Modul ini dikembangkan dari beberapa sumber untuk dijadikan bahan dasar dalam
pembelajaran IPE bagi mahasiswa pendidikan profesi.
Materi dalam modul dikembangkan berdasarkan hasil analisa dari beberapa kegiatan yang
telah dilaksanakan sebelumnya dan merupakan kontribusi dari beberapa staf pengajar yang
aktif dalam pembelajaran IPE di beberapa perguruan tinggi.
Rekan-rekan dapat menjadi kontributor dalam pengembangan modul ini. Salah satu produk
ini adalah menjadi bahan ajar e-learning pada halaman website www.kolaborasiprofesi.com
Salam,
Dwi Tyastuti
(Denpasar,2019)
DAFTAR ACARA
GELOMBANG I
WAKTU MATERI JPL PENANGGUNGJAWAB
Senin, 18 Maret 2019
12.00-16.00 Registrasi Peserta Panitia
16.00-16.30 Pembukaan Panitia
16.30-17.00 Pretest Panitia
17.00-18.00 Building Learning Commitment 1 MOT
18.00-19.00 Ishoma Panitia
19.00-21.00 Kebijakan Kementerian Kesehatan Tentang IPE 2 PPSDM
Selasa, 19 Maret 2019
07.30-08.00 Refleksi MOT
08.00-10.00 Konsep IPE dan Patient Centre Care 2 Dwi Tyastuti
Core Competency IPE
10.00-12.00 Pembelajaran nilai-nilai / etik antar profesi 2 Dwi Tyastuti
12.00-13.00 Ishoma Panitia
13.00-15.00 Pembelajaran peran dan tanggung jawab antar Desak Erna
2
profesi
15.00-17.00 Pembelajaran komunikasi efektif antar profesi 2 Yeti Resnayati
17.00-18.00 Pembelajaran kerjasama tim antar profesi 2 Yeti Resnayati
18.00-19.00 Ishoma Panitia
19.00-20.00 Pembelajaran kerjasama tim antar profesi Yeti Resnayati
20.00-22.00 Teori Pembelajaran (Pedagogi dan Strategi Dwi Tyastuti
Pembelajaran 2
Latihan menyusun modul IPE Dwi Tyastuti
Strategi Praktikum Dwi Tyastuti
Rabu, 20 Maret 2019
07.30-08.00 Refleksi MOT
08.00-11.00 Menyusun Analisis SWOT dan Studi Kasus 3 Yeti Resnayati, Dwi Tyastuti,
Penyusunan Modul berdasarkan Template Desak Erna
11.00-12.00 Praktikum Pembelajaran IPE dengan mahasiswa 1 Desak Erna, Yeti Resnayati,
Dwi Tyastuti
12.00-13.00 Ishoma Panitia
13.00-15.00 Praktikum Pembelajaran IPE dengan mahasiswa 2 Yeti Resnayati, Dr Dwi
Tyastuti
15.00-17.00 Post test dan RTL 2 Panitia
17.00-17.30 Penutup Panitia
Pada modul ini, kita akan mengajak diri kita untuk membayangkan diri kita di masa depan sebagai
seorang professional. Apakah gelar yang diperoleh dapat menggambarkan secara jelas tentang
pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan “mimpi” ?
Pada modul ini, kita dapat mengeksplorasi dan belajar tentang peran dan keadaan/situasi yang mana
keilmuan kita dapat digunakan. Modul ini pun juga akan membantu mempelajari dan memahami
peran profesi dan keilmuan lain yang akan menjadi partner di masa depan.
Menurut WHO (2010), pendidikan Interprofesi atau IPE adalah proses pendidikan yang melibatkan
dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan interprofesi bisa terjadi apabila beberapa mahasiswa dari
berbagai profesi belajar tentang profesi lain, belajar bersama satu sama lain untuk menciptakan
kolaborasi efektif dan pada akhirnya meningkatkan outcome kesehatan yang di inginkan.
Pendidikan interprofesi merupakan tahap yang penting dalam upaya mempersipakan lulusan atau
professional kesehatan yang siap untuk bekerja di dalam tim dan melakukan praktek kolaborasi
dengan efektif untuk merespon atau memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
Praktek kolaborasi terjadi apabila beberapa katagori professional atau tenaga kesehatan bekerja
bersama dengan pasien, keluarga dan masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan
kualitas yang tinggi.
Sistem kesehatan dan sistem pendiidikan tidak bisa berdiri sendiri, dimana sistem pendidikan
akan memberkan input pada sistem kesehatan sebagai pengguna lulusan, kualitas tenaga kesehatan
yang dihasilkan akan mempengaruhi baik tidaknya pelayanan kesehatan, sebaliknya sistem
pendidikan kan dipengaruhi oleh sistem kesehatan misalnya kurikulum akan sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan kesehatan masyarakat saat ini juga kompetensi lulusan harus disesuaikan dengan
kebutuhan kesehatan dan kebijakan di bidang kesehatan saat ini.
Untuk dapat memahami konsep praktek kolaborasi antar profesi perlu difahami dulu konsep
insterprofesionalism. Interprofesionality adalah sebuah proses dimana beberapa profesional
merencanakan, melaksanakan dan mengintegrasikan suatu jawaban atau respon yang kohesif
terhadap kebutuhan atau tuntutan klien, keluarga atau masyarakat. Proses ini melibatkan interaksi
yang kontinyu berupa tukar menukar informasi dan pengetahuan yang diorganisasikan untuk
memecahkan masalah bersama dengan melibatkan participasi pasien, keluarga dan masyarkat.
Interprofesionalitas memerlukan adanya perubahan paradigma karena interprofesionalitas memiliki
karakteristik khusus seperti nilai, code of condcut dan cara bekerja yang spesifik antar profesi. (
D’Amour and Oandasan, 2005).Praktek kolaborasi dapat meningkatkan akses pada pelayanan
kesehatan yang terkoordinir, meningkatkan penggunaan tenaga spesialis yang tepat, meningkatkan
derajat kesehatan pasien dengan penyakit kronis, dan meningkatkan kemanan pasien. Praktek
kolaboratif dapat menurunkan komplikasi pada pasien, lama rawat, konflik antar tim kesehatan, angka
rawat di rumah sakit, kesalahan klinik atau malpraktek dan menurunkan angka kematian.
Pemahaman siapa saja yang terlibat dalam kegiatan IPE mengacu pada definisi tentang dua hal yaitu:
a. Kata “interprofessional” yang dalam arti kamus Merriam-Webster yang berarti occurring
between or involving two or more professions or professionals. Kata ‘interprofessional”
dikenal pertama kali pada tahun 1837…
b. Spektrum layanan kesehatan seperti pada konsep Leavell&Clark tentang pencegahan primer,
sekunder dan tersier.
Definisi kata professional akan berbeda dengan kata profession. Dalam kamus Cambridge Dictionary,
kata “professional” sebagai kata benda (noun) berarti adalah:
a person who has the type of job that needs a high level of education and training:
someone who has worked hard in the same type of job for a long time and
has become skilled at dealing with any problem that might happen:
a person who does a job that people usually do as a hobby
Sedangkan kata “profession” adalah any type of work that needs special training or a particularskill,
often one that is respected because it involves a high level of education.
Pada kondisi saat ini, kebutuhan akan kerjasama tim dalam berbagai bidang pekerjaan
sangat diperlukan. Oleh karena itu, mahasiswa perlu mempelajari bagaimana bekerja secara
kolaborasi baik dalam pembelajaran di kelas dan lapangan dalam rangka untuk praktik kolaborasi
ketika nanti lulus. Adalah penting untuk mahasiswa mempelajari bentuk dari bekerja secara
kolaborasi di kelas karena akan meningkatkan pembelajaran IPE dalam praktik. Dengan memberikan
kesempatan mahasiswa belajar tentang, dari dan dengan profesi/keilmuan lain akan memperkaya
pemahaman tentang peran keilmuan sendiri seperti peran profesi dan keilmuan lain. Pengetahuan
dan ketrampilan yang terbentuk dan berkembang dengan pembelajaran IPE sangat penting untuk
keberhasilan praktik dengan profesi yang lain.
1. Pendidikan antar profesi harus merupakan bagian integral dari semua pendidikan tenaga
kesehatan.
2. Ada kemauan politik yang di tunjukan dengan ada nya kebijakan yang mendukung pelaksanaan
pendidikan interprofesi ini.
3. Ada komitmen yang kuat dari seluruh civitas akademi di institusi pendidikan untuk terlibat dalam
pendidikan interprofesi yang efektif
4. Pendidikan interprofesi ini harus melibatkan lahan praktek, sehingga pelaksanaan pendidikan
interprofesi bisa dilaksanakan pada tahap praktek klinik.
5. Pelibatan tim dari interprofesi harus di mulai sedini mungkin pada tahap awal persiapan dan
dipertahankan sampai tahap evaluasi.
6. Kohesifitas tim penegmbang pendidikan interprofesi harus solid dan harus mengurangi ego
masing-masing profesi. Proses dan aktifitas tim ini juga harus merefleksikan kolaborasi yang
efektif antar profesi
7. Pendidikan antar profesi harus dimulai dengan metoda yang mudah terlebih dahulu, misalnya
dengan merancang projek extra kurikuler yang melibatkan kerja-sama interprofesi.
8. Kompetensi yang dirumuskan harus memperhatikan prinsip-prinsip:
• Berfokus pada pasien/kel/masyarakat
• Memperhatikan proses bukan hanya pencapaian kompetensi
• Dapat di aplikasi pada semua profesi
• Merupakan kompetensi belajar sepanjang hayat
• Menstimulasi active learning
• Berdasarkan prinsip pembelajaran orang dewasa
9. Dalam mengintegrasikan pendidikan antar professi harus mempertimbangkan standard
pendidikan masing-masing profesi dan masuk dalam system akreditasi pensisikan tenaga
kesehatn yang ada.
Kompetensi masing-masing profesi yang dideskripsikan dan ditentukan oleh masing masing
profesi misalnya dokter memiliki kompetensi spesifik yang memberdakan profesi dokter dengan profesi
lainya seperti perawat, bidan, ahli gizi, ahli keshetan lingkungan dan sebaliknya. Kompetensi ini akan
merujuk pada peran, kewenangan dan lingkup praktik masing-masing profesi dan diatur oleh undang-
undang yang berlaku.
Kompetensi antar profesi atau kompetensi kolaboratif merupakan kompetensi yang juga
penting dimiliki oleh semua tenaga kesehatan. Kompetensi inti kolaborasi antar profesi diperlukan
sebagai landasan dalam membuat kurikulum pada berbagai pendidikan profesi yang terlibat,
menetukan strategy pembelajaran dan evaluasi yang akan dilakukan. Ada 4 domain dalam kompetensi
antar profesi, yaitu nilai/etik interprofesi, peran/tanggung jawab, komunikasi interprofesi dan kerja tim.
Berikut akan di jelaskan domain-doamin tersebut secara detil.
Nilai antar profesi dan etik dalam interprofessional praktik merupakan hal penting baik untuk
profesi secara mandiri maupun dalam hubunganya demgan kolaborasi antar profesi. Nilai dan etik antar
profesi meliputi : pelayanan harus berfokus pada klien dengan orientasi komunitas, masing-masing
profesi berbagi peran dan tanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan, semua profesi
bersama-sama memiliki komitmen untuk dapat menciptakan pelayanan yang aman, efisien, dan efektif,
pelayanan diberikan secara komprehensif dengan melibatkan klien dan keluarganya.
Menghormati pandangan, kebutuhan dan nilai orang lian tidak sejelas kelihatannya. Kita
menyadari bahwa mengenali nilai-nilai dan kebutuhan pasien dan anggota keluarga membernya tidak
terucap atau terlihat secara langsung atau nyata. Ini membutuhkan suatu ketrampilan khusus untuk
dapat mengidentifikasi dan mengintegrasikan nilai-nilai pasien ke dalam manajemen pelayanan,
walaupun ada konflik/perbedaan dengan pandangan / nilai kita. Kemampuan inilah yang akan kita
ajarkan kepada mahasiswa agar menempatkan pelayanan kesehatan berpusat pada pasien dan tidak /
menghindari segala tindakan yang bersifat melanggar konsep pelayanan berbasis pasien.
D. Tyastuti, 2018
Health Equity Hak setiap individu untuk mendapatkan kesehatan yang maksimal (The
right of every individual to achieve their highest level of health)
Seperti diketahui, pendidikan untuk pembentukan etika dan nilai ini tidaklah mudah. Pada
pembahasan ini akan dipelajari bagaimana mengenali nilai-nilai dan kepercayaan pasien dan
mengintegrasikan hal tersebut ke dalam pelayanan berpusat pada pasien. Dalam kaitannya dengan
pembentukan kompetensi etika untuk praktik interprofessional , mahasiswa harus mengetahui 3 jenis
etika yang terlibat dalam konteks ini yaitu etika biomedis biomedic ethic(), etika realtional (relational
ethic)dan etika kebajikan (virtue ethic)
Etika Relasional
•Bioetika merupakan (Relational ethic) •moral kebajikan
studi tentang masalah dikonseptualisasikan
yang ditimbulkan oleh •Etika relasional berkembang dari praktik sosial dan
perkembangan di dari 3 konsep yaitu: politik, narasi
bidang biologi dan ilmu •Pemahaman tentang kehidupan manusia,
layanan kesehatan
kedokteran baik skala (understanding care) dan tradisi moral
mikro maupun makro •Pilihan moral (moral
choices)
Etika Biomedis •Praktik etis (ethical Etika Kebajikan
practice) (Virtue ethic)
(Bioethic)
Etika Biomedis
Ada beberapa istilah dasar yang berkaitan dengan etik profesi kesehatan. Potter, Perry, Stockert, dan
Hall (2016) menyebutkan ada 5 (lima) nilai dalam etik kesehatan, yaitu:
1. Autonomy
Otonomi mengacu pada hak seseorang untuk membuat keputusan sendiri.Menghargai prinsip
otonomi berarti bahwa setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan dan menghargai hak
klien untuk memilih dan memutuskan pilihan.Akan tetapi, dalam pemilihan keputusan tersebut,
klien juga berhak untuk mendapatkan informasi yang tepat dan lengkap terkait kondisi dan
perencanaan kesehatannya (informed), sehingga klien menyetujui untuk melakukan atau
memilih keputusannya tersebut (consent).Contohnya dalam prosedur pembedahan atau
partisipasi dalam penelitian.
3. Nonmaleficence
Berarti tidak membahayakan. Setiap tindakan oleh tenaga kesehatan yang diberikan kepada
klien tidak membahayakan dan tidak menempatkan seseorang pada keadaan bahaya.Untuk
memenuhi prinsip ini, setiap tenaga kesehatan perlu memahami dan telah teruji memenuhi
prinsip-prinsip keamanan pasien (patient safety) dalam melakukan setiap tindakan kepada
klien.
4. Justice
Setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan dan menerapkan prinsip keadilan dalam
memberi pelayanan kesehatan. Tidak membeda-bedakan klien berdasarkan suku, agama, ras,
hubungan keluarga, dan status sosial ekonomi di masyarakat.
5. Fidelity
Berarti berupaya untuk memenuhi perjanjian dan janji. Janji atau kontrak dengan klien harus
dipenuhi dan tenaga kesehatan tidak boleh mengingkari janji yang telah diucapkan atau
membohongi klien.
6. Veracity
Berman, Snyder, dan Frandsen (2016) menambahkan prinsip ini selain lima prinsip di atas.
Veracity berarti menyampaikan kebenaran. Setiap tenaga kesehatan harus menyampaikan
dengan sebenarnya tentang kondisi klien, risiko atau akibat dari suatu tindakan atau
pengobatan yang diberikan kepada klien.
Etika relational muncul berkaitan dengan dua hal yang mendasari yaitu:
1. Asumsi bahwa pengetahuan yang diperlukan untuk perawatan beretika dikembangkan
dalam hubungannya antara tim medis/non medis dengan pasien, antara pasien dan
keluarganya, dan juga antara teori dan praktik.
2. Kebenaran adalah sebagai konteks yang ditanamkan dalam hubungan ini.
Etika/moral kebajikan menjadi sorotan dalam praktik interprofessional. Etika ini muncul karena
banyaknya pertanyaan seperti apakah praktisi berorientasi pada praktik yang benar, apakah
melakukan hal yang benar kepada pasien, apakah juga melakukan hal yang benar kepada yang lain,
dan apakah menjadi seorang pripadi praktisi yang benar dan bijak?
Etika kebajikan menurut Ewashen etal (2013) mengelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu:
1. Etika untuk berhati-hati pada nilai dan moral (beware of values and morals)
Perlu kiranya praktisi memahami terhadap nilai dan moral yang ada disekitarnya dan pada
pasien/keluarga. Akan ada kesamaan nilai/moral tapi tidak dipungkiri pula akan ada
perbedaan yang ditemui. Kemampuan praktisi untuk menempatkan hal tersebut pada
konteksnya dengan kembali pada prinsip patient-centered care.
2. Etika untuk melakukan refleksi diri dari setiap tindakan yang dilakukan (reflection in action)
Refleksi merupakan suatu kemampuan yang dikembangkan dalam pendidikan kesehatan
dan kedokteran pada era milenial ini. Refleksi merupakan suatu bentuk penilaian diri akan
apa yang dilakukan. Etika dalam refleksi pada setiap kegiatan sangat diperlukan agar praktisi
terbiasa untuk selalu melakukan refleksi diri terhadap semua yang dilakukan baik untuk
pasien, anggota tim dan diri sendiri.
3. Etika untuk mengeksplorasi terhadap nilai-nilai yang memicu konflik (explore conflicting
values)
Adanya kontak dengan sesama manusia baik dalam berbagai kegiatan, pasti akan
menimbulkan konflik. Konflik ini timbul karena adanya perbedaan persepsi baik dari
nilai/etika atau perilaku/tindakan. Dalam kerjasama tim dan khususnya praktik
interprofessional, etika untuk mengeksplorasi nilai/value yang dapat menimbulkan konflik
perlu dipelajari agar terhindar dari konflik yang bersifat vertikal atau horizontal.
4. Etika untuk mencari tindakan alternatif untuk tujuan kebaikan bersama (seeks alternative
actions)
Praktisi sering dihadapi kebuntuan dalam menyelesaikan suatu masalah khususnya
permasalahan kesehatan baik masalah individu maupun komunitas. Kemampuan untuk
mengembangkan suatu etika yang bertujuan mencari suatu solusi atau pemecahan masalah
adalah perlu juga dikembangkan agar terbiasa untuk mencari alternative penyelesaian
masalah.
1. Pengetahuan dan apresiasi yang kurang terhadap profesi kesehatan yang lain
(Lack of knowledge & aprreciation of other)
2. Masalah kewenangan dan kewajiban / tanggung jawab profesi (Legal issues of
scope of practice & liability)
3. Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi
terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan, stereotipe
dapat berupa prasangka positif dan juga negatif (Stereotyping)
4. Sistem layanan kesehatan yang terfragmentasi baik secara mikro maupun makro
(Fragmentation of care)
5. Batasan pengetahuan menjadi tidak jelas (Knowledge boundaries become
blurred)
6. Kurangnya komitmen pada semua stakeholder yang terlibat di dalamnya (Lack of
commitment)
7. Pengetahuan dan apresiasi yang kurang terhadap profesi kesehatan yang lain
(Professional identity challenges)
8. Masalah kewenangan dan kewajiban / tanggung jawab profesi Competition
9. Sistem layanan kesehatan yang terfragmentasi baik secara mikro maupun makro
Reimbursment issues
10. Pengetahuan dan apresiasi yang kurang terhadap profesi kesehatan yang lain
(Lack of knowledge & aprreciation of other)
11. Masalah kewenangan dan kewajiban / tanggung jawab profesi (Legal issues of
scope of practice & liability)
12. Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi
terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan, stereotipe
dapat berupa prasangka positif dan juga negatif (Stereotyping)
13. Sistem layanan kesehatan yang terfragmentasi baik secara mikro maupun makro
(Fragmentation of care)
14. Batasan pengetahuan menjadi tidak jelas (Knowledge boundaries become
blurred)
15. Kurangnya komitmen pada semua stakeholder yang terlibat di dalamnya (Lack of
commitment)
Peran adalah individu menetapkan seperangkat perilaku dalam kelompok, dan antara
kelompok professional. ketika mulai terjadi overlapping peran secara formal, ini dapat menjadi
sumber dari kebingungan dan konflik (Goodman & Clemow, 2010). Tanyakan pada diri sendiri
apakah peran kamu sebagai mahasiswa. Bagaimana hubungannya dengan tenaga kesehatan
lainnya- sebgai pembantu pelayanan, contohnya? Tim yang berfungsi baik akan saling
memahami terhadap peran mereka dan menerima peran dari anggota tim lainnya, seperti :
discharging patients, review pengobatan, memilih terapi yang tepat
Penjelasan tentang memahami peran profesi lain, sebagai pemicu awal dapat dilihat pada:
1) Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan
2) Kepmenkes No 938 tahun 2007 tentang Standar asuhan kebidanan
3) Standard Asuhan Keperawatan : perawat vokasi
Tujuan Pembelajaran
Pemahaman akan konsep “peran dan tanggungjawab” (roles and responsibility) dalam
pembelajaran IPE merupakan salah satu konsep yang harus diajarkan secara sistematika
karena pada konteks ini sudah sangat bersinggungan dengan profesi-profesi yang lain.
Pemahaman akan konsep ini akan mengarahkan kepada ketidakpercayaan diri atau
kepercayaan yang berlebihan apabila tidak diajarkan secara terintegrasi. Dalam pengajaran
konsep ini, pendekatan yang dilakukan adalah mengarahkan semua pemahaman untuk
tujuan pelayanan pada pasien/keluarga/komunitas dengan pendekatan patient-centered
care. Konsep peran dan tanggung jawab, meliputi 4 hal seperti dalam gambar di bawah ini.
Dalam konteks real setting, konsep peran dan tanggung jawab merupakan hal yang
sangat krusial. Seringkali dirasakan dan dialami oleh para praktisi di lapangan akan adanya
tumpang-tindih (overlapping) dan Banyak berbagai mengenai pemahaman akan peran dan
tanggungjawab ini
Menurut MacDonald et.al (2009) Indikator mahasiswa telah mencapai kompetensi “ mengetahui
peran professional lainnya” adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan sejauh mana cakupan profesinya sendiri berakhir dan profesi lain dimulai
2. Praktik Kolaborasi antar professional dalam system pelayanan kesehatan membuat
optimalisasi.
3. Membuka diri untuk kontribusi anggota tim lain. Indicator ini dicerminkan melalui komentar
praktisi sebagai berikut
4. Mengatasi kesalahpahaman / stereotip di antara anggota tim
5. Menghargai peran, nasihat dan kontribusi unik dari anggota tim lainnya: data menunjukkan
isu-isu dari menghargai, sebagai indikasi telihat dalam komentar dari praktisi sebagai berikut
6. Mengidentifikasi overlapping keterampilan professional diantara anggota tim
7. Nilai-nilai yang meningkatkan keuntungan dari usaha kolaborasi anggota tim
8. Menjelaskan perbedaan perspektif dan pengetahuan dari profesi lain
Komunikasi merupakan kompetensi inti pada semua profesi kesehatan, karena semua profesi
kesehatan memberikan pelayanan kesehatn kepada klien, keluarga dan masyarakat yang tentu saja
memerlukan komuikasi yang efektif, akan tetapi kompetensi komunikasi antar profesi belum menjadi
perhatian semua profesi. Komunikasi antar profesi dapat disebutkan sebagai kompetensi utama
dalam melakukan kolaborasi tim antar profesi, sehingga semua profesi yang terlibat di dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada klien harus mampu berkomunikasi untuk menyampaikan
pesan secara efektif kepada anggota tim. Banyak situasi konflik terjadi akibat adanya barier atau
hambatan dalam berkomunikasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan tim tidak berfungsi secara
optimal.
Menurut Berridge (2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat berpengaruh
dalam meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi interprofesi yang berjalan
efektif akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan
medical error. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang
lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal
pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul
Kompetensi Komunikasi
▪ Memilih alat dan teknik komunikasi yang ▪ Memberikan umpan balik konstruktif, tepat
efektif, termasuk sistem informasi dan waktu dan sensitif kepada orang lain tentang
teknologi komunikasi, untuk kinerja tim mereka serta menanggapi umpan
memfasilitasi diskusi dan interaksi yang balik dari orang lain dengan rasa hormat
meningkatkan fungsi tim
▪ Mengatur dan mengkomunikasikan ▪ Memahami bahwa setiap orang memiliki
informasi dengan pasien, keluarga, dan keunikan tersendiri, termasuk tingkat
anggota tim kesehatan dalam bentuk pengalaman, keahlian, budaya, kekuasaan, dan
yang dapat dimengerti serta menghindari hierarki dalam tim perawatan kesehatan,
terminologi profesi yang spesifik bila sehingga dapat memberikan kontribusi untuk
memungkinkan komunikasi yang efektif, resolusi konflik, dan
hubungan kerja interprofesi yang positif
▪ Mengungkapkan pengetahuan dan ▪ Menggunakan bahasa yang tepat untuk situasi
pendapat kepada para anggota tim yang yang sulit, percakapan atau konflik interprofesi
terlibat dalam perawatan pasien dengan
keyakinan, kejelasan dan rasa hormat
▪ Mendengarkan secara aktif dan ▪ Berkomunikasi secara konsisten mengenai
mendorong ide dan opini dari anggota pentingnya kerjasama pada perawatan pasien
tim lain berbasis tim dan komunitas
Sistem pelayanan kesehatan yang mendukung kerjasama tim yang efektif dapat memperbaiki
kualitas pelayanan pasien, meningkatkan keamanan pasien dan mengurangi isu-isu beban kerja yang
dapat menyebabkan kelelahan pada tenaga medis professional.
Dalam pemberian pelayanan kesehatan baik pada layanan primer dan sekunder, kebutuhan akan
kerjasama tim sangat diperlukan. Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan yang berpusat pada
pasien (patient-centered care), ada beberapa kriteria sehingga dibutuhkan kerjasama
interprofessional yaitu (Schmitt, Farrell, Heinemann, 1988)
1. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dalam perawatan pasien.
2. Disiplin ilmu mencakup beragam pengetahuan dan ketrampilan yang berbeda yang
diperlukan untuk perawatan pasien
3. Rencana perawatan merefleksikan satu tujuan yang terintegrasi
4. Anggota-anggota tim berbagi informasi dan mengkoordinakan pelayanan-pelayanan yang
diberikan kepada pasien
Kata dari “group” atau “team” (Douglas (1983); Adair (1986)) dalam beberapa literatur
dipergunakan secara bergantian. Para pakar mengatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam suatu
kelompok atau tim adalah sama. Menurut Dauglas (1983) mengatakan bahwa
“Teams are co-operative groups in that they are called into being to perform a task, a task that
cannot be performed by an individual” .
Definisi tentang kerjasama antarprofesi (interprofessional teamwork) mengacu pada beberapa
Konsep kerjasama antar profesi memiliki beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian.
Istilah Definisi
Collaboration an active and ongoing partnership, often between people from
diverse backgrounds, who work together to solve problems or
provide services.
Collaborative patient- a type of arrangement designed to promote the participation of
centred practice patients and their families within a context of collaborative practice.
Interdisciplinary teamwork relates to the collaborative efforts undertaken by individuals from
different disciplines such as psychology, anthropology, economics,
geography, political science and computer science.
Interprofessional a type of interprofessional work which involves different health and
collaboration social care professions who regularly come together to solve
problems or provide services.
Interprofessional a type of work, similar to interprofessional collaboration (see above)
coordination as it involves different health and social care professions.
It differs as it is a ‘looser’ form of working arrangement whereby
interprofessional communication and discussion may be less
frequent.
Interprofessional education occurs when members (or students) of two or more health and/or
social care professions engage in interactive learning activities to
improve collaboration and/or the delivery of care.
Interprofessional involve two or more health and social care professions who learn
interventions and/or work together to improve their approach to collaboration
(see above).
Interprofessional networks loosely organized groups of individuals from different health and
social care professions, who meet and work together on a periodic
basis.
Interprofessional teamwork a type of work which involves different health and/or social
professions who share a team identity and work closely together in
an integrated and interdependent manner to solve problems and
deliver services.
Multidisciplinary teamwork an approach like interprofessional teamwork (see above), but differs
as the team members are composed from different academic
disciplines (psychology, sociology, mathematics) rather than from
different professions such as medicine, nursing and social work.
Pada dasarnya, kerjasama antarprofesi sebagai suatu kegiatan yang didasarkan pada sejumlah
dimensi pokok agar dapat berjalan dengan baik. Kerjasama (teamwork) yang melibatkan dua atau lebih
profesi memiliki kompleksitas yang besar dalam penerapannya. Menurut Reeves (2010), dimensi kunci
dalam kerjasama antar profesi meliputi beberapa hal:
a. Menetapkan tujuan tim yang jelas. Hal ini sangat diharapkan karena bertujuan untuk mencegah
terjadinya multi-persepsi, tumpang-tindih pemahaman, dan tujuan pencapaian.
b. Memiliki suatu ciri atau identitas tim bersama. Konteks ini merupakan salah satu kunci dimensi
yang menunjukkan bahwa tim tersebut menunjukkan identitas dari peleburan berbagai profesi.
Kegiatan tim dan performan tim yang ditunjukkan merupakan suatu ciri dari tim tersebut dan
bukan merupakan ciri suatu profesi.
c. Memiliki komitmen tim bersama. Komitmen merupakan suatu realisasi dari rencana tim untuk
mencapai tujuan kelompok. Dalam kerjasama antarprofesi, komitmen yang dibangun adalah
merupakan hasil kesepakatan kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan kelompok
dengan mempertimbangkan juga peran dan tanggungjawab profesi.
d. Peran yang jelas pada setiap profesi. Tidak dapat dipungkiri ataupun dihindari bahwa
menyatukan berbagai profesi yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung-jawab yang
berbeda akan menghasilkan tumpang tindih peran dan tugas dari masing-masing profesi.
Dengan melalui kesepakatan dalam kelompok, perlu ditetapkan peran dan tugas masing-
masing profesi yang jelas dalam kerjasama antarprofesi ini.
Relational
Processual
• Professual power
• Time and space
• Hierarchy
• Routine and rituals
• Socialsation
• Information
• Team composition technology
• Team roles • Unpredictability
• Team processos
INTERPROFESSIONAL
TEAMWORK
Organizational Contextual
• Organizational • Culture
support • Diversity
• Professional • Gender
reprentation • Political wil
• Fear of migation • Economic
Berdasarkan review yang dilakukan oleh Reeves (2005) menyebutkan adanya sejumlah factor
yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan pendidikan interprofessional dan
berkolaborasi. Menurut Oandasan and Reeves (2005), ada 3 faktor yang mempengaruhi dalam
penerapan pendidikan interprofessional diantaranya adalah
(1) micro level (socialization processes),
(2) meso level (administrative challenges for learners and faculty that affect the teaching environment
and the role of local leaders)
(3) macro level (the need for senior management and government political support) yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan penerapan pendidikan antarprofesi.
Selain itu pada pembentukan collaborative practice skill, Bronstein menyebutkan adanya 4
faktor yang akan mempengaruhi dalam menerapkan interdisciplinary collaboration yaitu (1) personal
characteristics; (2) professional role; (3) structural characteristics; dan (4) history of collaboration.
Dalam pembentukan sebuah tim, ada beberapa tingkatan kerjasama tim seperti pada gambar di
bawah ini.
Definisi
Menurut Institute for Patient-Family Centered Care (2012) Pelayanan yang berpusat pada
pasien dan keluarga adalah suatu pendekatan dalam perencanaan, pemberian dan evaluasi
pelayanan kesehatan yang berbasis pada kemitraan yang saling memberikan manfaat antara
penyedia pelayanan, pasien, dan keluarga.
Menurut Australian Commision on Safety and Quality in Health care (ACSQHC) patient
centered care adalah suatu pendekatan inovatif terhadap perencanaan, pemberian, dan evaluasi
atas pelayanan kesehatan yang didasarkan pada kemitraan yang saling menguntungkan antara
pemberi layanan kesehatan, pasien dan keluarga. Patient centered care diterapkan kepada pasien
dari segala kelompok usia, dan bisa dipraktekkan dalam setiap bentuk pelayanan kesehatan
(Lumenta, 2012).
Tujuan Pembelajaran
Pada model tradisional pelayanan kesehatan ini, pasien dan keluarga “dibangun” patuh
tanpa syarat kepada keahlian pada profesional layanan kesehatan yang peternalistik. Model patient
centered care merupakan pendekatan yang lebih modern dalam pelayanan kesehatan sekarang.
Model ini telah menggeser semua pemberi pelayanan kesehatan menjadi di sekitar pasien dan
berfokus kepada pasien. Pada model patient centered care ini diberlakukan kemitraan yang setara
(Sodomka,2006).
Ada 4 Konsep inti yang ada dalam konsep PCC (Patient Centered Care) dalam PFCC 2007,
Benchmarking Project, Executive Summary and Strategy Map yaitu : martabat dan respek, berbagi
informasi, partisispasi, dan kolaborasi.
3. Partisipasi
Pasien dan keluarga dilibatkan dan di-support untuk ikut serta dalam perawatan dan
pembuatan keputusan ( PFCC,2010). Partisipasi adalah hal yang dapat mendorong peran serta
pasien dalam penyelenggaraan pelayanan keperawatan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
dan harapan pasien. Keterlibatan atau partisipasi adalah status motivasi yang menggerakkan serta
mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saatn mereka mengambil keputusan
( Nugroho J. Setiadi, 2013).
4. Kolaborasi
Tenaga kesehatan mengajak pasien dan keluarga pasien dalam membuat kebijaksanaan,
perencanaan dan pengembangan program, implementasi dan evaluasi program yang akan
didapatkan oleh pasien ( Kusumaningrum,2009).
Planetree, pemimpin patient centered care yang diakui secara internasional telah
menunjukkan langkah besar dalam memajukan konsepnya. Model perawatan planetree adalah
pendekatan holistic berpusat pada pasien yang mempromosikan penyembuhan mental, emosional,
spiritual, social, dan fisik, sebagian dengan memberdayakan pasien dan keluarga melalui pertukaran
informasi (Cliff,2012).
Pada makalah yang diterbitkan dalam AMEE 42 (Association Medical Education E ) tentang teori-
teori Pendidikan yang mendasari dalam pembelajaran IPE, maka ada beberapa teori yang dapat
diterapkan dalam IPE terangkum dalam penjelasan di bawah ini.
Konsep dasar teori Memberikan kesempatan belajar melalui interaksi timbal balik yang dinamis
diantara individu peserta didik, dengan perilaku siswa dan lingkungan.
Memandu pengembangan penerapan pendidikan interprofesional (IPE)
dengan memperkenalkan faktor-faktor yang mempengaruhi konteks
pembelajaran, pengajaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan
pengalaman peserta didik.
Pengembangan kurikulum melalui penerapan role-model dan
demonstrasi/simulasi/praktik
Memungkinkan siswa, fasilitator, dan pengguna layanan untuk membangun
self-efficacy melalui latihan.
Faktor-faktor yang - Kebutuhan untuk memasukkan model peran untuk menunjukkan praktik
perlu dipertimbangkan kolaboratif oleh fasilitator dan di lokasi yang dipilih untuk pengalaman siswa.
dalam penerapan
teori ini - Kebutuhan untuk mengembangkan tugas pendidikan interprofesional yang
memungkinkan siswa, fasilitator dan pasien untuk membangun efikasi diri melalui
latihan.
Pendekatan 1) Pembelajaran aktif dan pengalaman dalam memecahkan masalah otentik
instructional dalam (2) Pengalaman praktik kolaborasi kelompok kecil dan pemecahan masalah
penerapan teori ini (3) Pembelajaran berbasis masalah
Contoh penerapan Pembelajaran aktif / learning active
(1) Dimasukkannya kelompok pengguna layanan dengan kebutuhan perawatan
kesehatan yang memerlukan pendekatan interprofesional kolaboratif untuk
manajemen mereka dan partisipasi pengguna layanan aktif untuk mencapai hasil
yang diinginkan.
(4) Presentasi masalah dalam pengaturan klinis oleh pengguna layanan nyata,
menghasilkan proses pembelajaran mandiri dan penerapannya untuk masalah
tersebut.
Konsep dasar teori - Memfasilitasi pembelajaran melalui pemagangan dan partisipasi aktif dalam
praktik komunitas profesional.
- Memungkinkan peserta didik untuk dianggap sebagai peserta yang sah dari
komunitas, bekerja dari pinggiran komunitas menuju pusat dengan peningkatan
tanggung jawab dan keterlibatan.
Pembelajaran kooperatif
(6) Mewujudkan keterampilan kunci seperti saling ketergantungan, interaksi tatap
muka, pengambilan keputusan kolektif, akuntabilitas individu, keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil, dalam proses individu dan kelompok yang terlibat
dalam penilaian dan pengembangan rencana manajemen pasien kolaboratif
Teori Konstruktif
Konsep dasar teori - Memungkinkan peserta didik untuk membangun teori mereka sendiri
pengetahuan pribadi dan representasi dunia, melalui membangun pengetahuan dan
pengalaman masa lalu untuk memasukkan pengetahuan baru.
Konsep dasar teori - Mempertimbangkan perkembangan diri, melibatkan interaksi dengan orang lain.
(3) Acara Tantangan Tim Perawatan Kesehatan (HCTC), diadakan di hadapan banyak
teman, staf pengajar dan praktisi masyarakat, di mana dua Tim siswa ditantang
untuk menghasilkan rencana manajemen kasus kolaboratif dalam waktu yang
ditentukan.
(4) Partisipasi siswa dalam klinik penjangkauan kesehatan, bekerja dalam kemitraan
dengan orang-orang dengan kebutuhan perawatan kesehatan yang menantang dan
belajar tentang profesi lain.
Contoh penerapan (1) Menyelenggarakan konferensi antarprofesional yang memaparkan siswa kepada
rekan-rekan dari disiplin ilmu lain dan memperkenalkan mereka pada konsep
praktik interprofesional.
(3) Mengundang siswa, staf, dan praktisi komunitas untuk menghadiri acara HCTC.
Buat dua tim mahasiswa interprofesional yang ditantang untuk mengerjakan kasus
yang telah disediakan oleh Fakultas, dan kembangkan rencana manajemen
kolaboratif dalam waktu yang disepakati sebagai tanggapan atas sejumlah
pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya yang diajukan kepada mereka oleh
seorang moderator. Di akhir acara, atur agar kedua tim diberikan umpan balik oleh
praktisi komunitas, dan dorong semua siswa yang mengamati HCTC untuk
merefleksikan pengamatan mereka untuk menginformasikan apresiasi mereka
terhadap praktik antarprofesional.
(4) Mengatur siswa untuk menghadiri klinik penjangkauan kesehatan untuk bekerja
terutama di bawah pengawasan pendidik klinis dari profesi mereka sendiri. Selama
waktu ini, siswa juga dihadapkan pada pandangan profesi lain melalui sesi pelatihan,
pertemuan tim, dan kegiatan bersama dengan kelompok pasien.
Teori Development
Konsep dasar teori Memberikan peluang untuk menjaga kami rasa diri atau untuk berubah,
menghargai bahwa interaksi terjadi dalam sejarah pribadi kita sendiri dan rasa
diri, interaksi antarpribadi, dan konteks budaya dan sosial tempat kita
beroperasi.
Mengakui bahwa lingkungan tempat siswa dilatih dan orang-orang yang
berinteraksi dengan mereka dapat secara signifikan memengaruhi
perkembangan profesional mereka.
Menawarkan siswa melalui paparan sistematis untuk profesi lain, kesempatan
untuk belajar bahwa ada cara lain untuk melihat dunia.
Memperluas perspektif siswa, meminimalkan masalah komunikasi dan
kesalahpahaman yang mungkin terjadi di antara profesi kesehatan
Faktor-faktor yang - Kebutuhan untuk memberikan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa
perlu dipertimbangkan untuk ditantang berdasarkan komunitas intrapersonal, interpersonal dan
dalam penerapan interprofesional dalam lingkungan belajar yang lebih luas.
teori ini
- Kebutuhan untuk memasukkan peluang bagi siswa untuk berinteraksi dengan
anggota dari profesi lain selama program mereka.
Pendekatan Tahap pencelupan. Siswa tingkat senior dengan pengetahuan yang lebih mendalam
instructional dalam tentang profesi mereka melalui:
penerapan teori ini (1) Pengalaman penempatan kampus dan praktik, memungkinkan siswa untuk
belajar secara kolaboratif dengan rekan-rekan dari profesi lain.
(2) Siswa ditawari kesempatan untuk 'refleksi diri' yang diperlukan untuk mengubah
perspektif mereka saat ini pada diri mereka sendiri, profesi mereka dan orang lain
(2) siswa menerima umpan balik tentang keterampilan kolaboratif dan kerja tim
mereka dari berbagai profesi.
(3) Mengembangkan modul terakreditasi, diajarkan oleh tim yang mewakili berbagai
profesi, yang memungkinkan siswa untuk berpartisipasi dalam peluang
pembelajaran berbasis kampus dan praktik. Berikan siswa kesempatan untuk
berkomunikasi dengan teman sebaya mereka, merenungkan praktik
interprofesional dengan orang-orang dari kelompok tertentu.
Kompetensi kolaborasi interprofesi seperti tersebut di atas menjadi salah satu dasar
pemilihan strategi pengajaran dan pembelajaran yang sesuai untuk penyelenggaraan pendidikan
interprofesi. Strategi pengajaran/pembelajaran yang digunakan tetap bersifat student centered active
learning, yaitu pembelajaran aktif berpusat pada peserta didik. Namun perlu diperhatikan dalam
pendidikan interprofesi bahwa peserta didik harus sebanyak mungkin mendapatkan kesempatan
untuk berinteraksi, belajar mengenai dan dari satu sama lain, serta belajar bekerja sama. Sehingga
kelompok peserta didik harus bersifat heterogen yang berasal dari berbagai profesikesehatan.
Sebelum belajar mengenai peran profesi lain, peserta didik juga harus sudah mengenal tugas dan
peran profesinya masing-masing.
Tahapan metode pembelajaran dalam pendidikan interprofesi dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Pembelajaran di dalam kelas (classroom-based learning)
2. Pembelajaran di rumah sakit/klinik (hospital/clinical-based learning)
3. Pembelajaran di komunitas/masyarakat (community-based learning)
Beberapa isilah dalam metode pembelajaran yang berkaitan dengan Stucent centered learning :
1. SGD: merupakan metode pembelajaran dimana peserta mendiskusikan secara kritis dalam suatu
kelompok kecil (beranggotakan 5-10 mahasiswa), untuk kemudian mempresentasikan dan
mendiskusikannya di kelas/forum yang lebih besar.
Pembelajaran berbasis kelas dapat digunakan pada pendidikan interprofesi di tahap awal
yaitu di level preklinik/akademik, sedangkan pembelajaran berbasis rumah sakit dan komunitas
bermanfaat untuk pendidikan interprofesi di tahap klinik. Pada tahap klinik, peserta didik akan berlatih
menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka peroleh pada situasi nyata dimana
kolaborasi dan kerjasama tim kesehatan diperlukan untuk menangani suatu masalah kesehatan.
Setiap tahapan pembelajaran memiliki serangkaian metode yang dapat dimanfaatkan oleh
institusi sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Metode pembelajaran diskusi
kelompok (small group learning) dan project based learning merupakan contoh metode yang dapat
digunakan untuk melatih peserta didik bekerja sama dengan peserta didik dari profesi lain dalam
penanganan suatu masalah kesehatan. Diskusi kelompok dapat digunakan untuk membekali peserta
didik dengan pengetahuan dasar dan latihan penerapannya dilakukan melalui kegiatan project based
learning.
Berikut ini (tabel 1) adalah contoh penerapan setiap tahapan metode pembelajaran menurut
Bridges dkk (2010), dengan beberapa penyesuaian.
Sesi dua
Setiap kelompok peserta didik
mendiskusikan riwayat medis pasien, lalu
menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan pendekatan interprofesi, seperti di
bawah ini:
1. Bagaimana profesi dokter, dokter gigi,
perawat, dan apoteker dapat
berkontribusi dalam perawatan pasien
tersebut?
2. Apakah tujuan perawatan dari pasien
tersebut?
3. Bagaimanakan peran profesi anda
dalam mencapai tujuan perawatan
pasien tersebut? Apakah bukti
ilmiah/justifikasi penggunaan metode
pendekatan perawatan yang anda pilih?
4. Selain profesi-profesi di atas, adakah
tenaga kesehatan lain yang anda
pertimbangkan dapat berperan dalam
membantu perawatan pasien tersebut?
Apa justifikasi anda dalam melibatkan
profesi lainnya?
5. Informasi apa yang sebaiknya Anda gali
dari pasien tersebut yang membantu
anda dalam menentukan rencana
perawatan bersama?
Sesi empat
Semua kelompok peserta didik berkumpul,
dan secara bergiliran mempresentasikan
kondisi pasien dan pendekatan interprofesi
yang mereka lakukan
Refleksi diri merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam menunjang pencapaian
sasaran pembelajaran dalam pendidikan interprofesi, karena refleksi diri memungkinkan peserta didik
menilai pemahaman, persepsi dan pengalamannya dalam bekerja sama dan berkolaborasi secara
interprofesi. Berdasarkan hasil refleksi diri tersebut, maka peserta didik dapat mengidentifikasi lessons
learned dan menyadari hal-hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas kolaborasi
interprofesi.
Masalah kesehatan yang relevan dengan praktik profesi kesehatan yang akan dijalankan oleh
peserta didik perlu dijadikan konteks pembelajaran. Pembahasan mengenai peran profesi kesehatan
dan kolaborasi menggunakan kasus yang riil akan berjalan dengan lebih kontekstual dan relevan
dengan kebutuhan peserta didik dan juga masyarakat. Beberapa contoh masalah kesehatan yang
dapat digunakan adalah diabetes melitus dengan komplikasi, demam berdarah dengue, masalah
Dalam pembelajaran interprofessional, fasilitator bukanlah anggota tim ataupun pengamat dalam
diskusi. Tapi fasilitator adalah seorang yang mampu untuk:
1. Dibaratkan seperti bergerak seperti pasang surut air sesuai dengan interaksi mahasiswa, dan
muncul ke permukaan sesuai kebutuhan untuk menjelaskan dinamika kelompok
2. Mengambil kesimpulan tentang adanya pemahaman-pemahaman yang baru
3. Merangsang refleksi
4. Menggerakkan tim interprofessional secara gentle
5. Memelihara terciptanya suatu pemahaman bersama di antara anggota tim
Peran Dosen
FASILITATOR
▪ Mengarahkan peserta
▪ mengembangkan komitmen bersama dan yang menjaga komitmen tersebut selama program
berlangsung.
▪ Fasilitator tidak harus menjadi orang yang ahli di dalam bidang atau area kerja peserta
fasilitasi.
▪ Fasilitator fokus pada pengembangan dan pengelolaan proses yang efektif untuk membantu
kelompok mencapai hasil yang mereka kehendaki.
▪ Fasilitator yang ahli kadang sama sekali tidak mengenal subjek/ isu yang menjadi pekerjaan
kelompok yang difasilitasi, namun berhasil memfasilitasi kelompok mencapai tujuannya.
Mendorong
Peran dan Tugas
Profesi
COACHING
▪ Proses coaching secara umum dimaknai sebagai suatu aktivitas untuk membantu orang lain
(peserta didik) menemukan kekuatan dan mengidentifikasi kekurangan dalam rangka
mencapai target kinerja dan produktivitas.
▪ Seorang coach adalah fasilitator, bukan guru.
▪ Seorang coach adalah motivator yang mendukung tujuan peserta didik.
▪ Seorang coach tidak akan memberikan ilmu / solusi tertentu tapi mengajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk menggali sehingga seseorang (coachi) bisa menemukan solusinya sendiri.
▪ Dalam proses coaching, seorang coach bisa jadi tidak mendalami bidang atau area pekerjaan
yang dihadapi oleh coachee (orang yang di-coach).
▪ Akan tetapi, melalui proses interaksi yang terarah, coachee akan mendapatkan ide atau
gagasan untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi sesuai dengan kekuatan dan
kelemahan yang telah dimilikinya.
▪ Coach menjadi cermin, membantu dan memberi saran kepada peserta didik untuk
melakukan pekerjaan atau mencapai tujuan kelompok.
▪ Coach adalah orang yang ahli dalam memfasilitasi pencapaian tujuan atau proses
perkembangan diri klien, namun dia tidak perlu ahli benar dalam topik yang di-coach-nya.
▪ Coach akan membantu peserta didik dengan menyediakan tools dan hal-hal yang dapat
memotivasi dan membantu pencapaian.
▪ Berbasis “one-on-one” coach membantu untuk fokus dan mencapai tujuan-tujuannya
lebih cepat.
MENTORING
▪ Metode pengembangan dimana seorang mentor akan mengajarkan tips trik, pengalaman
sukses, metode sukses, cara-cara sukses sesuai dengan pengalaman mentor.
▪ Seorang mentor adalah orang yang ahli dibidangnya dan akan mentransfer ilmunya kepada
peserta didik.
▪ Jadi tugas seorang mentor adalah mendampingi seseorang (mentee).
▪ Seorang mentor harus lebih expert dari menteenya.
▪ Durasi dalam mentoring cukup panjang pada satu siklus, terkadang seorang mentor
dapat juga melakukan coaching, training maupun facilitating dalam masa mentoring.
A. Ketrampilan klinik dan B. Isu Legal dan Etika dalam C. Clinical Governance and
Komunikasi Pelayanan Kesehatan Patient Safety
- Profesionalisme - Capacity and consent - Why things go wrong
- Konsultasi - The mental health act and - Human factors
- Promosi kesehatan common law - Safe prescribing
- Berpikiran kritis (Clinical - Confidentiality - Infection control
reasoning) - Sertifikat kematian - Use of evidence and
- Komunikasi dengan kolega - Fitness to drive guideline
dan profesi lain - Adult and child protection - Audit
- Rekam medik (memahai dan - Prinsip etik dalam yankes
menulis) - Advance directivesI
- Prioritas waktu - Isu end of life
Sebagai soft skill, komunikasi bukan tentang banyak suku kata atau pidato yang membangkitkan
semangat. Komunikator yang cakap dapat menyesuaikan nada dan gaya mereka sesuai dengan
audiens mereka, memahami dan bertindak secara efisien berdasarkan instruksi, dan menjelaskan
masalah yang kompleks kepada rekan kerja dan klien. Komunikasi juga merupakan aspek penting
dari kepemimpinan, karena pemimpin harus dapat mendelegasikan secara jelas dan komprehensif.
Memiliki sikap positif dan inisiatif untuk bekerja dengan baik tanpa pengawasan sepanjang waktu
adalah keterampilan lunak yang vital bagi setiap karyawan. Tidak hanya itu menunjukkan keandalan
dan komitmen, tetapi itu menunjukkan bahwa Anda dapat masuk secara efisien ke dalam struktur
organisasi tanpa perlu pengawasan konstan.
Kepemimpinan / LEADERSHIP
Kepemimpinan adalah keterampilan lunak yang dapat Anda tunjukkan meskipun Anda tidak
mengelola orang lain secara langsung. Kepemimpinan dapat dianggap sebagai kumpulan berbagai
soft skill lainnya, seperti sikap dan pandangan positif umum, kemampuan berkomunikasi secara
efektif, dan bakat untuk memotivasi diri sendiri dan memotivasi orang lain.
Kesadaran diri jarang dibicarakan tetapi keterampilan halus sangat dihargai; mengetahui kapan
menerima tanggung jawab atas kesalahan yang telah Anda lakukan menunjukkan tingkat
kerendahan hati yang sehat, dan kemauan untuk belajar dan berkembang.
Seperti halnya kepemimpinan, kerja tim yang baik melibatkan kombinasi keterampilan lunak lainnya.
Bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan bersama membutuhkan intuisi dan kecerdasan
interpersonal untuk mengetahui kapan harus menjadi pemimpin, dan kapan harus menjadi
pendengar. Para pemain tim yang baik tanggap, serta mau menerima kebutuhan dan tanggung
jawab orang lain.
Pemecahan masalah tidak hanya membutuhkan keterampilan analitis, kreatif, dan kritis, tetapi pola
pikir tertentu: mereka yang dapat mendekati masalah dengan kepala dingin dan level sering kali
akan mencapai solusi lebih efisien daripada mereka yang tidak bisa. Ini adalah soft skill yang sering
dapat mengandalkan kerja tim yang kuat juga. Masalah tidak harus selalu diselesaikan sendirian.
Kemampuan untuk mengetahui siapa yang dapat membantu Anda mencapai solusi, dan bagaimana
mereka dapat melakukannya, bisa menjadi keuntungan besar.
Ketegasan / DECISIVENESS
Mengetahui perbedaan antara ketegasan dan kecerobohan menyiratkan keterampilan lunak dalam
dirinya sendiri. Ketegasan menggabungkan sejumlah kemampuan yang berbeda: kemampuan untuk
Banyak pekerjaan datang dengan tenggat waktu yang menuntut dan terkadang taruhan tinggi.
Perekrut menghargai kandidat yang menunjukkan sikap tegas, kemampuan tak tergoyahkan untuk
berpikir jernih, dan kapasitas untuk mengotak-atik dan mengesampingkan stres. Manajemen waktu
terkait erat dengan kemampuan untuk bekerja di bawah tekanan, serta dalam tenggat waktu yang
ketat. Karyawan yang mengatur waktu mereka dengan baik dapat secara efisien memprioritaskan
tugas dan mengatur buku harian mereka, sambil mengadopsi sikap yang memungkinkan mereka
mengambil tugas dan tenggat waktu baru.
Fleksibilitas / FLEXIBILITY
Secara alami, orang bisa waspada meninggalkan zona nyaman yang dibentuk oleh daftar
keterampilan keras mereka. Fleksibilitas adalah keterampilan lunak yang penting, karena
menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk memperoleh keterampilan keras baru, dan pikiran
terbuka untuk tugas-tugas baru dan tantangan baru. Pengusaha sering mencari kandidat yang dapat
menunjukkan sikap bersedia dan optimis, karena banyak pekerjaan datang dengan kemungkinan
pemutusan hubungan kerja.
Ini adalah salah satu dari keterampilan lunak yang dicari oleh para pengusaha di calon pemimpin.
Menjadi negosiator yang mahir adalah mengetahui bagaimana menjadi persuasif dan memberikan
pengaruh, sambil secara sensitif mencari solusi yang akan menguntungkan semua pihak. Demikian
pula, resolusi konflik tergantung pada keterampilan interpersonal yang kuat dan kemampuan untuk
membangun hubungan dengan rekan kerja dan klien.
Gambar 3. Model pembelajaran pendidikan antar profesi dan strategi pembelajaran yang dapat digunakan.
Peserta didik memiliki kecenderungan untuk mempelajari apa yang akan diujikan atau dinilai,
sesuai dengan prinsip “assessment drives learning”. Hal ini berimplikasi pada keharusan adanya suatu
sistem evaluasi hasil pembelajaran di dalam pendidikan interprofesi. Berdasarkan tujuan pendidikan
interprofesi yaitu melengkapi peserta didik dengan kemampuan untuk bekerja sama dan
berkolaborasi dalam sebuah tim pelayanan kesehatan maka sistem evaluasi hasil pembelajarannya
memiliki karakteristik yang khusus. Karakteristik ini terkait dengan keperluan menilai performa
individual dalam berkomunikasi, bekerja sama dan berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain. Selain
itu diperlukan juga penilaian peserta didik sebagai satu kelompok yang mampu untuk bekerja sama
secara sinergis. Performa ini tidak mungkin hanya dinilai melalui penilaian di kelas. Dengan demikian,
diperlukan serangkaian metode evaluasi yang dapat menilai ketiga domain pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
Jika merujuk pada piramida Miller (Miller, 1990, gambar 2) maka keempat level piramida
mulai dari knows, knows how, shows how dan does harus dapat dinilai pencapaiannya, sehingga hasil
evaluasi peserta didik mampu mencerminkan kinerja dan performa peserta didik yang sesungguhnya.
Selain itu evaluasi hasil pembelajaran juga perlu dilakukan baik untuk tujuan formatif maupun sumatif.
Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai kemajuan belajar peserta didik dan memberikan umpan
balik terhadap kekuatan dan kelemahan setiap peserta didik, sedangkan evaluasi sumatif bertujuan
untuk menetapkan kelulusan peserta didik dalam suatu program pendidikan.
Does
Shows
How
Knows How
Knows
Penilaian peserta didik dalam program pendidikan interprofesi dapat dibagi menjadi penilaian
penguasaan pengetahuan, penilaian kinerja (performa) individu peserta didik dan penilaian kinerja
(performa) kelompok peserta didik. Kinerja atau performa ini meliputi area kognitif, psikomotor
(keterampilan) dan sikap (afektif). Penilaian penguasaan pengetahuan mengacu pada level knows how
Sebuah sistem evaluasi hasil pembelajaran dalam pendidikan interprofesi disusun mengacu
pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Dalam sistem tersebut perlu diuraikan bentuk dan
instrumen evaluasi yang digunakan, beserta dengan frekuensi dan pembobotan yang sesuai. Contoh
sistem evaluasi hasil pembelajaran disajikan pada tabel di bawah ini (tabel 2).
Tabel 2. Contoh sistem EHP (evaluasi hasil pembelajaran) dalam pendidikan interprofesi
Bentuk Instrumen Frekuensi Bobot (%)
Penilaian partisipasi Lembar penilaian 1 10
individu
Penilaian lembar tugas Lembar penilaian 2 10
mandiri (hasil diskusi
kelompok)
Penyusunan refleksi diri Lembar penilaian 1 10
Berbagai metode dan instrumen di atas dapat juga diterapkan untuk melakukan penilaian
hasil belajar peserta didik di tahap klinik. Proyek/tugas kelompok yang dapat disusun oleh peserta
didik adalah yang berkaitan dengan penanganan masalah kesehatan yang mereka hadapi di
klinik/rumah sakit/komunitas. Kelompok peserta didik dapat menguraikan bagaimana masalah
kesehatan tersebut diatasi menggunakan pendekatan praktik kolaborasi interprofesi. Kinerja masing-
Pada tabel 3 berikut ini, yang merujuk pada dokumen IPEC Expert Panel (2011), disajikan
contoh pemetaan metode evaluasi hasil pembelajaran untuk setiap kompetensi dan setting
pembelajaran.
Tabel 3. Contoh pemetaan metode EHP untuk setiap kompetensi dan setting pembelajaran
(berdasarkan IPEC, 2011)
Contoh Ranah yang Ranah yang Setting Contoh metode EHP Ranah yang
kompetensi dipelajari dipelajari pada dikuasai pada
pada tahap tahap lanjut tahap akhir
awal pendidikan pendidikan
pendidikan (Development) (competence)
(Exposure)
Kolaborasi Pengetahuan Keterampilan Preklinik • Ujian tulis (Multiple Choice Keterampilan
interprofesi Question/Short Answer Sikap
Questions/ Modified Essay
Question/Essay)
• Penilaian kemampuan
kerjasama dalam kegiatan
kelompok (group project)
• Refleksi diri
Etika dan Pengetahuan Pengetahuan Preklinik • Ujian tulis (Multiple Choice Keterampilan
nilai Keterampilan Keterampilan Question/Short Answer Sikap
Sikap Sikap Questions/ Modified Essay
Question/Essay)
Referensi
1. Interprofesional Education Collaborative (IPEC) Expert Panel (2011). Core competencies for
interprofessional collaborative practice: report of an expert panel. Washington, DC.
Interprofessional Education Collaborative.
2. Miller GE (1990). The assessment of clinical skills/competence/performance. Academic Medicine
65(9) Suppl:S63-S67
a. Peserta didik
Sebagai subjek utama dalam pendidikan interprofesi, peserta didik perlu dipersiapkan untuk
mengikuti program tersebut. Peserta didik perlu memahami dan siap untuk bekerja sebagai kelompok
dan berkolaborasi. Selain itu peserta didik juga perlu menyadari identitas profesinya, baik yang positif
maupun negatif, sehingga nantinya dapat mencegah munculnya negative stereotype dari profesinya.
Melalui pemahaman yang baik mengenai identitas profesi, maka peserta didik akan dapat memahami
peran dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari sebuah kelompok (McFadyen dkk, 2005).
b. Pengajar
Peran pengajar sangat sentral dan menentukan dalam pendidikan interprofesi. Seorang pengajar
tentunya pertama-tama harus memiliki ketertarikan terhadap pendidikan interprofesi. Selain itu
dituntut untuk mampu mempraktikkan belajar tentang, dari dan bersama tenaga kesehatan yang lain,
sehingga dapat menjadi panutan bagi peserta didik (role model). Sebagai fasilitator kelompok, dosen
diharapkan memiliki kemampuan pengembangan kelompok dan manajemen konflik. Kompetensi lain
yang diharapkan adalah mampu mengelola kelas dan memotivasi peserta didik untuk berkolaborasi.
Dan tidak kalah pentingnya, seorang dosen juga dituntut untuk mampu mengatur waktu secara
efisien.
c. Konteks pembelajaran
Sebagaimana layaknya sebuah aktivitas pembelajaran, maka kurikulum pendidikan interprofesi
haruslah memuat kompetensi/learning objectives (LO) yang dinyatakan dengan jelas dan terukur.
Secara eksplisit hal tersebut harus mencakup berbagai kemampuan yang hendak dicapai melalui
pendidikan interprofesi, dalam hal ini 5 Kompetensi Dasar Kurikulum Pendidikan Interprofesi.
Kompetensi yang dinyatakan secara jelas haruslah sesuatu yang dapat diukur pencapaiannya.
Selanjutnya ditetapkanlah metode yang hendak diterapkan untuk memfasilitasi pencapaian
kompetensi. Cukup banyak alternatif metode pembelajaran yang dapat dipilih sesuai dengan
karakteristik kompetensi yang hendak dicapai dan diselaraskan dengan kondisi institusi setempat.
Berikutnya yang perlu ditentukan adalah metode dan instrumen untuk menilai pencapaian
kompetensi yang mumpuni.
b. Proses pembelajaran
Proses pembelajaran dapat dievaluasi dengan melihat performa fasilitator, penggunaan ICT, evaluasi
lingkungan pembelajaran dan kepuasan peserta didik, fasilitator (dosen akademik dan dosen
lapangan) serta staf pendukung/kependidikan.
Menurut Kirkpatrick (1967) evaluasi luaran suatu program pendidikan dapat dikategorikan
secara hierarkis sebagai berikut:
Level 1: Evaluasi Reaksi
Level 2: Evaluasi Pembelajaran
Level 3: Evaluasi Perilaku
Level 4: Evaluasi Hasil
Model evaluasi tersebut dapat diterapkan dalam evaluasi program pendidikan interprofesi sebagai
berikut:
c. Perilaku
Tingkat ini mencakup perubahan perilaku kolaboratif setelah menjadi tenaga kesehatan profesional,
yang meliputi cara pandang, paradigma dan aplikasi yang didapatkan dalam lingkungan pembelajaran
ke tatanan praktik di lapangan
Elemen penting dalam melakukan evaluasi tehadap pendidikan interprofesi adalah kesinambungan
program yang meliputi sistem pendanaan dan penjagaan budaya interprofesi.
b. Sistem pembiayaan
Pembiayaan meliputi sumber pendanaan, sistem pembagian tanggung jawab pendanaan, manajemen
pendanaan dan efisiensi pendanaan.
3. Panduan latihan
a. Persiapan
1) Fasilitator membagi peserta menjadi kelompok home group (HG) yang terdiri dari
perwakilan semua profesi yang mengikuti pelatihan. Dalam setiap kelompok minimal
ada 1 orang perwakilan kelompok profesi/ FG.
2) Peserta dalam kelompok memilih ketua dan sekretaris.
3) Fasilitator menyampaikan maksud tujuan dari pembelajaran
b. Pelaksanaan
1) Fasilitator memberikan penugasan sebagai berikut:
- Peserta di dalam kelompok menyampaikan hasil diskusi fokus secara bergantian
dalam kelompok HGuntuk masing-masing profesi.
- Anggota kelompok lain bertanya dan menanggapi.
- Kelompok mengidentifikasi strategi pembelajaran yang efektif untuk
pembelajaran nilai-nilai/ etik antar profesi.
- Kelompok mengidentifikasi sumber belajar yang efektif untuk pembelajaran nilai-
nilai/ etik antar profesi.
- Sekretaris menuliskan hasil diskusi kelompok dalam flip chart.
2) Masing-masing kelompok menyajikan hasil penugasan
3) Kelompok lain menanggapi kelompok yang presentasi
4) Fasilitator merangkum hasil presentasi tentang strategi dan sumber pembelajaran
yang efektif dalam pembelajaran antar profesi.
TAHAP 2:
1. Setiap kelompok hanya menyelesaikan satu masalah pemicu (sesuai yang
diterima oleh ketua kelompok dari panitia tersebut)
2. Ketua dan Sekretaris memandu diskusi sesuai dengan skenario yang diterima
oleh kelompok
3. Diskusi dilakukan selama 30 menit.
4. Setelah diskusi selesai, maka dilakukan presentasi.
6. Melakukan refleksi yang dipandu oleh fasilitator/narasumber setelah
presentasi Fasilitator melakukan pembulatan terhadap penugasan hasil Role play
(Anda di minta datang ke rumah seorang pasien yang sedang mengalami sakit pada kakinya. Pasien
tidak dapat datang ke klinik karena sulit berjalan dan tidak ada kendaraan.)
Mahasiswa kedokteran dan keperawatan berkunjung ke rumah pasien. Pada saat Anda tiba di rumah
pasien, Anda melihat pasien duduk di bangku sambil menyelonjorkan kedua kakiknya di atas bangku
lainnya. Anda melihat kaki kanan ditutupi dan diikat oleh kain. Anda melakukan wawancara pada
pasien dan bila perlu memeriksa kondisi luka pasien dengan membuka pembalutnya dengan
menggunakan peralatan yang disediakan.
Seorang wanita / pria berusia 50 tahun dengan keluhan luka pada kaki kanannya sejak 1 bulan
yang lalu. Luka berawal dari bekas gigitan semut merah yang menimbulkan rasa gatal dan panas.
Karena garukan yang terus menerus sehingga timbul luka kecil dan kemudian menjadi bisul kecil. Bisul
pecah dan bekas bisul menjadi koreng yang bertambah besar seperti sekarang. Karena luka yang bau,
pasien memberi betadine pada kapas dan menutupnya dengan kain perca.
Pasien sudah berobat, tetapi luka koreng di kaki tidak sembuh dan akhirnya bertambah besar.
Pasien mengeluh badan lemas, dan tambah kurus. Buang air kecil pada malam hari sebanyak 3 kali.
Nyeri pada kaki tidak ada. Pasien merasakan baal pada ujung-ujung kaki. Demam tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu : tidak ada, karena tidak pernah berobat ke dokter kecuali kemarin
karena koreng ini.
Pasien tidak mengetahui dengan jelas penyakit dalam keluarga.
5. Terminasi ▪ Pada akhir ▪ Presentasi hasil kegiatan kelompok ▪ Memvalidasi hasil kegiatan
akhir (105 praktikum peserta
menit) ▪ Mengevaluasi hasil praktik
secara keseluruhan yang telah
dicapai dari masing-masing
kelompok
▪ Membuat laporan dan
rekomendasi hasil praktek
lapangan
: Peserta didik
: Tutor /supervisor
: Pasien
Kegiatan:
TAHAP 1 – Saling mengenal
- Setiap kelompok menunjuk Ketua Kelompok dan Sekretaris.
- Ketua membuka diskusi dengan Salam dan memperkenalkan nama masing-
masing
- Ketua menyebutkan nama panggilan selama diskusi.
- Ketua menanyakan kepada mahasiswa apakah sudah ada yang kenal dalam grup
tersebut.
- Ketua meminta setiap mahasiswa memperkenalkan nama lengkap dan nama
panggilan.
TAHAP 2:
1. Setiap kelompok hanya menyelesaikan satu masalah pemicu (sesuai yang
diterima oleh ketua kelompok dari panitia tersebut)
2. Ketua dan Sekretaris memandu diskusi sesuai dengan skenario yang diterima
oleh kelompok
3. Diskusi dilakukan selama 30 menit.
4. Setelah diskusi selesai, maka dilakukan presentasi.
5. Melakukan refleksi yang dipandu oleh fasilitator/narasumber setelah presentasi
selesai.
SASARAN Memahami tindakan pertama yang dilakukan ketika mendapati Fasilitator menyampaikan
PEMBELAJARAN kecelakaan lalu lintas. bahwa diskusi saat ini
mencakup sasaran yang
telah ditentukan
Pingsan
HIPOTESIS Nona X mengalami pingsan setelah kecelakaan lalu lintas yang disebabkan
benturan kepala (trauma kepala) akibat tidak menggunakan helm saat
mengendarai kendaraan.
SASARAN Memahami tentang masalah nyeri ketika buang air kecil pada anak-anak. Fasilitator menyampaikan
PEMBELAJARAN bahwa diskusi saat ini
mencakup sasaran yang
telah ditentukan
PENGETAHUAN AWAL 1. Pengetahuan tentang anatomi tubuh (ketika SMA) Fasilitator harus menggali
2. Pengetahuan tentang organ genitalia (ketika SMA) pengetahuan awal bila
3. Pengetahuan tentang gangguan miksi pada anak kecil diskusi tidak berjalan.
(Apabila tidak mampu
menyebutkan
pengetahuan awal, cukup
di catat saja)
PEMICU Seorang anak wanita berusia 10 tahun dibawa berobat ibunya ke
Puskesmas karena mengeluh gangguan miksi seperti sakit bila buang air
kecil.
KATA BARU
(KATA BARU adalah kata
yang menurut anggota
kelompok sebagai kata
yang baru diketahuinya)
IDENTIFIKASI FAKTA
(Identifikasi fakta adalah
fakta-fakta dari pemicu
yang dianggap menjadi
masalah / atau bagian
dari masalah
RUMUSAN MASALAH
(Yaitu kalimat bertanya
yang dirumuskan dengan
mengacu pada MASALAH
UTAMA dan data lain di
PEMICU)
HIPOTESIS
REFERENSI TERKAIT
SASARAN Memahami tentang proses gerakan pada anggota tubuh Fasilitator menyampaikan
PEMBELAJARAN bahwa diskusi saat ini
mencakup sasaran yang telah
ditentukan
PENGETAHUAN AWAL 1. Pengetahuan tentang anatomi tubuh alat gerak Fasilitator harus menggali
2. Pengetahuan tentang fisiologi ketika beraktivitas pengetahuan awal bila diskusi
tidak berjalan.
(Apabila tidak mampu
menyebutkan pengetahuan
awal, cukup di catat saja)
PEMICU Sepasang suami istri sedang berolahraga lari pagi di hari Minggu yang
cerah di jalan Sudirman (Car Free day). Setelah berlari 15 menit, sang
suami tiba-tiba berhenti, “Ah,.... kakiku kram”. Suaminya duduk dengan
posisi menyelonjorkan kaki kanannya dan memegang kaki kanannya
tersebut dengan muka tampak kesakitan.
IDENTIFIKASI FAKTA
(Identifikasi fakta adalah
fakta-fakta dari pemicu
yang dianggap menjadi
masalah / atau bagian
dari masalah
RUMUSAN MASALAH
(Yaitu kalimat bertanya
yang dirumuskan dengan
mengacu pada MASALAH
UTAMA dan data lain di
PEMICU)
REFERENSI TERKAIT
Halaman
PENGANTAR ----------------------------- 5
LAMPIRAN
November, 2018
Kegiatan dalam modul ini meliputi kuliah interaktif, diskusi kelompok, diskusi pleno, dan kerja
laboratorium yang didasarkan pada penggunaan metode pembelajaran berdasarkan masalah.
Penguasaan materi keilmuan pada modul-modul sebelumnya akan banyak membantu tingkat
pemahaman mahasiswa pada modul ini
Berdasarkan kurikulum nasional (Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia/KIPDI III) yang berbasis
kompetensi, pendidikan kedokteran diarahkan untuk menguasai tujuh area kompetensi ditambah tiga
kompetensi untuk lulusan FKIK UIN Syarif Hidayatullah sebagai nilai keunggulan lokal.
Pembelajaran Mata Ajar IPE bertujuan untuk menguasai area kompetensi yang berkaitan dengan
pengembangan kolaborasi yang meliputi:
Area kompetensi
1. Komunikasi interprofesi
Sasaran Pembelajaran :
Referensi
1. Bridges DR, Davidson RA, Odegard PS, Maki IV & Tomkowiak J (2010). Interprofessional
collaboration: three best practice models of interprofessional education. Medical Education
Online 16: 10.3402/meo.v16i0.6035
2. Interprofesional Education Collaborative (IPEC) Expert Panel (2011). Core competencies for
interprofessional collaborative practice: report of an expert panel. Washington, DC.
Interprofessional Education Collaborative.
3. Freeth D, Hammick M, Reeves S, Koppel I & Barr H (2005a). The Spectrum Illuminated, in Barr
H (ed) Effective Interprofessional Education: development, delivery & evaluation, 1st ed.
Oxford: Blackwell Publishing, p. 11-24
4. Hugh B, Della F, Marilyn H, Scott R & Ivan K (2005). Effective Interprofessional Education,
Development, Delivery and Evaluation. Blackwell Publishing, 98-99
5. Missen, K., Jacob, E., Barnett, T., Walker, L., & Cross, M. (2012). Interprofessional clinical
education: Clinician's views on the importance of leadership. Collegian, 19, 189 - 195.
6. Missen, K., Jacob, E., Barnett, T., Walker, L., & Cross, M. (2012). Interprofessional clinical
education: Clinician's views on the importance of leadership. Collegian, 19, 189 - 195.
7. Oandasan, I., Reeves, S (2005a). Key elements for interprofessional education. Part 1: The
learner, the educator and the learning context. Journal of Interprofessional Care, Supplement
1: 21 – 38
8. Oandasan, I., Reeves, S (2005b). Key elements of interprofessional education. Part 2: Factors,
processes and outcomes. Journal of Interprofessional Care, Supplement 1: 39 – 48.
Metoda pembelajaran yang digunakan pada Modul IPE ialah pengajaran aktfi mandiri (student
centered), terintegrasi, menggunakan pendekatan metoda Pembelajaran Berdasarkan Masalah (BDM).
Metoda pembelajaran dalam modul ini, juga berdasarkan konsep pentahapan pembelajaran yang
terdiri dari tahap Orientasi, tahap Latihan dan tahap Umpan Balik.
Kegiatan belajar mengajar terdiri dari : Kuliah interaktif, diskusi kelompok, kegiatan Mandiri,
dan presentasi kelompok dalam diskusi pleno.
A. Kuliah
• Kuliah Pengantar Ilmu Meliputi :
07.00 – 08.00
08.00 – 09.00
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 14.00
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00
MANDIRI MANDIRI
NO NAMA JABATAN
1. Ketua
2. Anggota
3. Anggota
4. Anggota
5. Anggota
6. Anggota
7. Anggota
8. Anggota
9. Anggota
10. Anggota
No Materi Narasumber
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
NO NAMA Telpon
1.
2.
Penilaian hasil belajar mahasiswa akan disatukan menjadi nilai akhir modul, yang menentukan tingkat
kelulusan mahasiswa. Penilaian hasil belajar sendiri meliputi penilaian proses, ujian praktikum dan
ujian sumatif. Sedangkan ujian formatif adalah salah satu bentuk penilaian umpan balik yang tidak
berkontribusi terhadap nilai akhir modul.
Untuk dapat mengikuti ujian praktikum dan sumatif mahasiswa harus memenuhi persyaratan yang
meliputi kewajiban mengikuti minimal sebagai berikut :
• 80% kegiatan Diskusi Kelompok
• 80% kegiatan kuliah
Ujian sumatif dilaksanakan dua kali, yaitu pada akhir minggu ketiga dan minggu terakhir kegiatan
modul. Selain itu, untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan untuk memperoleh informasi
umpan balik bagi pengelola modul, dilaksanakan dua kali tes formatif, pada akhir minggu kedua dan
kelima.
Pembobotan nilai akhir modul dengan ketentuan sebagai berikut,
Proses 30 % Sumatif Skills 30% Sumatif Ujian Tulis 40%
Diskusi kelompok 15 % Nilai total ujian................. Nilai total dari ujian tulis 1+ 2
Buku catatan diskusi 5 % Ujian tulis meliputi seluruh
Temu Pakar & reading skill 5% materi kuliah dan pemicu
Concept map 5% diskusi kelompok yang telah
dipelajari.
Nilai akhir = 30% proses + 30% sumatif ujian + 40% sumatif ujian tulis
Ketentuan terkait kelulusan dan ujian her/perbaikan,
1. Nilai batas lulus adalah 60 (C).
2. Bila mahasiwa tidak lulus maka dapat mengulang ujian perbaikan sebanyak satu kali, dalam
bentuk Ujian sumatif Gross dan Ujian praktikum.
3. Ujian Her Sumatif hanya boleh diikuti bila mahasiswa yang bersangkutan telah menyelesaikan
ujian her praktikum.
4. Ujian perbaikan atau her hanya boleh dilakukan sebanyak satu kali.
5. Bagi yang nilainya kurang dari C maka nilai maksimal ujian her adalah C.
6. Bila ada mahasiswa yang lulus modul namun nilainya kurang dari B maka diperkenankan
mengikuti ujian her dengan maksimal perbaikan nilai ujian her adalah B.
7. Her hanya dapat dilakukan bila sudah mengikuti ujian sumatif.
8. Setelah ujian perbaikan, bila mahasiwa dinyatakan tetap tidak lulus maka harus mengulang
modul .
9. Her/ remedial akan diselenggarakan pada akhir modul, bila tidak terpenuhi karena sesuatu
hal maka penyelenggaraannya diundur hingga akhir semester setelah semua modul berjalan.
Konversi nilai angka menjadi nilai huruf sesuai dengan ketentuan dari Universitas, sebagai berikut :
NILAI ANGKA NILAI HURUF NILAI BOBOT KETERANGAN
80-100 A 4.00 LULUS
70-79 B 3.00 LULUS
60-69 C 2.00 LULUS
50-59 D 1.00 TIDAK LULUS
<50 E 0 TIDAK LULUS
Proses penyelenggaraan modul perlu dinilai untuk menjaga penjaminan mutu kegiatan belajar-
mengajar di POLTEKKES KEMENKES ............................ Pada akhir modul, mahasiswa akan diberi
kesempatan untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan modul dan peran staf pengajar baik
sebagai tutor DK, praktikum serta narasumber kuliah maupun praktikum.
Secara garis besar, evaluasi modul juga dibagi menjadi evaluasi program dan proses, yang meliputi,
1. Evaluasi Program
75% mahasiswa lulus dengan nilai minimal B
RUMUSAN MASALAH
Bagan analisis masalah dalam bentuk peta konsep digambarkan di halaman belakang kertas ini
HIPOTESIS
Telah dikoreksi dan sesuai dengan proses diskusi yang berlangsung :…………………………………………………
[Form ini diparaf oleh tutor setelah memeriksa kesesuaian isinya dengan tugas diskusi, setelah diparaf
dikembalikan kepada tiap kelompok]
Materi presentasi anggota yang masih belum Apa yang akan dilakukan :
jelas adalah tentang :
[ Borang ini diparaf tutor setelah memeriksa kesesuaian isinya dengan tugas diskusi.
Setelah diparaf dikembalikan kepada kelompok. Seluruh anggota menyetujui isi borang ini].
(…………….…………………………......) (…………….………………………..)
A. FASILITATOR
1. Fasilitator telah memperlancar diskusi kelompok [1], [2], [3], [4].
2. Fasilitator tidak memaksakan pendapatnya [1], [2], [3], [4].
3. Fasilitator mencetuskan pertanyaan / isu yang bersifat terbuka dan menimbulkan keingintahuan [1], [2], [3], [4].
4. Fasilitator menumbuhkan keberanian untuk melakukan analisis, sintesis, dan evaluasi [1], [2], [3], [4].
5. Fasilitator tidak terlalu kritis [1], [2], [3], [4].
6. Fasilitator mampu menghidupkan suasana diskusi sehingga setiap anggota mau berpartisipasi [1], [2], [3], [4].
7. Fasilitator mempermudah kelangsungan belajar [1], [2], [3], [4].
8. Fasilitator memberi kebebasan untuk memilih sumber rujukan [1], [2], [3], [4].
9. Fasilitator menunjukkan perhatian terhadap gagasan anggoat kelompok [1], [2], [3], [4].
10. Fasilitator memberi kesempatan agar proses pembelajaran timbul dari kelompok [1], [2], [3], [4].
11. Fasilitator mendorong diskusi relevan dengan masalah [1], [2], [3], [4].
12. Fasilitator memiliki suara yang jelas, bahasa yang baik, dan mudah dimengerti [1], [2], [3], [4].
13. Fasilitator mendorong anggota kelompok untuk menyajikan hasil kerja kelompok [1], [2], [3], [4].
B. KEGIATAN KELOMPOK
1. Pengorganisasian kelompok sangat baik [1], [2], [3], [4].
2. Pembahasan topik dalam kelompok sesuai dengan rencana [1], [2], [3], [4].
3. Diskusi kelompok terencana baik, tiada waktu terbuang [1], [2], [3], [4].
4. Diskusi kelompok telah menghasilkan pengetahuan baru [1], [2], [3], [4].
5. Diskusi kelompok menghasilkan relevansi antara pengetahuan yang diperoleh dengan
[1], [2], [3], [4].
masalah yang dihadapi
6. Kegiatan kelompok mendorong kerjasama dan team work [1], [2], [3], [4].
7. Kepemimpinan kelompok ditunjang oleh fasilitator [1], [2], [3], [4].
Catatan khusus:
Kuesioner – 3
90 Modul Pembelajaran IPE (Maret, 2019)
Penilaian Tutor terhadap Mahasiswa dan Grup
Nama Tutor Program Studi
Group
Ruangan
Mahasiswa
Tanggal Jam
Pengamatan Pengamatan
Instruksi :
Kuesioner ini didisain untuk memperoleh informasi dari penilaian / pendapat Tutor / Fasilitator terhadap
mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini.
Berdasarkan pengamatan Anda dalam hubungannya dengan penelitian ini, berikan penilaian atau
pendapat Anda dari pernyataan-pernyataan dibawah ini :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Buruk Sempurna
PENILAIAN
.INDIKATOR MAHASISWA OVERALL
GROUP
3.1 TEAM PERFORMANCE
3.1.1. Kecekatan anggota-angota bekerja
dalam tim
3.1.2. Kualitas kerja sama tim
3.1.3. Kelancaran kerja sama tim
3.1.4. Bebas dari kesalahan
3.1.5. Komunikasi diantara anggota-
anggota tim
3.1.6. Pengambilan keputusan
3.1.7. Penampilan keseluruhan
Aspek Penilaian
Sikap &
Peran dalam kelompok
perilaku
TOTAL
interprofesional
berargumentasi
berkolaborasi/
bekerja sama
No Nama mahasiswa
Kemampuan
Kemampuan
Kemampuan
Kedisiplinan
Komunikasi
Partisipasi
dalam tim
(Maks
informasi
berbagi
60)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------10
SANGAT SANGAT
BURUK BAIK
Tanda tangan Tutor
(Nama tutor)
Mengatasi masalah penyakit PPOK pada pasien dengan memiliki perilaku merokok 2 pak per hari.
Ct: Pasien mengurangi kuantitas merokok dari 1 Ct: Pasien BERSEDIA mengikuti program berhenti
Ct: Pasien berhenti merokok pak sehari menjadi ½ pak perhari merokok