Anda di halaman 1dari 23

BICARA PELO PADA BU TINA

Disusun Oleh : KELOMPOK 1

1. OPHIELYA THISNA 18700001


2. RA INTAN DWI SARASWATI 18700003
3. DILLA DAYANA PUTRI 18700005
4. DEWI RAMBUHANA P 18700007
5. RIEKE AURELIA K W 18700009
6. MAYA DWI ARTIKA 18700011
7. AGUS WINANGUN 18700013

PEMBIMBING TUTOR : Dr. Pratika

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

AlhamdulillahiRobbi‘Alamin segala puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I

SKENARIO ....................................................................................................................... 1

BAB II

KATA KUNCI ................................................................................................................... 2

BAB III

PROBLEM .......................................................................................................................... 3

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Batasan ......................................................................................................................... 4


4.2 Anatomi / Histologi / Fisiologi / Patofisiologi/ Patomekanisme .................................. 5
4.3 Gejala Klinis ................................................................................................................. 6
4.4 Pemeriksaan Fisik Penyakit .......................................................................................... 7
4.5 Pemeriksaan Penunjang Penyakit ................................................................................. 8

BAB V

HIPOTESIS AWAL

( DIFFERENTIAL DIAGNOSIS ) ................................................................................... 9

BAB VI

ANALISIS dari DIFFERENTIAL PENYAKIT

6.1 Gejala Klinis ................................................................................................................ 10


6.2 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................................... 11
6.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................ 12

BAB VII

HIPOTESIS AKHIR .......................................................................................................... 13


BAB VIII

MEKANISME DIAGNOSIS ............................................................................................ 14

BAB IX

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

9.1 Penatalaksanaan ............................................................................................................ 15


9.2 Prinsip Tindakan Medis ................................................................................................ 16

BAB X

PROGNOSIS & KOMPLIKASI

10.1 Cara Menyampaikan Prognosis kepada Pasien / Keluarga ......................................... 17


10.2 Tanda untuk Merujuk Pasien ...................................................................................... 18
10.3 Peran Pasien / Keluarga untuk Penyembuhan ............................................................ 19
10.4 Pencegahan Penyakit .................................................................................................. 20

11. KESIMPULAN .............................................................................................................21

12. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................


BAB I

SKENARIO 3

BICARA PELO PADA BU TINA

Bu Tina usia 42 tahun dibawa suaminya ke Puskesmas dengan keluhan bicara pelo sejak 2 hari
yang lalu.Diketahui ada riwayat tekanan darah tinggi tetapi tidak teratur minum obat. Keluhan
juga disertai pusing kepala dan kelumpuhan pada sisi anggota tubuh sebelah kanan (hemiplegia).
Pada anggota sisi tubuh sebelah kiri normal.

Apa yang terjadi pada Bu Tina?


BAB II
KATA KUNCI
A. Bicara Pelo
B. Pusing Kepala
C. Tekanan Darah Tinggi
D. Hemiplegia (dextra) Tidak teratur minum obat
E. Hemiplegia (dextra)
BAB III
PROBLEM / MASALAH

A. Apa yang menyebabkan Bicara Pelo dan Hemiplegia dextra pada Bu Tina?
B. Bagaimana bisa penyakit ini timbul ?
C. Bagaimana diagnosa dari penyakit Bu Tina?
D. Bagaimana prinsip panatalaksanaan pada kasus ini ?
E. Dapatkah penyakit ini dicegah?
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 BATASAN = DIAMBIL DARI KATA KUNCI


4.2 ANATOMI / HISTOLOGI / FISIOLOGI / PATOFISIOLOGI
 Anatomi

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan
berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk
mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat
lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004). a. Lobus parietal merupakan
lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh
sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital
ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls
dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan
mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2006). b. Lobus frontal merupakan
bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua
korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk
mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2006). c.
Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis
yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis, 2006). d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan
lobus temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata
(Ellis, 2006). Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi
beberapa area yang punya fungsi masing-masing Fisiologi .

 Patofisiologi

Patofisiologi Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-
99% orang yang dominan tangan kanan ( kinan ) dan 60% orang yang dominan tangan
kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer
kiri. Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan
berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. Area Broca atau area 44 dan 45
Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini
akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa
dan tulisan. Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan
hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa. Secara umum afasia muncul
akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu lesi pada area
disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul
akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area
Wernicke. KLASIFIKASI Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada
yang mendasarkan kepada: Manifestasi klinik Distribusi anatomi dari lesi yang
bertanggung jawab bagi defek Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi
anatomik 2 .

 Patomekanisme

 Jenis – jenis Penyakit Yang Berhubungan

1). Afasia Broca

Bentuk afasia ini dinamai dari nama penemu bagian otak yang bertanggung jawab dalam
memproduksi ujaran. Afasia Broca sering disebut “afasia motorik” untuk menekankan produksi
bahasa yang terganggu (seperti berbicara) sementara aspek berbahasa lainnya tidak mengalami
masalah. Pada stroke, kerusakan di bagian broca merupakan dampak dari terganggunya aliran
darah melalui pembuluh darah yang mensuplai bagian ini dengan oksigen dan nutrisi.
Umumnya, afasia broca mencegah seseorang dari membentuk kata atau kalimat yang jelas,
namun mereka masih memahami apa yang orang lain bicarakan. Seringnya, penderita afasia
merasa frustrasi karena mereka tidak bisa menyampaikan pikiran mereka ke dalam kata-kata.
Beberapa penderita afasia bisa mengatakan beberapa kata, yang mereka gunakan untuk
berkomunikasi dalam jenis karakteristik ujaran dikenal sebagai ujaran telegrafik.
2). Stroke infark

Stroke yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak
sehingga bagian otak tersebut mengalami infark. Penyebabnya paling sering berupa
sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli.

4.3 Gejala Klinis

a. Afasia Broca
 Bicara tidak lancar
 Tampak sulit memulai bicara
 Kalimatnya pendek
 Repetisi buruk
 Kemampuan menamai buruk (anomia)
 Pemahaman lumayan
 Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

b. Stroke infark

• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi
tubuh
• Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
• Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
• Penglihatan ganda
• Pusing
• Bicara tidak jelas (rero)
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
• Pergerakan yang tidak biasa
• Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih
• Ketidakseimbangan dan terjatuh
• Pingsan.

 Pemeriksaan Fisik Penyakit

Vital Sign
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 37oC
RR : 22 x/menit
Nadi : 100 x/menit
Tensi : 180/100 mmHg
GCS (Glasgow Coma Scale) : 455
 Inspeksi (LOOK)
- Susah Bicara & Pelo
- Kelumpuhan sisi Kanan Anggota Tubuh
- Tidak bisa Jalan
-
 Palpasi (FEEL)
- Tidak ada nyeri tekan
- Kekuatan Motorik sisi ekstremitas superior dan inferior kanan menurun

 Perkusi
- Thorax dan abdomen normal

 Auskultasi
- Thorax dan abdomen normal

Pemeriksaan Penunjang Penyakit

a. Untuk Afasia Motorik : dilakukan pengujian terhadap 3 hal yaitu


1. Memori yakni kemampuan untuk mengingat hal hal baru maupun lama
2. Orientasi yakni kemampuan untuk mengurutkan suatu kejadian atau peristiwa
3. Kecerdasan yakni kemampuan seseorang untuk berpikir cepat dan tepat dalam
menghadapi suatu masalah
b. Untuk Stroke Infark :
a. CT scan Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke
hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan
diagnosis stroke. (Rahmawati, 2009) 10
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan
mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset
stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan
alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum
dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak bisa memeriksa pasien yang menggunakan
protese logam dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama,
serta harga pemeriksaan yang lebih mahal (Notosiswoyo, 2004).
c. Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah,
elektrolit, analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung,
prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan
kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada
kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan
untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat
maupun magnesium (Rahajuningsih, 2009).
d. Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis
metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis.
Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk
menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap
dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit,
leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan
trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke
BAB V

HIPOTESIS AWAL

Berdasarkan gejala klinis pasien didapat hipotesis awal yang terdiri dari kemungkinan penyakit
pada pasien yaitu :

1. Afasia Motorik
2. Stroke Infark
BAB VI

ANALISIS dari DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Nama : Ny. Tina

Usia : 42 tahun
Status : Sudah menikah

Keluhan utama : Bicara Pelo sejak 2 hari

6.1 Gejala Klinis

1. Riwayat Penyakit Sekarang


 Pusing Kepala sejak 2 hari lalu
 Kelumpuhan pada sisi anggota tubuh sebelah kanan (hemiplegia)

2. Riwayat Penyakit Dahulu


 Hipertensi
 Belum pernah seperti ini sebelumnya
3. Riwayat Keluarga
 Di keluarga tidak ada penyakit seperti ini

4. Riwayat Obat-obatan
- Tidak teratur minum obat penurun darah tinggi

5. Riwayat Sosial
Suka minum kopi dan makan rasa asin

6.2 Pemeriksaan Fisik

Vital sign
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 37oC
RR : 22 x/menit
Nadi : 100 x/menit
Tensi : 180/100 mmHg
GCS (Glasgow Coma Scale) : 455
 Inpeksi(LOOK)
- Susah Bicara & Pelo
- Kelumpuhan sisi Kanan Anggota Tubuh
- Tidak bisa Jalan

 Palpasi (FEEL)
- Tidak ada nyeri tekan
- Kekuatan Motorik sisi ekstremitas superior dan inferior kanan menurun

 Perkusi
- Thorax dan abdomen normal

 Auskultasi
- Thorax dan abdomen normal

6.3 Pemeriksaan Penjunjang

c. Untuk Afasia Motorik : dilakukan pengujian terhadap 3 hal yaitu


4. Memori yakni kemampuan untuk mengingat hal hal baru maupun lama
5. Orientasi yakni kemampuan untuk mengurutkan suatu kejadian atau peristiwa
6. Kecerdasan yakni kemampuan seseorang untuk berpikir cepat dan tepat dalam
menghadapi suatu masalah
d. Untuk Stroke Infark :
a. CT scan Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke
hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan
diagnosis stroke. (Rahmawati, 2009) 10

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance


Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan
mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset
stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis.
Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas
dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak bisa memeriksa
pasien yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan
yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal
(Notosiswoyo, 2004).
c. Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah,
elektrolit, analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung,
prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan
kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada
kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan
untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat
maupun magnesium (Rahajuningsih, 2009).

d. Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis
metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis.
Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk
menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap
dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit,
leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan
trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke
BAB VII

Hipotesa akhir

Keluhan yang disertai pusing kepala dan kelumpuhan pada sisi anggota tubuh sebelah
kanan (hemiplegia ) Di antara beberapa faktor yang menyebabkan kelumpuhan pada sisi
tubuh bagian kanan adalah stroke infrak yaitu penyebabnya adalah kerusakan otak akibat
gangguan suplay darah ke salah satu bagian otak sehingga bagian otak tersebut
mengalami infark. Penyebabnya paling sering berupa sumbatan pembuluh darah oleh
trombus atau emboli.
BAB VIII

Mekanisme diagnosis

Komplikasi : STROKE

Interupsi aliran darah Resiko keterbatasan

Gangguan Penurunan kekuatan kognitif

Vasospasme Neuromuskular dan ketahanan

sereberal

Perubahan perfusi Kehilang kontrol Parestesia paralisis Koordinasi otot

Jaringan otot fasial ( N7 ) berkurang Kurang

pengetahuan

Kelemahan

Kerusakan komunikasi Gangguan mobilitas Kurang perawatan

Verbal fisik diri

Dimodifikasi dari (Doenges, Moorhoose, Geissler, 2000) dan (Tucker, Susan , Martin,1998).
BAB IX

STRATEGI PENYELESAIAN MASALAH

9.1 Penatalaksanaan

1. Obat-obatan stroke

Obat-obatan ini dapat disuntikkan melalui tube tipis (kateter) ke pembuluh darah Anda. Obat
yang paling umum digunakan untuk mengobati stroke adalah tissue plasminogen
activator (TPA). Obat ini membantu mengurai penyumbatan yang terjadi di otak. Obat lainnya
yang diminum dan mungkin digunakan untuk mengencerkan darah dan mengurangi risiko stroke
ulang di masa depan adalah clopidogrel dan warfarin. Statin juga telah terbukti mengurangi
insiden terjadinya stroke.

2. Kraniotomi dekompresi

Stroke yang parah dapat menyebabkan pembengkakan yang serius pada otak. Intervensi melalui
operasi harus dilakukan jika obat-obatan tidak dapat mengurangi pembengkakan ini. Tujuan dari
kraniotomi dekompresi adalah untuk mencegah tekanan di dalam tengkorak membesar sampai
tingkat yang membahayakan.

3. Perubahan gaya hidup

Pencegahan pasca-stroke umumnya fokus pada peningkatan kesehatan jantung. Ini berarti
menurunkan tekanan darah atau mengelola kolesterol dan asam lemak (lipid) dengan lebih baik.
Gaya hidup seperti olahraga teratur, diet sehat, dan obat-obatan.

9.2 Prinsip Tindakan Medis

adanya keluhan pusing kaepala dan kelumpuhan pada sisi anggota tubuh sebelah kanan Tindakan
medis yang dilakukan pada penderita stroke ini meliputi :

2.6.1. Tindakan Operatif

Pertimbangan untuk melakukan operasi biasanya bila perdarahan berada di daerah superficial
(lobar) hemisfer serebri atau perdarahan sereberal. Penentuan waktu untuk operasi masih
bersifat kontroversial. Berdasarkan data mortalitas pasca operasi, disimpulkan bahwa waktu
untuk operasi adalah antara 7-9 pasca perdarahan. Tindakan operasi segera setelah terjadi
perdarahan merupakan tindakan berbahaya karena terjadinya retraksi otak yang dalam
keadaan membengkak. Sementara itu tindakan operasi yang dini dapat menimbulkan
komplikasi iskemi otak.
2.6.2. Tindakan Konservatif

a. Pencegahan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut. Upaya pencegahan peningkatan


tekanan intrakranial (TIK) lebih lanjut adalah pengendalian hipertensi dan pengobatan kejang.
Hipertensi yang menetap akan meningkatkan edema otak dan TIK. Pengendalian hipertensi harus
hati-hati karena apabila terjadi hipotensi maka otak akan terancam iskemia dan kerusakan
neuron. Obat yang di anjurkan dalam mencegah peningkatan TIK adalah beta bloker atau obat
yang mempunyai aksi beta dan alfa bloking (misalnya labetolol), diberikan secara intravena di
kombinasikan dengan deuretika.
BAB X

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

10.1 MENYAMPAIKAN PROGNOSIS pada PASIEN / KELUARGA

 Menyampaikan pada keluarga Bu Tina bahwa kondisi darurat yang dapat


mengancam jiwa penderitanya sehingga harus segera di tangani dengan baik.
 Memberitahu apabila penatalaksanan dilakukan dengan baik, maka Bu Tina akan dapat
pulih kembali meskipun tidak 100%
 Membertitahu apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik, maka ia akan berada
pada risiko tinggi untuk terulangnya kembali serangan stroke.
10.2 TANDA untuk MERUJUK PASIEN

Komplikasi penyakit

10.3 PERAN PASIEN / KELUARGA untuk PENYEMBUHAN

1. Membuat catatan tentang obat, kegiatan, dan kemajuan yang telah dilakukan pasien pasca
stroke.
2. Memotivasi pasien pasca stroke diantaranya adalah dengan memberi obat secara teratur.
Jangan menghentikan dan mengubah dosis obat tanpa petunjuk dokter.
3. Membantu kebutuhan pasien, perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah,
memotivasi pasien agar tetap bersemangat dalam latihan terapi fisik, memeriksa tekanan
darah secara teratur, dan lainnya
4. Meminta bantuan layanan perawatan kesehatan untuk perawatan atau terapi (fisioterapi,
okupasi, dan bicara) setelah keluar dari rumah sakit.
10.4 Pencegahan Penyakit

Pencegahan pasca-stroke umumnya fokus pada peningkatan kesehatan jantung. Ini berarti
menurunkan tekanan darah atau mengelola kolesterol dan asam lemak (lipid) dengan lebih baik.
Gaya hidup seperti olahraga teratur, diet sehat, dan obat-obatan.
BAB XI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari data yang kami diskusikan, kami dapat menyimpulkan bahwa kelumpuhan pada sisi
anggota tubuh sebelah kanan Bu Tina disebabkan oleh adanya ke rusakan otak akibat gangguan
suplay darah ke salah satu bagian otak sehingga bagian otak tersebut mengalami infark.
Penyebabnya paling sering berupa sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli.
DAFTAR PUSTAKA

- Hasan. 2009. Stroke Infark & Implikasinya. (Diakses pada 10 mei 2019 dalam
https://drhasan.wordpress.com/2009/01/30/stroke-infark-implikasinya/ )
- Dr. Iskandar Japardi. 2002. Patogenesis Stroke Infark Kardioemboli. (diakses pada 10
Mei 2019 dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi33.pdf )
- Alway, D, 2009. Esensial Stroke untuk Layanan Primer. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/30235/chapter%20II.pdf;jsession
id=FDDBBF29846F3263CE06673535F56AFB?sequence=3 )

Anda mungkin juga menyukai