Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS II

Disusun Oleh

1. Erika PuspitaSari : (0305183203)


2. Isra’ Retno Sari : (0305182136)
3. Lestarina Matondang : (0305181018)
4. Satya Dayanti : (0305183186)

Dosen Pengampu
Dr. Muhammad Rozali, M

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A. 2018/2019
A. PENDAHULUAN

Keberadaan hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki
sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari pra-kodifikasi,
zaman nabi, sahabat, dan tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.

Perkembangan hadis pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan,


dikarenakan larangan nabi untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan
kekhawatirkan nabi akan tercampurnya nash Al-Quran dengan hadis. Selain itu,
juga disebabkan fokus nabi pada para sahabat yang bisa untuk menulis Al-Quran.

B. MASA PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS

a. Proses Kodifikasi Hadis

Secara harfiah, kodifikasi atau tadwin berarti mengumpulkan,


menghimpun, mencatat, atau membukukan, juga berarti menertibkan sesuatu. Jika
kata kodifikasi dihubungkan dengan kata hadis,maka maksudnya adalah
menghimpun catatan-catatan hadis nabi saw kedalam suatu mus’haf.

Kegiatan kodifikasi hadis secara resmi dimulai pada masa pemerintahan


Khalifah kedelapan Bani Umayyah, yaitu Umar Ibn ‘Abd al-‘Azis yang menjabat
Khalifah antara tahun 99 sampai dengan 101 H, melalui instruksinya kepada
pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya. Namun berdasarkan khabar sahih dalam Tabaqat Ibn Sa’ad
menginformasikan bahwa benih-benih kodifikasi resmi adalah ditangan ayahnya
Abd. Al-‘Aziz Ibn Marwan yang menjabat sebagai gubernur Mesir. 1

1
Ahmad Zuhri, Fatimah Zahara, Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014), h. 49-50
Khalifah menginstruksikan agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada
pada ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman al-Ansari, murid kepercayaan ‘Aisyah, dan
al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bark. Intruksi yang sama juga ia tujukan
kepada muhammad Ibn Syihab az-Zuhri seorang ulama besar di Hijaz dan Syam.
Dengan demikian, kedua ulama diataslah yang merupakan pelopor dalam
kodifikasi hadis berdasarkan perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-‘aziz.

Ulama setelah Az-zuhri yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa
diwariskan kepada generasi sekarang adalah kita al-Muwatta’ yang selesai
disusun oleh malik Ibn Anas pada tahun 143 H.

Dari kedua tokoh di atas, para ulama hadis lebih cenderung memilih az-
Zuhri sebagai kodifikator pertama dari pada Ibn Hazm, dengan pertimbangan:

1. az-Zuhri dikenal sebagai ulama besar di bidang hadis


dibandingkan dengan yang lainnya.
2. Dia berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah,
sedangkan Ibn Haznm tidak demikian.
3. Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah
daerah sehingga lebih cepat tersebar.

Kodifikasi hadis secara resmi yang dilakukan pada awal abad kedua
Hijriah ini belum tersistematiskan sebagai mana yang terdapat dalam kitab kitab
hadis belakangan. Penulisannya masih bersifat umum, belum ada spesialisasi dan
konsentrasi. Bahkan penulisannya masih tercampur dengan pendapat sahabat dan
fatwa tabi’in. Diantara kitab kitab yang merupakan hasil kodifikasi pada abad ke 2
H yang masih di jumpai sekarang adalah :

a. Kitab al-Muwatta’ yang disusun oleh imam malik pada tahun 144 H
atas permintaan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Kitab ini mengandung
lebih kurang 1722 Hadis.2

2
Ibid, h.49-50
b. Musnat asy-Syafii, karya imam Syafii,yaitu berupa kumpulan hadis
yang terdapat dalam kitab al-Umm.
c. Mukhtaliful hadis, karya imam asy-Syafii yang isinya mengandung
pembahasan tentang cara cara menerima hadis sebagai hutjah, dan cara
cara mengkompromikan hadis yang keihatannya kontradiktif satu sama
lain.
d. As-Sirat an-Nabawiyah oleh Ibn Ishak. Isinya antar lain tentang
perjalanan hidup nabi SAW dan peperangan peperangan yang terjadi
pada zaman nabi.3
b. Faktor yang Mendorong Kodifikasi Hadis
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa
Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-‘Azis, yaitu :
1. Para ulama telah tersebar keberbagai negeri, dan dikhawatirkan hadis
akan hilang bersama wafatnya mereka.
2. Kekhawatiran bercampurnya antara hadis nabi dengan hadis palsu,
karena banyak berita yang diadakan oleh pelaku bid’ah seperti
Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Jahmiyah, Qadariyah, Murji’ah,
Mu’tazilah, Karramiyah, dan Kullabiyah.
3. Usaha kodifikasi sangat penting mengingat semakin meluasnya daerah
kekuasaan Islam, sedangkan kemampuan para tabi’in tidak sama.
4. Alasan tidak terdewannya hadis secara resmi pada masa rasul dan al-
Khulafah’ Ar-Rasyidin karena kekhawatiran bercampur aduknya
dengan Al-Quran telah hilang disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan
dalam suatu mus’haf dan telah merata diseluruh pelosok.4

3
Ibid, h.49-50
4
Ramli Abdul Wahid,Studi Ilmu Hadis ,(Bandung:CitaPPustaka media Perintis,2002), h. 68
Fakor lain yang mendukung adalah timbulnya hadis maudu’ sebagai akibat
meluasnya wilayah Islam dan terjadinya perselisihan dikalangan kaum Muslimin
mendorong Khalifah untuk menghimpun dan membukukan hadis. Terjadinya
perang Shiffin pada masa pemerintah Ali bin Abi Thalib menyebabkan timbulnya
aliran-aliran dalam Islam. Ketegangan-ketegangan politik dan teologi membawa
dampak negatif kepada eksistensi dan autentisitas hadis nabi dengan munculnya
hadis-hadis maudhu’. Untuk mengantisipasi gejala ini, kodifikasi hadis perlu
dilakukan.5

C. MASA PENTASHIHAN DAN PENYUSUNAN KAIDAH-KAIDAH NYA

a. Pengertian Pentashihan Hadis

Pentashihan hadis adalah pengoreksian, penyaringan atau penyeleksian


terhadap hadis yang telah dikumpulkan dan akan dicetak atau dibukukan. Hal
ini dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam pencetakan hadis-
hadis tersebut. Masa seleksi atau penyaringan hadis ialah masa upaya para
mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat sebagai kelanjutan dari
upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan kitab tadwin.
Masa ini dimulai pada akhir abad II atau awal abad III, atau ketika
pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-
Makmum hingga akhir abad III atau abad IV, masa Al-Muktadir.

Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni


periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan
maqhtu’ dari hadis marfu. Begitu pula belum dapat memisahkan beberapa
hadis yang dha’if dari yang sahih.6

5
Ibid, h. 68
6
Mustofa Hasan,Ilmu Hadis,(Bandung:CV Pustaka Setia,2014), h.158-160
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan
hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah tertentu mereka berhasil
memisahkan hadis-hadis yang dha’if dari yang sahih, yang ma’uquf dan yang
maqtu’ dari yang marfu’ meskipun berdasarkan penelitian para ulama
berikutnya masih ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang dha’if pada
kitab-kitab yang sahih.

Berkat keuletan dan keseriusan para ulama ppada masa ini,maka


bermunculanlah kitab-kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis yang sahih.
Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian dikenal dengan Kutub
Al-Sittah (kitab induk yang enam).7

b. Penyusunan Kaidah-Kaidah Hadis

Metodologi pembukuan hadis dilakukan dengan beberapa macam yaitu;

1. Metode Juz dan Atraf

Metode ini termasuk paling awal yang digunakan dalam mengelompokkan


hadis. Metode juz berarti mengumpulkan hadis berdasarkan guru yang
meriwayatkan hadis kepada penulis kitab hadis. Metode atraf adalah
pembukuan hadis dengan menyebutkan pangkalnya sebagai penunjuk matan
8
hadis selengkapnya. Contoh dari kitab juz yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat atau orang-orang setelahnya yaitu Juz Hadits Abi Bakar dan Juz
Hadits Malik. Lalu, contoh kitab Juz yang memuat hadits-hadits tentang suatu
tema tertentu, seperti Juz al-Qira’ah Khalfah al-Imam karya al-Bukhari dan al-
Rihlah fi Thalab al-Hadits karya al-Khatib al-Baghdadi.9 Contoh dari kitab
Atraf yaitu Athrafush Shahihaini karangan al-Hadid Ibrahim Ibn Muhammad
Ibn ‘Ubaid adDimasyqy (800H) dan Athrafush Shahihaini karangan Abu
Muhammad Khalf Ibn Muhammad al-Wasithi. 10

7
Munzier Suparta,Ilmu Hadis,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2014), h. 92
8
Mustofa Hasan,Ilmu Hadis,(Bandung: CV Pustaka Setia,2014), h.158
9
Nuruddin, Ulum Al-Hadis I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1995), h. 184
10
M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), h. 323
2. Metode Muwanththa

Secara kebahasaan, muwantha berarti sesuatu yang dimudahkan. Adapun


secara istilah ilmu hadis, muwantha adalah metode pembukaan hadis
berdasarkan klarifikasi hukum Islam dan mencantumkan hadis hadis marfu,
mauquf, dan maqtu. Contohya yaitu hadis hadis marfu, mauquf, dan maqtu.11

3. Metode Mushannaf

Secara kebahasaan, mushannaf berarti sesuatu yang disusun, sedangkan secara


istilah, sama artinya dengan muwaththa. Contohnya:

a. Musannaf karya Abd al-Malik ibn Jurayh al-Basyiri (w. 150 H);
b. Musannaf karya Sa’id ibn Abi’Arubah (w. 161 H);
c. Musannaf karya Jamad ibn Salamah (w. 161 H);.

4. Metode Musnad

Metode ini mengklarifikasikan hadis berdasarkan nama para sahabat yang


meriwayatkan hadis tersebut.12 Contohnya:

a. Musnad Abu Daud ath-Thayalisi (w. 204 H);


b. Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H).13

5. Metode Jami

Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup.


Kitab jami’ adalah kitab hadis yang metode penyusunannya mencakup seluruh
topik dalam agama, baik akidah, hukum, adab, tafsir, dan manaqib.14

11
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 158
12
Ibid, h.158
13
M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 323
14
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 158
Contohnya:

a. Al-Jami’ ash-Shahih, Susunan Imam Bukhari (w. 256 H)


b. Al-Jami’ ash-Shahih, Susunan Imam Muslim (w. 261 H)15

6. Metode Mustakhraj

Metode ini menyusun kitab hadis berdasarkan penulisan kembali hadis-hadis


yang terdapat dalam kitab lain, kemudan penulis kitab yang pertama
mencantumkan sanadnya sendiri.16 Contohnya: misalnya, kitab-kitab yang
men-takhrij Shahih al-Bukhari : Mustakhraj al-Isma’ili (w. 371 H),
Mustakhraj al-Ghithrifi (w. 377 H), dan Mustakhraj Ibn Abi Zhul (w. 378 H).
Kitab-kitab yang mentakhrij Shahih Muslim: Mustakhraj Abu Awanah al-
Isfirayani (w. 316 H), Mustakhraj al-Humaydi (w. 311 H) dan Mustakhraj
Abu Hamid al-Harawi (w. 355 H).17

7. Metode Sunan

Kata “as-sunan” adalah bentuk jamak dari kata “sunnah”, yang pengertiannya
sama dengan hadis. Adapun metode sunan adalah metode penyusunan
berdasarkan klarifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah) dab hanya
mencantumkan hadis hadis marfu.18 Contoh kitab-kita sunan yang masyhur
adalah Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmudzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan
Ibnu Majah.19

15
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadis, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007), h.427
16
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 159
17
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010). h. 124
18
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 159
19
Nuruddin, Ulum al-Hadis, h.182
8. Metode Mustadrak

Metode ini menyusun kitab hadis dengan menyusulkan hadis hadis yang tidak
tercantum dalam kitab kitab hadis yang lain. Namun, dalam menuliskan hadis
hadis susulan tersebut penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis
yang dipakai oleh kitab lain.20 Contoh kitab mustadrak yang terkenal ialah al-
Mustadrak, susunan Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah Ibn Muhammad
Ibn Hamdawaih al-Hakim al-Naisabury (w. 405 H). Selain itu karya-karya
kitab hadis yang disusun dengan tipe mustadrak adalah al-Ilzamat karya al-
Daruquthni (w. 434 H).21

9. Metode Mu’jam

Metode ini mengumpulkan hadis berdasarkan nama-nama para sahabat,guru-


guru hadis, negeri-negeri, dan/atau yang lain. 22
Contoh kitab-kitab mu’jam
yang mahsyur adalah sebagai berikut:

a. Kitab al-Mu’jam al-Kabir karya Abu al-Qasim Sulayman Ibn Ahmad al-
Thabrani (w. 360 H).
b. Kitab al-Mu’jam al-Awsath, juga karya Abu al-Qasim Sulayman Ibn
Ahmad al-Thabrani (w. 360 H).
c. Kitab Mu’jam al- Shahabah karya Ahmad Ibn Ali al-Hamdani (w. 308
H).23

20
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 160
21
M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h.116-117
22
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 160
23
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010). h. 123
10. Metode Zawaid

Metode ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan.24 Contoh kitab


zawaid adalah:

a. Misbah al-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah karya Abu Abbas Ahmad bin
Muhammad al-Bushairi (w. 684 H).
b. Zawaid al-Sunan al-Qubra juga karya al-Bushairi, memuat hadis-hadis
riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam kitab al-Kutub al-Sittah.25

D. Kesimpulan

Dari makalah sejarah perkembangan hadis II dapat disimpulkan bahwa, penyebab


terjadinya kodifikasi hadis adalah untuk menghilangkan kekhawatiran akan
hilangnya al-hadis dan memelihara al-hadis dari bercampurnya dengan Hadis-
Hadis palsu. Lalu pentashihhan hadis digunakan agar tidak ada kesalahan dalam
kitab-kitab hadis yang akan dibukukan.

24
Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, h. 160
25
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010). h. 124
Daftar Pustaka

Zuhri Ahamad. Zahara Fatimah. 2014. Ulumul Hadis, Medan: CV. Manhaji.

Hasan Mustofa. 2012. lmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.

Abdul Wahid Ramli. 2002. Studi Ilmu Hadis , Bandung: Cita Pustaka media
Perintis.

Suparta Munzier. 2014. Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nuruddin. 1995. Ulum Al-Hadis I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Hasbi M. 1994. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang.

Hasan Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadis. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai