Anda di halaman 1dari 37

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR COLLUM FEMUR DI POLI ORTHOPEDI
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Feronika Kurniawati, S.Kep
NIM 162311101308

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR COLLUM FEMUR DI POLI ORTHOPEDI
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Disusun untuk memenuhi tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Bedah

Oleh:
Feronika Kurniawati, S.Kep
NIM 162311101308

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR COLLUM FEMUR

1. Anatomi Tulang femur


Os femur merupakan tulang pipa terpabjang dan terbesar yang terhubung
dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris.
Disebelah atas dan bawah kolumna femoris tedapat taju yang disebut trokanter
mayordan minor. Dibagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua
buah tonjolan yang disebut kondilus medialis dan kondilus lateralis. Diantara
kedua kondilus ini terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut
(patella) yang disebut dengan fosa kondilus.

Gambar 1. Anatomi Tulang Femur


2. Definisi Fraktur Collum Femur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur
femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu
seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Muttaqin, 2008). Sedangkan fraktur
kolum femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian
proksimal femur, yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian
distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal dari
intertrokanter (Smeltzer & Bare, 2002).

3. Etiologi Fraktur Collum Femur


Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan
lebih sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat
kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur
collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh
trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari
tungkai bawah. Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga
yaitu:
a. Cedera traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat
berbagai keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan
jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau
tekanan pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan
orang yang bertugas di bidang kemiliteran.

4. Klasifikasi Fraktur Collum Femur


a. Fraktur collum femur yang dibagi dalam dua tipe, yaitu:
1. Fraktur intrakapsuler
2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Gambar 2. Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler


b. Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel’s dibagi menjadi:
1) Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30° dengan bidang
horizontal pada posisi tegak
2) Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50° dengan bidang
horizontal pada posisi tegak
3) Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50° dengan bidang
horizontal

Gambar 3. Klasifikasi Pauwel’s untuk Fraktur Collum Femur

Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan
bidang horizontal pada posisi tegak.

c. Dislokasi atau tidak fragment (menurut Garden’s) adalah sebagai


berikut:
1) Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi)
2) Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran
3) Grade III : Fraktur lengkap dengan
pergeseran sebagian (varus malalignment)
4) Grade IV : Fraktur dengan pergeseran
seluruh fragmen tanpa ada bagian segmen yang
bersinggungan.
Gambar 4. Klasifikasi Garden’s untuk Fraktur Kolum Femur

5. Manifestasi Klinis Fraktur Collum Femur


Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur, yakni:
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya. Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.
2) Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3) Ekimosis dari perdarahan subculaneous
4) Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)
5) Tenderness
6) Nyeri; Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang
dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi
8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi
Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat
namun pada penderita usia tua biasanya hanya dengan trauma ringan sudah
dapat menyebabkan fraktur collum femur. Penderita tidak dapat berdiri karena
rasa sakit sekali pada pada panggul. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan
eksorotasi. Didapatkan juga adanya pemendekakan dari tungkai yang cedera.
Tungkai dalam posisi abduksi dan fleksi serta eksorotasi.pada palpasi sering
ditemukan adanya hematom di panggul. Pada tipe impacted, biasanya
penderita masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tidak begitu hebat.
Posisi tungkai tetap dalam keadaan posisi netral.
Pada pemeriksaan fisik, fraktur kolum femur dengan pergeseran akan
menyebabkan deformitas yaitu terjadi pemendekan serta rotasi eksternal
sedangkan pada fraktur tanpa pergeseran deformitas tidak jelas terlihat.
Tanpa memperhatikan jumlah pergeseran fraktur yang terjadi, kebanyakan
pasien akan mengeluhkan nyeri bila mendapat pembebanan, nyeri tekan di
inguinal dan nyeri bila pinggul digerakkan.

6. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Collum Femur


Proyeksi AP dan lateral serta kadang juga dibutuhkan axial. Pada
proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang
impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser
(stadium I dan II Garden) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara
fraktur yang bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.
7. Penatalaksanaan Fraktur Collum Femur
Impacted Fraktur
Pada fraktur intrakapsuler terdapat perbedaan pada daerah collum
femur dibanding fraktur tulang di tempat lain. Pada collum femur-
periosteumnya sangat tipis sehingga daya osteogenesinya sangat kecil,
sehingga seluruh penyambungan fraktur collum femur tergantung pada
pembentukan calus endosteal. Lagipula aliran pembuluh darah yang
melewati collum femur pada fraktur collum femur terjadi kerusakan.
Lebih-lebih lagi terjadinya haemarthrosis akan menyebabkan aliran darah
sekitar fraktur tertekan alirannya. Sehingga apabila terjadi fraktur
intrakapsuler dengan dislokasi akan terjadi avaskular nekrosis.

Penanggulangan Impacted Fraktur:


Pada fraktur collum femur yang benar-benar impacted dan stabil,
penderita masih dapat berjalan selama beberapa hari. Gejalanya ringan,
sakit sedikit pada daerah panggul. Kalau impactednya cukup kuat penderita
dirawat 3-4 minggu kemudian diperbolehkan berobat jalan dengan
memakai tongkat selama 8 minggu. Kalau pada x-ray foto impactednya
kurang kuat ditakutkan terjadi disimpacted, penderita dianjurkan untuk
operasi dipasang internal fixation. Operasi yang dikerjakan untuk
impacted fraktur biasanya dengan multi pin teknik percutaneus.

Penanggulangan dislokasi fraktur collum femur


Penderita segera dirawat dirumah sakit, tungkai yang sakit dilakukan
pemasangan tarikan kulit (skin traction) dengan buck-extension. Dalam
waktu 24-48 jam dilakukan tindakan reposisi, yang dilanjutkan dengan
pemasangan internal fixation. Reposisi yang dilakukan dicoba dulu dengan
reposisi tertutup dengan salah satu cara yaitu: menurut leadbetter. Penderita
terlentang dimeja operasi
Asisten memfiksir pelvis. Lutut dan coxae dibuat fleksi 90 untuk
mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi
paha ditarik ke atas, kemudian dengan pelan-pelan dilakukan gerakan
endorotasi panggul 45. Kemudian sendi panggul dilakukan gerakan
memutar dengan melakukan gerakan abduksi dan ekstensi. Setelah itu
dilakukan test.
Palm heel test: tumit kaki yang cedera diletakkan diatas telapak
tangan. Bila posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi
berarti reposisi berhasil baik. Setelah reposisi berhasil dilakukan tindakan
pemasangan internal fiksasi dengan teknik multi pin percutaneus. Kalau
reposisi pertama gagal dapat diulangi sampai 3 kali, dilakukan open
reduksi. Dilakukan reposisi terbuka setelah tereposisi dilakukan internal
fiksasi. Macam-macam alat internal fiksasi diantaranya: knowless pin,
cancellous screw, dan plate.
Pada fraktur collum femur penderita tua (>60 tahun)
penanggulangannya agak berlainan. Bila penderita tidak bersedia dioperasi
atau dilakukan prinsip penanggulangan, tidak dilakukan tindakan internal
fiksasi, caranya penderita dirawat, dilakukan skin traksi 3 minggu sampai
rasa sakitnya hilang. Kemudian penderita dilatih berjalan dengan
menggunakan tongkat (cruth). Kalau penderita bersedia dilakukan operasi,
yaitu menggunakan tindakan operasi arthroplasty dengan pemasangan
prothese austine moore.
,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien,
seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya makan,
mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri terhadap
perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan gangguan citra diri.
h) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
8. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

2) Kesadaran penderita:

Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna

Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan pemeriksaan


penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus

Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan

Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan menjawab


pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.

e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas),


hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian
distal yang cidera, capilary refil melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan
masa hematoma pada sisi cedera.
f. Keadaan Lokal

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :


1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak


biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu
dicatat adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan


kelembaban kulit.

Capillary refill time Normal


(3 – 5) detik

b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau


oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau
tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang
(4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito,
1
9
9
9
)

3) Move (pergerakan terutama


lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan


menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. ( Arif
Muttaqin, 2008 )

9.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan
Sinar- X harus atas dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada
Sinar-X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, sebagai berikut
(Muttaqin, 2008):
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang
3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat (Muttaqin, 2008)

c. Pemeriksaan lain-lain (Muttaqin, 2008):


1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Pada umunya keluhan utama yang dirasakan oleh pasien yang
mengalami fraktur adalah nyeri. Biasanya sebagian kasus fraktur
ditangani di ruang IGD dan mendapatkan penanganan awal
tergantung dengan kondisi dan lokasi frakturnya. Saat
dilakukannya pengkajian tentang nyeri gunakan pedoman PQRST
agar data nyeri dapat diperoleh secara lengkap
1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi
fraktor presipitasi nyeri
2) Qulity of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk
3) Region: dimana letak/ lokasi nyeri yang dirasa,di bagian
tubuh sebelah mana
4) Severity (scale) of Pain: Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat penyakit sekarang
Data yang telah terkumpul dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
keperawatan terhadap klien. Data ini dapat berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Kemudian dapat diketahui bagaimana mekanisme terjadinya
kecelakaan yang dialami klien, dan bagaimana upaya yang
dilakukan klien dan keluarganya untuk mengatasi keluhan utama
tersebut (seperti pertolongan awal di tukang pijit, di bawa ke
pelayanan kesehatan terdekat, menggunakan obat-obatan toko, dll)
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
e. Pengkajian Keperawatan
1) Persepsi Kesehatan & pemeiharaan kesehatan meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
mengganggu metabolism kalsium, mengkonsumsi alcohol yang
bisa mengganggu keseimbangan dan kebiasaan klien
melakukan olahraga.
2) Pola nutrisi dan Metabolik
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3) pola aktivitas & latihan:, karena adanya nyeri, keterbatasan
gerak menyebabkan semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan klien membutuhkan bantuan orang lain.
Aktivitas klien sebelumnya juga perlu dikaji terutama
pekerjaan klien, karena ada beberapa jenis pekerjaan berisiko
untuk menyebabkan terjadinya fraktur.
4) Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan
bangun tidur. Klien fraktur akan mengalami nyeri dan
menyebabkan keterbatasan gerak sehingga menggangu waktu
tidur dan istirahat klien.
5) Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori,
fungsi dan keadaan indera. Biasanya klien akan mengalami
gangguan pada indra peraba terutama pada bagian distal
fraktur.
6) Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri,
ideal diri, dan peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang
mengalami fraktur yaitu ketakutan akan kecacatan akibat
fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya yang
salah.
7) Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi
reproduksi. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
nyeri yang dialami.
8) Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat
inap.
9) Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang
dialami klien dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien
akan kecacatan yang dapat timbul pada dirinya.
10) Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun
masyarakat. Klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama terhadap frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah akibat nyeri dan keterbatasan
gerak.
2. Pemeriksaan fisik
Ini dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami pasien
secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey
(dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien) dan secondary
survey (untuk mengetahui gerakan pasien apakah masih
diangganormal atau tidak). Berikut hal yang harus di kaji:
a. Kedaan umum (GCS, TTV)
b. Pengkajian Fisik berupa inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi: kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada,
abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit dan kuku, dan keadaan
local
1) Kepala
Untuk faraktur Antebrachii, bagian kepala tidak ada gangguan
tidak ada penonjolan tidak ada nyeri kepala
2) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada
3) Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema
4) Mata
Jika terjadi perdarahan, maka terlihat ada gangguan di
konjungtiva mata yaitu anemis
5) Telinga
Biasanya tampak normal
6) Hidung
Tidak ada deformitas

7) Mulut dan Faring


Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
8) Thoraks ( Paru dan Jantung)
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru, pada
jantung jarang ditemukan kelainan dikarenakan penyebab
fraktur femur ,hanya karena kondisi pasien yang mengalami
nyeri hebat akan mengaalami peningkatan nadi (Takhikardi)
9) Keadaan Lokal
Perlu diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler, (untuk status
neurovaskuler 5P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look/inspeksi
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
 Pada keadaan sindrom kompatemen tampak daerah
fraktur terlihat pucat dan mengalami pembengkakan
(oedem)
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak
untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi,
rotasi dan pemendekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada
trauma pada organ-organ lain
b) Feel/palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita
biasanya mengeluh sangat nyeri terutama pada pasien
yang mengalami sindrom kompartemen . Hal-hal yang
perlu diperhatikan:
 Nyeri tekan
 Krepitasi
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma,
dapat terjadi kehilangan /berkurangnya nadi
(pulselesness) akibat adanya penurunan perfusi jaringan
pada daerah trauma
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah
untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
c) Move/gerakan
 Periksa pergerakan dengan mengajak penderita
untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi
proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma
 Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak
boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti
pembuluh darah dan saraf
 Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila
fraktur digerakkan, tetapi ini bukan cara yang baik dan
kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran atau
beradunya ujung-ujung tulangkortikal. Pada tulang
spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa
krepitasi.
 Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi,
gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of
motion dan kekuatan serta kita melakukan pemeriksaan
untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau
tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang
tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur
dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya
fraktur yang membuktikan adanya putusnya kontinuitas
tulang sesuai definisi fraktur. Hal ini penting untuk
membuat visum, misalnya bila tidak ada fasilitas
pemeriksaan rontgen.

A. Diagnosa Keperawatan yang mugkin muncul


Pre Post
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan, prosedur tindakan
pembedahan
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
4. Resiko syok hipovolemik b/d perdarahan pada daerah trauma

Post Op
1. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
2. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
3. Resiko Risiko sindrom disuse berhubungan dengan program
imobilisasi
4. Kerusakan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
B. Rencana Asuhan Keperawatan
Pre Ops
no Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Mampu mengontrol nyeri Paint management
fraktur tulang, spasme otot, keperawatan selama 1X6 jam (tahu penyebab nyeri, 1. Kaji nyeri secara komprehensif
edema, kerusakan jaringan lunak diharapkan nyeri dapat mampu menggunakan (lokasi, karakteristik, durasi,
berkurang tehnik nonfarmakologi frekuensi, kualitas, dan faktor
untuk mengurangi nyeri, presipitasi)
NOC: mencari bantuan) 2. Beri penjelasan mengenai
1. Pain level 2. Melaporkan bahwa nyeri penyebab nyeri
2. Pain control 3. Observasi reaksi nonverbal dari
berkurang dengan
3. Comfort level ketidaknyamanan
menggunakan manajemen
4. Segera immobilisasi daerah
nyeri
3. Mampu mengenali nyeri fraktur
5. Tinggikan dan dukung
(skala, intensitas,
ekstremitas yang terkena
frekuensi, dan tanda
6. Ajarkan pasien tentang
nyeri)
alternative lain untuk mengatasi
4. Menyatakan rasa nyaman
dan mengurangi rasa nyeri
setelah nyeri berkurang
7. Ajarkan teknik manajemen stress
misalnya relaksasi nafas dalam
8. Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain dalam pemberian obat
analgeik sesuai indikasi
2 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien mampu Anxiety reduction (penurunan
status kesehatan, prosedur keperawatan selama 3X24 jam mengidentifikasi dan kecemasan)
tindakan pembedahan dan hasil diharapkan cemas berkurang mengungkapkan gejala 1. Kaji tingkat kecemasan pasien
akhir pembedahan cemas (ringan, sedang, berat, panik)
NOC: 2. Mengidentifikasi, 2. Dampingi pasien
1. Anxiety self control mengungkapkan dan
2. Anxiety level 3. Ber support sistem dan motivasi
menunjukkan tehnik
3. Coping pasien
untuk mengontrol cemas
4. Beri dorongan spiritual
3. Vital sign dalam batas
5. Jelaskan jenis prosedur dan
normal
tindakan pengobatan
4. Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya kecemasan
3 Kurangnya pengetahuan Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien dan keluarga Teaching: disease process
berhubungan dengan kurangnya keperawatan 1x24 jam pasien menyatakan pemahaman 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
paparan informasi yang ada akan menunjukkan tentang penyakit, kondisi, dan keluarga
pengetahuan tentang proses prognosis, dan program 2. Jelaskan patofisiologi dari
penyakit dengan benar pengobatan penyakit dan bagaimana hal ini
2. Pasien dan keluarga berhubungan dengan anatomi
NOC: mampu melaksanakan dan fisiologi dengan cara yang
1. Knowledge: disease prosedur yang dijelaskan tepat
secara benar 3. Gambarkan tanda dan gejala
process
2. Knowledge: health 3. Pasien dan keluarga yang biasa muncul pada
behavior mampu menjelaskan penyakit dengan cara yang tepat
kembali apa yang dan gambarkan proses penyakit
dijelaskan perawat/tim dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya 4. Sediakan bagi keluarga
informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat
5. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
4 Risiko syok hipovolemi Setelah dilakukan tindakan 1. Nadi dalam batas yang Shock prevention
berhubungan dengan perdarahan keperawatan 1x6 jam syok diharapkan 1. Monitor status sirkulasi
dapat dihindari 2. Irama jantung dalam (tekanan darah, warna kulit,
batas yang diharapkan suhu kulit, denyut jantung,
NOC : 3. Frekuensi nafas daam ritme, nadi perifer, dan CRT)
1. Shock prevention batas yang diharapkan 2. Monitor tanda inadekuat
2. Shock management 4. Irama pernafasan dalam oksigenasi jaringan
batas yang diharapkan 3. Monitor input dan output
5. Natrium serum dalam 4. Monitor tanda awal syok
batas normal 5. Kolaborasi pemberian cairan IV
6. Kalium serum dalam dengan tepat
batas normal
7. Klorida serum dalam
batas normal
8. Kalsium serum dalam
batas normal
9. Magnesium serum dalam
batas normal
10. Ph darah serum dalam
batas normal

Post Ops
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1 Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien meningkat dalam Exercise therapy: ambulation
keperawatan selama 2X24 jam aktivitas fisik 1. Kaji derajat immobilisasi yang
fisik b/d kerusakan 2. Mengerti tujuan dari dihasilkan oleh cidera
diharapkan pasien mampu
rangka neuromuskuler, melakukan mobilitas fisik peningkatan mobilitas 2. Dorong partisipasi pada aktivitas
3. Memverbalisasikan terapeutik
nyeri, terapi restriktif NOC: perasaan dalam 3. Bantu pasien dalam rentang gerak
(imobilisasi) 1. Joint movement: active meningkatkan kekuatan dan aktif atau pasif
2. Mobility level kemampuan berpindah 4. Ubah posisi secara periodik
3. Self care: ADL 4. Memperagakan penggunaan 5. Kolaborasi dengan ahli
4. Transfer performance terapi/okupasi/rehabilitasi medis
alat bantu untuk mobilisasi

2 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien terbebas dari Infection control
keperawatan 1x6 jam infeksi tanda dan gejala infeksi 1. Inspeksi kulit adanya iritasi
ketidakadekuatan 2. Mendeskripsikan atau robekan kontinuitas
dapat dihindari
pertahanan primer proses penularan penyakit, 2. Kaji kulit yang terbuka
NOC: faktor yang mempengaruhi terhadap peningkatan nyeri, rasa
(kerusakan kulit, terbakar, edema, eritema,
1. Immune status penularan serta
taruma jaringan lunak, 2. Risk control penatalaksanaannya drainase/bau tidak sedap
3. Knowledge: Infection 3. Jumlah leukosit dalam 3. Berikan perawatan kulit
prosedur invasif/traksi
control batas normal dengan steril dan aseptik
tulang) Menunjukkan perilaku hisup 4. Tutup dan ganti balutan
sehat dengan prinsip steril
5. Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain terkait pemberian
obat antibiotik sesuai indikasi

3 Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Pasien terbebas dari Environment management
kulit b/d fraktur keperawatan selama 3X24 jam cidera 1. Kaji kulit untuk luka terbuka
diharapkan cidera/injuri tidak 2. Pasien mampu terhadap benda asing, kemerahan,
terbuka, pemasangan menjelaskan cara/metode
terjadi perdarahan, perubahan warna
traksi (pen, kawat, untuk mencegah 2. Massage kulit, pertahankan
NOC: injuri/cedera tempat tidur kering dan bebas
sekrup) Risk control 3. Pasien mampu kerutan
menjelaskan faktor resiko 3. Ubah posisi dengan sering
dari lingkungan/perilaku 4. Bersihkan kulit dengan air
personal hangat
4. Mampu memodifikasi 5. Lakukan perawatan luka
gaya hidup untuk mencegah secara steril
injury
5. Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
6. Mampu mengenali
perubahan status kesehatan
4 Resiko Risiko sindrom Setelah dilakukan tindakan 1. ekstensi 0 derajat secara NIC
keperawatan 1x24 jam normal (R dan L) 1. Tentukan batasan pergerakan
disuse berhubungan
pasien , dapat menunjukkkan sendi dan efeknya terhadap
dengan program sikap aktif padapasien unuk 2. flexi 130 deajat (R dan L) fungsi sendi
mau lathan secara normal 2. Jelaskan pada pasien atau
imobilisasi
3. Hiperekstensi 15 derajat keluarga manfaat dan tujuan
NOC (R dan L) secara normal melakukan pergerakan sendi
1. Pergerakan Sendi: lutut 3. Bantu pasien mendapatkan
posisi tubuh yang optimal untuk
pergerakan sendi pasif maupun
aktif
4. Dukung latihan ROM aktif,
sesuai jadwal yang teratur dan
terencana
5. Lakukan latihan ROM pasif
atau ROM dengan bantuan,
sesuai indikasi
6. Bantu pasien membuat jadwal
latihan ROM aktif
7. Sediakan dukungan positif
dalam melakukan latihan sendi
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. et.al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth


Edition. United Stated of Amerika: Elsevier Mosby.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. 2006. Rencana Asuhan


Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC .

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (Eds). 2015. Nursing Diagnoses: Definition and
Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Moorhead, Sue. et.al. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC)


Measurement of Health Outcomes.Fifth Edition. United Stated of Amerika:
Elsevier Mosby.

Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit Edisi ke 2. Jakarta : EGC

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.

Price, S.A & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai