Anda di halaman 1dari 10

Namaku Kennocha Naveen. Aku Anak Ketiga dari Lima Bersaudara.

Kami
berlima memiliki satu persamaan. Coba tebak?? Ya, jenis kelamin kami semua sama.
Anak perempuan. Sebenarnya bukan hal aneh ya. Namun bila melihat sampul kami,
pasti akan terheran-heran. Seolah hanya aku yang normal di dalam kamar ini.

Karena jarak kami berdekatan, aku terbiasa berinteraksi sehingga tidak sulit
bagiku berkomunikasi dengan orang lain. Orang tuaku memang hebat, bisa
membiasakan kami mandiri sewaktu kecil. Sehingga aku tidak menjadi anak manja
sekalipun ekonomi orang tuaku termasuk golongan berkecukupan. Pernah sekali ibu
membawaku ke pengadilan. Dari sana aku tertarik untuk mempelajari tentang hukum.

Disinilah aku sekarang. Sebagai mahasiswa semester 3(tiga) Fakultas Hukum


di sebuah universitas terkemuka. Ketika aku memasuki dunia perkuliahan, ayahku
mengalami kebangkrutan. Usaha yang digelutinya semenjak usia muda kehilangan
klien disebabkan persaingan pasar. Karena aku tidak ingin menambah beban mereka,
aku berinisiatif untuk mencari uang saku tambahan. Aku tidak pernah memaksa Ayah
mengirim uang saku bulanan. Namun Ayahku bertekad untuk menyelesaikan
pendidikan kami, kelima anaknya.

Pekerjaan sampingan yang aku tekuni pernah membuatku hampir di skors.


Namun, aku tidak menyerah karena aku yakin dibalik kesusahan pasti ada
kemudahan. Suatu hari ketika aku beranjak tidur ada notifikasi tanda sebuah pesan
masuk. Pesan itu dari Syaamil. Salah satu teman yang berhasil mencuri fikiranku
disaat yang tidak tepat. Meskipun sekuat tenaga aku mengabaikannya, ia selalu
berhasil muncul dalam ingatanku. Sebuah pesan yang membuatku ragu-ragu untuk
membacanya. Tapi, kuputuskan untuk tetap membukanya.

“ Pengirim: Syaamil

Assalamualaikum Wr. Wb, Ken.. ini aku Syaamil. Kamu apa kabar?
masih menekuni kerja sambilan nggak? aku ada penawaran nih buat kamu.
Jika berminat balas pesanku ya. Wassalamualaikum Wr. Wb ”

Syaamil merupakan temanku dari jurusan yang sama. Ia adalah sosok anak
yang patut dijadikan panutan. Selain dia memiliki segudang prestasi, ia juga memiliki
kecerdasan diatas rata-rata. Terbukti dengan index prestasi di tiap semester yang
selalu dibicarakan oleh salah satu dosenku. ketangkasannya dalam berdebat juga
berhasil membawa jurusanku memenangkan kejuaraan antar fakultas setiap tahunnya.
Dia juga menjadi salah satu penerima beasiswa dari pihak swasta di universitas.
Selain itu, ia merupakan imam di masjid sekitar daerah tempat tinggalnya. Sungguh
anak yang berbakti, bukan?
Terkait pesannya itu, memang sih, saat ini aku masih memiliki pekerjaan.
Namun sayang rasanya bila menyia-nyiakan kesempatan. Hal seperti ini tidak akan
terulang dua kali. Alih-alih membalas pesan, aku justru menelepon Syaamil saat itu
juga.

“Halo assalamualaikum Syaamil” kataku, segera setelah terhubung.

“Waalaikumsalam, dengan Syaamil disini”

“Ini aku loh, Kennocha. Aku menelepon perihal pesanmu barusan”

“Oh begitu, baiklah. Apa kamu tertarik? Tapi kamu harus gigih loh. Aku
pastikan gajinya tidak akan mengecewakan”

“Halal kan? Kamu tau standarku.”

“Iya, tenang saja. Aku tau Ken. Bagaimana?”

“Baiklah. Boleh deh. Lumayan buat ngeprint jurnal, hehehe”

“Oke.. Besok temui aku di taman digital Ba'da Ashar ya”

“Oke. Sudah dulu yaa. Sampai jumpa besok. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Sepertinya pembahasan bersama Syaamil akan menjadi diskusi yang panjang.


Tak kusangka seorang Syaamil mengajakku bertemu. Seingatku Syaamil bukan lelaki
yang mudah berhadapan dengan wanita. Apalagi janjian begitu. Kupendam dalam-
dalam pemikiranku malam ini. Semoga hal yang Syaamil janjikan sesuai dengan
harapanku. Bisa kukirimkan pada Ibu bila pemasukanku bertambah lagi. Kupejamkan
mataku setelah melihat jarum pendek jam telah melewati angka Sembilan.

- Keesokan harinya -

Hari ini mata kuliahku selesai tepat jam empat sore. Syaamil sudah menghu-
bungiku 15 menit yang lalu. Hampir aku melupakan janjiku dengan Syaamil. Baiklah
ada rezeki yang harus dijemput, pikirku. Dengan bergegas aku melangkah menuju
taman digital yang tidak jauh dari kelasku. Meskipun sedikit bimbang namun aku
tetap melanjutkan perjalananku menuju taman digital.

Sesampainya disana kulihat beberapa lingkaran, terlihat seperti membicarakan


hal yang serius. Ya, taman digital terkenal sebagai tempat berkumpulnya anak
organisasi. Selain karena wilayah yang luas dan teduh, disini juga disediakan Wi-Fi
gratis oleh pihak universitas. Ada juga kumpulan anak yang membaca Al-Qur'an,
Masya Allah.. Indah sekali bukan. Hampir lupa tujuanku kesini adalah bertemu
dengan Syaamil. Kuraih Handphone yang ada di saku baju, untuk menanyakan
keberadaan Syaamil.

“kamu dimana? Aku tepat dibelakang pohon rindang sisi kiri Taman”

Kupandangi sekitar, dan kulihat Syaamil berdiri tepat disebelah pohon


dibelakangku. Beberapa detik aku terdiam. Mataku tak beralih darinya hingga ia
melambaikan tangan dengan tersenyum. Jantungku berdegup kencang. Sesaat
setelahnya kalimat Istigfar terus terucap dalam hatiku. Sungguh malu rasanya.

“lama sekali kamu datang, aku sudah menunggumu daritadi” Ucapnya.

“aku masih menghadiri kelas pak bambang tadi” jawabku malu-malu.

“baiklah ayo ikut aku”

“kemana”

“ayo, duduk disana” sembari menunjuk sebuah pojokan.

Betapa terkejutnya aku saat melihat pojokan yang dimaksud Syaamil. Aku
hanya terdiam dan tidak mengikuti langkah Syaamil. Namun, ia terlihat semakin
menjauh dari pandanganku. Dengan perasaan ragu, kupanggil kembali Syaamil yang
sudah jauh melangkah.

***

“Syaamil...”

“iya ken? kenapa? ayo kesini”

“beneran disana?”

“ya bener lah”

“i.. iya.. yaudah deh...”

***
Bukan main kalutnya perasaanku saat itu. Pojokan yang ditunjuk Syaamil
telah didatangi hampir sekitar 30 orang. Laki-laki dan perempuan sama banyaknya.
Ah.. Mungkin ini proses seleksi, pikirku.

Langkah Syaamil menuntun jalanku menuju pojokan itu. Tidak ada satu
orangpun yang kukenali. Syaamil bertemu dengan temannya. Mereka mengobrol
santai membahas sesuatu yang tidak aku pahami. Aku putuskan untuk duduk di salah
satu kursi kosong mengingat betapa lelah nya aku hari ini. Kupandangi sekeliling, ada
banyak sekali kehidupan disini. Allah SWT mengatur segalanya dengan sangat
sempurna. Subhanallah..

