktur rapi, nyaman dan
buat jadwal untuk klien jika
mungkin dan tinjau kembali.
peningkatan atau penurunan
sensitivitas atau kehilangan sensasi
untuk menerima dan berespon
sesuai dengan stimuli.
Fungsi cerebral bagian atas
biasanya terpengaruh lebih dahulu
oleh adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi. Perubahan persepsi
sensori motorik dan kognitif
mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan respon
secara bertahap
Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
Pasien mungkin mengalami
keterbatasan perhatian atau
pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan tindakan ini
akan membantu pasien untuk
42
5. Kolaborasi pada ahli
fisioterapi, terapi okupasi,
terapi wicara dan terapi
kognitif.
memunculkan komunikasi.
Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana
panatalaksanaan terintegrasi yang
berfokus pada masalah klien
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran.
Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah
komunikasi dan klien dapat menunjukan
komunikasi dengan baik
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji derajat disfungsi
2. Mintalah klien untuk
mengikuti perintah
3. Anjurkan keluarga untuk
Membantu menentukan daerah atau
derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam
proses komunikasi.
Melakukan penelitian terhadap
adanya kerusakan sensori
Untuk merangsang komunikasi
43
berkomunikasi dengan klien pasien, mengurangi isolasi sosial
dan meningkatkan penciptaan
komunikasi yang efektif..
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan
kulit kepala.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:
a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu
b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5OC)
Intervensi dan Rasional
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik
dan antiseptik, pertahankan
teknik cuci tangan
2. Observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan, kaji
keadaan luka, catat adanya
kemerahan, bengkak, pus
daerah yang terpasang alat
Cara pertama untuk menghindari
nosokomial infeksi, menurunkan
jumlah kuman patogen .
Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya, monitoring adanya
44
invasi dan TTV
3. Anjurkan klien untuk
memenuhi nutrisi dan
hidrasi yang adekuat.
4. Batasi pengunjung yang
dapat menularkan infeksi
5. Pantau hasil pemeriksaan
lab, catat adanya leukositosis
6. Kolaborasi pemberian
atibiotik sesuai indikasi.
infeksi.
Meningkatkan imun tubuh terhadap
infeksi
Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
Leukosit meningkat pada keadaan
infeksi
Menekan pertumbuhan kuman
pathogen.
45

Anda mungkin juga menyukai