“Assalamualaikum.. Afwan, ada orang yg duduk disini? Bila tidak izinkan ana
duduk bersama” sayup suara terdengar membuyarkan lamunanku.

“Waalaikumsalam.. Tidak ada kok, silahkan” jawabku mantap.

“Datang dengan siapa kemari?”

“Dengan teman, beliau sudah lebih dulu menekuni pekerjaan ini”

“Boleh tau teman-nya siapa ya?”

“Atas nama Syaamil”

“Oalaaaah bang Syaamil toh, kamu ini Ken rupanya. Waaaah bang Syaamil
itu sudah cerita banyak tentang kamu. Oh iya sampai lupa toh belum perkenalan.
Saya Arra partner kerja Syaamil, kami terjun ditahun yang sama. Yuk, ikut saya, biar
dikenalin sama yang lain.”

“Oh yaa? Waahh.. Syaamil cerita apa ya, aku jadi penasaran hehe.. Tapi
sejujurnya aku malu bertemu yang lainnya.”

“Tidak usah sungkan, kami ini sebenarnya ramah kok, wajahnya saja yang
garang” Ucap Arra sambil tertawa.

***

Ternyata Syaamil hanya memanfaatkan relasinya dalam bidang ini. Aku


faham betul bagaimana pembawaan Syaamil. Pantas saja ia berhasil sedemikian
sukses nya, ternyata ia memilih jalur karir yang tepat. Pekerjaan ini tidak memerlukan
banyak waktu khusus, dikerjakan kala senggang pun, bila kita tekun, Inshaa Allah
membuahkan hasil.
Dengan modal pendaftaran dan biaya administrasi, aku resmi menjadi bagian
dari perusahaan tempat Syaamil bekerja. Perusahaan ini merupakan wadah investasi
yang dapat dimiliki oleh mahasiswa, karena syarat yang terbilang cukup mudah dan
omzet yang ditawarkan menggiurkan. Perusahaan ini juga menyediakan alat
elektronik seperti Handphone, Laptop, Setrika, dll yang dapat dimiliki dengan sistem
Arisan1.

Seusai pelaksanaan mentoring tersebut, Syaamil menawarkan untuk


mengantarku pulang. Dengan sopan kutolak tawarannya. Aku tau tujuan nya berbeda
arah denganku. Ia harus memutar dua kali di persimpangan bila harus mengantarku.

Sebelum pulang, Syaamil menanyakan bagaimana pendapatku mengenai


pekerjaan itu. Campur aduk perasaanku kini. Memang benar apa yang dikatakan
Syaamil barusan. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk memulainya.

***

7 hari sudah aku mendiamkan Syaamil. Jangankan telfon, sms nya saja
kubiarkan tak terbuka. Aku belum menemukan jalan mana yang harus kutempuh.
Padahal, Syaamil memberiku waktu 3 hari untuk memikirkannya.

***

“Sssshh.. Ngapa diam aja Ken? itu lo bapak nanya disahut” Ocehan Lyan
membuyarkan lamunanku.

“eh.. Iya pak, kenapa tadi pak?” tanyaku pada bapak dosen yang sempat
kudiamkan. Lyan hanya menggeleng melihatku. Setelah kelas dibubarkan, aku
dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan obsesif nya. Aku hanya diam dan
tersenyum getir.

“aku lagi bingung, Yan.”

“bingung kenapa? Ada Allah kok ya tempat mengadu”

“sudah, tetap belum ada jalannya, Yan”

“ada masalah apa kamu, Ken?”

1
Arisan. n. Kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang
kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian
dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.
.

Hari itu kuhabiskan dengan berdiskusi bersama Lyan. Keputusan memang ada
di tanganku. Namun ucapan Lyan ada benarnya juga. Kuhubungi Syaamil dengan
segera. Ada senyum yang tak sempat kusembunyikan saat kulihat namanya tertera di
layar.

***

Berkat kecakapanku berkomunikasi, tidak sulit rasanya pekerjaan ini. Dalam


waktu seminggu, aku berhasil mengumpulkan 10 mahasiswa. Lantunan syukur
mengalir lancar dari mulutku. Terbayang wajah ayah dan ibu sumringah saat
mengetahui pekerjaanku ini. Kuputuskan untuk menelepon mereka malam nanti.

“Assalamualaikum Bapak, sehat pak? Ibu dimana?”

“Kamu ini tidak pernah berubah, cerewet sekali, bapak belum sempat
ngomong sepatah kata lo ya, Alhamdulillah bapak sehat. Ibu juga alhamdulillah baik-
baik saja, kamu apa kabarnya nak?”

“Hehehe.. Sehat Alhamdulillah pak. Oiya pak, aku sekarang nggak kerja
partime lagi pak. Aku ikut temenku jadi pebisnis investasi. Sepertinya jiwa bisnis
bapak turun ke aku, seneng aku pak”

“bapak turut senang nak, kamu memang anak mandiri. Satu pesan bapak,
jangan gegabah dan tetaplah rendah hati. Banyak sekali yang harus diwaspadai saat
kita terjun dalam dunia bisnis, nak. Dunia bisnis itu bisa sangat terang benderang atau
menjadi gelap pekat tanpa setitik cahaya.” Kata bapak memulai nasihatnya. Kuhayati
semua kalimat yang diucapkan bapak. 15 Menit berlalu, sayup-sayup kudengar suara
ibu ditelepon.

“bapak, aku mau ngomong sama ibuuuu” ucapku.

“mau ngomong sama ibuknya kok telpon ke bapak, heraaaan”

Bapak segera memberikan teleponnya pada ibu. Malam itu kuhabiskan


berbincang dan bercanda hingga mataku lelah.

***

Hari-hariku berikutnya kuhabiskan untuk menekuni pekerjaan baruku. Aku


telah resign dari pekerjaan sampingan yang aku geluti sebelumnya. Semangatku
bangkit mengingat perbincangan dengan ibu beberapa hari yang lalu. Tidak seperti
dugaanku, respon ibu seperti menggantung. Ada kecemasan yang tenggelam dalam
setiap perkataannya. Meskipun begitu, ibu mengatakan ia bahagia dan mendukung
apapun yang kulakukan. Yang terpenting, tetap pada jalan yang di-ridhoi Allah SWT.

***

Tak terasa, sudah masuk bulan ketiga aku menekuni pekerjaanku. Total
pemasukanku sudah mencapai 10 juta. Tak sia-sia kuhabiskan waktuku untuk
pekerjaan ini. Alhamdulillah..

Pagi berikutnya, kupacu kendaraanku menuju ATM terdekat. Tempat yang


biasa aku datangi dengan wajah lesu, kini dengan tersenyum aku berdiri tepat didepan
mesin berharga itu. Bagaimana tidak, tujuanku kesini bukan untuk mengambil
kiriman dari Ayah. Melainkan untuk mengirimkan hasil kerja kerasku pada mereka.
Bahagia rasanya bisa membantu ayah dan ibu. Kalau seperti ini, lama-lama aku bisa
memenuhi kebutuhanku sendiri, pikirku. Aku sangat berterima kasih pada Syaamil
yang sudah menawariku pekerjaan ini.

***

“Assalamualaikum Syaamil”

“yaaa Ken, Waalaikumsalam”

“Aku berhasil mengumpulkan total 10 juta, Syaamil”

“Alhamdulillah.. Kubilang juga apa, kau gigih, Ken. Hahaha”

“iya, tinggal menunggu hasil saja ya. Tak kusangka anak-anak ini tertarik. Ternyata
jiwa muda memang pemberani ya”

“termasuk kau kan Hahaha. Aku masih ingat lo keraguanmu saat pertama kali
kutawarkan pekerjaan ini”

“namanya juga pilihan to. Sudah-sudah jangan dibahas lagi. Ayo kutraktir makan
siang. Kebetulan aku belum makan”

“waaahhh.. Dapet rezeki nih siang-siang. Alhamdulillah”

“aku tunggu di Kedai Bang Kasim yaa”

“baiklah, aku segera kesana. Assalammualikum”

“Waalaikumsalam”
***

Sedang asyik makan, Handphone-ku terus bergetar. Kuabaikan karena


Syaamil sedang menjelaskan sedikit pengalaman nya tentang pekerjaan ini. Diakhir
pembicaraan Syaamil menyadari Handphone-ku terus bergetar. Mungkin dari ibu,
karena aku belum sempat mengabari perihal kiriman itu. Namun, saat kulihat layar
panggilan ternyata itu bukan dari ibu.

Nina Mahasiswa (25 panggilan tak terjawab).

Segera kuhubungi kembali Nina. Sepertinya ada hal penting. Benar saja, ia
mendapatkan info dari kakaknya yang notabene adalah seorang polisi. Bos tempatku
bekerja terciduk atas dugaan kasus penipuan. Kabarnya, operasi yang dilakukan nya
telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Beliau telah menjadi buronan polisi
sejak setahun yang lalu terkait kasus yang sama.

Aku tidak akan pernah melupakan hari ini. Pikiranku kalut. Ntah apa yang
harus kulakukan. Aku hanya pasrah kepada sang illahi. Apapun yang akan terjadi,
terjadilah. Bagaimana aku memberitahu ibu perihal ini? Baru saja tadi pagi aku
sangat berbahagia. Dalam waktu sekejap. Semua berubah. Ya Allah maha pengasih
lagi maha penyayang. Cobaan apa lagi yang kau timpakan pada hambamu ini ya
Allah..

Syaamil hanya tertunduk. Ia juga sama kalutnya. Orang tuanya segera turun
tangan melihat kondisinya itu. Dalam waktu satu bulan segala urusannya dengan
pekerjaan ini sudah selesai. Aku ikut senang mendengarnya. Namun aku? Jangankan
selesai, urusan ini bahkan menjadi lebih panjang. Dalam hatiku berteriak, ingin
rasanya mengulang semua dari awal. Jangan tanya keadaanku. Bahkan jika bisa, ingin
segera kuakhiri hidupku saat ini juga.

***

Aku tidak menyangka polisi bergerak dengan sigap. Daftar nama pekerja
diselidiki dan ditetapkan sebagai tersangka. Segalanya kupasrahkan pada sang illahi.
Apapun yang akan terjadi di hidupku, tidak akan membuatku lari. Ini adalah hidup
yang harus kuhadapi. Teman-teman yang semula mendukungku, berbalik seolah tidak
mengenalku. Mereka menghindar. Menjauhiku. Sungguh besar kesalahan yang aku
perbuat, batinku.

Hari berikutnya, aku kembali menghadiri perkuliahan seperti biasa. Kelas


yang kuhadiri, seperti biasa, membuat kami melupakan waktu saat berdiskusi. Hingga
tak terasa, sudah saatnya adzan Ashar. Kelas dibubarkan segera setelah lantunan
adzan terdengar. Kulihat langit, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Kuputuskan untuk pulang. Sesampainya di kos, aku segera berlari menaiki tangga
menuju lantai paling atas. Alhamdulillah, pakaianku kering.

Baru saja selesai kulipat pakaianku, ada yang mengetuk pintu kosku.
Kuabaikan suara itu, siapa juga yang mengunjungiku ditengah hujan lebat begini,
pikirku. Namun pintu kembali diketuk.

“Tok.. Tok.. Tok”

“iya, sebentar”, Kuraih jilbab yang tadi ku kenakan. Segera kubuka pintu yang
sedari tadi diketuk. Dua sosok tinggi berseragam cokelat memandangku dengan
teduh.

“Mohon maaf, Dik Kennocha Naveen harus ikut bersama bapak. Anda
ditahan atas dugaan kasus pencucian uang dan penipuan. Anda berhak diam dan
Menghubungi serta didampingi oleh seorang penasehat hukum/pengacara. Hal yang
berkaitan selanjutnya akan dibahas di kantor polisi.” Sembari menunjukkan surat
yang berisi berkas perintah penangkapan atas namaku. Ya, seperti dugaanku. Kasus
ini tidak akan dibiarkan berlarut-larut begitu saja oleh kepolisian.

“Baik pak, saya akan ikut bersama bapak, namun izinkan saya untuk
berbenah. Terus terang, saya harus ganti baju karena ini merupakan pakaian yang
khusus untuk dikenakan dirumah saja pak”

“baiklah, tidak apa, saya tunggu disini saja” ucapnya.

***

Hari ini tepat 2 bulan aku mendekam di penjara. Sebentar lagi aku bisa
menghirup udara bebas. Tanganku sudah penuh dengan bekas sayatan. Tak pernah
sekalipun kubayangkan hidupku akan berakhir disini. Dengan kondisi ayah dan ibu
sekarang, tak dapat kubayangkan betapa kecewa nya mereka. Maafkan aku Ayah.
Maafkan aku Ibu.

Kuliahku terputus. Aku tidak dapat melanjutkan masa kuliahku. Ayah dan ibu
juga mengalami masa-masa sulit karena ulahku. Mereka terpaksa pindah dari
lingkungan tempat tinggal karena menanggung hukuman tidak tertulis dari
masyarakat. Semua karena ulahku. Aku merindukan ayah dan ibu. Namun, aku malu
menunjukkan wajahku didepan mereka. 3 bulan berada di lapas, sudah cukup untuk
membuatku berpikir. Aku akan melanjutkan hidup dengan tanggung jawabku sendiri.
Sudah cukup pengorbanan ayah dan ibu untukku. Aku tidak ingin lebih mempersulit
mereka dengan kehadiranku.

Perlahan-lahan aku bangkit, dengan Al-Qur'an hatiku menjadi tenang. Aku


tetap menjalankan pesan ibu dahulu, jangan pernah meninggalkan shalat fardhu'. Aku
menyesal pernah berfikir untuk mengakhiri hidupku di penjara. Sendirian mencari
penghidupan di kota besar, hampir membuatku menyerah dan kembali dinaungi
keinginan untuk mengakhiri hidup. Tetapi lagi-lagi berkat Al-Qur'an, perasaan
bersalah itu muncul dan membuat semangatku kembali bergejolak. Aku
memberanikan diri membuka usaha butik. Jatuh-bangun mengembangkan usaha tak
melunturkan semangatku. Dengan usaha keras dan tawakkal, Alhamdulilah Allah
memberiku rezeki melalui jalan ini.

Bersembunyi dari Ayah dan Ibu, ternyata melelahkan. Tabungan dari hasil
jerih payahku mengelola usaha butik offline sudah lebih dari cukup. Sudah saatnya
aku pulang. Bila ayah dan ibu tidak menerimaku, tak apa. Aku hanya ingin memeluk
mereka dan meminta pengampunan. Apalah artinya hidup kita tanpa orang tua. Pesan
ibu yang kupegang teguh berhasil menuntunku kembali kejalan Allah SWT. Cobaan
demi cobaan yang datang kujadikan sebagai patokan untuk memaknai kehidupan.
Kini, Al-Quran tak pernah lepas dari genggamanku. Pedoman kehidupan yang
diberikan Allah pada umat manusia, mukjizat yang sangat berarti dalam hidupku.

***

TAMAT.

Pekanbaru, 19 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai